Share

Bab.6

Author: yanticeudah
last update Last Updated: 2023-07-06 22:13:32

Alhamdulillah akhirnya aku sampai di rumah, setelah seharian bekerja lelah juga, ketika hendak turun dari motor Bu Romlah datang dan menghampiri.

“Annisa sore amat pulangnya? Dari mana aja sih?”

Sepertinya Bu Romlah sengaja menungguku pulang, ia penasaran sekali dengan hidupku, dulu ketika aku mulai kuliah saja dia mengejekku dan ibu.

“Orang miskin gak usah banyak gaya lu, Nis, pake mau kuliah segala, udah cukup makan aja syukur.”

Yah begitulah Bu Romlah, tapi aku tetap menghormatinya, karena dia lebih tua dariku anggap saja ucapanya sebagai motivasi supaya bisa hidup lebih baik lagi.

“Pulang kerja Bu Romlah, O ya, ada apa Bu kok sampe nyamperin Nisa ke rumah?”

“Kagak Nis, emang lu kerja dimana sih?" tanya Bu Romlah penasaran.

“Saya kerja di kantor Bu Romlah.”

“Em beneran lu kerja di kantor? Emang jabatan lu apa?”tanyanya lagi.

“Iya Bu, masa Nisa boong.”

“Jabatan nya apa? trus gajinya berapa?” Bu Romlah terus bertanya tentang jabatanku.

“Cuma sekretaris biasa, Bu, udah ya Bu Romlah Nisa mau masuk dulu hampir magrib,” aku segera mengakhiri percakapanku dengan Bu Romlah.

Sebelum dia berkomentar lagi, aku segera masuk ke dalam.

"Baru jadi sekretaris, udah belagu lu, Nis," kudengar sekilas Bu Romlah bersungut-sungut.

Ibu sudah menungguku dari tadi, segera kucium tangan ibu, aku tak mau menceritakan apa yang terjadi hari ini di kantor, takutnya ibu kepikiran sehingga lambungnya kumat.

Setelah istirahat sebentar kemudian aku mandi supaya tubuh dan pikiranku fresh kembali, dilanjutkan dengan shalat magrib menunaikan kewajiban yang pertama dihisab di akhirat nanti.

Esoknya aku ke kantor seperti biasa, huuuft kuhembuskan nafasku kuat, bismillah ... semoga hari ini berjalan dengan baik.

Setelah absen, aku segera naik ke lantai empat, kelihatannya Pak Damar belum datang.

Aku sedang menekuni laptopku dengan serius.

Tap ...

Tap ...

Tap...

Terdengar sepatu pantofel mahal melangkah berjalan ke arahku, segera kuangkat wajahku, untuk memastikan siapa yang datang, Aku langsung berdiri sebagaimana menyambut kedatangan atasan.

“Pagi Pak,”sapaku pagi ini, beliau langsung masuk ke dalam tanpa melihatku.

Lebih baik begini, mungkin dia juga menjaga pandangannya dari yang bukan mahram, mencoba berpikir positif saja.

“Nis ... aku mau nganterin hasil desain proyek bangunan ini ke Pak Damar,” lapor Angga kepadaku.

Angga adalah salah satu karyawan Drafter yang bertanggung jawab dalam penggambaran proyek yang akan dikerjakan dan yang sudah selesai dikerjakan.

“Ya udah masuk aja, Pak Damar di dalam kok,” jawabku santai.

“Telpon dulu, kira-kira dia sibuk gak.”

“Emang gak bisa berhenti bekerja sebentar gitu, untuk memeriksa laporan dari karyawannya,” protesku.

“Yah begitulah beliau, kalau sedang sibuk gak mau di ganggu, pernah salah satu karyawan harus menunggu sampai lama gara-gara pak Bos sibuk, kecuali kalau laporannya mendadak harus dikerjakan”

“Emm gitu ya, kejam amat.”

“Itulah gunanya sekretaris, menghubungkan antara Pak Bos yang kayak es batu dengan karyawanya,” ucapnya sambil tertawa.

“Emang kamu bener-bener gak tau kalo Pak Bos kita kayak gitu?”

“Enggak,” aku menggeleng.

“Ya udah telpon gih,” ucap Angga sembari menungguku menghubungi Pak Damar.

Tut ... Tut ... Tut ...

