Share

Hamil?

‘Saya tidak akan menikahimu.’

Ucapan Arka terus terngiang dalam benak Dinara, bahkan beberapa hari setelah malam kelam itu.

“Siapa juga yang mau menikah dengannya?!” gerutu Dinara dengan suara lirih.

Wanita itu lantas menghela napas panjang. Ia memutuskan untuk bekerja agar pikirannya teralihkan.

Seperti biasa, setelah menyiapkan ruangan untuk Arka bekerja, Dinara segera menyusun jadwal kegiatan bosnya itu.

Tak lama kemudian, Arka tiba di kantor. Dinara menunduk hormat ketika pria itu melewati mejanya dan masuk ke dalam ruang kerjanya. Pria itu bahkan tidak menoleh sedikit pun ke arahnya, seolah Dinara tidak tampak.

Bagaimana bisa Arka bersikap seolah tak pernah terjadi apapun di antara mereka?!

Menahan rasa kesal, Dinara mengetuk pintu dan masuk ke dalam ruangan begitu Arka mempersilakannya.

“Pak, jam 10 nanti Bapak ada jadwal pertemuan dengan para direksi untuk membahas proposal mengenai pembukaan pabrik baru di Sukabumi. Setelah itu, Bapak ada janji makan siang bersama Pak Yuda. Untuk itu, saya sudah menghubungi sekretaris Pak Yuda untuk melakukan reservasi.”

Dinara membacakan jadwal yang harus Arka lakukan hari ini dengan sikap profesional, walau dalam hati merasa sedikit gugup dan juga jengkel dengan sikap cuek Arka.

“Hmm,” jawab singkat Arka yang sibuk dengan ponselnya, masih tak berniat untuk melihat ke arah sekretarisnya.

Melihat itu, Dinara langsung ingin undur diri. Lebih baik pergi daripada menahan kesal melihat sikap tak bertanggung jawab bos yang telah melecehkannya!

“Dinara.”

Langkah gadis cantik itu terhenti. Jantungnya berdegup kencang menanti apa yang hendak dikatakan oleh Arka.

Apakah pria itu hendak membahas kejadian tempo hari?

Dinara berbalik. “Ya, Pak?”

“Tolong buatkan saya kopi,” kata Arka, masih dengan nada datar yang sama.

Dinara mendengus dalam hati. ‘Apa yang kuharapkan darinya?’

“Hanya itu, Pak?”

“Iya, kenapa?” Arka menatap menyidik dengan menaikkan salah satu alisnya.

“Tidak, Pak. Akan segera saya siapkan,” sahut Dinara, menelan rasa kecewanya bulat-bulat.

Dengan kesal Dinara membuatkan kopi dan kembali masuk ke dalam ruangan Arka.

“Kopinya, Pak.”

Dinara hendak meletakkan gelas kopi milik atasannya itu ke atas meja, tapi karena terburu-buru, kopi panas tersebut tumpah mengenai tangannya.

“Akh!” pekik Dinara, membuat Arka terkejut dan langsung menoleh ke arahnya.

Dengan sigap Arka bangkit dari kursinya dan menghampiri Dinara. Ia meraih tangan Dinara lalu meniupnya seolah itu adalah sikap yang lumrah, membuat Dinara gugup seketika.

“Kamu gak apa-apa?”

Dinara langsung menarik tangannya. “Saya tidak apa-apa!” katanya, terdengar sedikit ketus bahkan di telinganya sendiri.

Arka tampak tertegun, sebelum berdeham dan kembali ke kursinya. “Lain kali hati-hati. Jangan ceroboh.”

Dinara hanya menunduk. Ia hendak kembali ke mejanya sendiri ketika Arka kembali memanggilnya.

Selama beberapa saat, tatapan mereka beradu. Tidak ada kata yang keluar dari bibir keduanya.

“Ada apa, Pak?” tanya Dinara, memecah keheningan yang menyesakkan.

Tidak mudah bagi Dinara untuk bersikap seolah tidak ada yang terjadi di antara mereka. Tidak setelah Arka merenggut kehormatannya dan meninggalkannya seperti barang yang tidak berharga.

Pria itu bahkan hanya menganggap kejadian malam itu seperti angin lalu. Arka tidak pernah sekalipun menyinggung masalah itu, tidak pernah bertanya bagaimana keadaan Dinara setelah ia hancurkan masa depannya.

Mengingatnya saja sudah membuat mata Dinara terasa panas dan berkaca-kaca.

Arka berdeham. “Saya sudah transfer 50 juta ke rekening kamu sebagai kompensasi atas kejadian malam itu.”

“Maaf?”

“Saya harap kita bisa melupakannya dan bersikap seperti biasa.”

