Share

03 Bertemu Lagi

Di musim liburan tengah tahun, hotel-hotel di Bali dibanjiri oleh para turis seperti biasanya. Posisi sebagai asisten HRD yang didapatkan Grace setelah bekerja bertahun-tahun di sini menuntutnya selalu sibuk. Meskipun ia tidak terlibat langsung dalam penanganan para tamu, pekerjaannya tetap lebih banyak daripada biasanya. Terutama ditambah semakin berkembangnya hotel yang membutuhkan lebih banyak karyawan baru dan berkualitas.

Kecekatan Grace sejak tahun pertama bekerja langsung ditangkap oleh Mario, sang manajer HRD. Sebelum mendapatkan posisi sebagai asisten pria itu, ia selalu diminta untuk ikut dalam rapat-rapat dengan General Manager (GM).

Sesuai dengan jadwal, pertemuan singkat dalam rangka pergantian posisi GM dengan orang yang baru diadakan pagi ini pukul sepuluh. Tujuannya adalah untuk memperkenalkan para manajer, sekaligus para asisten mereka. Maka Grace datang menjemput Mario di ruang kantornya.

"Kamu kelihatan beda. Lebih cantik hari ini," puji Mario begitu melihat asistennya.

Mengenakan blus biru muda dan rok hitam selutut bukan hal yang baru bagi Grace. Ia tidak menemukan apa yang berbeda dari sebelumnya. Tetapi perkataan Nita bahwa atasannya ini memiliki rasa terhadapnya memberitahunya alasan di balik pujian basa-basi itu.

"Ah, terima kasih." Grace tersenyum simpul. Ia berusaha tetap menunjukkan rasa hormat meskipun tidak terlalu suka dipuji begitu.

Mario membuka tangannya sebagai tanda untuk berjalan. Kemudian Grace berjalan di sisinya dengan elegan menuju ke ruang pertemuan. Keduanya berpapasan dengan beberapa manajer lain beserta para asisten mereka di perjalanan dan saling menyapa.

Meskipun manajer-manajer yang ada tidak didominasi oleh gender tertentu, para asisten mereka adalah wanita seluruhnya. Masing-masing senantiasa menunjukkan penampilan terbaik. Sebisa mungkin dari ujung kepala sampai kaki ditempeli oleh barang-barang bermerk. Grace adalah satu-satunya yang paling tidak mempedulikan hal itu. Karena itulah ia dijadikan bahan gunjingan.

"Grace, penampilan di-upgrade dikit napa? Nggak level banget kalau jalan sama Mario."

"Kok bisa ya Mario pilih cewek kaya dia jadi asisten?"

"Dia kirim pelet ke Mario kali ya?"

Namun karena gunjingan semacam itu sudah menjadi makanan sehari-hari Grace, baik di depan maupun di belakangnya, telinganya menjadi kebal. Toh ia tahu persis bahwa level intelegensi mereka justru ada di bawahnya.

"Kenapa AC-nya di sini nggak dingin sih?" Seorang wanita berambut pendek yang merupakan manajer keuangan berkomentar saat masuk ke dalam ruangan. "Siapa kek bilang ke bagian maintenance. Si Chief Engineering mana?"

Tidak ada yang terlihat peduli, bahkan wajah mereka menunjukkan keengganan untuk melakukannya sesuatu tentang hal ini. Sifat seperti inilah yang membuat Grace muak.

Untung saja, Mario berbeda dari yang lain. Ia cukup peduli terhadap hal-hal kecil seperti ini, terutama karena ini berkaitan dengan karyawan. Meskipun pada akhirnya ada tugas-tugas baru yang diserahkan pada sang asisten.

"Grace, minta tolong kamu bisa bantu urus ini sebentar?" pinta Mario.

Tanpa mengeluh, Grace bangkit dari kursinya dan berjalan keluar dari ruangan. Ia berdiri tidak jauh dari pintu untuk menelepon Chief Engineering, seorang pria paruh baya yang berperilaku paling normal dalam jajaran manajer. Diberitahukannya apa yang terjadi dan akhirnya mendapatkan solusi untuk masalah ini.

Sekembalinya Grace ke ruangan, ia memberitahukan hasil dari panggilan singkat tadi pada Mario. Sebagai asisten semata, ia tidak memiliki hak untuk berbicara kepada para manajer. Lebih tepatnya karena ia dianggap remeh.

