“Em ... sepertinya itu ide yang bagus.” Reina berucap dengan gaya centilnya.Setelah menghabiskan satu mangkok mie instan, ia memang merasa gerah. Keringat sudah sukses membasahi wajahnya karena rasa pedas yang memenuhi lidahnya.Regan geleng-geleng kepala melihat kepergian istrinya. “Reina sungguh keterlaluan. Bukankah seorang istri harus menemani suaminya saat makan?” Regan melirik mie kuah di depannya. Rasanya ia sudah tidak berselera lagi untuk menikmatinya. Apalagi tidak ada yang membuatnya bersemangat duduk sendirian di kursi itu. “Walau cuma mie instan, tetapi aku tidak boleh membuangnya. Dulu Mama selalu mengajariku untuk tidak membuang-buang makanan seenaknya. Dulu keluarga Admaja pernah terpuruk pada masanya.” Lelaki tampan itu menghembuskan napas berat. “Makanan ini adalah buatan istriku. Sebaiknya aku menikmatinya saja.” Dengan semangat Regan menikmati makanan buatan istrinya itu. Ia menghabiskannya dengan sangat cepat. Seorang lelaki memang tidak butuh waktu lama untuk
Malam itu Reina tertidur sangat lelap sampai pagi. Hingga kejadian ia bangun kesiangan terulang kembali. Tentu Regan yang terjaga lebih dahulu tidak sampai hati untuk membangunkannya. Lelaki itu justru bersemangat menyiapkan kejutan kecil untuk sang istri. Dan rencananya pagi itu ia akan mengajak Reina berbelanja semua hal yang istrinya sukai. Juga tak lupa membelikan oleh-oleh untuk keluarga besar. “Sayang, bangun.” Regan memberikan kecupan lembut pada bibir istrinya. “Reina masih mengantuk, Pak?” lirih wanita itu tanpa sadar. Regan tersenyum gemas kepada istrinya. Bahkan Reina tidak merasa terganggu oleh ciumannya. “Ini sudah siang, Reina. Kita makan dulu.” Regan mencari cara agar istrinya segera terbangun. “Augh! Sakit Pak!” rintih Reina. Akhirnya Reina membuka kedua matanya sambil meringis menahan perih di dadanya. Dengan beraninya Regan menggigit pucuk merah kembar miliknya meski masih terbalut oleh baju piyama tipis yang ia kenakan.Wanita itu mengerucutkan bibirnya ketik
Reina menanti dengan resah. “Kenapa Pak Regan lama sekali. Ke mana dia? Sebaiknya aku mencarinya.” Wanita itupun segera berjalan cepat untuk mencari Regan. Tak lupa ia jugaa mencoba menghubungi ponsel suaminya. “Terhubung ... tapi kok tidak diangkat.” Beberapa menit kemudian Reina mencoba menelepon lagi. “Sekarang malah tidak aktif.” Reina berjalan ke sana kemari. Ia mencoba menanyakan keberadaan Regan kepada orang di sekitarnya. Memperlihatkan foto sang suami dari ponsel. “Maaf, Bu. Apakah Ibu pernah melihat orang yang di foto ini?” tanya Reina sungguh-sungguh. Seorang wanita paruh baya menggeleng pelan. “Saya tidak pernah melihatnya.” “Baiklah, kalau begitu. Saya permisi,” pamit Reina. Wanita itu duduk di tempat tadi Regan melihat gadis kecil. Reina melihat es krim terjatuh yang sudah leleh. “Sayang sekali es krimnya terjatuh. Pasti tadi ada yang nangis karena kehilangan,” lirih Reina seorang diri. Netranya melihat ke kanan dan ke kiri. Menerawang hingga kejauhan. “Tidak ad
“Kamu tidak perlu tahu, Regan. Anggap saja semua ini balasan atas perbuatan keluarga Admaja di masa lalu.” Regan tidak mengerti apa yang dikatakan oleh lelaki itu. ‘Perbuatan apa yang dia maksudkan? Apakah Papa pelakunya? Atau kakek?' Regan tidak bisa berpikir dengan jernih. Pikirannya tentu saja hanya memikirkan keselamatan Reina. Meski dirinya sendiri butuh dukungan. Lelaki jahat itu merasa geram. Ia memberikan perintah kepada anak buahnya. “Tunggu apalagi. Dorong dia ke jurang. Jangan lupa untuk mendokumentasikannya. Ini akan menjadi berita yang menggemparkan.” “Bagaimana kalau kita tertangkap gara-gara mengambil videonya, Pak?” ungkap anak buah yang tak mengerti apa-apa. “Bodoh?” Lelaki itu mendorong kepala anak buahnya. “Semua perlu strategi.” Sang anak buah hanya menurut saja. Ia menganggukkan kepalanya dan bersiap untuk memasukkan Regan ke jurang. Sementara Reina masih terus berusaha menemukan Regan. Ia melacak telepon sang suami yang tadi sempat melakukan panggilan. Aku
