Share

Bab. 2

Author: yanticeudah
last update Last Updated: 2023-07-06 21:53:41

"Assalamu'alaikum,” aku mengucap salam ketika sudah sampai di depan pintu rumah.

“Wa'alaikumsalam,” terdengar suara ibu menjawab salam.

Rumah tua ini adalah rumah sederhana peninggalan ayah yang terletak di pinggiran kota ini.

Ibu membukakan pintu, kucium tangan ibu takzim.

“Udah pulang toh, Nduk?”

“Iya Bu, interviewnya sudah selesai, Nisa langsung pulang Bu.”

“Bagaimana interviewmu, apa kamu bisa menjawab semua, Nduk?”

“Alhamdulillah, bisa Bu berkat do'a dan restu Ibu, semoga bisa diterima kerja gajinya lumayan, bisa buat berobat Ibu dan untuk biaya hidup kita.” Kata ku berbinar.

“Amin,” sambut Ibu cepat.

“Maafin Ibu yo, Nduk, Ibu gak bisa bekerja lagi terpaksa kamu bekerja kesana kemari.”

“Ibu kok ngomong gitu, Ibu sudah lelah berjuang selama 20 tahunan, kini saatnya aku yang berbakti kepada ibu,” ucapku sambil memeluk Ibu.

“Yo wis ... ndang kamu makan dulu Nis, udah siang Ibu masak makanan kesukaanmu orek-orek tempe.” Ibu melepaskan pelukanku.

“Asiiikk ... yuk Bu kita makan bareng, Nisa udah lapar.” Sambil memegang perutku, aku menggandeng ibu menuju dapur kami makan bersama di meja makan yang terbuat dari kayu sederhana.

Aku hanya tinggal berdua bersama ibu, ayah sudah lama meninggal ketika aku berumur dua tahun, ayah meninggal karena kecelakaan di tempat kerja, beliau jatuh dari ketinggian ketika sedang memasang batu bata.

Nyawa ayah tak tertolong, sejak saat itu ibu lah yang berjuang sendiri untuk mencari nafkah dan menyekolahkanku.

Setelah SMP aku mulai bekerja, membantu ibu menitip keripik dan kacang goreng di warung-warung, hasilnya lumayan juga buat tambahan uang jajan dan belanja sehari-hari.

Aku mendapatkan beasiswa ketika kuliah S1, sehingga ketika akan melanjutkan kuliah S2 aku juga mencari beasiswa juga agar ibu tak kesusahan mencari biaya kuliah yang tidak sedikit.

Alhamdulillah aku lulus S1 dengan nilai cumlaude dan dan bisa kuliah S2 yang membuat orang yang melahirkanku bangga.

Ibu sudah mulai sakit-sakitan ketika aku kuliah sampai sekarang, untuk menghidupiku ibu berjualan kue basah keliling kampung pinggiran kota ini, karena terlalu memaksakan diri bekerja ibu tak memikirkan kesehatannya sehingga ibu terkena penyakit lambung akut.

Jika lambungnya kumat, tubuh ibu langsung lemas tak berdaya tak ayal ibu dilarikan ke rumah sakit.

Setelah selesai shalat isya, aku dan Ibu duduk di beranda rumah, berbincang santai sambil menikmati udara malam yang lumayan sejuk.

“Nisa ... usiamu sudah dewasa, S2mu juga sudah selesai Ibu sudah semakin tua ada baiknya kamu memikirkan masa depan mu.”

Ibu berhenti sejenak aku mendengar kan Ibu dengan seksama.

“Menikahlah dengan pilihanmu, sudah saatnya kamu menghakhiri masa lajangmu,” Ibu melanjutkan.

Aku terdiam, tak mampu berkata-kata jawaban tepat apa yang akan ku berikan kepada Ibu.

“Iya Bu, ibu tenang saja jodoh gak akan kemana nanti juga datang sendiri,” ucapku sambil tertawa kecil.

“Kamu ya Nis, jawabannya selalu itu kalau sudah disuruh menikah.”

