Share

Hinaan dari Rangga

Aldara keluar dari ruangan Alastair dan Ernest langsung membawanya ke ruangan lain di samping ruangan CEO, pria itu mengatakan ini adalah ruangan sekretaris, ia juga menjelaskan tugas-tugas yang harus dilakukan Aldara. Setelahnya, Ernest pamit keluar untuk kembali ke ruangannya sendiri.

Saat pintu tertutup, Aldara langsung menghempaskan tubuhnya pada sandaran kursi. Memejamkan mata sembari meraup udara dengan rakus.

Entah sudah berapa kali ia melakukan itu, nyatanya tetap tidak bisa meredakan kegundahannya.

'Apa setelah mendapatkan uangnya nanti aku bisa pergi jauh dari Pak Alastair?' tanya wanita itu di dalam hatinya.

Hari sudah beranjak sore, Aldara pulang ke rumah dengan mengendarai taksi. Ia melihat satu kresek besar teronggok begitu saja di teras, pikirannya menebak pasti itu baju-bajunya yang telah disiapkan oleh Rangga.

Tangannya membuka pintu taksi dan lantas turun, ia membawa langkah menuju teras dan langsung mengangkat kresek berisi baju-bajunya tersebut. Tiba-tiba pintu terbuka, Aldara sontak membalik tubuh saat mendengar suara pintu berderit di belakangnya.

"Halo, Mbak Aldara," sapa Clarissa sambil mengelus-elus perutnya yang masih rata.

Aldara hanya diam saja, menatap tanpa ekspresi berlebih ke arah wanita yang sudah menjadi duri dalam rumah tangganya.

"Dari mana, Mbak? Pakaiannya rapi sekali?"

"Bukan urusanmu!"

"Eh, ketus sekali. Aku 'kan cuma tanya." Clarissa menyunggingkan senyum remeh di ujung bibirnya, iris coklat itu terus menatap Aldara dari atas sampai bawah. "Ternyata penampilan rapi tidak membuat kamu terlihat berkelas, ya. Pantas saja Mas Rangga selingkuh dan lebih memilihku," ucapnya lagi.

Aldara langsung membalik tubuhnya dan hendak melangkah menuju taksi, tetapi tiba-tiba terdengar suara bariton yang sontak membuat langkahnya terhenti.

"Kamu sudah datang, Ra? Padahal aku mau buang barang-barang mu kalau kamu nggak datang. Syukurlah kalau begitu, jadi aku nggak perlu susah-susah angkat barang-barang mu lagi."

Aldara menoleh, mendapati Rangga berdiri di samping Clarissa sambil merangkul bahu wanita itu. Rahang runcingnya menggeram, menahan kekesalan agar mulutnya tidak kelepasan.

"Sayang, Mbak Aldara terlihat rapi, ya, pakai pakaian seperti itu," ucap Clarissa.

Rangga yang baru sadar tak ayal mengerutkan kening bingung seraya menelisik penampilan mantan istrinya itu. "Kamu ngapain pakai pakaian seperti itu? Seperti orang yang baru melamar pekerjaan saja. Memangnya kamu bisa bekerja?" tanya Rangga.

"Bukan urusanmu, Mas!" tukas Aldara.

"Jangan terlalu somebong, Ra. Kamu kalau mau pekerjaan bilang saja padaku, mumpung aku masih baik padamu. Sepertinya di perusahaanku ada lowongan office girl, pekerjaan itu cocok buat kamu," ujar Rangga yang tak ayal membuat Clarissa tergelak.

"Benar, Mbak. Wajahmu itu cocok menjadi office girl!"

Rangga mengulas senyum mendengar ucapan Clarissa, lantas kembali menatap Aldara yang hanya diam saja.

"Mencari pekerjaan di Ibu Kota ini sulit, Ra. Jangan mimpi bisa mendapatkan pekerjaan bagus dalam waktu singkat. Selain penampilan kamu yang tidak menarik, latar belakang pendidikan kamu juga tidak jelas. Paling mentok, ya, jaga toko atau rumah makan. Lebih baik kamu terima tawaran dariku dan coba datang ke perusahaan tempatku bekerja besok, setidaknya kamu bekerja di bawah perusahaan besar. Yeah ... meskipun hanya sebagai office girl," ujar Rangga panjang lebar.

Clarissa semakin tergelak sambil menatap remeh wanita di hadapannya itu, sementara Aldara masih diam saja. Tangannya mengepal menahan emosi, tetapi tidak berniat membalas.

"Pikirkan tawaranku baik-baik, Ra. Kalau kamu tidak mendapat pekerjaan, mau makan pakai apa? Mengemis?" Pria itu mencebikkan bibirnya. "Jangan mengemis, Ra. Itu sangat memalukan. Meskipun, wajah melas kamu itu cocok sekali kalau berprofesi sebagai pengemis," imbuhnya yang semakin membuat Clarissa tergelak.

Aldara masih diam, menatap tanpa ekspresi pada dua orang di hadapannya itu. Sampai akhirnya ia memilih pergi dari hadapan Rangga dan Clarissa yang masih betah tertawa.

Ia masuk ke dalam taksi dan kendaraan roda empat itu langsung membawanya pergi. Setelah menempuh perjalanan selama lima belas menit, taksi berhenti di depan rumah minimalis dua lantai milik Ernest. Aldara memutuskan menginap di tempat Ernest sampai mendapatkan kos-kosan yang cocok, setidaknya malam nanti ia punya tempat untuk tidur.

'Huh, untungnya aku masih punya saudara yang baik hati. Setidaknya aku bisa istirahat malam ini, agar besok pagi punya tenaga untuk menghadapi Pak Alastair,' batinnya seraya membawa langkah memasuki rumah itu.

