Share

04 Kompetisi

Tidak diberi kesempatan untuk mencoba tidak berarti kalah. Grace tidak mau menyerah begitu saja. Ia memang tidak bisa mengikuti tes untuk menjadi asisten GM, tetapi ia punya jalan lain.

Grace berhasil membujuk banyak pegawai dari berbagai divisi untuk menjadi kandidat asisten GM. Dengan begini Evan merasa kewalahan jika mengerjakannya sendirian. Maka bantuan dari HRD dibutuhkan untuk menyeleksi para kandidat.

Awalnya Nita lah yang diminta untuk turun tangan dalam tes ini. Akan tetapi setelah meyakinkan Mario bahwa ia bisa melakukannya lebih baik, Grace pun mengambil alih tugas. Sudah mengerti apa yang gadis itu rencanakan, sang kolega pun tidak menolak.

Waktu pendaftaran hanya dibatasi satu hari. Semua data kandidat yang mendaftar sudah terkumpul. Sesuai persyaratan yang diajukan oleh Evan, Grace menyortir para pendaftar. Cukup banyak yang harus gugur dalam tahap seleksi administratif.

Tersisa sepuluh kandidat dari delapan puluh tujuh pendaftar. Grace kini berjalan menuju ke ruangan GM untuk menyerahkan data terperinci mereka.

"Permisi, Pak Evan." Grace menyembulkan kepalanya pada celah pintu setelah mengetuknya beberapa kali. "Saya membawakan data sepuluh kandidat yang akan dites."

Evan cukup terbelalak melihat siapa yang muncul. Ia tidak habis pikir caranya untuk melarang keterlibatan Grace gagal semudah itu.

Grace berjalan mendekat dengan tenang lalu memberikan sebuah folder berisi kesepuluh data para kandidat. "Yang tersisa ini adalah yang terbaik. Silakan diperiksa," katanya puas akan perbuatannya.

"Terima kasih. Silakan kembali ke tempat Anda," ujar Evan dingin.

Perkataan sang GM membuat Grace sangat kesal. Ia tidak menyangka bahwa ia akan diusir secepat itu. "Bapak yakin tidak membutuhkan bantuan saya?" tanyanya dengan gemas.

"Seratus persen. Silakan angkat kaki dari ruangan ini." Evan kembali menegaskan permintaannya yang agaknya tidak tergoyahkan.

Tidak memiliki alasan apapun untuk tetap berada di sana, Grace berbalik pergi dengan berat hati. Di depan pintu ruangan Evan, ia sempat berhenti sejenak. "Lihat aja, Van. Apapun caranya, aku bakalan cari tahu alasanmu bersikap kaya gini ke aku," ujarnya berjanji pada diri sendiri.

Sepanjang hari itu Grace berusaha untuk tetap bisa fokus pada pekerjaan utamanya meskipun kepalanya dipenuhi dengan Evan. Label pegawai terbaik yang dipasangkan padanya tidak boleh copot dengan alasan apapun. Mau tidak mau ia mengakui bahwa dengan itulah ia bisa dipromosikan ke posisi yang tinggi dalam waktu singkat.

Belum lagi hari-hari ini Grace memerlukan biaya lebih untuk pengobatan sang bunda. Kondisi fisik yang semakin lemah akibat penyakit jantung bawaan sangat mengkhawatirkan. Ia tidak ingin kehilangan bundanya dalam waktu dekat.

"'Scuse me." Figur tinggi dan kekar muncul di sebelah meja Grace.

Melihat atasannya datang, Grace langsung bangkit berdiri. "Iya, Pak Mario. Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya.

Mario menampilkan senyuman lembut di wajahnya. Ia menyerahkan sebuah USB flash drive berwarna biru pada asistennya. "Minta tolong beberapa data di sini kamu cek ya. Detail sudah saya tulis di dokumen terpisah," katanya.

Grace mengerutkan dahinya. "Oh? Kenapa nggak dikirim via email aja, Pak?" tanyanya polos.

Nita yang mendengarkan interaksi di antara atasan dan asisten ini menggeleng-geleng kepala atas respons sang kolega.

"Hm, ya... ada masalah sama laptop saya. Internetnya nggak jalan," sahut Mario mencari-cari alasan yang tepat.

"Ah, gitu. Seharusnya tadi Bapak bisa minta saya ambil flash drive ini ke ruangan Bapak, daripada Bapak sendiri yang repot-repot mengantarnya ke sini," lanjut Grace, masih dengan kenaifannya.

Kali ini Nita memperdengarkan sedikit desahan. Tapi karena tersadar suaranya terlalu keras, ia berpura-pura sedang mengomentari sesuatu yang sedang ia kerjakan.

Mario menggaruk pelipisnya dengan telunjuk kanannya. "Ah, itu karena saya kebetulan akan ke ruangan Pak Evan, jadi saya bawa aja sekalian." Ia memberi jawaban masuk akal dengan cepat.

