"Hentikan semua ini, Evan! Kamu nggak bisa membodohiku." Grace berdiri di depan Evan, mengulurkan tangannya ke kanan dan kiri. "Aku tahu kamu sembunyiin sesuatu." Evan menyilangkan tangan di depan dada. "Jangan terlalu percaya diri. Dan tolong, tahu posisimu. Aku punya kekuatan untuk taruh orang lain menggantikan kamu." Di dalam ruangan yang sedikit remang itu, ia mencondongkan tubuh ke arahnya dan berbisik ke telinganya. "Atau, sebenarnya kamu lagi coba merayu aku? Berapa tarifmu untuk satu malam?" Setelah mendengarnya, Grace menampar wajah Evan seketika itu juga. Ia terdiam beberapa saat tidak percaya. Air mata mulai mengalir di pipinya. "Kamu jahat banget, Evan. Aku-benci-kamu," katanya, patah hati. Dia berbalik dari pria itu tanpa basa-basi lagi. Evan menangis juga, melihat sahabatnya pergi. "Maafin aku, Grace. Aku harus lakuin itu. Kita nggak bisa bersama," katanya lemah. ~~~~ Grace dan Evan menjadi teman baik setelah dia menyelamatkannya dan ibunya setelah tabrakan lalu lintas. Persahabatan mereka tumbuh lebih kuat selama bertahun-tahun sampai mereka menjadi sangat menyukai satu sama lain. Namun, takdir mempermainkan mereka. Mereka harus berpisah selama bertahun-tahun, kehilangan kontak dan mengubur impian mereka. Ketika mereka akhirnya bersatu kembali di tempat kerja yang sama, semuanya tidak lagi sama seperti dulu. Copyright 2021. SairentoGaaru.
View More[April 2007]
"Hei, hei. Kamu nggak papa?"
Pertanyaan itu terus terdengar samar-samar di telinga Grace. Namun matanya terlalu berat untuk terbuka, kepalanya terlalu pusing untuk sadar. "Tolong, selamatkan Bunda," ucapnya lirih.
Sore itu hujan deras. Langit tampak amat kelabu. Mobil-mobil yang tidak berani melaju dengan kencang dan memadati jalanan satu arah itu, kini menjadi tidak bergerak sama sekali akibat kecelakaan yang melibatkan tiga pengendara sepeda motor. Sementara Grace dan ibunya tergeletak, seorang anak laki-laki penyebab kejadian naas ini melarikan diri.
Pernah ada di posisi yang sama, Evan tidak mempedulikan baju mahalnya basah dan kotor. Ia hanya ingin menolong para korban. Jika dulu ia ditolong oleh seorang asing dan bisa mendapatkan kesempatan kedua untuk hidup, ia pun ingin meneruskan kebaikan itu pada orang lain yang sedang membutuhkannya.
"Tolong! Panggil ambulans!" Evan berteriak pada siapapun orang yang ada di sekelilingnya. Ia melepaskan tasnya dan menjadikannya bantalan untuk kepala gadis yang tak berdaya itu. "Kamu tunggu di sini ya."
Setelah itu ia meninggalkan Grace dan menuju pada wanita paruh baya di tepi jalan. Penampakannya tidak baik. Ada darah yang mengalir dari bagian belakang kepalanya. Evan merasa bahwa wanita ini membutuhkan pertolongan secepat mungkin.
"Dokter! Ada dokter di sini? Kalau ada, tolong kemari! Wanita ini butuh pertolongan cepat," seru Evan beberapa kali.
Entah bagaimana pesan tersebut berjalan dari titik kejadian sampai ke suatu lokasi yang agak jauh. Seorang wanita tiga puluh tahunan berlari-lari mendekat.
"Separah apa?" tanya wanita itu begitu berjongkok di dekat Evan. Ia langsung menangkap situasi buruk yang terjadi.
"Nggak tahu. Yang pasti darahnya cukup banyak," beritahu Evan yang buta mengenai hal medis. "Apa yang harus aku bantu?"
Wanita itu melihat ke sekelilingnya lalu pada Evan. "Tolong cari kain apapun yang tidak basah, kalau ada alkohol, dan juga payung," katanya.
Dengan sigap Evan berdiri dari tempatnya. Tidak peduli sesulit apa untuk mendapatkannya, ia mulai berteriak di sekitaran mobil-mobil di sana. Ia berlarian ke sana kemari, melewati orang-orang yang tidak cukup peduli untuk membantu.
