Malam ini hujan turun dengan lebat, cuaca panas berganti sejuk setelah beberapa hari dilanda panas yang amat sangat.
“Allahumma shayyiban nafi’an, ya Allah turunkanlah hujan yang bermanfaat.”
Aku duduk di beranda sekedar menikmati hujan dan cuaca yang sejuk, sambil minum segelas teh manis yang dibuatkan ibu.
“Gimana, Nduk hari pertama bekerja?”Ibu menghampiriku.
“Aneh Bu.”
“Lha kok bisa?”
“Hari pertama cuma duduk manis di meja kerja, aku juga belum kenal yang mana bosku,”ucapku.
Ibu tertawa kecil.“Mungkin aja dia lagi gak ada di tempat Nis jangan su'udzon gak baik.”
“Astaghfirullah, bener Bu kok Nisa jadi su'udzon ya, baru juga satu hari.”
Ibu mengangguk mengiyakan perkataanku.
“Ya uwes ndak usah dipikirkan, ayo masuk ke dalam, takutnya ada petir.”
Esoknya seperti biasa aku berangkat pagi sekali, langsung menuju ruangan sekretaris. Tiba-tiba dari belakang ada seorang yang memanggil, ternyata Andina yang setengah berlari sambil memanggil namaku.
“Pagi Nis, cepat amat datangnya.”
“Pagi juga, Ndin, kamu juga cepet datangnya.” Kami tertawa bersamaan.
Andina anak yang ramah, oleh karena itu kami sudah akrab walaupun belum lama saling kenal, kami juga sudah bertukar nomor telepon kemarin.
“Eh gimana udah ketemu Pak Damar belum?”
“CEO kita? Belum tuh seharian kemarin cuman duduk manis, emang kenapa sih, Ndin?”tanyaku penasaran.
Aku sempat membaca sekilas nama pak Damar di kontrak kerja kemarin, tapi lupa nama belakangnya apa.
“Gak ada apa-apa gue cuma nanyak aja, nanti kita makan siang bareng ya, Nis, ya udah gue duluan yah,” ucap Andina sambil berlalu. Ingat Nis jangan su'udzon.
Jam sudah menunjukkan jam makan siang, dari tadi aku hanya duduk di meja kerja sambil mempelajari administrasi kantor dan laporan perusahaan yang sudah ada.
"Ting" ada pesan masuk dari Andina [gue tunggu dikantin ya Nis] segera kututup aplikasi hijau tersebut tanpa membalasnya, saat hendak bangun tiba-tiba telpon berdering, segeraku angkat dan...
[Segera ke ruangan saya!], suara bariton terdengar dari ujung telpon. Sempat kebingungan sesaat, aku segera tersadar ya Allah sepertinya itu Pak Damar, hampir saja aku bertanya, ini dengan siapa?
["I-i-iya pak,"] jawabku terbata.
Aku segera bangun dari tempat duduk dan menuju pintu, kupegang handle pintu, oh tidak aku harus mengetuknya dahulu.
Tok...tok .. tok ..
“Masuk”terdengar suara bariton itu dari dalam.
Kudorong handle pintu pelan-pelan, kira-kira ngucapin salam atau selamat siang ya?Pintu terbuka, kuedarkan pandang ke seluruh ruangan, ruangannya sangat luas dan juga rapi, ada perpustakaan mini di sebelah kiri ruangan.
Di dekat pintu masuk ada sofa mewah untuk menerima tamu dan sebuah televisi besar yang letaknya menghadap ke arah sofa.
Sedangkan meja CEO letaknya membelakangi jendela kaca, ada seseorang yang duduk di sana sibuk bekerja menghadap laptop, tanpa memperdulikan kehadiranku.
Aku tak bisa melihat dengan jelas, karena pantulan cahaya dari luar dan aku berdiri agak jauh dari meja ku lirik papan nama yang berada di atas meja 'Damar Hardana Wijaya'.
“Selamat siang Pak, ada yang bisa saya bantu?” sapaku.
Pak Damar bergeming bahkan dia tak sedikitpun menoleh ke arahku.
Beberapa saat aku menunggu hingga ia selesai dengan pekerjaannya, mana perut sudah keroncongan minta diisi.
“Tolong kamu rekap data absensi semua karyawan dan data karyawan yang lembur, datanya sudah saya kirim ke email kamu.”
“Sekarang Pak?”
Ia menoleh kepadaku. Deg! Ya Allah dia kan eksekutif muda yang membantu menahan lift saat aku interview beberapa hari yang lalu. Refleks kutundukkan pandanganku. Aku berfikir CEO perusahaan ini pria paruh baya yang ramah, ternyata ...
“Ya, saya butuh secepatnya,” jawabnya datar dan kembali menekuni laptopnya.
What? Inikah CEO itu, tanpa menjawab sapaanku, bahkan dia tak menanyakan namaku, mungkin pikirnya itu tak penting. Lebih baik kukerjakan secepatnya agar aku bisa makan siang. Oh iya, aku lupa membalas pesan Andina, ya sudah, nanti saja.
“Baik pak, saya permisi,”ucapku, tak ada jawaban.