Tapi yang namanya Grace, memang terkadang tidak bisa mengontrol mulutnya yang terlalu terang-terangan itu. "Padahal kan beda arah, Pak. Ruangan Pak Evan ke arah timur, sementara ruangan ini ke arah barat," katanya.

Demi mendengar ucapan kawannya, Nita segera menyenggol Grace dari belakang.

Polosnya, Grace menoleh dan bertanya pada Nita, "Apa, Nit?"

Seringai kikuk diperlihatkan oleh Nita. Ia pun berdiri lalu berkata, "Grace akan segera mengerjakan tugasnya, Pak," agar mencairkan suasana aneh itu segera.

Mario mengangguk. "Baik. Terima kasih," katanya.

"Ya, sama-sama. Eh, Pak Mario, um." Grace menahan Mario yang hendak melangkah pergi hingga pria itu tidak beranjak dari tempatnya. "Bapak mau ke ruangan Pak Evan ya? Ada yang bisa saya bantu?" Ia sengaja menawarkan diri agar bisa bertemu kembali dengan Evan.

Mario berpikir sejenak lalu menjawab, "Saya pikir nggak ada. Beliau cuma mau berbicara dengan saya untuk urusan kepegawaian. Mungkin untuk calon sekretaris eksekutif."

Meskipun kehadiran Grace jelas tidak diperlukan, ia tidak habis akal untuk mencari kesempatan sekecil apapun demi bertemu dengan sahabatnya itu. "Wah, pasti banyak yang dibicarakan. Bisa jadi Pak Evan akan memberi banyak tugas dan Pak Mario perlu mencatat semuanya. Sebagai asisten, saya bisa membantu. Bapak tahu kan saya jago dalam notulensi?" desaknya menghimbau.

Mario yang tidak tahu alasan di balik desakan itu langsung mengiyakan. Ia menyangka ada kesempatan terbuka baginya untuk dekat dengan sang asisten. "Kalau begitu ayo ikut saya," katanya.

Grace girang sekali. Ia mengambil iPadnya serta perekam suara yang menjadi dua alat andalan ketika menghadiri pertemuan apapun.

"Astaga, Grace. Bisa banget ya lo cari kesempatan dalam kesempitan?" bisik Nita terheran-heran. "Good luck deh buat lo."

Grace tidak menyahut kecuali menyunggingkan ujung bibir kanannya sebagai tanggapan. Ia menegakkan tubuhnya lalu meninggalkan tempat bersama Mario.

Di dalam otak Grace, terdapat ide demi ide yang ia susun untuk mencari tahu tentang Evan. Apa yang harus ia lakukan dan katakan saat bertemu dengannya lagi. Tekadnya bulat untuk menyelidiki perubahan sikap sahabatnya itu. Baginya sangat tidak mungkin untuk orang sehangat Evan bisa seratus delapan puluh derajat berubah menjadi orang lain.

Begitu sampai di depan ruangan GM, Mario membukakan pintu untuk Grace. Gadis itu menarik napas panjang diam-diam sebelum memasukinya.

"Selamat siang, Pak Evan," sapa Mario setelah menutup pintu dan berjalan mendahului asistennya.

"Selamat si...," Evan hampir-hampir melotot begitu melihat sahabatnya turut hadir, "...ang. Kenapa ada dia di sini?" Ia jelas menunjukkan ketidaksetujuannya akan kehadiran Grace.

Mario sedikit menoleh pada Grace sebelum menjawab, "Oh ya. Mohon Pak Evan tidak keberatan kalau saya mengajak asisten saya kemari. Dia yang biasanya membantu saya mencatat semua pertemuan."

Evan memberikan tatapan datar. "Oke. Tapi silakan di duduk di sofa, karena hanya ada satu kursi di depan meja saya," katanya melarang Grace mendekat secara halus.

Hanya saja Grace tidak kurang akal. "Dengan segala hormat, mungkin akan lebih nyaman jika kita semua duduk di sofa. Dengan begitu saya bisa mendengar perkataan Pak Evan dengan jelas," katanya.

"Siapa bilang? Saya lebih nyaman duduk di sini," sergah Evan, membantah ucapan Grace.

Mario melihat situasi menjadi kurang menyenangkan. Ia pun segera menengahi. "Begini saja. Grace, kamu bisa duduk di sofa dan recorder-mu bisa diletakkan di meja ini. Jadi apa yang nggak kamu dengar nanti bisa diisi dilengkapi saat mendengarkan hasil rekaman," ujarnya mengusulkan.

Grace tidak bisa menyanggah lagi. Mau tidak mau ia harus melakukannya sesuai dengan usulan Mario. Kalau tidak, ia justru akan kehilangan kesempatan saat itu juga karena diusir keluar. Diletakkannya perekam suara di atas meja Evan, sementara ia duduk di sofa yang berjarak dua setengah meter dari meja tersebut.

Merasa menang atas perdebatan kecil itu, Evan diam-diam menunjukkan senyuman di sudut bibirnya. "Oke. Saya akan menjelaskan tentang pemikiran saya terkait sepuluh kandidat sekretaris eksekutif yang ada," ucapnya memulai.

