Share

05 Berusaha Terus

Dari sepuluh kandidat yang sudah diuji, hanya terdapat dua orang yang memenuhi standar Evan. Yang satu laki-laki dan lainnya perempuan. Keduanya sama-sama unggul dalam hal administratif—salah satu kemampuan terpenting sebagai sekretaris, tetapi mereka harus bisa mengikuti cara kerja sang GM. Dari hasil tes psikologi, mereka berdua tergolong dalam tipe pekerja yang dominan melankolis, terlalu berhati-hati.

Situasi ini berbanding terbalik dengan Evan, sang koleris yang sangat gesit, cocok menjadi seorang pemimpin. Setiap pekerjaan yang ia lakukan selalu diselesaikan dengan cepat. Ia bukan tipe orang yang berlambat-lambat.

Hal ini ingin dimanfaatkan oleh Grace untuk bisa mendapatkan posisi sekretaris itu. Ia belum mau berhenti berjuang. Otak briliannya itu memberinya sebuah ide untuk berbicara mengenai kelemahan para kandidat dengan Evan.

"Pak Evan yakin dua orang yang terpilih itu bisa jadi sekretaris? Mereka justru kebalikannya Bapak loh," ucap Grace, masih berdiri di depan meja Evan setelah memberikan berkas ujian terakhir yang akan datang untuk kedua kandidat.

"Apa urusannya dengan Anda?" sahut Evan sarkastik. Ia bahkan tidak melihat ke arah lawan bicaranya.

Kalau kamu bukan sahabatku, udah kulempar mangga busuk kamu, Van. Grace mengumpat dalam hati. Ia masih tidak percaya seorang yang lembut sepertinya menjadi sedingin iblis. "Tanpa mengurangi rasa hormat, saya sangat mengenal Bapak. Orang-orang yang melankolis bukan pilihan Bapak. Justru seorang sanguinis seperti sayalah yang bisa mengikuti ritme kerja Bapak," katanya mempromosikan diri sendiri.

Kali ini, Evan melirik pada Grace. "Kata siapa? Anda nggak benar-benar mengenal saya," sahutnya. "Sekarang tolong tinggalkan ruangan ini. Saya perlu ketenangan."

Grace merasa kesal sekali. Ia sudah lelah mengurus ujian para kandidat dan membereskan semuanya dalam waktu satu hari. Hanya saja perlakuan yang ia terima dari sahabatnya justru membakar emosinya lebih lagi. Ia ingin meledak dalam kemarahan tetapi kemudian berpikir bahwa ini merupakan sebuah jebakan. Pikirnya Evan sengaja melakukan ini agar dia menyerah dan menjauh.

Nggak, Van. Aku nggak akan berhenti di sini cuma karena perkataan sarkastikmu itu. Grace menarik ujung bibirnya, berlagak tenang dengan memasang senyuman. "Oke. Silakan menikmati ketenangan, Bapak Evan Williams," katanya.

Evan bersikap cuek dan memperhatikan layar laptopnya saja.

Tidak terpengaruh atas sikap dingin Evan, Grace meninggalkan tempat dengan tenang. Ia berjalan kembali menuju ke ruangannya.

Di tengah jalan Grace berpapasan dengan salah satu asisten manajer dengan seorang staf yang tidak pernah ia lihat. Mereka tersenyum palsu di depannya, tetapi telinganya cukup tajam mendengar ujaran mengejek yang disebutkan di belakangnya.

"Emang nggak tahu malu si Grace nih. Tadinya Pak Mario, sekarang Pak Evan. Dipikirnya dia cantik apa?"

Sebagai seorang manusia fana, bukanlah hal yang mengejutkan jika Grace ingin membantai kedua wanita itu dengan perkataan kasar. Telinganya panas sekali dan ia yakin bahwa ia sanggup melakukannya. Jika bukan karena Evan yang mengajarinya untuk menahan emosi dulu, ia sekarang pasti sudah mendapatkan gelar 'Iblis Wanita'. Tidak akan ada orang yang sanggup bertahan setelah menerima makian darinya.

