Tidak ada yang bisa menggantikan posisi Evan di hati Grace. Meskipun ia tidak mengetahui kabarnya, ia tetap berharap agar lelaki itu baik-baik saja. Bahkan ia terus berdoa agar putusnya komunikasi mereka bukan karena hal buruk telah terjadi hingga merenggut nyawanya.
Namun hampir setahun belakangan ada seorang pria yang memberikan kehangatan tersendiri dan mengisi kesepiannya. Namanya Anthony, beberapa tahun lebih tua dari Grace dan merupakan pemilik toko beras di kompleks rumahnya. Ia dan keluarga besarnya baru pindah ke sini satu setengah tahun lalu.
Keduanya bertemu untuk pertama kalinya ketika Grace diminta untuk membeli beras di toko tersebut. Tetapi tidak ada adegan seperti di serial TV dimana seseorang bisa jatuh cinta dalam sekali pandang. Kedekatan mereka baru dimulai sejak ditunjuk sebagai panitia penyelenggara lomba tujuh belasan.
Grace mendapati bahwa Anthony adalah seorang pekerja keras, tulang punggung bagi keluarganya. Ayahnya sakit dan ibunya sudah tidak ada, sementara ada dua adik perempuannya yang masih berkuliah dan membutuhkan banyak biaya. Karena itulah ia belum menikah meskipun sudah berkepala tiga.
Acara memperingati tujuh belasan tahun ini kabarnya akan dipasrahkan kembali pada Grace dan Anthony. Pasalnya tahun lalu mereka benar-benar menyukseskan perayaan hingga warga masih terkenang-kenang akan momen tersebut.
"Tapi aku capek, Ant. Kerjaanku yang tahun ini lebih padat daripada sebelumnya," keluh Grace dengan kepala menyandar pada tiang toko beras Anthony.
Sementara itu, yang diajak bicara justru terkekeh sembari menutup tokonya. "Ya kan tinggal bilang, Grace, ke Pak RT kalau kamu berhalangan," sahut Anthony. "Nanti palingan aku dibantuin sama warga lainnya."
Pikiran usil menghampiri Grace. "Oh iya. Kan cewek-cewek di kompleks sini suka sama kamu ya. Pasti mereka mau banget kalau disuruh bantuin kamu," celetuknya. "Bli Anthony, pilih aku jadi pasanganmu." Lalu ia tertawa puas.
Anthony mengacak rambut Grace. "Punya imajinasi jangan terlalu liar. Itu barusan kaya FTV yang ditonton adik-adikku," ujarnya. "Ayo, berangkat." Ia menghampiri motornya dan menyalakan mesinnya. Diberikannya helm pada Grace.
Menerima helm tapi tidak langsung dipakai, Grace kemudian berdiri di depan motor. "Tapi beneran loh. Aku kepingin nolak aja ah. Mau fokus dulu sama kerjaan," katanya menegaskan kemauannya.
Pria itu mengangguk. "Oke, oke. Tinggal bilang aja kan. Nggak papa. Tapi habis itu kamu nggak boleh beli beras di tokoku, dan jangan suka ngajakin aku ke kafe itu," ancamnya dalam canda.
"Yah, dia ngambek." Grace terkekeh lalu berpindah tempat dan naik ke atas motor, di belakang Anthony. "Udah, kita bahas lagi nanti di kafe." Ia menepuk bahu pria itu seakan meminta seorang supir untuk mulai menjalankan motor.
Masih di tempat, Anthony sedikit menoleh ke arah Grace. "Kamu kenapa sih suka ke kafe itu tiap minggu?" tanyanya. "Sampai sekarang kamu belum jawab pertanyaanku loh."
"Kalau aku jawab, kamu harus traktir aku apapun yang aku mau ya di kafe itu." Grace bermain-main, masih berusaha menghindar untuk menjawab.
"Gampang. Apa aja kamu minta asal nggak lebih dari sepuluh ribu," tukas Anthony yang kemudian mendapatkan pukulan ringan di bahunya. "Aduh."
"Apaan tuh? Dapet apa sepuluh ribu? Wuu." Grace sekali lagi menepuk bahu Anthony.
"Lama-lama bisa remuk aku di deket kamu, Grace." Si pemilik bahu mengelus-elus bagian yang dipukul, seakan benar-benar merasakan sakit.
"Alah, kamu kan cowok kuat. Kerjaannya angkat beras tiap hari juga. Udah ngalahin cowok-cowok di gym itu loh. Masa segini aja bilang remuk?" cibir Grace, menimpali candaan Anthony. " Udah ayo, berangkat." Ia memasang helmnya.