"Bapak, Ibu semuanya, kita pindah ke ruangan sebelah ya," ujar Mario meneruskan perkataan Grace.

Gerutuan dan decakan kesal diperdengarkan. Tetapi mau tidak mau mereka harus pindah karena ketidaknyamanan di ruang tersebut.

Mario bertukar pandang dengan Grace seraya tersenyum kecil dan mengedikkan bahu. "Biasalah ya," ucapnya.

Grace pun mengangguk pelan. Ia kemudian berjalan mengikuti Mario menuju ke ruang sebelah.

Setiap orang menempatkan diri di tempat yang sekiranya nyaman untuk mereka, yang mana tidak dekat dengan pimpinan. Mereka lebih suka sibuk dengan HP masing-masing. Karena itulah Grace dan Mario yang duduk tepat di posisi paling ujung meja, dekat kursi pimpinan.

"Selamat pagi." Pria berjas hitam agak gemuk berjalan dengan tegapnya memasuki ruangan, diikuti oleh seorang pria lainnya yang tampak lebih muda.

Masing-masing berdiri di tempatnya, melupakan kegiatan mereka sebelumnya. Para manajer dan asistennya yang sibuk sendiri kini berusaha tampak perhatian dan memberi hormat, sebagai salah satu cara untuk mencari muka di depan pimpinan.

Grace tidak bisa langsung menoleh ke arah kedua pria itu karena posisinya yang membelakangi pintu masuk. Namun ketika semua mata para wanita di sana tertuju ke ujung meja dengan ekspresi takjub, ia pun segera mengalihkan pandangannya ke sumber penyebab kekaguman itu.

Hampir-hampir Grace tidak percaya akan apa yang dilihatnya. Pria itu tampak sangat familiar hingga mulutnya lepas kendali. "Evan?" ucapnya lirih tetapi bisa didengar oleh beberapa orang yang ada di dekatnya, termasuk Mario yang menoleh heran padanya.

Datar. Itulah kata yang tepat untuk menggambarkan raut wajah pria itu. Tidak ada ekspresi terkejut di wajahnya seperti yang ditunjukkan Grace. Hanya tatapan singkat diberikan sebelum ia mengalihkan pandangan ke arah di depannya.

'Ih? Kaku amat? Dia beneran Evan kan? Atau jangan-jangan cuma mirip?' Grace berpikir keras, tetapi tetap berharap bahwa pria di sebelahnya itu adalah sahabatnya.

"Silakan duduk." Roger, GM yang lama mempersilakan. Ia pun duduk bersebelahan dengan penggantinya. "Seperti yang sudah Anda semua ketahui, saya harus mengambil alih hotel ini setelah pemilik sebelumnya, papa saya, meninggal dua bulan lalu. Karena itu posisi sebagai GM di sini akan digantikan oleh sahabat saya. Perkenalkan, ini Bapak Evan William."

Tuh kan! Ini Evan. Grace membuktikan bahwa perkataannya benar.

Evan bangkit dari kursinya untuk memberi hormat sebentar pada semuanya. Tanpa banyak bicara, ia kembali duduk.

"Jadi segala urusan yang biasanya Anda laporkan dengan saya, mulai hari ini dan seterusnya akan di-handle oleh Pak Evan," lanjut Roger, menatap satu per satu para manajer yang ada. "Baik. Saya tidak akan berlama-lama di sini. Selanjutnya saya serahkan kepada beliau." Ia beranjak dari kursinya dan menepuk bahu penggantinya.

Evan mengangguk seraya memberi hormat singkat ketika pemilik perusahaan yang baru meninggalkan tempat.

"Pak Evan, ingin minum apa? Biar OB[1] buatkan." Sang manajer keuangan kembali bersuara, berbuat seolah-olah dia sendiri yang akan melakukannya.

Setengah tangan Evan terangkat, menunjukkan penolakan halus. "Tidak, terima kasih. Saya akan langsung pada intinya agar kita bisa kembali bekerja tanpa berlama-lama di sini," ujarnya, memperlihatkan ketegasannya sedari awal.

Semuanya memperhatikan dengan seksama meskipun kebanyakan mendongkol dalam hati. Tentu saja mereka mengeluh diam-diam melihat sikap semacam itu. Terutama karena GM yang baru lebih muda dari para manajer tersebut.