Payung dan kaos bersih dengan mudah didapatkannya, tetapi tidak dengan alkohol. Mengerti bahwa dua benda di tangannya sangat diperlukan, Evan berlari kembali ke lokasi kejadian. Ia memberikan kaos bersih itu sementara memayungi dokter muda dan wanita tersebut.
Beruntung seseorang datang menawarkan diri untuk membantu. Evan langsung memintanya untuk memegangi payung. Ia tahu gadis yang masih tergeletak di dekat motornya tidak bisa dibiarkan sendirian juga.
Dengan terburu-buru Evan membopong tubuh Grace ke bawah naungan pohon. Dibiarkannya gadis itu berbaring dalam dekapannya. Kemudian ia mengambil jaket dari dalam tasnya untuk digunakan memayungi sang gadis tak berdaya itu.
"Ya Tuhan, selamatkan mereka." Evan menyampaikan permohonan doanya dengan suara yang samar-samar terdengar.
Meskipun hampir tidak sadarkan diri, rupanya perkataan lelaki itu mampu menggoreskan senyuman di wajah Grace.
[Desember 2011]
Dua plastik besar berisi sate bakso pedas dan cilok ada di tangan Grace. Ia membawanya dengan sedikit terburu-buru karena hendak melihat kembang api dari atap rumahnya. Tradisi tutup tahun ini sudah dilakukannya selama hampir tiga tahun terakhir bersama dengan sahabatnya.
"Evan! Bantuin!"
Yang dipanggil langsung menoleh dan datang mendekat. "Kebiasaan ya. Beli kebanyakan kamu," ucapnya. Ia menengok isi dari plastik-plastik tersebut.
"Yah kan biasanya kita di sini sampai subuh. Jadi perlu banyak amunisi," sahut Grace riang, terlebih ketika kembang api besar yang pertama sudah diletuskan. "Ah, udah mulai!" Bukannya memberikan salah satu dari plastik itu, ia justru memberikan semuanya kemudian berlari ke tepi atap.
Evan menggeleng-geleng heran akan kelakuan gadis itu. Ia meletakkan dua jenis makanan favorit mereka berdua ke atas meja yang ada di sana. Kemudian ia berdiri menyebelahi Grace.
Seruan Grace yang seperti anak kecil itu tidak berhenti untuk beberapa waktu lamanya. Ia memang paling suka berteriak sekencang mungkin di saat suara kembang api meledak begitu keras. Seolah-olah ia ingin adu suara.
Tentu saja kesempatan seperti ini tidak pernah Evan lewatkan. Ia merekam tingkah lucu sahabatnya itu dengan handycam-nya. Entah mengapa ia menikmati pemandangan ini tanpa bosan. Lebih tepatnya, tidak pernah bosan.
Grace menoleh, mendapati apa yang sedang Evan lakukan. Ia tersenyum lalu tertawa, berpose ala model tak berpengalaman. "Sini, sini. Gantian aku yang rekam kamu," katanya lalu mengambil perekam video itu dari sahabatnya.
Namun Evan mengarahkan benda itu hingga bukan hanya dirinya melainkan juga Grace yang tertangkap dalam bingkai monitor. "Jadi, nona Grace Melody, tolong jawab pertanyaan saya," katanya.
Terkekeh-kekeh, Grace menjawab, "Baiklah. Silakan."
"Apakah Anda siap menyambut tahun 2012?" Tangan Evan mengepal seolah membawa mikrofon yang disodorkan pada narasumbernya.
Dengan anggukan penuh kepastian Grace menyahut, "Tentu saja. Apapun yang akan terjadi, saya siap menghadapinya! Apa lagi di sisi saya ada sahabat seperti Anda, Bapak Evan William."
Perkataan itu membuat Evan menghela napas sebelum menimpali perkataan Grace. "Tapi kalau saya tidak ada, tetaplah semangat menjalani hidup, nona Grace!" serunya diiringi ledakan keras kembang api terbesar malam itu.
Demi mendengar hal itu, air muka Grace berubah. Tangannya yang memegang handycam langsung turun tanpa dimatikan. Ia berpaling pada Evan dengan tatapan serius. "Apa itu maksudnya? Kenapa kamu bilang gitu?" tanyanya.
Evan pun perlahan menoleh pada sahabatnya. "Aku ... harus pergi ke Inggris, Grace," beritahunya lemas.
"Kapan?"
"Lusa."
