Share

Part 4. Angkat Tangan

“Kamu sudah benar-benar keterlaluan, Elang!”

Pijar marah, sebab ketika dia berhasil keluar dari bar, dia tidak menemukan mobil Elang yang tadi membawa mereka ke sini.

Lelaki itu benar-benar meninggalkannya di tempat yang belum pernah dia datangi, dan membiarkan Pijar terkurung bersama teman-temannya yang brengsek. Elang sungguh keterlaluan, sepertinya rasa iba sudah tidak ada lagi di dalam hatinya. Tertutup dengan kebencian yang memenuhi nalurinya. Pijar kemudian melihat jam di tangannya dan waktu masih pukul tujuh malam. Pijar pun berniat menuju suatu tempat di mana dia bisa mengakhiri semua masalah yang dihadapinya malam ini juga.

Menggunakan taksi, Pijar menghabiskan satu jam perjalanan untuk sampai ke tempat yang dulu pernah dia datangi. Pijar memantapkan niat sebelum akhirnya melangkah pasti ke dalam rumah mewah tersebut.

“Pijar?” Lelaki paruh baya yang menemuinya itu tampak terkejut. “Apa ada hal yang penting sampai kamu datang ke sini?” tanyanya dengan ekspresi penasaran.

Pijar tersenyum sopan. “Sebelumnya saya minta maaf, Pak. Tapi, saya tidak bisa menjadi sekretaris Pak Elang lagi.” Pijar bahkan tanpa basa-basi mengatakan tujuan kedatangannya.

“Apa yang terjadi? Kenapa tiba-tiba kamu menyerah?” Lelaki paruh baya itu segera bertanya kepada Pijar tentang keputusannya.

“Kalau Bapak berkenan, saya siap Bapak pindahkan menjadi sekretaris manajer. Tapi, izinkan saya untuk bisa mundur dari sekretaris Pak Elang.” Alih-alih menjawab pertanyaan ayah Elang, Pijar justru meneruskan ucapannya dengan ekspresi serius.

Tatapannya menyorot lurus pada lelaki paruh baya tersebut. Ada perasaan lelah yang terasa menggelayut di dalam hatinya. Padahal, sepanjang dia bekerja di bawah komando ayah Elang, tidak pernah sekalipun dia berpikir untuk mundur. Namun, kali ini tiba-tiba dia merasa takut. Takut jika sesuatu kelam di masa lalu kembali terjadi.

Pijar menunduk. Pikirannya berkecamuk. Kalau Elang tahu dia mendatangi sang ayah, lelaki itu pasti akan menertawakannya. Bagaimana tidak, ketika Elang memecatnya di pertemuan pertama, Pijar begitu yakin untuk tetap berada di sisi Elang sebagai sekretaris pribadinya. Toh saat itu, Elang juga sudah memeringatkannya, tetapi Pijar kukuh bertahan. Namun, kini … baru beberapa minggu sejak hari itu, dia telah menyerah.

“Tolong bertahanlah, Pijar,” pinta Gema membuyarkan lamuan Pijar, “kalian seumuran, kan? Kamu pasti tahu bagaimana menghadapi Elang.” Suara Gema itu membuat Pijar mendongak. “Itulah kenapa saya ingin kamu yang menjadi sekretarisnya dan berada di sisinya.”

Pijar ragu ketika menjawab. “Tapi, Pak. Ini sulit.”

“Tidak ada yang sulit. Saya yakin kamu lebih dari mampu menghadapi Elang. Saya percaya sama kamu.”

Pijar menatap Gema dengan tatapan sulit diartikan. Dia sebenarnya tidak paham kenapa Gema bersikeras untuk membuatnya ‘menemani’ putranya. Seperti ada sebuah hal yang disembunyikan.

Mungkinkah Gema tahu sesuatu tentang dirinya dan Elang di masa lalu? Atau ada kepentingan lain yang tengah mereka upayakan? Namun, Pijar sanksi. Sebab, dari segi mana pun dia tidak sepadan dan tidak penting untuk sampai diperhitungkan seperti ini.

Namun, karena segala tanya di pikirannya belum menemukan jawaban, akhirnya Pijar mengangguk.

“Baiklah, Pak. Saya akan tetap berada di posisi saya sekarang. Maaf kalau saya mengganggu istirahat Bapak dengan datang ke sini.” Setidaknya, ini adalah caranya untuk bisa membalas kebaikan Gema selama ini. Lelaki itu begitu baik kepadanya.  

“Tidak masalah.” Gema menggeleng. “Sebenarnya saya masih penasaran dengan masalah yang terjadi antara kamu dengan Elang. Barangkali … kamu berkenan untuk mengatakannya?”

“Maaf, Pak. Saya tidak bisa mengatakannya,” tolak Pijar dengan sopan. Jika dia memutuskan untuk bertahan, maka biarlah perlakukan buruk Elang itu menjadi rahasianya. “Kalau begitu, saya permisi pamit.”

***

“Apa yang kamu katakan kepada ayah saya?”

Pertanyaan itu keluar dari mulut Elang ketika Pijar baru saja masuk ke dalam ruangan lelaki itu. Tatapan tajam dan jijik itu lagi-lagi dilemparkan kepada Pijar. Kedua lengannya ditumpukan di lengan kursi, dengan gerstur tenang, tetapi menuntut sebuah jawaban.

“Saya tidak mengatakan apa pun.” Pijar menjawab sopan.

“Sifat pembohong memang tidak akan pernah hilang,” ucap Elang sinis.

“Saya mengatakan yang sebenarnya.” Pijar sudah memantapkan dirinya jika dia harus bisa lebih tegar lagi menghadapi manusia iblis seperti Elang. Lihatlah, bahkan lelaki itu sama sekali tidak meminta maaf kepadanya atas kejadian semalam.

“Kamu terlalu berani, Pijar Kemuning!” Elang menekan ucapannya saat mengatakan nama lengkap Pijar. “Jangan karena di belakangmu ada ayah saya, lantas kamu bersikap tidak tahu diri.”

“Kalau saya tidak tahu diri, lalu bagaimana dengan Bapak?” Pijar ingin meminta penjelasan kepada Elang atas perlakukan lelaki itu semalam. “Bapak meninggalkan saya dengan manusia-manusia hidung belang itu sendirian. Bapak berharap saya dilecehkan sehingga itu akan membuat Bapak bahagia?”

Bayangan kejadian semalam berkelebat di mata Pijar. Seandainya dia tidak bisa keluar dari ruangan itu, apa yang akan terjadi? Hanya dengan membayangkan saja, perasaan Pijar dipenuhi oleh rasa sakit.

“Bukankah kamu sudah biasa digilir? Kamu tidak mungkin puas dengan satu lelaki, ‘kan?” Elang menjawab santai. “Jadi jangan munafik kalau sebenarnya kamu juga menyukainya.”

“Saya bukan pelacur!” Pijar mengatakan itu dengan tegas. Matanya memerah karena amarah. “Bapak tidak bisa menilai saya seburuk itu.”

“Saya tahu siapa kamu!” ucap Elang tegas, “jadi jangan menyembunyikan kebusukanmu itu di belakangku.” Elang menegakkan tubuhnya. “Keluar! Kamu mengotori pemandanganku.” usirnya dengan dingin.

“Bapak hanya bisa menilai saya dari kacamata buram yang Bapak gunakan dan menganggap apa pun yang Bapak tahu di permukaan adalah kebenaran. Padahal, Bapak tidak tahu apa pun tentang saya!”

Setelah mengatakan itu, Pijar berbalik untuk pergi dari hadapan Elang dengan menutup pintu ruangan itu sedikit keras. Wanita itu tidak melihat bagaimana kata-katanya lagi-lagi mampu membuat Elang mengepalkan tangannya dan bahkan memukul meja kerja lelaki itu dengan kuat guna melampiaskan kekesalan.

“Pijar!” gumamnya begitu marah, “sungguh, kamu terlalu berani untuk menyerangku sekarang. Aku tidak akan membiarkanmu hidup bahagia.”

*** 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status