Share

Bab. 3

Author: yanticeudah
last update Last Updated: 2023-07-06 21:57:40

Suara adzan shubuh berkumandang aku segera bangun untuk menunaikan panggilan Rabb-ku.

Kulihat disamping ibu sudah bangun dari tadi. Ahhh ibu tak pernah kesiangan bangun pagi, ibu benar-benar wanita tangguh yang hebat, jika ia sehat selalu bangun cepat untuk menyediakan sarapan ala kadarnya.

Jika dulu masih berjualan ibu akan bangun jam 03:00 WIB, jika orang lain masih tidur ibu sudah sibuk di dapur, membuat adonan kue untuk dijajakan dari rumah ke rumah.

“Lho, Nduk Ibu pikir belum bangun, baru aja Ibu mau membangunkanmu.”

“Sudah Bu, Nisa udah bangun pas dengar suara adzan tadi.”

“Yo wes ibu shalat duluan yo.” Kujawab pertanyaan ibu dengan anggukan.

Sebelum shalat shubuh, aku shalat sunat qabliyah shubuh dulu kemudian shalat shubuh dilanjutkan membaca alma’surat ( zikir pagi sore) yang setiap hariku amalkan.

Setelah itu kuhadiahkan surah yasin untuk ayah, semoga bisa menjadi penolong, penerang dan penyejuk di alam barzah sana.

Beberapa hari yang lalu aku masih bekerja di salah satu kampus swasta sebagai operator, dengan gaji yang tidak begitu tinggi.

Tapi sekarang sudah resign karena gajinya tidak sesuai dengan pekerjaan yang sangat berat dan tanggung jawab yang sangat besar.

Jadi, sementara menunggu panggilan kerja aku menitipkan beraneka kue basah dan keripik di warung-warung terdekat untuk menutupi kebutuhan sehari-hari.

Dan untungnya aku masih punya tabungan untuk beberapa bulan ke depan, motor matic bekas yang selalu menemani sejak kuliah S2 juga kudapatkan dari menabung sedikit demi sedikit.

Dari kecil aku terbiasa membantu ibu membuat kue hingga sekarang sehingga aku mahir membuat berbagai aneka kue.

Pagi ini aku menitipkan dagangan ke warung Teh Diah. Ada bakwan, risole dan kue lapis yang sudah kubuat dari semalam.

Karena warung Teh Diah tak terlalu jauh dari rumah, aku berjalan kaki ke warung Teh Diah sambil menenteng tiga box yang berisi kue.

Gang-gang sempit di tempatku tinggal sudah ramai dilewati warga, warung Teh Diah tidak terlalu ramai, ada beberapa ibu-ibu yang belanja keperluan dapur.

Sesampainya di warung Teh Diah kuserahkan ketiga box yang berisi kue kepadanya.

“Satu kotak nya isi 25 ya, Teh.”

“Dikit-dikit amat bikinnya, Neng, kue nya laris lho, Neng Nisa.”

“Iya, Teh nanti biar Nisa tambah beberapa macam lagi, Nisa coba dulu takutnya enggak laku.”

“Kue-kue kamu mah enak Nisa, gak dikurang-kurangi bahannya, rasanya mah sama kayak ibu kamu yang buat,” puji Teh Diah dengan logat Sunda nya.

“E eh ... Nisa belanja ya?” sapa Bu Romlah basa basi.

“Bukan Bu Romlah, Nisa nitipin kue ke warung Teh Diah.”

“Elu kan lulusan S2 Nis, kalau kerja nya cuma nitipin kue doang, yang lulusan SD juga bisa Nis,”ucap Bu Romlah.

“Iya Bu Romlah, ni Nisa juga lagi cari-cari kerjaan, ya gak ada salahnya juga Nisa nitipin kue.”

“Gengsi dong sama gelar gak sesuai, makanya nikah biar suami yang membiayai kehidupan elu, kayak Tuti noooh ...” Bu Romlah semakin julid saja.

“Kalau soal bekerja gak boleh gengsian atuh Bu Romlah yang penting halal," Ibu-ibu yang lain ikut mengiyakan ucapan Teh Diah.

“Ya sudah Teh, Nisa pamit dulu, mari ibu-ibu."

Aku segera pulang sebelum Bu Romlah semakin menyerangku di depan ibu-ibu yang lain.

Kehidupan yang keras membuatku menjadi tegar dalam menghadapi hal-hal seperti itu.

