Share

Menolak Alastair

Alastair menjauhkan wajahnya dari ceruk leher jenjang itu, kakinya melangkah mundur dan langsung membalik badan.

"Keluar saja kalau kau masih menangis, aku muak melihatmu!" desis pria itu.

Aldara hanya mampu mengangguk, detik berikutnya ia langsung keluar ruangan dan berjalan cepat menuju ruangannya. Air matanya langsung tumpah deras, cukup lama ia menangis sampai rasa sesaknya berangsur hilang.

"Aku tidak boleh menyerah, ini sudah keputusanku. Setidaknya aku harus mendapatkan banyak uang agar pengorbananku tidak sia-sia!" gumamnya seraya menarik napas panjang sembari jemarinya menghapus lelehan air mata.

Aldara menjalani hari-hari dengan berat, saat di rumah Ernest ia akan mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga untuk membalas jasa sepupunya. Sulit menemukan kos-kosan dengan harga cocok, beruntung Ernest berbaik hati mau menampungnya.

Saat di perusahaan ia diperlukan rendah oleh Bos nya, semua ia telan seorang diri tanpa siapapun tahu. Hanya air mata yang menguatkannya, juga rencana balas dendam untuk membuat hidup Rangga menderita.

Mantan suaminya itu terus mengirim pesan yang berisi ancaman agar ia segera mengurus perceraian, padahal Rangga bisa melakukannya sendiri, kenapa harus menunggu dirinya mengajukan ke pengadilan?

"Ah, Rangga memang tidak pernah modal. Bilang saja kalau tidak mau keluar biaya!" gerutunya pagi ini saat lagi-lagi menerima pesan itu.

Aldara menaruh ponselnya ke dalam laci, ia kembali fokus mengecek beberapa email masuk. Hingga suara deringan ponsel kembali membuatnya geram. Pagi ini pekerjaannya sangat banyak, tetapi Rangga terus merecokinya dengan desakan agar segera mengurus perceraian.

"Loh, kenapa Pak Alastair telepon?" gumamnya saat baru saja meraih ponsel dan mendapati nama Bos nya tertera pada layar pipih itu.

Ibu jarinya langsung menggeser ikon hijau. "Halo, Pak," ucapnya setelah menempelkan ponsel ke daun telinga.

"Aku ada pertemuan bisnis di hotel pagi ini, atur ulang semua jadwal rapatku!" titah Alastair di seberang telepon.

"Iya, Pak."

"Segera siap-siap, kau akan ikut denganku untuk menghadiri pertemuan itu."

"Hah? Sa-Saya, Pak?"

"Iya. Kalau bukan kau siapa lagi?! Ernest sedang sibuk. Kalau kau tidak ikut, siapa yang akan mengurus keperluanku nanti?!"

Jelas sekali wanita itu kesusahan menelan salivanya, ia tidak bisa berpikir positif kalau Alastair mengajaknya.

"Kau dengar atau tidak?!"

Aldara terhenyak kaget saat mendengar suara bariton itu berteriak kencang. "Iya, Pak, saya denger. Maaf, saya tadi masih mencatat apa saja yang harus dibawa," jelasnya.

Helaan napas kasar terdengar dari seberang telepon, detik itu juga Alastair mematikan sambungan teleponnya secara sepihak. Aldara hanya bisa pasrah sambil menjalankan perintah Bos nya tadi, meskipun hatinya berat sekali untuk ikut pertemuan nanti.

[Langsung ke parkiran khusus. Aku tunggu di sana.] Sebuah pesan dari Alastair langsung membuat Aldara beranjak.

Wanita itu sampai di parkiran khusus dan langsung masuk ke salah satu mobil mewah di sana, ia terkejut mendapati Alastair menyetir sendiri, tetapi setelahnya ia memilih untuk tidak peduli.