Awalnya suara Evan cukup bisa didengar dari tempat Grace duduk. Namun semakin lama volume suaranya semakin kecil. Ia hampir-hampir tidak bisa menangkap perkataannya.

Kurang ajar. Dia sengaja ya, biar aku nggak denger? Grace merasa geram, tetapi ia tidak mau dikalahkan begitu saja. Ia bangkit dari tempatnya dan kemudian berdiri di sebelah meja Evan.

Kedua pria yang sedang berdiskusi itupun akhirnya berhenti berbicara dan menoleh pada Grace.

"Oh? Saya tidak bisa mendengar dengan baik di sana. Jadi saya berdiri di sini. Jangan hiraukan saya. Silakan melanjutkan diskusi," jelas Grace tanpa rasa bersalah atau malu.

Berkebalikan dengan Mario yang merasa tidak enak hati karena asistennya berdiri, Evan justru tampak tidak peduli. "Oke." Begitu saja tanggapannya.

Lihat aja, Van, siapa yang menang di pertandingan ini. Kamu mau bikin aku kalah sebelum perang kan? Kamu salah ngeremehin aku. Grace menyunggingkan sudut bibirnya lagi, percaya diri akan memenangkan pertarungan ini.

Tiga menit, tujuh menit, sepuluh menit. Seiring berjalannya waktu, kaki Grace mulai terasa lelah. Ia beberapa kali menggerak-gerakkan kaki demi bisa bertahan di sana.

Mario sudah merasa gelisah karena ia tahu asistennya punya masalah dengan berdiri terlalu lama. Diam-diam ia selalu memperhatikan gadis itu.

Akibat gerakan Grace yang semakin banyak, mau tidak mau fokus Evan juga teralihkan. Kecelakaan di masa lalu memang mempengaruhi kekuatan kaki sahabatnya. Ia merasa tidak tega sehingga ia terpaksa mengakhiri diskusi. "Kita selesai sampai di sini. Saya rasa permintaan saya tadi cukup jelas ya, Pak," katanya.

"Ya. Jelas sekali. Ada Grace yang juga akan membantu." Mario beranjak dari kursinya. "Saya akan mengirimkan beberapa tes paling maksimal nanti sore. Kami sudah ada beberapa format yang biasa dipakai."

Evan mengangguk.

Grace menyelesaikan notulanya dan mengambil kembali perekam miliknya dari atas meja. Ia sedikit menundukkan kepala tanda berpamitan tanpa sepatah kata terucap.

"Kami permisi," ujar Mario lalu mengajak Grace pergi. Tangannya berjaga di belakang badan gadis itu tanpa menyentuhnya, kalau-kalau ia tiba-tiba tidak bisa berjalan dengan baik.

Pada faktanya Grace merasakan sedikit nyeri di kaki, tapi ia tetap bertindak seperti semuanya baik-baik saja. Ia tampak berjalan normal seperti biasanya. Menurutnya, tampil tidak prima di depan atasan adalah hal yang tidak patut dan merupakan hal terakhir yang ingin dilakukannya.

Mario bersikukuh untuk mengantarkan Grace meskipun gadis itu sudah meyakinkannya bahwa tidak ada masalah. Ia pun menghibahkan tugas yang sebelumnya pada Nita agar Grace fokus pada mengerjakan permintaan sang GM.

"Ciyeh, yang diperhatiin sama Pak Mario. Gue doain, lama-lama lo luluh dan paham sama kebaikan hatinya. Biar nggak bego kaya tadi," singgung Nita sambil terkekeh.

Grace berdecak, tidak mau mendengarkan perkataan kawannya lagi. "Udah, kerjain aja itu tugas barumu. Diminta sore ini selesai kan?" sergahnya. Matanya terfokus pada layar komputer di depannya.

Merasa dihiraukan, Nita pun menggeleng-geleng tak percaya. Tetapi ia tidak begitu heran karena bukanlah sebuah hal yang baru jika Grace bersikap seperti itu.

Dalam waktu sekitar dua puluh menit, Grace tidak berhenti memijit-mijit kakinya. Nyeri itu masih terasa dan cukup mengganggu pekerjaannya. Ia tahu apa yang perlu diminum untuk meredakannya. Maka ia menghentikan aktivitasnya sejenak untuk memesan obat secara online.

Namun belum sempat menekan tombol 'Beli', seorang kurir pengiriman barang datang, membawakan pesanan atas nama Grace. Karena merasa tidak memesan apapun, ia menjadi bingung. Sekantong plastik bertuliskan nama apotek itu berisikan obat, tepat seperti yang hendak ia beli.

"Perhatian banget sih, Pak Mario. Sampai beliin obat untuk lo," ujar Nita menggoda di tengah-tengah kesibukannya.

Tidak menanggapi perkataan Nita, Grace justru berpikir. Obat ini sudah dikonsumsinya selama bertahun-tahun sejak kecelakaan itu. Jika nyeri datang, obat inilah yang dibeli. Tidak ada yang tahu kecuali mamanya dan ... Evan.

[SK]

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status