“Jadi harus gimana Bu, ya sudah nanti Nisa bawakan menantu ibu yang Sholeh dan baik yang sayang sama ibu juga,” hiburku Ibu tertawa mendengar ucapanku.

Yang penting ibu sehat dulu, biarlah aku berbakti kepada ibu, jika sudah menikah nanti belum tentu bisa mengurus ibu seperti ini.

“Eh Bu Sum lagi santai ya ...” Tiba-tiba tetangga samping rumahku muncul.

“Iya nih Bu Romlah, lagi cari angin malam panas banget di dalam,” ucap Ibu tetap ramah.

“Eh ada Nisa juga, kapan nikah elu Nis? Umur semakin tua lho nanti kitanya udah tua, anak masih kecil-kecil,” ucap Bu Romlah yang memang terkenal suka julid.

“Jodoh di tangan Allah Bu Romlah, jika sudah saatnya datang juga.”

“Gimana mau ada jodoh, pacaran aja kagak pernah, pakek baju yang modis dikit dong jangan baju kayak spanduk partai gitu makanya enggak ada yang mau.”

Sabar ...sabar ucapku dalam hati.

“Bu Romlah ... jodoh, maut dan pertemuan semua Allah yang atur, yang gak pacaran juga ada jodohnya Bu, pacaran itu tidak ada di dalam Islam, Allah menciptakan makhluk hidup berpasang-pasangan, itu janji Allah lho Bu Romlah,” ucapku tenang.

“Alaaahh...buktinya sampe sekarang elu belum ada jodohnya.”

“Lihat tu anak gue Tuti dapat orang kaya, udah hidup enak dia sekarang gak usah kerja lagi,”ujar Bu Romlah.

“Alhamdulillah Bu, ikut seneng dengarnya, Tuti cepat dapat jodohnya dikasih Allah Bu,” ucapku lagi.

“Yo uwes yo, Bu Romlah kami mau masuk dulu, mau istirahat,” Ibu segera menengahi supaya tidak panjang.

“Oo ya sudah, saya juga mau pulang,” ucap Bu Romlah sambil berlalu.

“Nduk, jangan dengerin Bu Romlah ya, gak usah di masukkan ke hati, dia memang begitu orangnya,” ucap ibu setelah kami masuk ke dalam.

“Iya Bu santai aja, Nisa tidak berkecil hati dibilang begitu, pasti akan indah pada waktunya kok,” sahutku sambil tersenyum ke arah ibu.

“Kamu itu sangat cantik Nis, gak usah malu berpenampilan begitu, gak usah jadi gak Pede karena ucapan Bu Romlah tadi yo.”

Dulu teman- teman ku sering memujiku mereka mengatakan bahwa aku cantik, tapi tak membuatku menjadi sombong, bahkan banyak kakak tingkatku yang menitip salam kepadaku waktu kuliah dulu, tapi kuabaikan, dalam kamusku tak akan pacaran jika belum menikah, semoga Allah menjagaku sampai saat itu tiba.

Ada juga yang mengajakku menikah tapi ku tolak, aku ingin membahagiakan ibu dulu dengan gajiku, dan ingin mengurus ibu  dulu sebelum aku menikah.

Aku mempunyai kulit kuning langsat seperti ibu, tubuhku tinggi semampai, alis tebal, hidungku bangir seperti hidung ayah kata ibu, ada lesung pipi, di pipiku sebelah kanan.

Wajahku cukup menjual untuk kriteria seorang model, cantik alami, itu kata teman-temanku. Bahkan salah satu teman menawarkan untuk menjadi model busana muslim di butik orang tuanya.

Tapi aku tak mau menjual kecantikanku apa lagi auratku hanya demi uang, aku nyaman dengan pakaian seperti ini.

Para hidung belang tak pernah berani menggodaku jika aku sedang berada ditempat umum, biarlahku jaga untuk diberikan kepada kekasih halalku nanti.

