Kupacu motor maticku dengan kecepatan tinggi, menuju salah satu perusahaan ternama di kotaku, jalanan macet membuatku kesulitan mengendarai motorku.
Hari ini aku di panggil interview kerja di salah satu perusahaan kontruksi yang cukup bonafit. Aku tak ingin keterlambatanku membuatku gagal dalam interview nanti.
Di jaman sekarang cukup sulit mendapatkan pekerjaan, entah berapa banyak lamaran yang sudah kukirimkan, tapi tak satupun lamaranku diterima.
Setelah beberapa bulan menunggu akhirnya dapat panggilan interview juga. Kulangkahkan kakiku masuk ke dalam gedung bertingkat tersebut, disana bertuliskan nama perusahaan PT. Jaya kontruksi.
Kuedarkan pandang ke seluruh ruangan, banyak karyawan dan karyawati yang kelihatan berjalan tergesa-gesa, mungkin mereka takut terlambat, pikirku.
Aku langsung menuju meja resepsionis, untuk menanyakan ruangan mana yang menerima Interview untuk jabatan sekretaris.
Sang resepsionis yang berpenampilan menarik dan make up yang cantik, memperhatikanku dari atas sampai ke ujung kaki. Aku merasa risih juga diperhatikan seperti itu.
“Mbak yakin? Bukannya interview OB mbak?” tanyanya merendahkan.
Karena penampilanku begini dia tak yakin kalau aku mendapatkan kesempatan untuk interview jabatan sekretaris.
“Iya saya yakin Mbak!” jawabku mantap.
“Mbak langsung ke lantai 4 aja, Mbak.”
“Terimakasih, Mbak!”
Gegas aku berlari ke arah pintu lift yang nyaris tertutup, untung ada seseorang yang menahan pintu lift agar tidak tertutup, seorang laki-laki berpakaian rapi bak eksekutif muda.
Setelah di dalam lift kuucapkan terimakasih kepadanya sembari menundukkan pandanganku. Hanya ada lima orang di dalam lift termasuk pria rapi bak eksekutif muda tadi.
Alhamdulillah, ternyata interviewnya belum dimulai, aku bergabung dengan yang lain di luar ruangan, menunggu giliran dipanggil.
Ada empat orang peserta yang lain semuanya berpenampilan menarik bak model, memakai blus putih pas dibadan dipadukan dengan rok pendek di atas lutut, high heels, dan make up yang elegan.
Mereka menatap remeh kepadaku sambil berbisik-bisik, aku tau mereka membicarakanku hingga salah satu dari mereka menegurku.
“Ikut interview juga, Mbak?”
“Iya Mbak,” sahutku singkat.
“gak salah tuh mbak, cocoknya mbak ke pengajian bukan melamar jadi sekretaris.”
Disambut gelak tawa oleh ketiga perempuan yang lain.
“Di persyaratan tidak dituliskan berpenampilan menarik, ya saya coba masukkan lamaran siapa tau diterima,” ucapku santai.
“Dimana-mana sekertaris itu cantik, seksi dan pintar, bukan kayak Mbak, itu baju atau karung,”yang lain Ikut menimpali, mereka tertawa terpingkal-pingkal. Aku diam saja tak mau menanggapi.
Memang penampilanku tidak mencerminkan sekertaris pada umumnya, tetapi apa salahnya mencoba, toh tak ada larangan juga.
Penampilanku sangatlah sederhana hanya memakai kemeja putih sampai ke lutut, rok lebar hitam dan jilbab lebar berwarna hitam bermotif abstrak yang menjuntai panjang, di padukan sepatu kets berwarna putih.
Tanpa make up apa pun, hanya pelembab bibir agar bibirku tak kering saat cuaca sedang panas.
Tak berselang lama salah seorang wanita di panggil ke dalam, aku menunggu harap-harap cemas sambil berzikir dalam hatiku.
Setelah mereka berempat selesai di interview semua tersenyum mengejekku.
“Good luck ya, Mbak ...”
“Semoga berhasil ...!” Diikuti cekikikan ke empatnya.
Kini tiba giliranku, aku masuk ke ruangan interview, mereka mempersilahkan aku duduk di kursi yang sudah disediakan. Kulihat sekeliling ruangan, ada kamera yang terpasang mengarah kepadaku.
Ada tiga orang laki-laki, mereka berumur sekitar 40 tahunan, dan satu orang perempuan yang berpenampilan menarik berusia sekitar 30 tahun, mereka yang akan memberikan tes dan pertanyaan kepadaku.
Mereka mulai membaca CVku, sambil sekali-sekali menatapku. Aku duduk dengan tenang.
“Silahkan perkenalkan diri anda,” ucap salah seorang dari mereka.