[Ya]

[Pak, Angga mau ketemu bapak, dari bagian Drafter, kira-kira Ba--]

[Suruh masuk aja!]

Telpon mati.

Haa? Aku melongo, segitunya belum juga selesai ngomong, langsung dipotong dan dimatikan.

“Pak Damar bilang masuk aja, Ngga.” Berarti Bos beginilah yang harus ku hadapi sehari-hari, sabar ya Nis.

Aku bergegas untuk turun ke bawah shalat Zuhur dan makan siang bersama Andina dan Cellin.

Setelah itu aku kembali lagi ke ruangan, apa pak Damar gak makan siang ya kok gak keluar-keluar? workaholic banget kelihatannya, mungkin saja delevery makanan pikirku, jaman sekarang kan sudah praktis.

Telepon berdering, kuangkat [Segera ke ruangan saya] Ya Rabb jika mendengar panggilan dari Pak Damar rasanya seperti akan maju ke medan perang saja.

Aku langsung masuk.“ada apa pak?”tanyaku.

“Tolong kamu buat laporan proyek yang sedang dikerjakan oleh Angga tadi, laporan pembangunan kepada Pemda setempat, Polres, dan Lurah”

“Baik Pak,”jawabku dan segera berbalik ke arah pintu keluar.

“Oh iya, untuk datanya hubungi Angga.” Kuputar kembali tubuhku menghadap Pak Damar.

“Baik Pak.”

Aku segera keluar ruangan ketika hendak menarik handle pintu, “Saya butuh secepatnya," sambungnya lagi.

“Yang hard copy Bapak butuh jugakan pak?” tanyaku agak kesal.

“Ya,”jawabnya singkat, padat, dan jelas.

Apa-apa harus cepat memangnya aku robot, gak ada apa toleransi sedikit, aku kan juga manusia. Astaghfirullah ... kenapa aku ngedumel. Ikhlas Nis biar berkah.

Azan ashar terdengar, aku segera turun ke mushola untuk menunaikan shalat ashar, setelah shalat kubaca Al Fatihah, setelah sebelumnya membaca istighfar dan sholawat Nabi “ayah hanya alfatihah yang dapat kuhadiahkan untuk ayah di waktu ashar ini.”lirihku.

Aku bergegas kembali ke ruanganku untuk melanjutkan pekerjaan yang tertunda.

Iseng kubuka handphone, yang kutinggalkan di dalam laci meja.

Satu panggilan dari nomor tak dikenal dan satu pesan ‘klik' kubuka pesan dari nomor tak dikenal itu.

[Apa pekerjaanmu sudah selesai? Kenapa kamu pergi saat jam kerja?]

Pak Damar? Ya siapa lagi kalau bukan dia, sepertinya dari tadi ia menghubungiku melalui pesawat telepon, karena tak kuangkat dia beralih menghubungiku melalui nomor handphoneku.

Tok..tok..tok kuberanikan diri menemui Pak Damar, aku hanya ingin menjelaskan bahwa aku shalat ashar ke mushola.

“Masuk”

Pak Damar tetap menekuni laptopnya sesaat, kemudian ia mengangkat kepalanya dan menatap tajam ke arahku, ku tundukkan pandanganku.

Lalu ia merenggangkan dasinya dan duduk bersandar ke sandaran kursi.

“Sudah selesai?”

“Be-belum Pak.”

“Kalau belum selesai, kenapa kamu kelayapan dijam kantor?”

Ya Allah tak adakah kata- kata yang lebih enak didengar, seolah-olah aku ini perempuan gak benar yang suka keluyuran.

“Saya menyuruhmu untuk segera menyelesaikan laporan yang saya berikan

” ujarnya, tumben banyak ngomong si Bos.

“Ini malah di tinggal begitu saja, dengan laptop terbuka.”Apa? dia sampai mengecek ke mejaku?

Kutarik nafasku, huuftt ... tenang Nisa, jelaskan dengan tenang.

“Saya minta maaf Pak Damar, jika saya salah telah meninggalkan pekerjaan yang Bapak berikan begitu saja, tapi salahkah saya jika menunaikan kewajiban saya terlebih dahulu sebagai seorang muslim?”

Pak Damar terdiam dan membuang pandangannya dariku.

