Share

Selamanya Kamu
Selamanya Kamu
Penulis: sairentogaaru

01 Sahabat Selamanya?

[April 2007]

"Hei, hei. Kamu nggak papa?"

Pertanyaan itu terus terdengar samar-samar di telinga Grace. Namun matanya terlalu berat untuk terbuka, kepalanya terlalu pusing untuk sadar. "Tolong, selamatkan Bunda," ucapnya lirih.

Sore itu hujan deras. Langit tampak amat kelabu. Mobil-mobil yang tidak berani melaju dengan kencang dan memadati jalanan satu arah itu, kini menjadi tidak bergerak sama sekali akibat kecelakaan yang melibatkan tiga pengendara sepeda motor. Sementara Grace dan ibunya tergeletak, seorang anak laki-laki penyebab kejadian naas ini melarikan diri.

Pernah ada di posisi yang sama, Evan tidak mempedulikan baju mahalnya basah dan kotor. Ia hanya ingin menolong para korban. Jika dulu ia ditolong oleh seorang asing dan bisa mendapatkan kesempatan kedua untuk hidup, ia pun ingin meneruskan kebaikan itu pada orang lain yang sedang membutuhkannya.

"Tolong! Panggil ambulans!" Evan berteriak pada siapapun orang yang ada di sekelilingnya. Ia melepaskan tasnya dan menjadikannya bantalan untuk kepala gadis yang tak berdaya itu. "Kamu tunggu di sini ya."

Setelah itu ia meninggalkan Grace dan menuju pada wanita paruh baya di tepi jalan. Penampakannya tidak baik. Ada darah yang mengalir dari bagian belakang kepalanya. Evan merasa bahwa wanita ini membutuhkan pertolongan secepat mungkin.

"Dokter! Ada dokter di sini? Kalau ada, tolong kemari! Wanita ini butuh pertolongan cepat," seru Evan beberapa kali.

Entah bagaimana pesan tersebut berjalan dari titik kejadian sampai ke suatu lokasi yang agak jauh. Seorang wanita tiga puluh tahunan berlari-lari mendekat.

"Separah apa?" tanya wanita itu begitu berjongkok di dekat Evan. Ia langsung menangkap situasi buruk yang terjadi.

"Nggak tahu. Yang pasti darahnya cukup banyak," beritahu Evan yang buta mengenai hal medis. "Apa yang harus aku bantu?"

Wanita itu melihat ke sekelilingnya lalu pada Evan. "Tolong cari kain apapun yang tidak basah, kalau ada alkohol, dan juga payung," katanya.

Dengan sigap Evan berdiri dari tempatnya. Tidak peduli sesulit apa untuk mendapatkannya, ia mulai berteriak di sekitaran mobil-mobil di sana. Ia berlarian ke sana kemari, melewati orang-orang yang tidak cukup peduli untuk membantu.

Payung dan kaos bersih dengan mudah didapatkannya, tetapi tidak dengan alkohol. Mengerti bahwa dua benda di tangannya sangat diperlukan, Evan berlari kembali ke lokasi kejadian. Ia memberikan kaos bersih itu sementara memayungi dokter muda dan wanita tersebut.

Beruntung seseorang datang menawarkan diri untuk membantu. Evan langsung memintanya untuk memegangi payung. Ia tahu gadis yang masih tergeletak di dekat motornya tidak bisa dibiarkan sendirian juga.

Dengan terburu-buru Evan membopong tubuh Grace ke bawah naungan pohon. Dibiarkannya gadis itu berbaring dalam dekapannya. Kemudian ia mengambil jaket dari dalam tasnya untuk digunakan memayungi sang gadis tak berdaya itu.

"Ya Tuhan, selamatkan mereka." Evan menyampaikan permohonan doanya dengan suara yang samar-samar terdengar.

Meskipun hampir tidak sadarkan diri, rupanya perkataan lelaki itu mampu menggoreskan senyuman di wajah Grace.

[Desember 2011]

Dua plastik besar berisi sate bakso pedas dan cilok ada di tangan Grace. Ia membawanya dengan sedikit terburu-buru karena hendak melihat kembang api dari atap rumahnya. Tradisi tutup tahun ini sudah dilakukannya selama hampir tiga tahun terakhir bersama dengan sahabatnya.

"Evan! Bantuin!"

Yang dipanggil langsung menoleh dan datang mendekat. "Kebiasaan ya. Beli kebanyakan kamu," ucapnya. Ia menengok isi dari plastik-plastik tersebut.

"Yah kan biasanya kita di sini sampai subuh. Jadi perlu banyak amunisi," sahut Grace riang, terlebih ketika kembang api besar yang pertama sudah diletuskan. "Ah, udah mulai!" Bukannya memberikan salah satu dari plastik itu, ia justru memberikan semuanya kemudian berlari ke tepi atap.

Evan menggeleng-geleng heran akan kelakuan gadis itu. Ia meletakkan dua jenis makanan favorit mereka berdua ke atas meja yang ada di sana. Kemudian ia berdiri menyebelahi Grace.

Seruan Grace yang seperti anak kecil itu tidak berhenti untuk beberapa waktu lamanya. Ia memang paling suka berteriak sekencang mungkin di saat suara kembang api meledak begitu keras. Seolah-olah ia ingin adu suara.

Tentu saja kesempatan seperti ini tidak pernah Evan lewatkan. Ia merekam tingkah lucu sahabatnya itu dengan handycam-nya. Entah mengapa ia menikmati pemandangan ini tanpa bosan. Lebih tepatnya, tidak pernah bosan.

Grace menoleh, mendapati apa yang sedang Evan lakukan. Ia tersenyum lalu tertawa, berpose ala model tak berpengalaman. "Sini, sini. Gantian aku yang rekam kamu," katanya lalu mengambil perekam video itu dari sahabatnya.

Namun Evan mengarahkan benda itu hingga bukan hanya dirinya melainkan juga Grace yang tertangkap dalam bingkai monitor. "Jadi, nona Grace Melody, tolong jawab pertanyaan saya," katanya.

Terkekeh-kekeh, Grace menjawab, "Baiklah. Silakan."

"Apakah Anda siap menyambut tahun 2012?" Tangan Evan mengepal seolah membawa mikrofon yang disodorkan pada narasumbernya.

Dengan anggukan penuh kepastian Grace menyahut, "Tentu saja. Apapun yang akan terjadi, saya siap menghadapinya! Apa lagi di sisi saya ada sahabat seperti Anda, Bapak Evan William."

Perkataan itu membuat Evan menghela napas sebelum menimpali perkataan Grace. "Tapi kalau saya tidak ada, tetaplah semangat menjalani hidup, nona Grace!" serunya diiringi ledakan keras kembang api terbesar malam itu.

Demi mendengar hal itu, air muka Grace berubah. Tangannya yang memegang handycam langsung turun tanpa dimatikan. Ia berpaling pada Evan dengan tatapan serius. "Apa itu maksudnya? Kenapa kamu bilang gitu?" tanyanya.

Evan pun perlahan menoleh pada sahabatnya. "Aku ... harus pergi ke Inggris, Grace," beritahunya lemas.

"Kapan?"

"Lusa."

Grace terperanjat tidak percaya. "Kenapa kamu baru bilang, Van?" serunya kecewa. "Dan bukannya kamu pernah bilang kalau kamu mutusin untuk tetap di Bali? Kuliah dan kejar karir kita di sini sama-sama?"

Evan mengangguk. "Ya. Memang. Itu yang aku mau. Tapi ... kondisinya sulit, Grace. Aku harus pergi. Papaku sakit dan aku harus hidup di sana selama papa jalani pengobatan," katanya.

Kekecewaan, kesedihan, kemarahan bercampur menjadi satu di dalam dada Grace. Ia tidak bisa menerima kenyataan ini. Namun ia tidak bisa melarang kepergian sahabatnya itu. Ini masalah yang berat. Jika ada di posisi Evan, ia pasti tidak punya pilihan lain juga. Sedekat apapun mereka sebagai sahabat, anggota keluarga tentunya jauh lebih penting.

"Tapi tolong janji, Van. Jangan pernah putus komunikasi dari aku ya," pinta Grace yang mulai terisak. Kedua tangannya menggenggam lengan kaos Evan yang kanan dan kiri. Kepalanya juga bersandar pada dada lelaki itu.

Dengan hati yang hancur, Evan pun menarik Grace ke dalam pelukannya. Ia juga tidak ingin meninggalkan sahabatnya, tetapi takdir berkata lain. "Aku janji, Grace. Aku janji."

Di malam tahun baru itu, kebanyakan orang bergembira menyambut lembaran baru. Tetapi Grace dan Evan justru tenggelam dalam kesedihan. Keduanya seperti ikatan rantai kuat yang dengan paksa dipisahkan. Masing-masing diam-diam berharap bahwa perpisahan tidak perlu terjadi.

Hanya saja itu tidak mungkin.

[Juni 2018]

"Udah waktunya move on, Grace. Berapa tahun ini?"

Grace melirik sekilas pada Nita, teman sekantornya yang paling dekat, saat membereskan kertas-kertas yang ada di mejanya. "Jangan mulai deh," sahutnya singkat.

"Ya habisnya lo tuh nungguin cowok yang nge-ghosting lo bertahun-tahun. Kita ketemu sejak empat tahun lalu kan, dia udah menghilang. Padahal lo cerita kalau setahun kalian pisah, kalian udah nggak komunikasi. Artinya dia emang udah punya kehidupannya di sana, dan mau ngelupain lo. Jadi lo jangan berharap dia balik lah." Panjang lebar Nita mengutarakan pendapatnya, merasa gemas melihat temannya melakukan hal yang tidak masuk akal.

"Kerjaan udah selesai belum? Jangan ngurusin hidup orang deh," tukas Grace, tidak mau membahas tentang topik tersebut.

Nita mendesah kesal. "Lo udah gue anggep kaya saudara sendiri, Grace. Jadi maaf nih kalau gue rese. Tapi ini untuk kebaikan lo juga kali," ujarnya. "Daripada lo berkutat sama tuh cowok, siapa? Evan? Nah, mending sama Mario aja lah. Lo berdua tuh udah deket. Dia juga care sama lo. Tinggal say yes aja sama dia. Hidup bahagia sana. Lo berhak bahagia."

Meja kerja Grace kini tampak rapi. Ia bersiap untuk meninggalkan kantor, mengingat jam kerja hampir selesai. Adalah kebiasaannya untuk menyelesaikan pekerjaan tepat waktu agar ia tidak terlambat pulang.

"Kurang apa Mario? Posisi dia di sini udah manajer loh, Grace. Hidup lo sama dia tuh udah pasti mapan. Kalau gue belum nikah, gue pasti sabet kesempatan yang lo sia-siain ini." Nita masih terus berbicara, berusaha menggoyahkan pendirian kuat kawannya.

Grace memutar kursinya menghadap pada wanita berambut pendek itu. "Udah khotbahnya?" sahutnya sedikit sarkastik. Telinganya sudah gatal mendengarkan perkataan itu.

Merasa diabaikan tapi tidak tersinggung, Nita pun menyentuh lengan Grace dan berkata, "Gue akan berusaha lakuin yang terbaik untuk bikin lo bahagia untuk balas kebaikan besar lo dalam hidup gue, Grace."

"Terusin kebaikan itu ke orang lain aja. Aku nggak bantu kamu untuk minta balasan kok." Grace tersenyum, menolak halus bantuan Nita untuk mendekatkannya dengan Mario. "Dan tolong catat ini. Aku nggak suka orang kaya."

Kali ini Nita dibuat tidak berkutik. Perkataan Grace terdengar serius. Kedekatannya dengan gadis itu membuatnya tahu kapan harus berhenti bicara.

Alarm HP Grace menyala dalam mode getar, memberitahunya bahwa jam kantor telah selesai. Grace bangkit dari kursinya dan berpamitan pada Nita. Ia berjalan menuju ke lift, meninggalkan area kerjanya.

Matahari masih bersinar, rona keemasan menghiasi langit barat. Begitu berjalan keluar melewati lobi gedung hotel kenamaan di Bali ini, Grace menerima sorotan cahaya bak selebriti di atas panggung. Belum lagi ditambah angin sepoi-sepoi yang menerbangkan rambut coklatnya yang panjang ke samping. Jika saja ada fotografer handal di sekitarnya, sudah pasti posenya akan sempurna tertangkap oleh kamera.

Namun realita kehidupan tidak seindah fantasi. Karena terbutakan oleh sinar matahari, kaki Grace melangkah terlalu lebar dan mendarat di dua anak tangga berikutnya sekaligus. Tidak awas akan situasi ini, tubuhnya oleng ketika.

"Ah!" seru Grace, pasrah jika pada akhirnya akan mencium jalanan.

Hanya saja keberuntungan sedang berpihak pada Grace. Sepasang lengan yang kuat menangkapnya ke dalam dekapan hangat, menyelamatkannya dari rasa sakit dan malu yang mungkin menimpa.

Akibat sinar matahari, wajah pria yang menolongnya samar-samar terlihat. Namun ia bertanya, "Nona baik-baik saja?"

Masih tidak sepenuhnya sadar akan apa yang terjadi, Grace pun mengangguk.

Pria itu menegakkan kembali posisi tubuh sang gadis ceroboh. Tanpa mengucapkan sepatah katapun, ia berbalik pergi.

"Terima kasih!" seru Grace ketika sadar bahwa ia belum mengatakannya.

Tetap berjalan ke depan, tangan sang pria terangkat setengah tiang, menunjukkan jempolnya pada Grace.

"Apa itu tadi? Aneh-aneh aja. Kaya di drakor. Mimpi kali aku." Grace berkata-kata pada dirinya sendiri sambil menggeleng-geleng. "Udah lah. Lupain. Bunda udah nunggu di rumah."

[SK]

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status