Suatu saat Allah pasti mempertemukanku dengannya, entah siapa, semoga suatu saat Allah mempertemukanku dengan orang yang mencintaiku karena Allah.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sekretarisku Jilbaber    Bab 214

    Esok harinya kami mengadakan resepsi di sebuah gedung, resepsi hanya dilakukan sekali saja, aku tak terlalu suka yang ribet-ribet jadinya cukup satu kali undangannya dari kedua belah pihak. Pihak Zahra mengatakan tak mampu membuat acara di rumahnya lagian membuang-buang uang saja, jadi kamu memutuskan melakukan satu kali acara. Resepsi digelar meriah banyak sanak keluarga yang hadir, termasuk ibu Rania yang kemarin sudah berada di rumahku. Ia begitu bahagia melihat aku bersanding dengan Zahra, begitu juga Ayah dan Ibu ada keharuan di wajah mereka, melepas anak semata wayang mereka. Saat sedang berdiri di pelaminan, Dirga membisikkan sesuatu ke telingaku. "Ka, kamu tahu, kemarin polisi berhasil menangkap Clarissa, dalang yang menular kita dulu," bisiknya. "Oh ya?" Dirga mengangguk. "Dia pulang ke Indonesia, entah dari mana informasi yang polisi dapatkan, akhirnya dia tertangkap juga," ucap Dirga. "Alhamdulillah, biarkan dia mendapatkan hukuman atas apa yang dia lakukan,"

  • Sekretarisku Jilbaber    Bab 213

    Kabar hubunganku dengan Zahra tersebar ke seluruh kantor, mereka tak menyangka akhirnya aku dan Zahra bisa berjodoh, mereka langsung mencari tahu pada Dirga dan juga Zahra. Tak butuh waktu lama akhirnya Zahra menerima perjodohan ini dan aku akan melamar Zahra dalam waktu dekat ini.Bisik-bisik di kantor pun mulai terdengar, mereka tak menyangka jika akhirnya aku memilih Zahra yang sederhana. Tak sengaja aku mendengar percakapan karyawanku yang sedang berdiri di dekat depan kantorku."Aku nggak nyangka lho, kok bisa Pak Raka jatuh cinta sama Zahra yang hidupnya sederhana dan juga gayanya biasa saja." Terdengar suara seorang karyawan perempuan yang sepertinya kurang suka dengan aku memilih Zahra."Iya, aku juga heran, masak CEO seleranya cuma begitu, nggak berkelas banget nggak sih." Aku geram dan juga ingin marah dan melabrak mereka tapi saat aku hendak melangkah menghampiri mereka. "Kalian nggak boleh gitu, memandang orang lain dari luarnya saja, walaupun Zahra itu sederhana tapi di

  • Sekretarisku Jilbaber    Bab 212

    “Zahra?” gumamku sambil terus menatap gadis yang dari tadi menunduk kini malah melotot padaku. Matanya membeliak, seolah-olah hendak keluar dari kelopak matanya. Aku juga ikut membeliakkan mataku, tak kalah terkejutnya seperti yang Zahra rasakan. “Pak Raka?” ucap Zahra. Kulihat ibu dan yang lain menatap heran pada kami berdua, ternyata yang akan dijodohkan saling mengenal. Aku juga tak sempat bertanya pada ibu siapa nama wanita yang akan dijodohkan denganku. “Kalian saling kenal?” tanya Tante Sukma. Zahra mengangguk. Kemudian aku menjelaskan karena melihat raut wajah mereka yang bingung. “Zahra adalah karyawan aku di kantor, ia juga teman SMA-ku,” jawabku. “Berarti kalian sudah saling kenal dong,” ucap Tante Sukma. Aku mengangguk hampir bersamaan dengan Zahra. “Wah, wah, menarik ni, jadi ngapain dikenalin lagi ya kan Jeng Nisa, ternyata anaknya saling kenal, tinggal nanyak ke mereka saja, apa kalian cocok satu sama lain,” ucap Tante Sukma. “Benar Jeng, aku nggak nyangka t