Grace terperanjat tidak percaya. "Kenapa kamu baru bilang, Van?" serunya kecewa. "Dan bukannya kamu pernah bilang kalau kamu mutusin untuk tetap di Bali? Kuliah dan kejar karir kita di sini sama-sama?"
Evan mengangguk. "Ya. Memang. Itu yang aku mau. Tapi ... kondisinya sulit, Grace. Aku harus pergi. Papaku sakit dan aku harus hidup di sana selama papa jalani pengobatan," katanya.
Kekecewaan, kesedihan, kemarahan bercampur menjadi satu di dalam dada Grace. Ia tidak bisa menerima kenyataan ini. Namun ia tidak bisa melarang kepergian sahabatnya itu. Ini masalah yang berat. Jika ada di posisi Evan, ia pasti tidak punya pilihan lain juga. Sedekat apapun mereka sebagai sahabat, anggota keluarga tentunya jauh lebih penting.
"Tapi tolong janji, Van. Jangan pernah putus komunikasi dari aku ya," pinta Grace yang mulai terisak. Kedua tangannya menggenggam lengan kaos Evan yang kanan dan kiri. Kepalanya juga bersandar pada dada lelaki itu.
Dengan hati yang hancur, Evan pun menarik Grace ke dalam pelukannya. Ia juga tidak ingin meninggalkan sahabatnya, tetapi takdir berkata lain. "Aku janji, Grace. Aku janji."
Di malam tahun baru itu, kebanyakan orang bergembira menyambut lembaran baru. Tetapi Grace dan Evan justru tenggelam dalam kesedihan. Keduanya seperti ikatan rantai kuat yang dengan paksa dipisahkan. Masing-masing diam-diam berharap bahwa perpisahan tidak perlu terjadi.
Hanya saja itu tidak mungkin.
[Juni 2018]
"Udah waktunya move on, Grace. Berapa tahun ini?"
Grace melirik sekilas pada Nita, teman sekantornya yang paling dekat, saat membereskan kertas-kertas yang ada di mejanya. "Jangan mulai deh," sahutnya singkat.
"Ya habisnya lo tuh nungguin cowok yang nge-ghosting lo bertahun-tahun. Kita ketemu sejak empat tahun lalu kan, dia udah menghilang. Padahal lo cerita kalau setahun kalian pisah, kalian udah nggak komunikasi. Artinya dia emang udah punya kehidupannya di sana, dan mau ngelupain lo. Jadi lo jangan berharap dia balik lah." Panjang lebar Nita mengutarakan pendapatnya, merasa gemas melihat temannya melakukan hal yang tidak masuk akal.
"Kerjaan udah selesai belum? Jangan ngurusin hidup orang deh," tukas Grace, tidak mau membahas tentang topik tersebut.
Nita mendesah kesal. "Lo udah gue anggep kaya saudara sendiri, Grace. Jadi maaf nih kalau gue rese. Tapi ini untuk kebaikan lo juga kali," ujarnya. "Daripada lo berkutat sama tuh cowok, siapa? Evan? Nah, mending sama Mario aja lah. Lo berdua tuh udah deket. Dia juga care sama lo. Tinggal say yes aja sama dia. Hidup bahagia sana. Lo berhak bahagia."
Meja kerja Grace kini tampak rapi. Ia bersiap untuk meninggalkan kantor, mengingat jam kerja hampir selesai. Adalah kebiasaannya untuk menyelesaikan pekerjaan tepat waktu agar ia tidak terlambat pulang.
"Kurang apa Mario? Posisi dia di sini udah manajer loh, Grace. Hidup lo sama dia tuh udah pasti mapan. Kalau gue belum nikah, gue pasti sabet kesempatan yang lo sia-siain ini." Nita masih terus berbicara, berusaha menggoyahkan pendirian kuat kawannya.
Grace memutar kursinya menghadap pada wanita berambut pendek itu. "Udah khotbahnya?" sahutnya sedikit sarkastik. Telinganya sudah gatal mendengarkan perkataan itu.
Merasa diabaikan tapi tidak tersinggung, Nita pun menyentuh lengan Grace dan berkata, "Gue akan berusaha lakuin yang terbaik untuk bikin lo bahagia untuk balas kebaikan besar lo dalam hidup gue, Grace."
"Terusin kebaikan itu ke orang lain aja. Aku nggak bantu kamu untuk minta balasan kok." Grace tersenyum, menolak halus bantuan Nita untuk mendekatkannya dengan Mario. "Dan tolong catat ini. Aku nggak suka orang kaya."