Menuruti kemauan gadis itu, Anthony mulai melajukan motornya, meninggalkan area toko. Melewati jalan-jalan yang agak sempit di kompleks itu, akhirnya mereka bisa keluar ke jalan utama yang besar.
Kafe Kuta, sesuai namanya kafe itu terletak di pinggir pantai Kuta. Adalah tempat yang dulu sering dikunjungi oleh Grace dan Evan setiap akhir minggu. Biasanya mereka hanya menikmati matahari terbenam di pantai sambil mengobrol, dari hal-hal kecil sampai masa depan.
Hanya saja kepergian Evan menyisakan kepedihan yang teramat dalam di hati Grace. Setahun sejak putusnya kontak di antara mereka, ia tidak pernah lagi datang ke kafe ini. Barulah saat mengenal Anthony, ia kembali datang berkunjung. Alasannya adalah karena ia tidak mau menangis jika menghabiskan waktu sendirian di sana untuk melihat matahari terbenam.
Beruntung kehadiran Anthony menjadikan Grace lebih ceria. Kesendiriannya perlahan memudar. Bahkan ia tidak memungkiri bahwa perasaannya yang selama ini berkutat pada Evan mulai bergeser pada teman sekompleksnya ini.
Perjalanan yang memakan waktu hanya sepuluh menit itu cukup untuk Grace dan Anthony sampai tepat waktu. Matahari baru mulai bergerak turun melewati batas cakrawala. Dengan langkah cepat mereka duduk di dua kursi kayu di samping kafe.
Dahayu, sang pemilik kafe yang sejak dulu sampai sekarang belum berganti itu sudah tahu apa yang akan dipesan oleh Grace. Ia hanya menanyai Anthony karena pesanannya selalu berubah setiap kali berkunjung.
"Grace, aku ke toilet dulu ya." Anthony beranjak dari tempatnya saat pesanan sedang diantarkan.
Yang dipamiti mengangguk saja. Grace masih asik melihat pemandangan senja ini.
Melihat pelanggan regulernya itu sendirian, Dahayu meletakkan pesanan ke atas meja dan duduk di kursi Anthony. "Gek, udah pacaran ya sama temannya itu?" tanyanya penasaran.
Grace menggeleng sambil menegakkan posisi duduknya, menghormati yang lebih tua. "Oh, enggak, Mbok. Kebetulan kami deket karena tinggalnya sekompleks," jawabnya, dengan keraguan yang menggantung di benaknya.
"Kirain udah pacaran," lanjut Dahayu. "Dulu ya, Mbok itu pernah mengira kalau Gek akhirnya akan menikah sama Gus Evan."
"Hah?" Grace terperanjat, tidak percaya prasangka itu ada.
Dahayu mengangguk. "Betul. Kalian dulu lengketnya minta ampun. Yah, pasangan serasi gitu," ucapnya. "Tapi yah Gus Evan tinggal di luar ya. Gimana itu kabarnya?"
Grace menarik napas dalam-dalam. Ia memang tidak pernah menceritakan tentang Evan lagi pada orang-orang yang mengenal sosok sahabatnya itu. Pikirnya, biarlah orang lain memiliki pendapatnya sendiri.
Bergaya seperti anak muda, Dahayu meletakkan jemari berbentuk huruf L di bawah dagunya. "Coba Mbok tebak. Udah putus ya?" tebaknya sok tahu.
"Eh? Enggak, Mbok. Pacaran aja enggak," tukas Grace dengan jantung yang tiba-tiba berdebar. 'Duh, udah lama nggak ketemu Evan, kenapa tetep aja bisa deg-degan gini kalau dikirain punya hubungan gitu?'
Dahayu menerawang ke atas, lalu kembali pada si gadis muda. "Kalau jaman dulu sih ndak ada istilah pacaran. Kalau udah deket, kemana-mana selalu sama-sama, dan cocok, ya itu namanya jadian. Pacaran. Jadi Mbok pikir yah, Gek Grace pacaran sama Gus Evan," jelasnya dengan senyuman penuh arti.
"Siapa Evan?" Seperti pesulap yang bisa tiba-tiba muncul, tanpa peringatan Anthony sudah berada di dekat kedua wanita yang sedang mengobrol ini.
Dahayu pun beranjak dari kursi. "Eh, udah kembali ke sini, Gus. Duduk, duduk," katanya mempersilakan. "Mbok tinggal dulu ya. Silakan menikmati pemandangan dan pesanannya."
Grace tersenyum pada wanita yang menjadi saksi persahabatannya dengan Evan. "Makasih ya, Mbok," ucapnya sebelum Dahayu pergi.