Aku langsung keluar ruangan Pak Damar dan mengerjakan tugas yang dia berikan, kubuka emailku yang sudah kumasukkan ke laptop kantor.
Ya Rabbi banyak sekali data yang harus kurekap, segera kucari soft copy rekapan absensi bulan-bulan yang lalu di laptop, Alhamdulillah ketemu, jadi aku tak usah membuat ulang tabelnya.
Sepertinya sekertaris yang lama tak sempat membuat rekapan absensi bulan kemarin, kemudian segera aku mengerjakannya.
Kulirik jam di laptopku hampir jam 2 siang, Allah ... aku belum shalat zuhur, aku bergegas ke mushola dan menunaikan shalat zuhur, kemudian aku kembali lagi ke lantai empat tanpa sempat makan siang.
Jika aku makan siang takutnya tugasku tak selesai dengan cepat, aku tak mau merusak semuanya, bosku marah di hari pertamaku bekerja.
Kukerjakan lagi tugas dari Pak Damar, dan selesai, hampir dua jam lebih aku mengerjakan data absensi dan data lembur karyawan seluruh kantor ini 'send' aku mengirimnya via email ke pak Damar.
Telepon kembali berdering, langsung ku angkat ["Tolong kamu print saya butuh yang hard copy juga, print dua rangkap untuk arsip."]
[Baik Pak].
Jam makan siang kulewati begitu saja, bahkan sudah hampir memasuki waktu ashar.
Aku segera mengerjakannya, sambil memprinter absensi kubalas pesan Andina. [Maaf, Ndin kita gak bisa makan siang bareng tadi, dapat tugas dari pak Damar banyak banget] centang dua, dia belum membacanya.
Setelah selesai aku masuk lagi ke ruangan Pak Damar menyerahkan rekapan absensi yang sudah kuprinter.
“Ini pak rekapanya, sudah selesai.” Sambil menyerahkan kepada Pak Damar.
“Letakkan di meja." Lagi dan lagi tanpa menoleh sedikitpun.
“Pak Damar, saya shalat ashar dulu, jika Bapak butuh bantuan nanti setelah shalat saya kerjakan.”
“Ya,”jawabnya singkat, pelit amat sama kata-kata.
“Saya permisi pak.”
Perasaan kayak ngomong sama Patung Pancoran tak ada Jawaban. Aku segera turun ke mushala kantor, menunaikan kewajiban sebagai seorang muslim.
Selesai shalat kusempatkan mampir ke kantin membeli kudapan untuk mengganjal perutku, yang sedari tadi belum makan siang.
Jangankan untuk menanyakanku makan siang, menjawab pertanyaanku saja dia enggan. Semoga aku sabar menjalaninya.
***
Esok harinya kami mengadakan resepsi di sebuah gedung, resepsi hanya dilakukan sekali saja, aku tak terlalu suka yang ribet-ribet jadinya cukup satu kali undangannya dari kedua belah pihak. Pihak Zahra mengatakan tak mampu membuat acara di rumahnya lagian membuang-buang uang saja, jadi kamu memutuskan melakukan satu kali acara. Resepsi digelar meriah banyak sanak keluarga yang hadir, termasuk ibu Rania yang kemarin sudah berada di rumahku. Ia begitu bahagia melihat aku bersanding dengan Zahra, begitu juga Ayah dan Ibu ada keharuan di wajah mereka, melepas anak semata wayang mereka. Saat sedang berdiri di pelaminan, Dirga membisikkan sesuatu ke telingaku. "Ka, kamu tahu, kemarin polisi berhasil menangkap Clarissa, dalang yang menular kita dulu," bisiknya. "Oh ya?" Dirga mengangguk. "Dia pulang ke Indonesia, entah dari mana informasi yang polisi dapatkan, akhirnya dia tertangkap juga," ucap Dirga. "Alhamdulillah, biarkan dia mendapatkan hukuman atas apa yang dia lakukan,"
Kabar hubunganku dengan Zahra tersebar ke seluruh kantor, mereka tak menyangka akhirnya aku dan Zahra bisa berjodoh, mereka langsung mencari tahu pada Dirga dan juga Zahra. Tak butuh waktu lama akhirnya Zahra menerima perjodohan ini dan aku akan melamar Zahra dalam waktu dekat ini.Bisik-bisik di kantor pun mulai terdengar, mereka tak menyangka jika akhirnya aku memilih Zahra yang sederhana. Tak sengaja aku mendengar percakapan karyawanku yang sedang berdiri di dekat depan kantorku."Aku nggak nyangka lho, kok bisa Pak Raka jatuh cinta sama Zahra yang hidupnya sederhana dan juga gayanya biasa saja." Terdengar suara seorang karyawan perempuan yang sepertinya kurang suka dengan aku memilih Zahra."Iya, aku juga heran, masak CEO seleranya cuma begitu, nggak berkelas banget nggak sih." Aku geram dan juga ingin marah dan melabrak mereka tapi saat aku hendak melangkah menghampiri mereka. "Kalian nggak boleh gitu, memandang orang lain dari luarnya saja, walaupun Zahra itu sederhana tapi di