“Selamat pagi, nama saya Annisa Nur Cahya, saya ber umur 25 tahun lulusan S2 magister manajemen di Universitas Negri Dewantara, Saya pernah menjadi Asisten Dosen selama dua tahun sambil kuliah, dan saya pernah bekerja sebagai operator di kampus swasta selama kurang lebih dua tahun."
Awalnya mereka memberikan pertanyaan dasar, mengapa memilih perusahaan ini, apa tujuan ikut interview ini, apa yang kau berikan untuk memajukan perusahaan ini dan banyak lagi.
Semua kujawab dengan lancar dan lugas tanpa gugup sedikitpun.
Mereka juga bertanya tentang profil, visi dan misi perusahaan semua ku jawab dengan lancar karena aku sudah mempelajarinya terlebih dahulu.
Kemudian salah satu dari mereka menyuruhku untuk mengoperasikan komputer, mulai dari microsoft word, Exel, dan power point.
Alhamdulillah aku menguasai semuanya, yang aku herankan mengapa mereka tak menanyakan penampilanku. Jika mereka bertanya maka aku akan menjawab, ini adalah pakaian wanita yang diperintahkan oleh Tuhanku, semoga saja mereka tak mempermasalahkannya.
Yah ... beginilah penampilan sehari-hari, apa adanya dengan jilbab lebar yang menjuntai, sepatu kets lusuh yang setiap hariku kenakan, juga tas ransel yang isinya mukenah, Mushaf kecil, buku agenda, pulpen dan air mineral yang tak lupa kubawa kemana pun, juga ponsel keluaran lama yang masih kugunakan sampai sekarang.
“Baiklah Bu Annisa, interview anda selesai kami akan memilih salah satu yang akan menjadi sekretaris di perusahaan, nanti jika anda anda terpilih, kami akan menghubungi anda, terimakasih,” ucap wanita yang berpenampilan elegan tersebut.
“Terimakasih, saya permisi.”
Aku keluar ruangan interview dengan perasaan lega dan berharap aku diterima kerja dengan gaji sangat menjanjikan.
Semoga!
Kupacu kembali motor matic kesayanganku di jalan yang padat untuk kembali pulang ke rumah.
***
Esok harinya kami mengadakan resepsi di sebuah gedung, resepsi hanya dilakukan sekali saja, aku tak terlalu suka yang ribet-ribet jadinya cukup satu kali undangannya dari kedua belah pihak. Pihak Zahra mengatakan tak mampu membuat acara di rumahnya lagian membuang-buang uang saja, jadi kamu memutuskan melakukan satu kali acara. Resepsi digelar meriah banyak sanak keluarga yang hadir, termasuk ibu Rania yang kemarin sudah berada di rumahku. Ia begitu bahagia melihat aku bersanding dengan Zahra, begitu juga Ayah dan Ibu ada keharuan di wajah mereka, melepas anak semata wayang mereka. Saat sedang berdiri di pelaminan, Dirga membisikkan sesuatu ke telingaku. "Ka, kamu tahu, kemarin polisi berhasil menangkap Clarissa, dalang yang menular kita dulu," bisiknya. "Oh ya?" Dirga mengangguk. "Dia pulang ke Indonesia, entah dari mana informasi yang polisi dapatkan, akhirnya dia tertangkap juga," ucap Dirga. "Alhamdulillah, biarkan dia mendapatkan hukuman atas apa yang dia lakukan,"
Kabar hubunganku dengan Zahra tersebar ke seluruh kantor, mereka tak menyangka akhirnya aku dan Zahra bisa berjodoh, mereka langsung mencari tahu pada Dirga dan juga Zahra. Tak butuh waktu lama akhirnya Zahra menerima perjodohan ini dan aku akan melamar Zahra dalam waktu dekat ini.Bisik-bisik di kantor pun mulai terdengar, mereka tak menyangka jika akhirnya aku memilih Zahra yang sederhana. Tak sengaja aku mendengar percakapan karyawanku yang sedang berdiri di dekat depan kantorku."Aku nggak nyangka lho, kok bisa Pak Raka jatuh cinta sama Zahra yang hidupnya sederhana dan juga gayanya biasa saja." Terdengar suara seorang karyawan perempuan yang sepertinya kurang suka dengan aku memilih Zahra."Iya, aku juga heran, masak CEO seleranya cuma begitu, nggak berkelas banget nggak sih." Aku geram dan juga ingin marah dan melabrak mereka tapi saat aku hendak melangkah menghampiri mereka. "Kalian nggak boleh gitu, memandang orang lain dari luarnya saja, walaupun Zahra itu sederhana tapi di