Anthony yang sudah duduk di kursi mengambil minumannya dari atas meja. "Jadi, kalian ngobrolin siapa tadi? Evan? Siapa tuh?" Ia kembali mengingatkan sang teman mengenai pertanyaannya tadi.
"Sahabat aku dulu," jawab Grace yang turut mengambil minumannya. Diaduknya gelas berisi kelapa muda itu sambil mengingat-ingat kenangan yang indah bersama Evan.
Anthony mengernyit. "Dulu? Berarti sekarang enggak?" tanyanya.
Grace mengedikkan bahunya.
"Apa tuh artinya?"
"Udah bertahun-tahun sejak dia pergi dan putus komunikasi sama aku," beritahu Grace lemas. Kenyataan ini pahit, dan belum bisa diterimanya.
"Udah ngelupain kamu kali," celetuk Anthony tanpa berpikir. Benar-benar tipikal seorang laki-laki dingin dan jujur, seperti dalam drama Korea, yang dipuja para gadis.
Grace melemparkan lirikan tajam pada lelaki itu. "Jadi cowok blak-blakan banget sih? Jahat," balasnya dengan nada dingin juga.
Namun mereka tidak sedang bertengkar. Keduanya biasa melemparkan kata-kata semacam itu tapi tidak dimaksudkan untuk menyakiti.
Kepribadian Grace yang cenderung berbicara jujur dan tidak memikirkan perasaan orang lain sempat berubah karena Evan. Ia diajari bagaimana menempatkan diri dan menahan perkataan yang bisa jadi menyinggung. Hanya saja kehilangan lelaki itu membuat sifat lamanya kembali, dan pada akhirnya membuatnya cocok berteman dengan Anthony.
"Ya terus apa dong alasannya?" Anthony menoleh pada Grace dan mengangkat sebelah alisnya. "Aku kasih tahu ya dari perspektif cowok. Kalau cowok nggak mau berurusan lagi sama cewek, dia akan putusin komunikasi. Entah apapun alasannya."
Grace tidak langsung menyahut. Diprosesnya pendapat Anthony dalam kepalanya dan mengaitkannya pada kemungkinan yang bisa terjadi.
Di satu sisi, Grace memikirkan kemungkinan bahwa komunikasinya dengan Evan terputus karena kehilangan kontak. Tetapi sahabatnya itu sangat mengenal dirinya yang selalu mengikuti perkembangan teknologi. Seharusnya ia bisa mencari akunnya di media sosial. Jika pendapat Anthony benar, itu artinya Evan ingin melupakannya.
Tetapi di sisi lain, Grace tidak percaya bahwa Evan seperti itu. Lelaki itu pernah menyelamatkan hidupnya sekaligus bundanya. Bertahun-tahun menghabiskan waktu bersama membuatnya mengerti sifat asli sang sahabat. Baginya tidak mungkin bahwa melupakan dirinya merupakan alasan komunikasi mereka terputus.
"Oi. Bengong aja." Anthony menyenggol lengan Grace. "Nggak usah dipikirin terlalu keras. Lagian ada aku kan di sini?" Kedua alisnya naik turun diikuti dengan segaris senyuman di wajahnya.
Grace juga tersenyum, kemudian mengangguk-angguk. "Iya. Makasih ya, Ant," ucapnya. Diteguknya air kelapa muda di gelasnya sampai habis, menyisakan daging buahnya saja. "Yah, habis. Bentar ya, Ant. Aku minta tambah air kelapa." Ia beranjak dari kursinya.
"Sekalian, Grace, beli gorengan ya," pinta Anthony dengan salah satu ibu jari teracung.
Grace berdecak-decak heran karena kecintaan temannya itu terhadap gorengan. "Dasar. Iya, iya," sahutnya menyetujui.
Seiring dengan matahari yang sudah hampir menghilang di ufuk barat, Grace berjalan menuju ke dalam kafe. Ia menunjukkan gelasnya pada Dahayu dari luar jendela sambil tersenyum. Pandangannya tertuju pada sang pemilik kafe hingga ia tidak memperhatikan jalannya.
Hampir saja Grace menabrak seorang pria berkemeja panjang yang keluar dari kafe. Untung gerak refleknya baik sehingga ia bisa melakukan manuver cepat hingga menghindari tabrakan.
Namun saat hendak melangkah masuk ke dalam kafe, mata Grace menangkap sesuatu yang terjatuh di ambang pintu. Ia mengambil gantungan kunci usang yang terbuat dari resin bening dengan setengah cangkang kerang terjebak di dalamnya.