“Zahra?” gumamku sambil terus menatap gadis yang dari tadi menunduk kini malah melotot padaku. Matanya membeliak, seolah-olah hendak keluar dari kelopak matanya. Aku juga ikut membeliakkan mataku, tak kalah terkejutnya seperti yang Zahra rasakan. “Pak Raka?” ucap Zahra. Kulihat ibu dan yang lain menatap heran pada kami berdua, ternyata yang akan dijodohkan saling mengenal. Aku juga tak sempat bertanya pada ibu siapa nama wanita yang akan dijodohkan denganku. “Kalian saling kenal?” tanya Tante Sukma. Zahra mengangguk. Kemudian aku menjelaskan karena melihat raut wajah mereka yang bingung. “Zahra adalah karyawan aku di kantor, ia juga teman SMA-ku,” jawabku. “Berarti kalian sudah saling kenal dong,” ucap Tante Sukma. Aku mengangguk hampir bersamaan dengan Zahra. “Wah, wah, menarik ni, jadi ngapain dikenalin lagi ya kan Jeng Nisa, ternyata anaknya saling kenal, tinggal nanyak ke mereka saja, apa kalian cocok satu sama lain,” ucap Tante Sukma. “Benar Jeng, aku nggak nyangka t
Malam ini aku masih tiduran di kamarku, sebenarnya malam ini aku dan ibu akan berkunjung ke rumah gadis yang akan dijodohkan oleh Ibu, gadis itu adalah anak dari temannya dari temennya ibuku, Tante Sukma. Tante Sukma adalah teman yang baru ibu temui di acara pengajian akhir-akhir ini, istilahnya teman baru. Aku benar-benar tidak bersemangat sedikit pun, menolak pun aku tak mungkin. Sore tadi Mama mengatakan padaku. Jika dia tidak percaya pada dengan pilihanku. “Tuh, contohnya si Briana kan nggak genah, malah kayak memaksakan diri untuk bersamamu, pokoknya kali ini kamu nurut sama Ibu,” ucap Ibu, sepertinya ucapan ibu tak bisa dibantah lagi. Tapi untuk mengganti bajuku saja enggan aku malah mengantuk. Tok! Tok! Pintu kamar di ketuk, itu pasti ibu, dia pasti menyuruhku ganti baju, padahal sudah dari tadi sore ibu mewanti-wantiku. Aku beranjak dari tidurku dengan malas dan membuka pintu kamarku. Wajah cantik ibu terlihat di depan pintu dengan jilbab lebarnya yang menjuntai. Ibu menili
Aku berjalan keluar cafe tersebut berjalan dengan langkah gontai. Ternyata Zahra telah dijodohkan dengan orang lain. Apa aku harus menyerah begitu saja? Apa aku harus pasrah pada keadaan dan menerima Briana lagi? Aku tak lagi kembali ke kantor, karena aku tak sanggup untuk bertatap muka dengan Zahra. Ku putuskan untuk mengatakan semua ini pada ibu, ya pada ibuku. Aku segera memacu mobilku di jakanyang padat, aku ingin segera tiba di rumah dan bertemu dengan ibu. Tak beberapa lama aku bertemu dengan ibu dan ingin melepaskan semua bebanku ini. “Eh, eh, kok kusut gitu? Kenapa Nak?” Sapa Ibu dengan senyum hangatnya. Aku nafas dan menghempaskan bobot tubuhku di sofa tepat di samping Ibuku. “Ada apa ayo cerita,” ucap ibu penuh perhatian. Kemudian aku menceritakan soal Briana masa laluku yang telah kembali, ia ingin aku kembali padanya. “Maksud kamu Briana teman kuliah kamu itu?!” tanya ibu terkejut. Aku mengangguk lemah. “Udah, nggak usah. Ibu nggak akan setuju, kalau udah nggak norm
"Dirga, biasa aja dong. Jangan begitu, aku kan cowok normal," ucapku dengan wajah kusut. Dirga tersenyum penuh arti padaku, membuat aku salah tingkah. "Sejak kapan kamu jatuh cinta pada Zahra?" tanya Dirga dengan tatapan tajam. "Nggak tahu, Ga. Entah sejak kapan, rasa itu tumbuh begitu saja di hatiku. Mungkin saat dia ikut wawancara di kantor ini, aku juga tak tahu," aku tergelak gugup. Dirga menatapku sambil tersenyum simpul. "Em, aku tahu saat itu. Sewaktu aku mau menyatakan cinta pada Zahra, raut wajahmu berubah, wajar tak menentu. Aku tahu sebenarnya kau sudah menaruh hati padanya, tapi kau tak mau mengakuinya." Aku tercenung sesaat, berpikir kembali perasaan yang terus kubendung selama ini. "Yah, padahal aku sudah berusaha menyembunyikan perasaan ini dan menjaga sikap agar tak seorang pun yang tahu jika aku sebenarnya menaruh hati pada Zahra." "Benar kan?" tanya Dirga. "Mungkin..." aku menjawab dengan ragu. Dirga tertawa. "Raka, Raka, kamu masih saja menyembunyikan perasaanmu,"