Kulihat Ibu sedang menungguku untuk sarapan bersama, aku duduk di samping lbu, lbu membuat kan nasi goreng dengan lauk telur ceplok ditemani teh manis.

“Ini sudah satu minggu setelah wawancara, apa belum ada panggilan kerja Nduk dari tempat kamu melamar pekerjaan itu,” Ibu membuka percakapan.

“Astaghfirullahal a’dzim ... Nisa lupa, gak pernah cek email Nisa Bu, lagian selama ini Nisa tak pernah membuka laptop,” ucapku sambil menepuk jidat.

“Untung ibu ingatkan Nis, siapa tau itu rejeki kamu."

“Amin ... nanti setelah sarapan Nisa cek, Bu.”

Setelah sarapan, kusempatkan untuk shalat dhuha sebelum melihat email, tak lupa kuhadiahkan surah Al Fatihah untuk almarhum ayah.

Segera kubuka laptop, berharap ada email masuk dari salah satu perusahaan yang kukirimkan surat lamaran.

Bismillah ... ada kotak masuk yang belum kubaca, langsung kubuka dan ...

“Ya Allah, Alhamdulillah wa syukurillah aku diterima kerja."

“Ibu! Ibu! Ibu!”

“Ada apa to, Nduk bikin kaget ibu aja,” Ibu tergopoh-gopoh menghampiriku.

“Ibu aku diterima kerja Bu, aku diterima kerja,” ucapku girang sambil memeluk Ibu.

“Alhamdulillah, ya Allah engkau mengabulkan do'aku,” Ibu mengucapkan syukur netranya mengembun.

“Alhamdulillah Bu, makasih do’anya, tanpa restu darimu apalah arti hidup ini Bu." Sekali lagi aku memeluk ibu.

“Yo wes segera balas emailnya dulu.”

“iya, iya Bu ... ”

Aku segera kembali ke laptop, ku baca sekali lagi email yang dikirim kan oleh PT. Jaya Konstruksi tersebut, serasa tak percaya aku di panggil bekerja untuk jabatan sekretaris.

Sekretaris pakai jilbab lebar? aneh memang syar’i pula, kenapa mereka tak memilih salah satu dari keempat perempuan yang modis dan menarik itu?

Aaahh berpikir positif saja, mungkin pemimpin perusahaannya punya istri yang cemburuan atau posesif, mungkin juga CEOnya shaleh atau bisa jadi CEOnya sudah tua, entahlah yang penting aku diterima dulu, mungkin ini rezekiku dan ibu.

Segera aku mengkonfirmasi email tersebut, untuk menandatangani kontrak di bagian HRD hari senin nanti.

Hari ini sabtu, minggu, Senin, wah ... lusa, untung saja ibu segera mengingatkan kalau saja tidak mungkin bisa batal mendapatkan pekerjaan, mana dapatnya susah lagi.

Pagi ini aku bangun pagi sekali, bukan untuk membuat kue tapi hari ini aku akan menandatangani kontrak kerja sebagai sekretaris.

Setelah shalat shubuh aku membantu ibu di dapur membuat sarapan.

“Cah Ayu ... Ibu semangat sekali hari ini,” kata Ibu menoleh ke arahku yang baru muncul ke dapur.

“Iya ni Bu, kok Nisa jadi deg-degan ya, perusahaan nya besar lo Bu semoga bosnya baik, kok Nisa jadi takut sendiri.”

“Tenang to Nduk, ini kan baru penandatanganan kontrak belum bekerja, serahkan semua pada Allah, insyaallah anak Ibu bisa.”

“Makasih Ibu kusayang, Ibu bisa aja bikin hatiku tenang.” Kucium pipi ibu seperti balita yang baru diberikan mainan oleh ibunya.

Aku memang sangat dekat dengan ibu, dari kecil hanya ibu yang aku punya, apa pun kuceritakan kepadanya.

Kulirik jam tangan pukul 06:35 WIB semoga saja tidak terkena macet.

Setelah Salim pada Ibu dan mengucap salam, bismillah ... aku berangkat ke kantor, ciee rupanya aku sudah punya kantor.

Kusalip mobil yang berjalan agak lambat, agar tiba di kantor lebih cepat.

Setibanya di kantor langsung menuju resepsionis dahulu, karena aku tidak tau dimana letak ruang Human Resource Departemen (HRD), kulirik bet nama respsionis cantik itu.

“Pagi Mbak Lisa,” sapaku ramah.