Tangan Dinara terkepal di samping tubuhnya. Ia menahan gejolak amarah atas ucapan Arka barusan.

Apakah bagi Arka kehormatannya bisa dibeli dengan uang?

“Saya tidak butuh uang dari Bapak. Saya bukan wanita bayaran,” kata Dinara dengan nada tajam. Ia lekas mengusap air mata yang jatuh membasahi pipinya tanpa bisa dicegah.

“Dinara, maksud saya bukan—”

“Saya akan kembalikan uang Bapak. Permisi.”

Dinara berbalik badan dan tidak menoleh lagi meskipun Arka memanggil namanya beberapa kali. Tapi Dinara tidak peduli.

Hatinya sudah terlanjur sakit atas semua sikap Arka yang begitu merendahkan dan menginjak-injak harga dirinya.

Apakah karena memiliki segalanya, Arka lantas berpikir bisa melakukan apapun sesuka hatinya?

‘Kenapa harus aku…’ lirih Dinara dalam hati. Ia menghapus air mata yang terus mengalir membasahi pipi. Rasa sakit yang ia rasakan sudah tidak tertahankan. Namun, Dinara berusaha untuk tegar. Bagaimanapun, ia tidak bisa lari dari kenyataan.

Dinara lekas membenahi penampilannya karena setelah ini ia harus menemani Arka ikut rapat dengan dewan direksi.

Arka tidak mengatakan apapun saat mereka berjalan menyusuri koridor menuju ruang rapat.

“Cepat masuk.”

Dinara tersentak dan mendongak menatap atasannya yang berdiri di ambang pintu. Ternyata mereka sudah tiba di depan ruang rapat.

Gadis itu mengangguk dan masuk ke dalam ruangan.

Tetapi selama di ruang rapat, Dinara tidak dapat berkonsentrasi. Kepalanya tiba-tiba pusing, perutnya bergejolak dan tubuhnya juga terasa lemas.

Semua orang sibuk hingga tidak memperhatikan Dinara, kecuali Arka yang sejak tadi mencuri pandang ke arahnya.

”Kenapa kamu? Sakit?” tanya Arka sedikit berbisik.

Dinara menggelengkan kepala sebagai jawaban dan mencoba untuk terlihat baik-baik saja.

Namun, saat hendak melangkah maju untuk presentasi, mendadak tanah yang ia pijak seperti goyang, membuatnya limbung dan hampir jatuh.

“Dinara!”

Arka bergerak cepat menangkap tubuh Dinara sebelum jatuh menghantam lantai. Semua orang otomatis melihat ke arah mereka, tampak terkejut dengan apa yang terjadi.

Tanpa membuang waktu, Arka dengan cepat menggendong dan membawa Dinara yang sudah tidak sadarkan diri ke rumah sakit.

Gadis itu baru membuka mata saat samar-samar mendengar suara percakapan Arka dengan seseorang.

Dinara tidak tahu berapa lama tidak sadarkan diri. Tapi ia bisa merasakan kepalanya tidak lagi begitu pusing, meski badannya masih terasa tidak bertenaga.

Ia memandang sekitar dan melihat Arka berdiri tidak jauh dari pintu, sedang berbicara dengan pria berjubah putih.

“Pasien harus memperhatikan kondisi tubuhnya dengan baik mulai sekarang. Saya akan meresepkan vitamin juga untuk menguatkan kandungannya.”

Sontak tubuh Dinara menegang hebat. “Apa?! Dokter bilang apa?”

Dokter hendak mengulang ucapannya, tapi Arka lebih dulu menyela dan meminta agar mereka ditinggalkan berdua. “Baik, Dokter. Terima kasih.”

“Tunggu, Dokter!” kata Dinara, masih tampak terguncang. “Saya… saya tidak mau mengandung anak ini. Saya mau anak ini digugurkan saja!”

Sontak Arka dan dokter terkejut mendengarnya. Sebelum dokter tersebut merespon, Arka lebih dulu bersuara.

“Tidak,” katanya, masih dengan nada datar seperti biasa. “Tolong tinggalkan kami berdua,” ulangnya lagi pada sang dokter yang menatap mereka heran.

“Kenapa?” tanya Dinara setelah dokter pergi meninggalkan ruangan. Wajahnya sudah bersimbah air mata. Berbagai pemikiran buruk berkecamuk dalam benaknya. “Saya tidak siap untuk mengandung anak ini, Pak!”

Arka masih tampak tenang, berbanding terbalik dengan Dinara yang kacau.

“Saya akan bertanggung jawab atas kamu dan anak itu,” katanya.

“Apa?” Dinara seolah tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.

“Saya akan menikahi kamu.”

Comments (1)
goodnovel comment avatar
nurdianis
harus nya arka bertanggung jawab,
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status