Aku rasa dia paham apa maksud dari perkataan ku, bahwa aku cuma shalat ashar sebentar, rasanya tak perlu kujelaskan lagi secara rinci.

“Baiklah, besok sore kita meeting dengan klien, persiapkan berkasnya besok secepatnya.”

“Kamu boleh keluar,” lanjutnya.

Aku segera keluar tanpa mengucapkan satu patah katapun.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (3)
goodnovel comment avatar
Tri Budi
ceritanya ad unsur pendidikan agamanya sippp
goodnovel comment avatar
yanticeudah
Terimakasih Kak, semoga betah..
goodnovel comment avatar
Nim Ranah
aku lanjut
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Sekretarisku Jilbaber    Bab 214

    Esok harinya kami mengadakan resepsi di sebuah gedung, resepsi hanya dilakukan sekali saja, aku tak terlalu suka yang ribet-ribet jadinya cukup satu kali undangannya dari kedua belah pihak. Pihak Zahra mengatakan tak mampu membuat acara di rumahnya lagian membuang-buang uang saja, jadi kamu memutuskan melakukan satu kali acara. Resepsi digelar meriah banyak sanak keluarga yang hadir, termasuk ibu Rania yang kemarin sudah berada di rumahku. Ia begitu bahagia melihat aku bersanding dengan Zahra, begitu juga Ayah dan Ibu ada keharuan di wajah mereka, melepas anak semata wayang mereka. Saat sedang berdiri di pelaminan, Dirga membisikkan sesuatu ke telingaku. "Ka, kamu tahu, kemarin polisi berhasil menangkap Clarissa, dalang yang menular kita dulu," bisiknya. "Oh ya?" Dirga mengangguk. "Dia pulang ke Indonesia, entah dari mana informasi yang polisi dapatkan, akhirnya dia tertangkap juga," ucap Dirga. "Alhamdulillah, biarkan dia mendapatkan hukuman atas apa yang dia lakukan,"

  • Sekretarisku Jilbaber    Bab 213

    Kabar hubunganku dengan Zahra tersebar ke seluruh kantor, mereka tak menyangka akhirnya aku dan Zahra bisa berjodoh, mereka langsung mencari tahu pada Dirga dan juga Zahra. Tak butuh waktu lama akhirnya Zahra menerima perjodohan ini dan aku akan melamar Zahra dalam waktu dekat ini.Bisik-bisik di kantor pun mulai terdengar, mereka tak menyangka jika akhirnya aku memilih Zahra yang sederhana. Tak sengaja aku mendengar percakapan karyawanku yang sedang berdiri di dekat depan kantorku."Aku nggak nyangka lho, kok bisa Pak Raka jatuh cinta sama Zahra yang hidupnya sederhana dan juga gayanya biasa saja." Terdengar suara seorang karyawan perempuan yang sepertinya kurang suka dengan aku memilih Zahra."Iya, aku juga heran, masak CEO seleranya cuma begitu, nggak berkelas banget nggak sih." Aku geram dan juga ingin marah dan melabrak mereka tapi saat aku hendak melangkah menghampiri mereka. "Kalian nggak boleh gitu, memandang orang lain dari luarnya saja, walaupun Zahra itu sederhana tapi di

  • Sekretarisku Jilbaber    Bab 212

    “Zahra?” gumamku sambil terus menatap gadis yang dari tadi menunduk kini malah melotot padaku. Matanya membeliak, seolah-olah hendak keluar dari kelopak matanya. Aku juga ikut membeliakkan mataku, tak kalah terkejutnya seperti yang Zahra rasakan. “Pak Raka?” ucap Zahra. Kulihat ibu dan yang lain menatap heran pada kami berdua, ternyata yang akan dijodohkan saling mengenal. Aku juga tak sempat bertanya pada ibu siapa nama wanita yang akan dijodohkan denganku. “Kalian saling kenal?” tanya Tante Sukma. Zahra mengangguk. Kemudian aku menjelaskan karena melihat raut wajah mereka yang bingung. “Zahra adalah karyawan aku di kantor, ia juga teman SMA-ku,” jawabku. “Berarti kalian sudah saling kenal dong,” ucap Tante Sukma. Aku mengangguk hampir bersamaan dengan Zahra. “Wah, wah, menarik ni, jadi ngapain dikenalin lagi ya kan Jeng Nisa, ternyata anaknya saling kenal, tinggal nanyak ke mereka saja, apa kalian cocok satu sama lain,” ucap Tante Sukma. “Benar Jeng, aku nggak nyangka t