Grace mempercepat langkahnya demi pergi ke pantry sesegera mungkin. Ia ingin mendinginkan kepalanya yang kini membara seperti hutan terbakar.

Salah satu hal yang Grace sukai tentang bekerja di hotel ini adalah fasilitas yang disediakan untuk para pegawai. Pantry ini tampak seperti sebuah bar mewah yang dilengkapi dengan berbagai alat pembuat minuman serta bahan-bahannya. Minuman siap minum juga selalu tersedia; hampir tidak pernah habis.

Dari dalam lemari es yang kira-kira lima belas centimeter lebih tinggi darinya itu, Grace mengambil sekotak jus jeruk. Ia menancapkan sedotan ke dalam kotak itu dan meneguk minuman yang langsung menyegarkan tenggorokannya.

Di tengah menikmati jusnya, dua pegawai wanita dan pria masuk ke dalam pantry. Yang wanita agaknya sedang mengeluh pada koleganya.

"Kenapa gue yang disuruh sih? Ada juga tuh OB lain. Memangnya gue kerja di sini untuk jadi babu apa? Kalau mau jilat GM tuh harusnya usaha sendiri. Jangan nyuruh-nyuruh orang lain." Begitulah unek-unek yang demikian keras dikemukakan oleh pegawai wanita itu.

Grace tidak tahu manajer mana yang menyuruh wanita tersebut, tetapi ia tahu bahwa ini berkaitan dengan Evan. Ia tersenyum saat sebuah ide muncul di benaknya. Tanpa berlama-lama, ia mendekat pada kedua pegawai yang tidak dikenalnya itu.

"Hai. Maaf menginterupsi. Tapi kalau nggak salah, kamu disuruh ngelakuin sesuatu untuk Pak Evan?" tanya Grace tanpa berbasa-basi.

Wanita itu menghela napas panjang seraya mengatur emosinya dan mengangguk. "Iya. Disuruh bikinin minuman," jawabnya.

"Ya udah. Saya aja nggak papa. Kebetulan saya memang mau ke tempat Pak Evan," ucap Grace menawarkan diri.

Dengan mata membulat dan senyuman merekah wanita itu menyahut, "Beneran nih? Wah, lo emang cakep banget. Makasih ya!"

Grace mengangguk lalu berbalik menuju lemari es. Ia mengambil sekotak susu coklat dan buah-buahan seperti stroberi dan blueberry. Diambilnya juga mixer dari rak yang tidak jauh dari tempatnya berdiri. Dengan cekatan ia membuat smoothies kesukaan Evan dulu.

Minuman menyehatkan itu sudah siap dan Grace meletakkannya di atas sebuah nampan. Dengan hati-hati ia membawanya menuju ke ruangan Evan.

"Grace, Grace!" Suara Mario memanggil terdengar dari belakang. Ia baru saja keluar dari ruang kantornya.

Grace berhenti berjalan dan berpaling pada atasannya. "Ya, Pak?" tanyanya.

Mario mengerutkan dahi melihat apa yang Grace bawa. "Kenapa kamu bawa minuman? Untuk siapa? Pak Evan?" tebaknya sambil berjalan mendekatinya.

"Iya, Pak."

"Tapi kenapa kamu, bukannya OB?"

Grace menekan kedua bibirnya. "Hmm. Tadi sih saya dengar OB lagi nggak bisa. Terus ada pegawai yang disuruh. Tapi sepertinya dia sendiri sibuk. Jadi saya menawarkan diri saja. Kebetulan ada sisa waktu bebas dan jam kerja hampir selesai," jelasnya apa adanya.

Mario tidak menyahut sejenak. Ia tampak seperti memikirkan sesuatu. "Grace, pekerjaan kamu di sini adalah asisten manajer. Kamu bisa menyerahkan tugas ini ke OB. Jangan sia-siakan talenta dan reputasimu," katanya.

Grace menaikkan sebelah alisnya. "Apakah serendah itu tugas mengantarkan minuman?" Pertanyaannya menghujam jantung atasannya seketika itu juga.

"Bukan gitu maksud saya—"

"Bukankah bapak selalu bilang untuk punya inisiatif membantu saat diperlukan? Dan kebetulan bantuan yang diperlukan saat ini adalah mengantar minuman. Jangan khawatir, Pak. Hal seperti ini nggak akan mempengaruhi reputasi saya," ujar Grace memberikan penjelasan yang tidak bisa dibantah oleh Mario.

Dengan menghela napas panjang serta mengangguk-angguk, Mario menyahut, "Kamu benar. Maaf, saya cuma nggak mau reputasi kamu jatuh karena ini. Kamu tahu kan banyak yang membicarakan kamu di belakang?"

Grace tersenyum. "Terima kasih untuk perhatiannya, Pak. Saya nggak punya kendali untuk menutup mulut mereka. Tapi saya punya kendali untuk menutup telinga saya," ucapnya. "Apa ada hal lain yang perlu Pak Mario sampaikan ke saya? Karena kalau nggak saya perlu mengantarkan minuman ini ke Pak Evan."

Memang tidak ada hal lain yang ingin Mario sampaikan. Ia menghampiri Grace hanya karena melihatnya dengan minuman itu. Kini ia semakin merasa jatuh hati pada gadis itu dengan jawaban yang diberikannya barusan.

"Nggak ada kok. Silakan," kata Mario dengan senyuman simpul.

Grace sedikit menunduk lalu lanjut berjalan menuju tujuan awalnya. Fokusnya langsung teralihkan dari percakapannya dengan Mario pada apa yang akan ia katakan di ruangan Evan nanti.

Terlalu girang akan bertemu Evan untuk kedua kalinya dalam satu hari ini, Grace hampir-hampir menabrak manajer keuangan yang tiba-tiba muncul di tikungan. Beruntung ia bisa menjaga minuman itu agar tidak tumpah ataupun jatuh.

"Hei! Kalau jalan pakai mata dong. Hati-hati!" seru wanita yang lebih tua darinya itu.

"Maaf, Bu Gwen. Saya terburu-buru mengantar minuman ini untuk Pak Evan," balas Grace.

Gwen menatap ke arah minuman itu lalu berkata, "Sini. Saya yang antarkan aja." Ia menarik nampan itu dari tangan Grace.

Namun Grace tidak bisa membiarkan hal itu terjadi. Ialah yang mendapatkan kesempatan ini dan sudah bersusah payah membuatkan minuman itu. "Tidak perlu, Bu. Saya bisa melakukannya sendiri," tolaknya halus.

"Kalau saya bilang saya yang antar, jangan halangi saya." Gwen melotot pada Grace, tanda memulai peperangan yang sengit antar dua wanita.

Grace memang lebih kecil daripada Gwen, tapi tidak berarti kekuatannya lebih kecil pula. Ia menahan nampan itu sambil memegangi gelasnya agar isinya tidak tumpah. "Bu, mohon lepaskan. Biarkan saya melakukan tugas saya," ucapnya dengan nada yang lebih tegas kali ini.

"Kamu tuh cuma asisten ya. Jangan ngelawan saya!" Gwen berseru lalu dengan kasar mendorong nampan itu ke arah Grace.

Sebagai hasilnya Grace oleng ke belakang dan menabrak dinding dengan punggungnya. Smoothies yang enak rasanya itu pun tumpah, mengotori blus putihnya.

"Tuh kan! Karma karena kamu ngelawan atasan!" bentak Gwen dengan kedua tangan bersedekap.

Kedua tangan Grace penuh, yang satu menggenggam nampan dan yang lainnya gelas. Kepalanya benar-benar mendidih sekarang. Ia siap untuk memukul sang manajer dengan apa yang ia pegang sekarang.

Namun sebelum perang benar-benar pecah, Evan keluar dari ruangannya dan berseru, "Apa-apaan ini? Kenapa bikin ribut di depan kantor saya?"

Demi membela diri, Gwen buru-buru berkata, "Saya tadi mau mengantarkan minuman untuk Pak Evan. Tapi dia merebutnya dan memaksa mau mengantarkannya ke Bapak. Jadilah minumannya tumpah begitu. Tangan saya juga jadi lengket begini."

Grace tidak habis pikir bagaimana wanita itu bisa bersilat lidah, memutarbalikkan fakta yang ada. Kurang ajar! Setetes air aja nggak ada di tangannya, bisa-bisanya dia bilang tangannya lengket? "Anda percaya ceritanya?" sergahnya, melirik pada Evan.

Evan tahu betul bahwa Grace bukan pembuat onar. Jika ia sampai mendapatkan masalah, itu hanya karena dia ingin membela diri. Namun demikian, ia tetap bersikap tenang untuk menilai masalah ini dengan bijaksana tanpa memihak siapapun.

"Saya nggak peduli siapa yang benar. Tapi kalian berdua ada di lokasi tempat kejadian perkara. Bereskan semuanya. Saya mau ini bersih kembali sebelum jam kerja selesai," perintah Evan.

Sementara Gwen menampakkan wajah kecewa dan marah, Grace kini justru tersenyum sinis. Puas karena sang manajer keuangan turut kena damprat Evan. Tambahan lagi, ia tidak merasa keberatan untuk membersihkan noda kecil di karpet itu. Bersih-bersih adalah hal yang biasa baginya untuk dilakukan di rumah.

Gwen berkacak pinggang lalu pergi dari tempatnya tanpa mengucapkan sepatah katapun. Entah ia akan kembali melakukan sesuai dengan perintah Evan atau tidak.

"Maaf untuk kekacauan ini," kata Grace sebelum Evan masuk kembali ke ruangannya.

Entah bisa dikatakan beruntung atau tidak yang pasti Grace merasa lega. Dari yang bisa ia lihat, Evan sebenarnya mempercayainya.

Seorang OB keluar dari tikungan kemana Gwen pergi tadi. Ia menghampiri Grace dan menawarkan untuk membereskannya. Awalnya Grace menolak karena Evan memintanya untuk bertanggung jawab. Tetapi dengan desakan sang OB, pada akhirnya ia menyetujui. Diberikannya juga gelas serta nampan kotor itu pada wanita paruh baya di depannya.

Grace bergegas menuju ke toilet. Beruntung ia selalu mengantongi HP-nya. Dihubunginya Nita untuk memberikan bantuan. Ia menunggu beberapa lama sambil membersihkan blusnya dengan air dan tisu.

Jarak dari ruangannya ke toilet dimana ia ada sekarang tidak jauh. Tetapi Nita baru sampai dua puluh menit kemudian dengan napas terengah-engah.

"Lama banget sih, Nit? Ada kerjaan ya?" tanya Grace.

Nita menggeleng sambil setengah mengangkat telapak tangannya."Lo ... berantakan banget sih? Nyusahin aja ... tahu nggak? Habis perang apa gimana sih lo?" ujarnya lalu menegakkan badan setelah bisa mengatur napas. "Nih baju ganti."

"Ya ampun, makasih loh, Nit. Sampai dibeliin baru," katanya Grace tersenyum-senyum melihat blus batik yang ia tahu dijual di toko di lantai satu.

"Emang gue yang ke sana beliin. Tapi yang nyuruh Pak Evan. Uangnya dia." Nita memberitahu.

Mendengar perkataan itu, hati Grace menjadi hangat. Ia sudah bisa menduga bahwa sahabatnya itu tidak akan tega melihatnya mengalami hal buruk. Seburuk apapun sikap yang ditunjukan Evan saat ini, tidak lantas mengubah pemikiran Grace mengenai pria itu.

[SK]

sairentogaaru

Ah, Evan tsundere ini. Wkwkw.

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status