"Jangan-jangan punya orang tadi," gumam Grace. Ia langsung berpaling ke arah mana pria itu pergi. "Pak, Bli, Mas, Mister! Gantungannya jatuh! You dropped something!" Seruannya yang terdengar cukup keras itu nampaknya tidak berhasil membuat yang dipanggil berhenti berjalan.
Grace cepat-cepat berlari menuju ke arah pria itu untuk membawakan benda yang mungkin penting ini. Namun sayangnya ia terpaksa menyerah ketika pemilik gantungan kunci masuk ke dalam mobil. Tentu saja ia tidak dapat bersaing dengan kendaraan beroda empat itu.
"Gimana ngembaliinnya kalau gini? Mungkin aku simpen aja dulu. Barangkali suatu kali bisa dikembaliin." Grace membuka tangannya dan menatap gantungan kunci itu. "Betewe, kenapa aku kaya pernah lihat gantungan yang kaya gini ya? Hmm, tahu ah. Mungkin mirip yang ada di pasar." Ia tidak ingin memikirkannya dan berjalan kembali ke kafe. Perutnya tak sabar diisi dengan air kelapa lagi.
[SK]
Halo. Kalau ada pembaca yang orang Bali, dan merasa saya salah kata, tolong dibetulkan ya. Terima kasih. ✌️
Di musim liburan tengah tahun, hotel-hotel di Bali dibanjiri oleh para turis seperti biasanya. Posisi sebagai asisten HRD yang didapatkan Grace setelah bekerja bertahun-tahun di sini menuntutnya selalu sibuk. Meskipun ia tidak terlibat langsung dalam penanganan para tamu, pekerjaannya tetap lebih banyak daripada biasanya. Terutama ditambah semakin berkembangnya hotel yang membutuhkan lebih banyak karyawan baru dan berkualitas. Kecekatan Grace sejak tahun pertama bekerja langsung ditangkap oleh Mario, sang manajer HRD. Sebelum mendapatkan posisi sebagai asisten pria itu, ia selalu diminta untuk ikut dalam rapat-rapat dengan General Manager (GM). Sesuai dengan jadwal, pertemuan singkat dalam rangka pergantian posisi GM dengan orang yang baru diadakan pagi ini pukul sepuluh. Tujuannya adalah untuk memperkenalkan para manajer, sekaligus p
Tidak diberi kesempatan untuk mencoba tidak berarti kalah. Grace tidak mau menyerah begitu saja. Ia memang tidak bisa mengikuti tes untuk menjadi asisten GM, tetapi ia punya jalan lain.Grace berhasil membujuk banyak pegawai dari berbagai divisi untuk menjadi kandidat asisten GM. Dengan begini Evan merasa kewalahan jika mengerjakannya sendirian. Maka bantuan dari HRD dibutuhkan untuk menyeleksi para kandidat.Awalnya Nita lah yang diminta untuk turun tangan dalam tes ini. Akan tetapi setelah meyakinkan Mario bahwa ia bisa melakukannya lebih baik, Grace pun mengambil alih tugas. Sudah mengerti apa yang gadis itu rencanakan, sang kolega pun tidak menolak.Waktu pendaftaran hanya dibatasi satu hari. Semua data kandidat yang mendaftar sudah terkumpul. Sesuai persyaratan yang diajukan oleh Evan, Grace menyortir para pendaftar. Cukup banyak yang harus gugur dalam tahap seleksi administratif.Tersisa sepuluh kandidat dari delapan puluh tujuh pendaftar. Grace kin
Dari sepuluh kandidat yang sudah diuji, hanya terdapat dua orang yang memenuhi standar Evan. Yang satu laki-laki dan lainnya perempuan. Keduanya sama-sama unggul dalam hal administratif—salah satu kemampuan terpenting sebagai sekretaris, tetapi mereka harus bisa mengikuti cara kerja sang GM. Dari hasil tes psikologi, mereka berdua tergolong dalam tipe pekerja yang dominan melankolis, terlalu berhati-hati. Situasi ini berbanding terbalik dengan Evan, sang koleris yang sangat gesit, cocok menjadi seorang pemimpin. Setiap pekerjaan yang ia lakukan selalu diselesaikan dengan cepat. Ia bukan tipe orang yang berlambat-lambat. Hal ini ingin dimanfaatkan oleh Grace untuk bisa mendapatkan posisi sekretaris itu. Ia belum mau berhenti berjuang. Otak briliannya itu memberinya sebuah ide untuk berbicara mengenai kelemahan para kandidat dengan Evan