  • Sekretarisku Jilbaber    Bab 211

    Malam ini aku masih tiduran di kamarku, sebenarnya malam ini aku dan ibu akan berkunjung ke rumah gadis yang akan dijodohkan oleh Ibu, gadis itu adalah anak dari temannya dari temennya ibuku, Tante Sukma. Tante Sukma adalah teman yang baru ibu temui di acara pengajian akhir-akhir ini, istilahnya teman baru. Aku benar-benar tidak bersemangat sedikit pun, menolak pun aku tak mungkin. Sore tadi Mama mengatakan padaku. Jika dia tidak percaya pada dengan pilihanku. “Tuh, contohnya si Briana kan nggak genah, malah kayak memaksakan diri untuk bersamamu, pokoknya kali ini kamu nurut sama Ibu,” ucap Ibu, sepertinya ucapan ibu tak bisa dibantah lagi. Tapi untuk mengganti bajuku saja enggan aku malah mengantuk. Tok! Tok! Pintu kamar di ketuk, itu pasti ibu, dia pasti menyuruhku ganti baju, padahal sudah dari tadi sore ibu mewanti-wantiku. Aku beranjak dari tidurku dengan malas dan membuka pintu kamarku. Wajah cantik ibu terlihat di depan pintu dengan jilbab lebarnya yang menjuntai. Ibu menili

  • Sekretarisku Jilbaber    Bab 210

    Aku berjalan keluar cafe tersebut berjalan dengan langkah gontai. Ternyata Zahra telah dijodohkan dengan orang lain. Apa aku harus menyerah begitu saja? Apa aku harus pasrah pada keadaan dan menerima Briana lagi? Aku tak lagi kembali ke kantor, karena aku tak sanggup untuk bertatap muka dengan Zahra. Ku putuskan untuk mengatakan semua ini pada ibu, ya pada ibuku. Aku segera memacu mobilku di jakanyang padat, aku ingin segera tiba di rumah dan bertemu dengan ibu. Tak beberapa lama aku bertemu dengan ibu dan ingin melepaskan semua bebanku ini. “Eh, eh, kok kusut gitu? Kenapa Nak?” Sapa Ibu dengan senyum hangatnya. Aku nafas dan menghempaskan bobot tubuhku di sofa tepat di samping Ibuku. “Ada apa ayo cerita,” ucap ibu penuh perhatian. Kemudian aku menceritakan soal Briana masa laluku yang telah kembali, ia ingin aku kembali padanya. “Maksud kamu Briana teman kuliah kamu itu?!” tanya ibu terkejut. Aku mengangguk lemah. “Udah, nggak usah. Ibu nggak akan setuju, kalau udah nggak norm

  • Sekretarisku Jilbaber    Bab 209

    "Dirga, biasa aja dong. Jangan begitu, aku kan cowok normal," ucapku dengan wajah kusut. Dirga tersenyum penuh arti padaku, membuat aku salah tingkah. "Sejak kapan kamu jatuh cinta pada Zahra?" tanya Dirga dengan tatapan tajam. "Nggak tahu, Ga. Entah sejak kapan, rasa itu tumbuh begitu saja di hatiku. Mungkin saat dia ikut wawancara di kantor ini, aku juga tak tahu," aku tergelak gugup. Dirga menatapku sambil tersenyum simpul. "Em, aku tahu saat itu. Sewaktu aku mau menyatakan cinta pada Zahra, raut wajahmu berubah, wajar tak menentu. Aku tahu sebenarnya kau sudah menaruh hati padanya, tapi kau tak mau mengakuinya." Aku tercenung sesaat, berpikir kembali perasaan yang terus kubendung selama ini. "Yah, padahal aku sudah berusaha menyembunyikan perasaan ini dan menjaga sikap agar tak seorang pun yang tahu jika aku sebenarnya menaruh hati pada Zahra." "Benar kan?" tanya Dirga. "Mungkin..." aku menjawab dengan ragu. Dirga tertawa. "Raka, Raka, kamu masih saja menyembunyikan perasaanmu,"

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status