Perjalanan memakan waktu sepuluh menit. Keduanya turun bersamaan setelah mobil berhenti di parkiran hotel megah yang terletak di tengah Ibu Kota. Aldara mengikuti langkah Alastair masuk ke restoran yang ada di hotel itu, ternyata seorang pria paruh baya sudah menunggu mereka di ruangan private.

"Kau di luar saja, tidak usah ikut masuk. Aku tidak akan lama."

"Baik, Pak."

Alastair mencondongkan tubuhnya ke arah Aldara, kemudian membisikkan kata, "pesan satu kamar hotel untuk kita beristirahat. Kau akan menemaniku nanti."

Tubuh ramping itu menegang. Dugaannya memang tidak pernah salah, Alastair pasti memintanya untuk melayani.

Selama memesan kamar pikirannya berkecamuk mencari alasan agar bisa terhindar dari Bos nya, hingga beberapa menit kemudian Alastair sudah selesai menemui kliennya, hal itu jelas saja membuat Aldara semakin panik.

"Sudah pesan kamar 'kan?"

Aldara mengangguk kaku, ia bangkit dari sofa dan lantas memberikan kartu akses kepada Bos nya. Alastair menyeringai saat melihat Aldara memesan kamar paling atas.

"Ayo," ucapnya tanpa menoleh ke arah Aldara.

Wanita itu terus menunduk di sepanjang langkahnya menuju kamar, ia memikirkan bagaimana caranya agar Alastair tidak menyentuhnya. Hingga tanpa terasa keduanya sudah tiba di depan kamar hotel.

Kamar luas bernuansa putih ini dilengkapi dengan guci dan lukisan antik. Balkon luas yang langsung menyuguhkan pemandangan gedung-gedung tinggi membuat suasana semakin indah, Aldara tidak berbohong pemandangan dari atas sini memang sangat bagus. Namun, ia merasa semua itu tidak berguna saat tubuhnya akan kembali dilecehkan.

"Kau mandilah dulu, setelah itu ... baru menemaniku." Alastair melabuhkan kecupan basah pada ujung bibir sekretarisnya, sesekali akan memberikan gigitan kecil tanpa peduli wajah cantik itu memucat.

"Ma-Maaf, Pak. Sa-Saya sedang menstruasi, jadi untuk sekarang saya tidak bisa menemani Bapak," bisik Aldara dengan suara bergetar.

Pria itu sontak menjauhkan wajahnya, netra elangnya menukik tajam seakan tidak mempercayai ucapan Aldara barusan.

"Hari ini perut saya sakit, makannya badan saya gemetaran panas dingin." Masih dengan kepala menunduk, Aldara kembali membuka suaranya.

"Lalu apa gunanya aku mengajakmu ke sini?!" teriak Alastair yang membuat Aldara berjingkat kaget.

Wanita itu tidak dapat menyahut, ia memasang wajah kesakitan yang tanpa sadar menyentil rasa iba pria di hadapannya itu.

Alastair membuang napas kasar, tangannya terkepal dengan rahangnya menegas sempurna. Namun, ada perasaan tidak tega melihat wajah cantik itu semakin memucat.

"Aku keluar saja. Terserah kau mau melakukan apa di sini!" sentaknya dan langsung melenggang pergi tanpa menunggu jawaban Aldara.

Ia membanting pintu, membuat tubuh Aldara kembali terlonjak kaget untuk kesekian kalinya.

Tubuh ramping itu merosot ke lantai bersama air matanya yang langsung mengalir deras. Ia lega saat bebas dari jeratan nafsu Bos nya, tetapi entah apa yang terjadi setelah ini kalau pria itu marah besar.

Lelah menangisi takdirnya yang memilukan ini, ia beranjak menuju ranjang dan membaringkan diri di sana. Aldara bangun saat jam dinding menunjukkan pukul tujuh malam, netranya menyapu ke seluruh kamar dan tidak mendapati tanda-tanda Alastair kembali.

"Mungkin Pak Alastair masih di luar. Syukurlah dia tidak nekat menyentuhku," gumamnya.

Waktu terus berjalan, malam berganti pagi dan Aldara masih sendirian di kamar mewah itu. Ia keluar dari hotel dan memutuskan check out, mungkin Alastair sudah pulang lebih dulu karena tidak mendapatkan keinginannya kemarin, begitu pikir Aldara.

Setelah selesai, ia memilih duduk di sofa sembari menunggu taksi pesanannya sampai. Namun, tiba-tiba terdengar suara bariton yang langsung menarik atensinya.

"Oh, ternyata benar kamu?! Ngapain kamu pagi-pagi di hotel, Ra? Kamu baru saja melayani pria hidung belang?" Rangga berteriak kencang tanpa peduli semua mata memandang ke arahnya.

Aldara tidak menyahut, ia kembali fokus melihat ponsel dan memilih acuh meskipun Rangga berjalan mendekat ke arahnya.

"Jadi ini pekerjaan yang kamu maksud? Menjual diri untuk mendapatkan uang, iya?!" Tawa sumbang terdengar nyaring dari mulut pria itu. "Ck, menjijikkan!"

Semua mata memandang aneh ke arah Aldara, tetapi wanita itu masih diam tanpa berniat menjawab sepatah katapun.

"Ternyata benar keputusanku untuk menceraikanmu, kamu bukan wanita baik-baik. Kenapa harus memilih jalan seperti ini, Ra? Atau karena kamu mandul, sehingga tidak akan khawatir bakal hamil setelah berhubungan dengan banyak pria?"

"Jaga mulutmu, Rangga!" desis wanita itu, tidak terima saat sang mantan suami terus menghinanya.

"Nada bicaramu sudah kasar, tidak seperti Aldara yang ku kenal dulu," ucap pria itu dengan tatapan remeh.

"Kita sudah tidak ada hubungan apa-apa, jadi jangan ganggu hidupku lagi. Dulu aku masih menghormatimu sebagai suamiku, tapi jangan harap aku masih menyimpan rasa hormat itu untukmu! Aku tidak akan pernah mau menaruh hormat pada laki-laki tukang selingkuh!" Aldara menunjuk tepat di depan wajah Rangga, membuat pria itu semakin berang.

Tanpa Aldara tahu, sedari tadi sepasang mata elang tengah mengawasi interaksinya dengan Rangga. Ujung bibir itu terangkat, menyeringai dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Jadi, namanya Rangga?" gumam Alastair dengan kekehan lirih.

Alastair melangkah tegap dengan tangan kirinya di masukkan ke saku celana. Sampai di dekat Aldara ia langsung merangkul bahu sang wanita menggunakan tangan kanannya, mengecup lembut lembut pipi itu sembari melemparkan lirikan sinis ke arah Rangga.

"Ayo pulang. Jangan meladeni orang tidak penting, kamu hanya buang-buang tenaga saja," ujar Alastair.

Wanita itu mengernyit bingung mendapati perubahan sikap Bos nya, ia melihat senyum hangat terukir di bibir pria itu. Sangat manis, bahkan sampai membuat Rangga menggeram emosi saat melihatnya. Tanpa mengucapkan apapun, Aldara langsung berlalu pergi dari hadapan Rangga dengan tangan Alastair yang masih bertengger di bahunya.

Meninggalkan pria itu yang masih berdiri terpaku menatap punggung Aldara dan seorang pria yang belum ia ketahui namanya . Sorot matanya memancarkan amarah bercampur tanda tanya besar, penasaran sekaligus kesal saat Aldara digandeng pria lain.

'Sial! Siapa laki-laki itu?! Apa dia lebih kaya dariku, sehingga membuat Aldara dengan mudahnya mengacuhkanku?!' batinnya kesal.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Dina0505
rasain Lo Rangga Lo pikir Lo segalanya? sekarang Lo panaskan?
goodnovel comment avatar
Ida Darwati
makan tuh rangga,, smoga alastair sedikit prihatin sama aldara kaaihan dia dihina di sakiti oleh si rangga
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status