Kali ini Nita dibuat tidak berkutik. Perkataan Grace terdengar serius. Kedekatannya dengan gadis itu membuatnya tahu kapan harus berhenti bicara.
Alarm HP Grace menyala dalam mode getar, memberitahunya bahwa jam kantor telah selesai. Grace bangkit dari kursinya dan berpamitan pada Nita. Ia berjalan menuju ke lift, meninggalkan area kerjanya.
Matahari masih bersinar, rona keemasan menghiasi langit barat. Begitu berjalan keluar melewati lobi gedung hotel kenamaan di Bali ini, Grace menerima sorotan cahaya bak selebriti di atas panggung. Belum lagi ditambah angin sepoi-sepoi yang menerbangkan rambut coklatnya yang panjang ke samping. Jika saja ada fotografer handal di sekitarnya, sudah pasti posenya akan sempurna tertangkap oleh kamera.
Namun realita kehidupan tidak seindah fantasi. Karena terbutakan oleh sinar matahari, kaki Grace melangkah terlalu lebar dan mendarat di dua anak tangga berikutnya sekaligus. Tidak awas akan situasi ini, tubuhnya oleng ketika.
"Ah!" seru Grace, pasrah jika pada akhirnya akan mencium jalanan.
Hanya saja keberuntungan sedang berpihak pada Grace. Sepasang lengan yang kuat menangkapnya ke dalam dekapan hangat, menyelamatkannya dari rasa sakit dan malu yang mungkin menimpa.
Akibat sinar matahari, wajah pria yang menolongnya samar-samar terlihat. Namun ia bertanya, "Nona baik-baik saja?"
Masih tidak sepenuhnya sadar akan apa yang terjadi, Grace pun mengangguk.
Pria itu menegakkan kembali posisi tubuh sang gadis ceroboh. Tanpa mengucapkan sepatah katapun, ia berbalik pergi.
"Terima kasih!" seru Grace ketika sadar bahwa ia belum mengatakannya.
Tetap berjalan ke depan, tangan sang pria terangkat setengah tiang, menunjukkan jempolnya pada Grace.
"Apa itu tadi? Aneh-aneh aja. Kaya di drakor. Mimpi kali aku." Grace berkata-kata pada dirinya sendiri sambil menggeleng-geleng. "Udah lah. Lupain. Bunda udah nunggu di rumah."
[SK]
Ekstra 02 : Masa DepanMengurus kepindahan dan beberapa hal lain rupanya memakan banyak waktu. Barulah pada bulan Februari sang pengantin baru mendapatkan kesempatan untuk melakukan bulan madu. Namun siapa sangka pandemi yang tidak disangka-sangka menyerang seluruh bumi di awal tahun 2020? Beruntung Evan dan Grace bisa kembali ke Indonesia tepat sebelum pemerintah menutup perbatasan Indonesia.Rumor tentang kejatuhan perekenomian sektor pariwisata sudah ada di sana sini. Sebagai pekerja hotel, Evan dan Grace sangat terlibat mengatasi masalah ini. Terutama setelah pemilik hotel berkata bahwa harus ada pemangkasan pekerja di setiap cabang hotel demi mempertahankan kelangsungan bisnis.Selama beberapa bulan berikutnya, mereka pun harus bekerja lebih keras. Sebagai akibatnya, pasangan suami istri yang baru ini mengalami tantangan dalam mendapatkan keturunan. Program kehamilan sudah pasti menjadi solusi yang terbaik. Namun di sisi lain mereka juga harus mempert
[12 September 2008]“Dua es kelapa muda spesial untuk pelanggan setia Mbok yang paling imut.” Dahayu membawakan dua buah minuman khas kafenya untuk Grace dan Evan yang kembali datang pada akhir minggu. Kedua pemuda itu langsung mengambil untuk mereka masing-masing. “Sebenernya Mbok penasaran sih. Kalian berdua itu pacaran ya?”Mendengar hal itu, masing-masing spontan bereaksi terkejut. Grace menyemburkan minumannya yang sudah ada di mulut sementara Evan terbatuk-batuk.“Eh, aduh. Kenapa jadi gini kalian?” Dahayu menepuk-nepuk punggung keduanya. “Kaget ya sama pertanyaan Mbok?” Ia terkekeh-kekeh geli.“Iya lah. Dari mana coba Mbok pikir begitu? Kami berdua tuh sahabat deket.” Grace yang tidak mengalami masalah dengan tenggorokannya menjawab.Evan menoleh pada Grace setelah batuknya mereda. “Ya tapi maklum Mbok pikir gitu. Kita berdua soalnya deket banget,” ujarnya memikirkan alasan yang paling mungkin. “Mana tiap minggu ke sini untuk nonto