"Karena sekretaris eksekutif Pak Roger adalah istrinya sendiri, posisi sekretaris untuk GM kosong. Saya perlu posisi ini untuk segera diisi. Mohon bantuannya merekomendasikan seseorang yang menurut Anda terbaik dari setiap departemen. Mereka akan melewati tes yang saya buat sendiri. Yang berhasil lolos akan mengisi posisi ini," jelas Evan.

Sebagai manajer HRD, Mario dengan cekatan menyahut, "Baik, Pak. Kami akan segera membuat pengumuman mengenai hal ini."

"Terima kasih. Tolong sekaligus cantumkan dalam pengumuman bahwa semua kandidat harus melampirkan CV masing-masing yang dikirimkan melalui email GM seperti biasanya," kata Evan seraya bangkit berdiri. "Sekian pertemuan pagi ini. Silakan kembali bekerja." Tanpa menunggu yang lain berkomentar, ia berjalan pergi meninggalkan ruangan.

Grace tidak begitu saja membiarkan sang sahabat lolos. Ia ingin berbicara dengan Evan. Maka ia minta diri pada Mario untuk keluar lebih dulu. Setelah mendapat izin yang mau tidak mau diberikan oleh atasannya, ia berlari mengejar GM baru itu.

"Evan!" seru Grace dengan suara yang ditahan. Ia berjalan secepat yang ia bisa untuk mendekati sahabatnya. "Evan, tunggu!"

Setelah berjalan agak jauh Evan berhenti tiba-tiba hingga Grace menabraknya dari belakang.

"Aduh!" Grace mengelus-elus kepalanya, lalu mengeluh, "Mendadak amat sih berhentinya."

"Maaf, Nona. Jika Anda tidak akan berbicara mengenai pekerjaan, silakan kembali dan jangan ganggu saya," sergah Evan, menghentikan niat Grace saat itu juga. "Dan, tolong panggil saya Pak Evan. Anda hanyalah seorang asisten manajer, dan saya GM di sini."

Grace menampakkan kerutan demi kerutan di dahinya. Ia sangat heran akan sikap sahabatnya. Tidak mungkin Evan tidak tahu siapa dirinya. Penampilannya tidak banyak berubah daripada sebelumnya. Makeup sederhananya tidak akan benar-benar merombak wajahnya seperti operasi plastik.

"Kamu nggak mungkin lupa kan siapa aku, Van?" Grace menanyakannya untuk mengonfirmasi. Ia mendongak pada pria yang bertambah tinggi dibandingkan beberapa tahun lalu itu.

Evan tidak mengomentari pertanyaan itu. "Permisi." Begitu saja ucapannya sebelum ia berbalik pergi dengan dinginnya.

"Seriusan? Kenapa sih dia? Amnesia? Gegar otak? Yah, kaya di sinetron dong," ujar Grace dalam gumaman pada dirinya sendiri. "Tapi dia sebut namaku. Artinya dia tahu siapa aku dong." Ia menatap punggung sang sahabat sampai menghilang dari pandangannya.

"Grace!" Suara Mario berseru dari kejauhan membawanya kembali pada kenyataan. "Ayo kembali. Kita punya pekerjaan penting kan dari Pak Evan?"

Grace mengangguk lalu kembali bersama-sama dengan Mario ke arah kantor departemen HRD. Tetapi ia masih terus berkutat pada perubahan sikap sahabatnya yang begitu mengusik pikirannya.

'Gimana caranya untuk cari tahu ada apa sama Evan ya? Nggak mungkin sikapnya tiba-tiba sedingin ini sama aku. Sama sekali bukan Evan banget. Kira-kira apa ya yang bisa aku lakuin?'

Untuk kedua kalinya kepala Grace menabrak punggung seseorang. Kali ini milik atasannya, Mario.

"Duh, maaf, Pak," ucap Grace singkat tanpa benar-benar merasa bersalah.

Mario menaikkan sebelah alisnya, bertanya-tanya dalam hati kenapa asistennya begitu. Hanya saja ia menahan diri hingga tidak menanyakannya. "Grace, tolong bikin pengumuman tentang permintaan Pak Evan ya di forum departemen global. Sesegera mungkin harus sudah published." Itulah yang akhirnya justru keluar dari mulutnya.

Seakan ada bohlam lampu di samping kepalanya yang diiringi oleh efek suara 'ding!', kedua mata Grace terbuka lebar. "Ah! Iya, betul." Hanya saja responnya bukan terhadap perintah Mario untuknya melainkan sebuah rencana yang akan diambilnya berkenaan dengan Evan. "Sampai nanti, Pak!"

Melihat tingkah lucu asistennya, Mario menggeleng-geleng dan tersenyum sebelum masuk ke dalam ruangannya.

Sementara itu, Grace bergerak secepat kijang menuju ke mejanya. Ia segera mengetikkan pengumuman yang diminta di forum. Sekitar sepuluh menit kemudian pengumuman itu sudah terunggah.

Dengan tekad yang bulat ingin mendaftar sebagai sekretaris eksekutif untuk GM, Grace mengirimkan CV beserta sedikit informasi lainnya melalui email. Ia begitu bersemangat dan bahkan merasa yakin bahwa Evan akan memilihnya.

Namun yang terjadi setelahnya membuat Grace sangat mendongkol. Sebuah balasan email dari sang GM membuat dirinya begitu geram.

[Yang terhormat Nona Grace Melody. Aplikasi Anda tidak bisa saya terima. Lowongan ini tidak diperuntukkan bagi asisten manajer. Salam, Evan William.]

"Ah!" Tanpa sadar Grace berseru mengerang hingga teman-teman sejawatnya menatapnya penuh keheranan. "Maaf." Kemudian ia kembali duduk.

Datang entah dari mana, Nita duduk menyebelahi Grace. "Lo sakit apa gimana sih?" tanyanya.

Grace mengambil KTP dari dalam dompetnya lalu memberikannya pada Nita. "Nit, coba bandingin wajah aku di situ sama yang sekarang. Apa beda banget sampai kamu nggak bakalan ngenalin aku?" tanyanya balik, menghiraukan pertanyaan retoris koleganya yang sebelumnya itu.

Bergantian menatap foto KTP usang Grace dengan wajah asli pemiliknya, Nita tiba-tiba tertawa.

"Eh? Kesambet ya? Napa sih?" Grace menepuk lengan Nita kesal.

"Lo culun banget sih di sini," ujar Nita mengejek. Ia menirukan ekspresi datar kawannya itu seperti yang tampak di KTP.

Grace memiringkan kepalanya sedikit. "Jadi kamu bilang aku yang sekarang beda banget dari yang di KTP itu?" Ia menyimpulkan.

Nita mengangguk. "Kaya habis operasi plastik," jawabnya kemudian tertawa terbahak-bahak lagi.

"Nggak usah lebay deh. Pasti ada mirip-miripnya kan?" Grace tidak termakan oleh candaan kawannya. Ia tahu bahwa satu-satunya yang membedakan figurnya di foto KTP dan yang sekarang hanyalah makeup tipisnya.

Desahan diperdengarkan oleh Nita. Ia menyadari keseriusan di wajah Grace. "Iya. Nggak yang segitu berubahnya. Mungkin gue bakalan pangling di awal bentar," ucapnya. "Emang kenapa sih lo tanya gitu?"

"Kamu bakalan nggak percaya deh pasti."

"Try me."

"Dia akhirnya balik."

"Dia siapa?"

Grace mengambil foto Evan yang selalu dibawanya itu dan menunjukkannya pada Nita. "Dia," katanya.

Sontak kedua manik mata Nita terdesak maju, menampakkan ketidakpercayaannya. "Seriusan lo?"

Grace mengangguk lemas dengan bibir manyun menghiasi wajahnya. "Iya. Tapi ada yang aneh sama dia. Sifatnya berubah. Nggak kaya dulu," ucapnya. "Dan aku harus selidiki masalah ini."

Nita berdecak-decak heran. "Kompleks amat sih cerita lo sama dia? Udah lama menghilang, sekalinya muncul dia berubah. Capek dah dengernya," katanya. "Tapi terus lo mau apa?"

Senyuman kecil di ujung bibir Grace tercetak. "Ada lah. Yang pasti aku bakalan bikin dia balik lagi kaya Evan yang dulu," ucapnya.

[SK]

Keterangan:

[1] Office boy

Halo! Sejauh ini bisa ngikutin nggak? Comment yaaaa 💕

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status