“Zahra?” gumamku sambil terus menatap gadis yang dari tadi menunduk kini malah melotot padaku. Matanya membeliak, seolah-olah hendak keluar dari kelopak matanya. Aku juga ikut membeliakkan mataku, tak kalah terkejutnya seperti yang Zahra rasakan. “Pak Raka?” ucap Zahra. Kulihat ibu dan yang lain menatap heran pada kami berdua, ternyata yang akan dijodohkan saling mengenal. Aku juga tak sempat bertanya pada ibu siapa nama wanita yang akan dijodohkan denganku. “Kalian saling kenal?” tanya Tante Sukma. Zahra mengangguk. Kemudian aku menjelaskan karena melihat raut wajah mereka yang bingung. “Zahra adalah karyawan aku di kantor, ia juga teman SMA-ku,” jawabku. “Berarti kalian sudah saling kenal dong,” ucap Tante Sukma. Aku mengangguk hampir bersamaan dengan Zahra. “Wah, wah, menarik ni, jadi ngapain dikenalin lagi ya kan Jeng Nisa, ternyata anaknya saling kenal, tinggal nanyak ke mereka saja, apa kalian cocok satu sama lain,” ucap Tante Sukma. “Benar Jeng, aku nggak nyangka t
Malam ini aku masih tiduran di kamarku, sebenarnya malam ini aku dan ibu akan berkunjung ke rumah gadis yang akan dijodohkan oleh Ibu, gadis itu adalah anak dari temannya dari temennya ibuku, Tante Sukma. Tante Sukma adalah teman yang baru ibu temui di acara pengajian akhir-akhir ini, istilahnya teman baru. Aku benar-benar tidak bersemangat sedikit pun, menolak pun aku tak mungkin. Sore tadi Mama mengatakan padaku. Jika dia tidak percaya pada dengan pilihanku. “Tuh, contohnya si Briana kan nggak genah, malah kayak memaksakan diri untuk bersamamu, pokoknya kali ini kamu nurut sama Ibu,” ucap Ibu, sepertinya ucapan ibu tak bisa dibantah lagi. Tapi untuk mengganti bajuku saja enggan aku malah mengantuk. Tok! Tok! Pintu kamar di ketuk, itu pasti ibu, dia pasti menyuruhku ganti baju, padahal sudah dari tadi sore ibu mewanti-wantiku. Aku beranjak dari tidurku dengan malas dan membuka pintu kamarku. Wajah cantik ibu terlihat di depan pintu dengan jilbab lebarnya yang menjuntai. Ibu menili
Aku berjalan keluar cafe tersebut berjalan dengan langkah gontai. Ternyata Zahra telah dijodohkan dengan orang lain. Apa aku harus menyerah begitu saja? Apa aku harus pasrah pada keadaan dan menerima Briana lagi? Aku tak lagi kembali ke kantor, karena aku tak sanggup untuk bertatap muka dengan Zahra. Ku putuskan untuk mengatakan semua ini pada ibu, ya pada ibuku. Aku segera memacu mobilku di jakanyang padat, aku ingin segera tiba di rumah dan bertemu dengan ibu. Tak beberapa lama aku bertemu dengan ibu dan ingin melepaskan semua bebanku ini. “Eh, eh, kok kusut gitu? Kenapa Nak?” Sapa Ibu dengan senyum hangatnya. Aku nafas dan menghempaskan bobot tubuhku di sofa tepat di samping Ibuku. “Ada apa ayo cerita,” ucap ibu penuh perhatian. Kemudian aku menceritakan soal Briana masa laluku yang telah kembali, ia ingin aku kembali padanya. “Maksud kamu Briana teman kuliah kamu itu?!” tanya ibu terkejut. Aku mengangguk lemah. “Udah, nggak usah. Ibu nggak akan setuju, kalau udah nggak norm
"Dirga, biasa aja dong. Jangan begitu, aku kan cowok normal," ucapku dengan wajah kusut. Dirga tersenyum penuh arti padaku, membuat aku salah tingkah. "Sejak kapan kamu jatuh cinta pada Zahra?" tanya Dirga dengan tatapan tajam. "Nggak tahu, Ga. Entah sejak kapan, rasa itu tumbuh begitu saja di hatiku. Mungkin saat dia ikut wawancara di kantor ini, aku juga tak tahu," aku tergelak gugup. Dirga menatapku sambil tersenyum simpul. "Em, aku tahu saat itu. Sewaktu aku mau menyatakan cinta pada Zahra, raut wajahmu berubah, wajar tak menentu. Aku tahu sebenarnya kau sudah menaruh hati padanya, tapi kau tak mau mengakuinya." Aku tercenung sesaat, berpikir kembali perasaan yang terus kubendung selama ini. "Yah, padahal aku sudah berusaha menyembunyikan perasaan ini dan menjaga sikap agar tak seorang pun yang tahu jika aku sebenarnya menaruh hati pada Zahra." "Benar kan?" tanya Dirga. "Mungkin..." aku menjawab dengan ragu. Dirga tertawa. "Raka, Raka, kamu masih saja menyembunyikan perasaanmu,"