[8 Desember 2006]"Loh, kamu nggak ngumpulin tugas, Grace? Kan Bu Diana bilang ini untuk tugas akhir semester satu? Nanti kamu nggak dapat nilai kelas seni rupa loh."Sebuah gantungan kunci yang terbuat dari resin bening dengan setengah cangkang kerang terjebak di dalamnya tergeletak manis di atas tumpukan buku teks. Grace mengamatinya dengan senyuman lebar, merasa puas melihat hasil kerja kerasnya. "Udah kok. Aku bikin dua," sahutnya."Kenapa bikin dua?""Nggak tahu. Kepingin aja. Siapa tahu gantungan ini bisa bawa kebahagiaan untuk seseorang." Grace asal menjawab. Ia mengangkat gantungan itu di depan wajah sebelum memasukkannya ke dalam saku jaketnya. "Aku pulang duluan ya."Grace berjalan meninggalkan ruang kelasnya yang masih cukup ramai dengan anak-anak kelas delapan. Sementara yang lainnya masih bisa bersenang-senang dengan kawan-kawannya sehabis sekolah, ia harus segera pulang ke rumah. Sang bunda memerlukan bantuannya untuk
Tinggal beberapa jam lagi sebelum hari yang ditunggu-tunggu tiba. Demi mempermudah semuanya, Grace menginap di hotel tempatnya bekerja bersama dengan sang bunda. Tentu saja sebagai calon istri seorang GM di hotel tersebut, ia mendapatkan sebuah akses khusus. Semua yang bertugas menjadikannya seorang ratu sehari juga akan berada di sana sekitar pukul empat pagi keesokan harinya.Hanya saja Grace tidak bisa tidur. Ia terus gelisah, tidak tahu apa yang menjadi penyebabnya. Kata Indah hal itu wajar bagi seorang calon pengantin. Namun ia merasa ada hal lain yang mengganjal."Tapi kamu harus coba tidur, Grace. Besok bakalan jadi hari yang panjang." Indah memberikan wejangan sambil menepuk-nepuk bahunya sendiri. "Bunda juga udah agak ngantuk, pegel dikit juga, habis bikin kue sama Rosa."
"Grace, terima kasih udah kasih Ayah kesempatan untuk bertemu dan bicara." Randy, masih tidak percaya bahwa ia akhirnya mendapatkan momen yang sudah lama ditunggu. Dengan pandangan mata yang sayu akibat air mata, ia menatap putrinya yang telah sekian lama terpisah darinya."Mama juga terima kasih sama Evan. Seharusnya dari awal Mama kasih tahu yang sebenarnya, supaya kamu nggak harus melewati semuanya sendirian." Rosa menyambung, mengungkapkan rasa terima kasihnya terhadap putra tunggalnya. "Juga maaf sekali lagi. Mama pikir menyimpan semuanya sendiri dan membiarkan kamu menyalahkan Mama itu pilihan yang baik."Bukan perkara mudah bagi Grace dan Evan untuk benar-benar melepaskan pengampunan. Rasa sakit di hati mereka tentu masih terasa, bak luka pasca operasi yang belum sepenuhnya sembuh. Memutuskan untuk mengadakan pe
"Ciyehyang bulan depan udah sah jadi suami istri." Nita menyambangi Grace di jam istirahat setelah mendengar berita tentang penetapan tanggal pernikahannya dengan Evan. "Lo ... bakalan jadiin guebridesmaidkan? Kata orang kalau udah jadibridesmaidtiga kali, lo bakalan menikah habis itu." Grace langsung tertawa begitu mendengar ucapan Nita. "Eh, mana ada hal kaya gitu, Nit? Buktinya aja aku nggak pernah jadibridesmaidtapi bakalan nikah bulan depan," sanggahnya geli. Duduk bersebelahan dengan Grace di atas sofa kecil, Nita menyikutnya. "Songong amat dah nih anak," celetuknya. "Yah, bersyukur aja lo beruntung ketemu Pak Evan. Nggak kaya gue. Udah tunangan, hampir nikah, tapi tiba-tiba ditinggal tanpa jejak." Ia menghela napas panjang.
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments