Share

Part 2. Masalah Awal

“Selamat siang, Nona Aurora.” Pijar berdiri dengan sikap siap di hadapan wanita cantik bergestur angkuh yang sekarang berdiri di hadapannya. Perintah Elang yang aneh untuk hari ini adalah dia yang harus menjemput kekasih pria itu di bandara. “Saya Pijar, sekretaris pribadi Pak Elang. Saya datang menjemput Anda.”

Tidak lupa, dia menyodorkan bunga lili yang dibawanya itu kepada Aurora dengan sopan. Alih-alih diterima, kekasih bosnya itu justru menatap sengit ke arah Pijar.

“Aku menyukai bunga mawar. Kamu tidak tahu itu?”

Pijar terkejut ketika mendengar ucapan Aurora. Dia yakin tidak salah dengar kalimat perintah yang diucapkan Elang sebelum dirinya berangkat ke bandara. Lelaki itu jelas-jelas mengatakan kalau dia harus membawa bunga lili untuk Aurora, bukan bunga mawar.

Menekan kekesalannya, Pijar menyadari sesuatu. ‘Sial! Dia mengerjaiku!’ Elang sengaja melakukannya agar dia mendapatkan masalah. Namun, tentu saja dia tidak bisa menyalahkan Elang di hadapan kekasihnya. Untuk itu, Pijar hanya bisa menyalahkan dirinya dan mencari alibi lain yang masuk akal.

“Maafkan saya, Nona. Tapi, saya sudah mendatangi beberapa toko bunga. Dan mereka kehabisan bunga mawar.”

“Aku tidak peduli.” Perempuan itu merebut bunga lili tersebut, lalu melemparkannya ke dalam tempat sampah yang berada tak jauh darinya. “Kamu sungguh tidak berguna!” tambahnya, sebelum dia dan manajernya meninggalkan Pijar.

Sesaat, Pijar terpaku. Dia tahu, Aurora merupakan sosok model papan atas yang meniti karier di luar negeri yang kabarnya kini menjadi teman dekat Elang. Hanya saja, dia begitu kesal. Bagaimana bisa lelaki angkuh itu mencari pasangan yang begitu mirip dirinya dalam segi keangkuhan?

Bahkan manajer perempuan itu tidak peduli dengan tindakan Aurora yang menyebalkan.

Sadar jika ada satu lagi pekerjaan yang harus dia lakukan, Pijar pun bergerak cepat. Dia memasuki sebuah coffee shop untuk mendapatkan dua Americano, untuk Aurora dan manajernya. Setelah itu, Pijar menyusul sang model yang tengah berdiri dengan wajah kesalnya.

“Kenapa kerjamu lambat sekali?” protes gadis itu ketika Pijar sudah berada di depannya. “Aku sudah menunggumu selama lima menit.” Jari-jari panjangnya itu melambai di depan Pijar untuk memberikan penegasan. “Kamu tidak tahu betapa berharganya lima menit itu buatku!”

“Maaf, Nona.” Pijar mengulurkan dua Americano ke arah Aurora dan berujar, “Bos bilang, Nona Aurora menyukai Americano. Saya–”

“Kamu ingin aku mati?” Ekspresi Aurora menggelap seketika. Tanpa berpikir dua kali, perempuan itu mengambil Americano dari tangan Pijar, kemudian melemparkan dua cup Americano itu ke dalam sampah. “Aku memiliki penyakit lambung yang akut!” Teriakan di depan wajah Pijar itu membuat Pijar mundur seketika. Terkejut luar biasa.

“T-tapi, saya–”

“Dan kamu bilang apa tadi? Elang yang menyuruhmu?” Aurora berdecih, kemudian menatap tajam Pijar dengan pandangan jijik. “Tunggu saja, kamu akan mendapatkan ganjarannya!”

**

“Sudah sepantasnya kamu memecat dia, Elang!”

Begitu sampai di ruang kerja Elang, Aurora–yang diikuti Pijar, segera mengadu kepada sang kekasih. Perempuan cantik itu murka ketika menatap Pijar. Sedangkan, reaksi yang ditunjukkan oleh Elang tampak begitu tenang.

Lelaki itu berdiri di samping Aurora dan mengelus pundak gadis itu, seraya menatap lurus pada Pijar yang tengah berdiri dengan kepala menunduk. “Apa yang terjadi?” tanyanya kepada Aurora. “Apa yang dia lakukan kepadamu?”

“Dia membawakanku bunga lili, bukan mawar!” ucap Aurora dengan bola mata memutar. “Dan kamu tahu yang lebih fatal lagi? Dia membawakanku Americano dan mengatakan kamu yang memintanya membawakan itu untukku. Bukankah dia ingin mengadu domba kita?”