Regan terbangun di sebuah ruangan bernuansa warna putih. Hal pertama yang ia khawatirkan adalah istrinya.“Reina?” Regan memegangi kepalanya yang masih terasa berat. Kemudian ia melihat ada orang suster yang berdiri tak jauh darinya.“Suster ... di mana istri saya?” tanya Regan sedikit membesarkan volume suaranya.Suster itu tersenyum sambil berkata, “Ada di sebelah Anda, Pak Regan.” Tangannya menunjuk ruangan sebelah yang tertutup gorden berwarna biru muda.“Boleh saya melihat istri saya, Sus?” pinta Regan merengek.Suster itupun mengangguk. “Hati-hati, Pak Regan.” Suster berusaha menolong Regan. Takut jika lelaki tampan itu akan tumbang.“Tidak apa-apa, Sus. Saya sudah kuat.”Regan sangat antusias untuk menemui istrinya. Ia ingin memberikan semangat kepada Reina.“Jeffan? Kamu di sini?” Kedua alis Regan mengkerut. Ia tidak tahu jika Jeffan yang telah menolong dan membawa mereka ke rumah sakit.Jeffan pun menoleh. “Bos, sudah siuman?” tanyanya mengalihkan pembicaraan.“Kamu belum men
“Tidak Bos. Saya tidak memberitahukan hal ini kepada Nyonya Regina. Saya hanya bilang akan menjemput Tuan Regan. Itu saja,” terang Jeffan jujur.“Baguslah. Aku tidak mau Oma semakin syok dan kepikiran. Aku akan mencari tahu siapa yang telah melakukan ini semua. Jangan sampai Reina menjadi korban lagi.” Jeffan manggut-manggut. Ia pasti juga akan diberi tugas lebih.“Ehem!” Reina berdehem cukup keras. Ia mengerutkan bibir karena merasa terabaikan. “Astaga!” Regan menepuk keningnya. “Kau membuatku melupakan sesuatu Jeffan. Kasihan istriku. Tadi Reina bilang sedang lapar.” Jeffan tersenyum kikuk. Tentu ia merasa bersalah. Asisten kepercayaan Regan tersebut memilih untuk undur diri dan menjaga di luar. Malangnya di depan ruangan Reina, Jeffan sudah ditunggu oleh Alice.“Jeffan, lama sekali?!” protes Alice. “Sebaiknya kamu menemaniku ambil barang yang ketinggalan. Antarkan aku ke kediaman Kakak Regan.” “Tapi Nona Alice. Bukankah seharusnya izin kepada Pak Regan terlebih dahulu?” Jeffan
“Ampun, Pak. Reina sudah tidak kuat!” Wanita itu terlihat ngos-ngosan. Mengatur nafasnya yang tidak beraturan. Keringat membasahi wajah dan rambut membuatnya semakin bertambah cantik. Namun Regan menyadari sesuatu. “Astaga. Maafkan aku, Reina. Kamu baru saja masuk rumah sakit. Tidak seharusnya berlari-larian seperti ini.” “Pak Regan juga sama.” Reina tidak mau kalah. Sesungguhnya ia juga memiliki rasa khawatir terhadap suaminya. Hanya saja Regan sangat pandai menutupi rasa sakit pada tubuhnya. “Baiklah, tunggu sebentar. Akan aku ambilkan air putih. Ayo, duduk dulu di dalam.” Regan memapah tubuh Reina. Namun saat memasuki kediamannya itu, mereka melihat Jeffan dan Alice sedang berada di ruang tamu. Gadis itu sedang menikmati sesuatu. “Eh, Kak Regan sudah pulang!” dapat Alice bernada manja seperti biasanya. Regan melirik ke arah Jeffan. “Pantas saja tidak ada yang menjemput kami. Ternyata sedang sibuk pacaran di sini.” “Kak Regan apa-apaan sih?! Siapa yang pacaran!” protes Alice
“Lagi mode marah, diturutin saja Pak Bos,” bisik Jeffan. Lelaki itu terkekeh pelan. Ia senang dan merasa lega karena tidak duduk di dekat Alice. Sementara Regan merasa diremehkan. Bisa-bisanya ia dipermainkan oleh keadaan. Regan menggeram pelan. Ia meremas tangannya sendiri. ‘Kamu kalau lagi ngambek sangat menyebalkan, Reina!’ Meski merasa kesal, Regan tidak punya pilihan lain. Sepertinya ucapan Jeffan memang benar. Ia akan menanti mood istrinya agar membaik seperti sedia kala. Seperti saat itu yang terlihat sangat manis. ‘Apakah hanya di saat keadaan terdesak saja dia mau bermanis-manis denganku? Aku harus menjadi lelaki nomor satu yang dibutuhkan Reina. Tidak boleh ada lelaki lain.’ Reina berjalan terlebih dulu. Ia duduk di dekat jendela pesawat. Di depannya ada Alice yang sudah siap melakukan perjalanan menyenangkan itu. Mungkin lebih tepatnya hanya menyenangkan bagi Alice karena sukses membuat Regan duduk di sampingnya. “Nggak sia-sia deh datang ke tempat yang sama dengan m