  • Sekretarisku Jilbaber    Bab 211

    Malam ini aku masih tiduran di kamarku, sebenarnya malam ini aku dan ibu akan berkunjung ke rumah gadis yang akan dijodohkan oleh Ibu, gadis itu adalah anak dari temannya dari temennya ibuku, Tante Sukma. Tante Sukma adalah teman yang baru ibu temui di acara pengajian akhir-akhir ini, istilahnya teman baru. Aku benar-benar tidak bersemangat sedikit pun, menolak pun aku tak mungkin. Sore tadi Mama mengatakan padaku. Jika dia tidak percaya pada dengan pilihanku. “Tuh, contohnya si Briana kan nggak genah, malah kayak memaksakan diri untuk bersamamu, pokoknya kali ini kamu nurut sama Ibu,” ucap Ibu, sepertinya ucapan ibu tak bisa dibantah lagi. Tapi untuk mengganti bajuku saja enggan aku malah mengantuk. Tok! Tok! Pintu kamar di ketuk, itu pasti ibu, dia pasti menyuruhku ganti baju, padahal sudah dari tadi sore ibu mewanti-wantiku. Aku beranjak dari tidurku dengan malas dan membuka pintu kamarku. Wajah cantik ibu terlihat di depan pintu dengan jilbab lebarnya yang menjuntai. Ibu menili

  • Sekretarisku Jilbaber    Bab 210

    Aku berjalan keluar cafe tersebut berjalan dengan langkah gontai. Ternyata Zahra telah dijodohkan dengan orang lain. Apa aku harus menyerah begitu saja? Apa aku harus pasrah pada keadaan dan menerima Briana lagi? Aku tak lagi kembali ke kantor, karena aku tak sanggup untuk bertatap muka dengan Zahra. Ku putuskan untuk mengatakan semua ini pada ibu, ya pada ibuku. Aku segera memacu mobilku di jakanyang padat, aku ingin segera tiba di rumah dan bertemu dengan ibu. Tak beberapa lama aku bertemu dengan ibu dan ingin melepaskan semua bebanku ini. “Eh, eh, kok kusut gitu? Kenapa Nak?” Sapa Ibu dengan senyum hangatnya. Aku nafas dan menghempaskan bobot tubuhku di sofa tepat di samping Ibuku. “Ada apa ayo cerita,” ucap ibu penuh perhatian. Kemudian aku menceritakan soal Briana masa laluku yang telah kembali, ia ingin aku kembali padanya. “Maksud kamu Briana teman kuliah kamu itu?!” tanya ibu terkejut. Aku mengangguk lemah. “Udah, nggak usah. Ibu nggak akan setuju, kalau udah nggak norm

  • Sekretarisku Jilbaber    Bab 209

    "Dirga, biasa aja dong. Jangan begitu, aku kan cowok normal," ucapku dengan wajah kusut. Dirga tersenyum penuh arti padaku, membuat aku salah tingkah. "Sejak kapan kamu jatuh cinta pada Zahra?" tanya Dirga dengan tatapan tajam. "Nggak tahu, Ga. Entah sejak kapan, rasa itu tumbuh begitu saja di hatiku. Mungkin saat dia ikut wawancara di kantor ini, aku juga tak tahu," aku tergelak gugup. Dirga menatapku sambil tersenyum simpul. "Em, aku tahu saat itu. Sewaktu aku mau menyatakan cinta pada Zahra, raut wajahmu berubah, wajar tak menentu. Aku tahu sebenarnya kau sudah menaruh hati padanya, tapi kau tak mau mengakuinya." Aku tercenung sesaat, berpikir kembali perasaan yang terus kubendung selama ini. "Yah, padahal aku sudah berusaha menyembunyikan perasaan ini dan menjaga sikap agar tak seorang pun yang tahu jika aku sebenarnya menaruh hati pada Zahra." "Benar kan?" tanya Dirga. "Mungkin..." aku menjawab dengan ragu. Dirga tertawa. "Raka, Raka, kamu masih saja menyembunyikan perasaanmu,"

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status