***

Keesokan paginya.

Aldara berangkat bersama Ernest menuju kantor. Semalam ia menceritakan kehidupan menyedihkannya kepada Ernest, hal itu membuat Ernest murka dan bersumpah akan membuat Rangga bertanggung jawab atas kemalangan sepupunya. Namun, Aldara menahannya agar tidak melakukan hal itu, ia mengatakan urusan Rangga adalah urusannya, begitu juga balas dendam yang harus dilakukan dengan tangannya sendiri. Ernest menurut, meskipun tangannya gatal sekali ingin menghajar Rangga.

Wanita itu berjalan menuju ruangannya, ia mengawali pagi dengan mengecek beberapa berkas yang harus ditandatangani oleh Alastair. Setelah dirasa cukup, ia membawanya ke ruangan Alastair. Ruangan yang menjadi momok untuknya.

"Selamat pagi, Pak. Saya membawa berkas-berkas yang harus Bapak tandatangani," ucapnya lirih sembari berjalan mendekat ke meja kerja.

"Taruh saja di meja."

Aldara menurut, ia memundurkan langkah setelah menaruh map berisi berkas itu di atas meja.

Alastair yang melihat sekretarisnya terus menunduk langsung bangkit dan mendekat, wajahnya masih dingin meskipun melihat tubuh Aldara sedikit bergetar saat didekati olehnya.

"Kenapa?" tanyanya seraya merangkul pinggang ramping Aldara dan menariknya hingga tubuh ramping itu menabrak dadanya.

"Ti-Tidak kenapa-napa, Pak," sahut Aldara yang terus menunduk, tanpa melihat ke wajah Alastair.

Mata elang itu memicing menatap mangsanya yang terlihat ketakutan, tangannya bergerak menarik dagu runcing itu agar wajah cantiknya terangkat. Detik berikutnya ia mulai menyapa bibir ranum tipis yang mulai membuatnya kecanduan.

Aldara berusaha menutup mulut dengan rapat saat lidah hangat Alastair hendak mendesak masuk, gigitan kecil membuat bibirnya kebas, tetapi Aldara tetap kukuh menjaga agar Alastair tidak semakin masuk.

Pria itu geram, ia menjauhkan wajahnya dengan napas terengah-engah. Ditatapnya wajah cantik yang kembali menunduk itu, sembari sebelah tangannya mulai bergerilya meremas dua gundukan sintal yang sontak membuat Aldara memejamkan mata.

"Kenapa? Nikmat?" bisik Alastair dengan seringai senyum yang menghiasi ujung bibirnya.

Aldara tidak menyahut, tanpa sadar air matanya kembali menetes lantaran menahan sakit hati ketika kembali dilecehkan oleh Bos nya. Tidak peduli perasaan Aldara, Alastair mulai melabuhkan kecupan pada leher jenjang itu. Sesekali ia akan menghisap dan membuat tanda merah di sana.

Alastair menjauhkan wajahnya saat leher jenjang itu sudah basah, ia kembali melihat Aldara yang masih meneteskan air mata, bahkan kini semakin deras. Pria itu mencebik, kemudian mendorong pelan tubuh ramping itu hingga membuat sang empunya hampir terjengkang ke belakang.

"Aku tidak nafsu melihatmu cengeng seperti ini. Hapus air matamu sekarang juga, atau namamu yang aku hapus dari daftar staf di perusahaan ini!"

Aldara langsung menghapus air matanya setelah mendengar teriakan yang membuatnya berjingkat kaget. Wanita itu menggigit bibir bagian bawahnya, menahan suara isak tangis agar tidak keluar.

"Kenapa? Kau memikirkan sesuatu? Atau, mungkin ... seseorang?" Alastair kembali mendekat sementara Aldara terus memundurkan langkah hingga punggungnya menghantam dinding.

Wanita itu menggeleng, kelopak matanya kembali terpejam saat Alastair semakin memajukan wajahnya.

"Jawab jujur! Apa kau sedang memikirkan pria lain?!"

Aldara kembali menggeleng, ia menahan napas saat aroma parfum maskulin terasa menusuk hidungnya.

"Jangan pikirkan apapun, karena yang harus kau pikirkan saat ini adalah bagaimana caranya memuaskanku!" Seringai senyum terlukis di ujung bibir pria itu.

Sebelah tangan Alastair menempel di dinding putih itu, mengunci pergerakan Aldara seraya tangan kanannya mulai membuka kancing blouse berwana putih yang dikenakan sekretarisnya. Telapak tangan kekar itu kembali memberikan remasan lembut pada gundukan sintal yang menjadi titik sensitif tubuh Aldara, sembari bibirnya mulai mengecup daun telinga wanita itu.

"Jangan menangis lagi, atau aku benar-benar akan memecat mu. Ini terakhir kalinya, Aldara. Jangan sampai terulang yang kedua kalinya. Aku tidak mau saat bersamaku, kau malah memikirkan pria lain."

Wanita itu tersentak, fokusnya terbelah pada Alastair yang terus menggigit kecil daun telinganya dan pertanyaan dari mana pria itu tahu kalau dirinya tengah memikirkan pria lain?

'Dari mana Pak Alastair tahu? Apa Ernest yang bercerita tentang Rangga?' batinnya bingung.

Comments (6)
goodnovel comment avatar
Dina0505
lah si Alastair sengaja mempermainkan perasaan Aldara. punya masalah apa ya mereka sebelumnya
goodnovel comment avatar
Da Chan
Bos-nya gualak betul
goodnovel comment avatar
Cindi82
ya ampun dihina sampai begitunya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status