Evan tidak mau menghabiskan banyak waktu untuk menyeleksi sekretaris eksekutif yang baru. Setelah kedua kandidat tersisa melewati ujian terakhir, ia memilih yang laki-laki karena terbukti lebih unggul. Hal ini jelas menutup kesempatan bagi Grace sama sekali untuk menggagalkannya.Namun Grace yakin bahwa ia tetap punya akses untuk terhubung dengan sahabatnya, baik menjadi sekretarisnya atau tidak. Lagi pula ia adalah seorang asisten manajer HRD yang akan senantiasa berurusan dengan GM.Hari itu berjalan seperti biasanya. Hampir tidak ada yang berbeda. Grace selesai mengerjakan semua tugasnya hari itu dan bersiap untuk pulang."Grace, lo beneran nggak ikuthangoutmalam ini?Friday nightloh ini." Nita berusaha membujuk koleganya yang selalu menolak
Sudah sekitar dua bulan lebih semenjak Evan menjadi GM di hotel ini. Belum ada perubahan berarti dari setiap usaha yang Grace kerahkan untuk mematahkan sikap dinginnya.Yang terjadi justru pekerjaannya bertambah banyak. Perombakan sistem di sana sini serta pergantian staf juga dilakukan. Mau tidak mau Grace jadi terforsir bekerja dan menjadi terlalu lelah untuk mengejarnya.Terlepas dari keinginan memajukan hotel, Evan memiliki tujuan lain yaitu menjauhkan Grace darinya. Untuk beberapa waktu terakhir usahanya cukup berhasil. Ia merasa cukup senang.Tetapi entah bagaimana melihat Grace cukup sering dijemput oleh lelaki yang tampak begitu akrab dengannya itu menimbulkan perasaan aneh di benak Evan. Pasalnya Grace yang ia kenal tidak mudah bergaul sedekat itu dengan laki-laki. Sebelum ia
"Berhenti." Emosi Grace naik ketika Evan tidak memberikan jawaban. "Berhenti aku bilang!"Evan tidak mempedulikannya. Ia tetap menjalankan mobilnya."Kamu bilang kita nggak bisa bersahabat lagi kaya dulu, jadi tolongstopmobilnya. Aku mau turun," ucap Grace memaksa. Namun perutnya terasa tidak nyaman sehingga ia memilih untuk memakai nada rendah. "Please, Evan."Evan menghentikan laju mobilnya, tetapi ia mengunci sentral semua pintu mobil sehingga tidak bisa dibuka.Setelah Grace melepaskan sabuk pengamannya, ia mencoba membuka pintu tapi tidak bisa. "Buka kuncinya," perintahnya."Grace. Denger. Kita memang nggak bisa lagi kaya dulu. Tapi bukan berarti ak
Ada berbagai macam cara yang Grace terus lakukan dalam melaksanakan 'Operasi Menggangu Evan' setiap harinya. Mulai dari hal kecil seperti mengambil pekerjaan OB untuk membawakan minuman untuk Evan sampai mengurus segala sesuatunya di departemen HRD yang memerlukan kontak dengan GM.Banyak desas-desus mengenai tindakan Grace yang semakin terlihat ini. Di antaranya adalah menggoda pimpinan untuk mendapatkan promosi. Sementara subjek pembicaraan justru tidak mempedulikannya, sang kolega terdekat sudah mengomel selama satu jam terakhir."Tenang aja, Nit. Semua bakalan baik-baik aja. Kalau memang sampai terdesak banget, baru aku akan buka kalau Evan itu sahabat aku." Grace menyahut dengan santai.Nita memasang wajah datar sambil memperdengarkan desahan. "Lo tuh emang ngeyel ya anaknya," tuk
"Grace, kamu kelihatan belum sehat loh." Indah, sang bunda tampak khawatir melihat putrinya masih lemas.Di sepanjang akhir minggu Grace paling banyak menghabiskan waktu dengan berdiam diri di dalam kamar. Paling jauh ia akan duduk di teras rumahnya. Ia berusaha memulihkan dirinya agar kenangan buruk itu tidak mengusik pikirannya. Pasalnya ia perlu fokus bekerja, terutama pada tiga bulan terakhir sebelum tahun berganti."Grace nggak papa, Bun. Lihat nih, udah bisa senyum lebar kan?" Grace mempertontonkan deretan gigi rapinya.Indah menggeleng-geleng heran akan kegigihan Grace. Ia tahu betul sang putri tidak pernah ingin membuatnya khawatir. Namun yang mengherankan, gadis itu memang membuktikannya. Kesedihan yang dialaminya berlalu dengan cepat dan senyuman semringah akan datang kembali