“Pagi ada yang bisa kami bantu?”

“Ruang HRD dimana ya, Mbak?”

“Oh mbak OB baru yang kemarin itu ya? Selamat ya diterima kerja disini,” ucapnya memberi selamat.

“Iya Mbak,” dari pada panjang mending di diiyakan saja, toh, OB juga pekerjaan yang halal.

“Tuh kan bener OB, kemarin Mbak bilang interview sekretaris, mana mungkin kayak Mbak jadi sekretaris di perusahaan ini."

“Ehemm, Mbak Lisa jadi ruang HRDnya dimana?”

“Oh iya di lantai dua Mbak, terus Mbak belok ke kanan.”

“Terimakasih Mbak.”

“Kembali,” ucap resepsionis singkat.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (4)
goodnovel comment avatar
Darma Azis
semangat lanjut tour
goodnovel comment avatar
Tri Budi
ayo semangat nisa...
goodnovel comment avatar
Tri Budi
ayo semangat bisa...
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Sekretarisku Jilbaber    Bab 214

    Esok harinya kami mengadakan resepsi di sebuah gedung, resepsi hanya dilakukan sekali saja, aku tak terlalu suka yang ribet-ribet jadinya cukup satu kali undangannya dari kedua belah pihak. Pihak Zahra mengatakan tak mampu membuat acara di rumahnya lagian membuang-buang uang saja, jadi kamu memutuskan melakukan satu kali acara. Resepsi digelar meriah banyak sanak keluarga yang hadir, termasuk ibu Rania yang kemarin sudah berada di rumahku. Ia begitu bahagia melihat aku bersanding dengan Zahra, begitu juga Ayah dan Ibu ada keharuan di wajah mereka, melepas anak semata wayang mereka. Saat sedang berdiri di pelaminan, Dirga membisikkan sesuatu ke telingaku. "Ka, kamu tahu, kemarin polisi berhasil menangkap Clarissa, dalang yang menular kita dulu," bisiknya. "Oh ya?" Dirga mengangguk. "Dia pulang ke Indonesia, entah dari mana informasi yang polisi dapatkan, akhirnya dia tertangkap juga," ucap Dirga. "Alhamdulillah, biarkan dia mendapatkan hukuman atas apa yang dia lakukan,"

  • Sekretarisku Jilbaber    Bab 213

    Kabar hubunganku dengan Zahra tersebar ke seluruh kantor, mereka tak menyangka akhirnya aku dan Zahra bisa berjodoh, mereka langsung mencari tahu pada Dirga dan juga Zahra. Tak butuh waktu lama akhirnya Zahra menerima perjodohan ini dan aku akan melamar Zahra dalam waktu dekat ini.Bisik-bisik di kantor pun mulai terdengar, mereka tak menyangka jika akhirnya aku memilih Zahra yang sederhana. Tak sengaja aku mendengar percakapan karyawanku yang sedang berdiri di dekat depan kantorku."Aku nggak nyangka lho, kok bisa Pak Raka jatuh cinta sama Zahra yang hidupnya sederhana dan juga gayanya biasa saja." Terdengar suara seorang karyawan perempuan yang sepertinya kurang suka dengan aku memilih Zahra."Iya, aku juga heran, masak CEO seleranya cuma begitu, nggak berkelas banget nggak sih." Aku geram dan juga ingin marah dan melabrak mereka tapi saat aku hendak melangkah menghampiri mereka. "Kalian nggak boleh gitu, memandang orang lain dari luarnya saja, walaupun Zahra itu sederhana tapi di

  • Sekretarisku Jilbaber    Bab 212

    “Zahra?” gumamku sambil terus menatap gadis yang dari tadi menunduk kini malah melotot padaku. Matanya membeliak, seolah-olah hendak keluar dari kelopak matanya. Aku juga ikut membeliakkan mataku, tak kalah terkejutnya seperti yang Zahra rasakan. “Pak Raka?” ucap Zahra. Kulihat ibu dan yang lain menatap heran pada kami berdua, ternyata yang akan dijodohkan saling mengenal. Aku juga tak sempat bertanya pada ibu siapa nama wanita yang akan dijodohkan denganku. “Kalian saling kenal?” tanya Tante Sukma. Zahra mengangguk. Kemudian aku menjelaskan karena melihat raut wajah mereka yang bingung. “Zahra adalah karyawan aku di kantor, ia juga teman SMA-ku,” jawabku. “Berarti kalian sudah saling kenal dong,” ucap Tante Sukma. Aku mengangguk hampir bersamaan dengan Zahra. “Wah, wah, menarik ni, jadi ngapain dikenalin lagi ya kan Jeng Nisa, ternyata anaknya saling kenal, tinggal nanyak ke mereka saja, apa kalian cocok satu sama lain,” ucap Tante Sukma. “Benar Jeng, aku nggak nyangka t