Pijar mendengarkan dengan seksama. Namun kali ini dia menatap Elang dan Aurora dengan tatapan datar miliknya. Dia tahu sekarang jika lelaki itu ingin menunjukkan betapa bodoh Pijar di depan semua orang.

“Kamu bisa membalasnya.” Wajah Aurora yang tadinya penuh dengan tumpukan amarah itu kini tampak berbinar. “Aku juga ingin melihat bagaimana kamu bisa membalasnya.”

Senyum Aurora melebar. Wanita itu memeluk lengan Elang dengan mesra. “Kamu memang yang terbaik,” katanya dengan wajah puas, kemudian mendaratkan kecupan di pipi Elang.

Setelahnya, Aurora mendekat dan berdiri di depan Pijar. Wanita itu mengamati tampilan Pijar dari atas sampai bawah dan tersenyum mengejek.

“Itu yang pantas kamu dapatkan!” Bersamaan dengan itu, sebuah minuman kaleng berwarna hitam ditumpahkan ke tubuh Pijar.

Pijar merasakan tubuhnya membeku. Perasaan emosi yang dipendam seolah menyembul keluar. Dia menoleh ke arah Elang dengan menatap lelaki itu dingin. Elang tampak membisu menatap datar ke arah sekretaris pribadinya. Tidak ada pembelaan yang diberikan, atau justru dia tampak puas melihat pemandangan di depannya. Lelaki itu bahkan menunjukkan gestur angkuh dengan melipat kedua tangannya di depan dada, menikmati tontonan di depannya.

“Sudah puas, Nona?” Pijar berujar dengan lembut, berbanding dengan bibirnya yang menyeringai. “Kalau sudah, saya akan pergi untuk membersihkan pakaian saya.”

Gelegak kemarahan tampak nyata di mata Pijar. Tapi dia memiliki cara lain untuk membalasnya, suatu hari nanti.

“Siapa bilang kamu boleh pergi? Itu masih belum apa-apa.” Aurora ternyata belum puas membalasnya. Terlebih lagi, ketika melihat Pijar menanggapinya dengan dingin. “Berlutut, dan minta maaflah kepadaku.”

Pijar tidak bergerak. Dia menatap semakin tajam kepada Aurora alih-alih melakukan apa pun yang diinginkan perempuan itu. Berlutut katanya? Jangan harap!

“Kamu berani melototiku?!” Perempuan itu berteriak keras di depan Pijar.

“Permisi.”

Pijar berbalik tanpa merespon ucapan Aurora. Sayangnya, tangan Pijar dicekal oleh sang model sebelum wanita itu memberikan satu tamparan di pipi Pijar. Rasa panas yang menjalar itu terasa membuat kepala Pijar begitu pusing. Dia bahkan harus mengedipkan matanya berkali-kali untuk menghalau serbuan kegelapan di matanya.

“Aku sudah bilang. Berlutut dan meminta maaflah!” Aurora kembali berteriak tepat di depan wajah Pijar, membuat Pijar tidak bisa menahan lagi kesabarannya.

“Aku sudah menahannya sedari tadi, sialan!” gumam Pijar lirih, sebelum akhirnya membalas perempuan itu dengan menjambak rambut Aurora. Mencengkram erat rambut curly itu dengan sekuat tenaga.

“Aww! Apa yang kamu lakukan?!” Teriakan itu seketika memenuhi ruangan besar Elang. “Wanita gila! Argh, Elang….”

Elang yang tadinya hanya menonton itu pun segera mendekat untuk memisahkan Pijar dan Aurora. “Lepaskan Pijar, lepaskan!”

Laki-laki itu kemudian mendorong Pijar sampai gadis itu terhuyung ke belakang. Beruntung, Pijar bisa berpegangan pada sofa sehingga tidak terjerembab jatuh. Napasnya tersengal efek dari kemarahan yang menggelung hatinya.

“Apa yang kamu lakukan!” Elang memicing menatap Pijar usai menarik Aurora ke pelukannya. “Kamu benar-benar menunjukkan kelasmu yang bahkan lebih rendah dari pada hewan peliharaan!”

Mata Pijar memerah mendengar ucapan menyakitkan Elang. Namun, dia menahan mati-matian air matanya untuk tumpah di hadapan pria angkuh yang tengah menenangkan Aurora yang tengah menangis itu.

Pijar sadar, ucapan Elang tidak sepenuhnya salah. Dia dan Aurora memang gadis yang berbeda kelas. Namun, meskipun begitu, ucapan Elang benar-benar melukai harga dirinya begitu dalam.

Tidak ingin lebih lama memandangi bagaimana dua pasangan angkuh tersebut saling berpelukan, Pijar pun berdiri tegak dan menatap Elang dengan berani. “Kalau kamu ingin membalasku karena masa lalu, lakukanlah sendiri, Elang! Jangan menjadi pengecut!”

*** 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status