  • Sekretarisku Jilbaber    Bab 211

    Malam ini aku masih tiduran di kamarku, sebenarnya malam ini aku dan ibu akan berkunjung ke rumah gadis yang akan dijodohkan oleh Ibu, gadis itu adalah anak dari temannya dari temennya ibuku, Tante Sukma. Tante Sukma adalah teman yang baru ibu temui di acara pengajian akhir-akhir ini, istilahnya teman baru. Aku benar-benar tidak bersemangat sedikit pun, menolak pun aku tak mungkin. Sore tadi Mama mengatakan padaku. Jika dia tidak percaya pada dengan pilihanku. “Tuh, contohnya si Briana kan nggak genah, malah kayak memaksakan diri untuk bersamamu, pokoknya kali ini kamu nurut sama Ibu,” ucap Ibu, sepertinya ucapan ibu tak bisa dibantah lagi. Tapi untuk mengganti bajuku saja enggan aku malah mengantuk. Tok! Tok! Pintu kamar di ketuk, itu pasti ibu, dia pasti menyuruhku ganti baju, padahal sudah dari tadi sore ibu mewanti-wantiku. Aku beranjak dari tidurku dengan malas dan membuka pintu kamarku. Wajah cantik ibu terlihat di depan pintu dengan jilbab lebarnya yang menjuntai. Ibu menili

  • Sekretarisku Jilbaber    Bab 210

    Aku berjalan keluar cafe tersebut berjalan dengan langkah gontai. Ternyata Zahra telah dijodohkan dengan orang lain. Apa aku harus menyerah begitu saja? Apa aku harus pasrah pada keadaan dan menerima Briana lagi? Aku tak lagi kembali ke kantor, karena aku tak sanggup untuk bertatap muka dengan Zahra. Ku putuskan untuk mengatakan semua ini pada ibu, ya pada ibuku. Aku segera memacu mobilku di jakanyang padat, aku ingin segera tiba di rumah dan bertemu dengan ibu. Tak beberapa lama aku bertemu dengan ibu dan ingin melepaskan semua bebanku ini. “Eh, eh, kok kusut gitu? Kenapa Nak?” Sapa Ibu dengan senyum hangatnya. Aku nafas dan menghempaskan bobot tubuhku di sofa tepat di samping Ibuku. “Ada apa ayo cerita,” ucap ibu penuh perhatian. Kemudian aku menceritakan soal Briana masa laluku yang telah kembali, ia ingin aku kembali padanya. “Maksud kamu Briana teman kuliah kamu itu?!” tanya ibu terkejut. Aku mengangguk lemah. “Udah, nggak usah. Ibu nggak akan setuju, kalau udah nggak norm

  • Sekretarisku Jilbaber    Bab 209

    "Dirga, biasa aja dong. Jangan begitu, aku kan cowok normal," ucapku dengan wajah kusut. Dirga tersenyum penuh arti padaku, membuat aku salah tingkah. "Sejak kapan kamu jatuh cinta pada Zahra?" tanya Dirga dengan tatapan tajam. "Nggak tahu, Ga. Entah sejak kapan, rasa itu tumbuh begitu saja di hatiku. Mungkin saat dia ikut wawancara di kantor ini, aku juga tak tahu," aku tergelak gugup. Dirga menatapku sambil tersenyum simpul. "Em, aku tahu saat itu. Sewaktu aku mau menyatakan cinta pada Zahra, raut wajahmu berubah, wajar tak menentu. Aku tahu sebenarnya kau sudah menaruh hati padanya, tapi kau tak mau mengakuinya." Aku tercenung sesaat, berpikir kembali perasaan yang terus kubendung selama ini. "Yah, padahal aku sudah berusaha menyembunyikan perasaan ini dan menjaga sikap agar tak seorang pun yang tahu jika aku sebenarnya menaruh hati pada Zahra." "Benar kan?" tanya Dirga. "Mungkin..." aku menjawab dengan ragu. Dirga tertawa. "Raka, Raka, kamu masih saja menyembunyikan perasaanmu,"

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status