Share

02

Azlan memotret beberapa pohon dari atas kapal.

“Perjalanan ini membutuhkan waktu 2 jam 15 menit. Untuk tiba di pulau yang akan kita tinggali beberapa hari” Ucapan Azlan membuat Faleya seketika menjawab.

“Pulau? “

“Ya, pulau” Tegas Azlan. Faleya membelalakkan mata tak percaya ia bahagia namun sedikit ragu. Ia menatapku aku hanya tersenyum mengangguk berharap semuanya akan menyenangkan.

Faleya menatap danau yang begitu jernih.

“Jangan di tatap Faleya, atau buaya akan muncul ke permukaan!” Kali ini Faleya sudah sedikit pucat, ia bergidik ngeri dan segera menggeser tubuhnya ke tengah kapal dekat denganku. Namun, hanya itulah yang membuatnya takut. Ia tidak peduli apakah Azlan bercanda atau serius intinya ia bahagia berada di atas kapal ini. Melihat danau dari jauh sudah membuatnya lupa kalimat Azlan barusan.

Perjalanan cukup menyenangkan, terpaan angin yang membelai wajah kami dengan perlahan menenangkan kelelahan kami selama berjalan tadi, Azlan masih sibuk dengan bukunya. Kay sibuk memperhatikan kanan kiri danau. Sedangkan Rizam menikmati pemandangan dengan tiduran di atas tumpukan karung yang tidak terpakai, ia merasa nyaman di atas sana. Iya, dia berada di bagian belakang perahu yang cukup tinggi, ia menikmatinya sendirian. Akhirnya Kay ikut bergabung di sana. Kami benar-benar menikmati ini. Hingga suara Azlan memecah kebahagiaan yang aku rasakan.

“Persiapkan laporan yang akan segera aku tanda tangani. Itu akan menjadi penjelasan dari foto yang aku ambil !” Serunya.

“Bukankah itu tugas Dira?” Sahutku.

“Itu tugasmu. Tugas Dira adalah meneliti beberapa pohon secara ilmiah lalu menyusunnya menjadi satu bab.” Ia membuatku diam dan segera membuka laptop. Kami, hanya boleh membawa satu laptop dalam satu tim, kebetulan laptop yang di bawa adalah milik Azlan. Itu artinya aku harus banyak bertanya padanya, salah satunya passwordapa yang ia gunakan pada laptopnya. Aku menghadapkan laptop ke arahnya tidak bicara apa pun. Ia mengetikkan beberapa huruf kemudian layar terbuka. Aku segera membuka wordmengopikan beberapa fileyang ku simpan di flashdiskpibadiku. Flashdisk yang amat berharga ia berisi banyak data penting selama perjalanan.

Aku perlu membuat beberapa perubahan dari fileyang kusalin. Al hasil, hal itu membutuhkan cukup waktu. Dira mendiskusikan banyak pohon dan beberapa manfaatnya padaku. Aku menimpalinya sesekali hingga akhirnya aku perlu fokus pada pertanyaannya.

“Bagaimana pendapatmu tentang pohon emas?” Dia terkikik di ujung kalimatnya.

“Itu hanya sebuah legenda.” Aku membalas cepat, dia kembali bertanya.

“Bagaimana jika benar adanya?”

“Semua orang di dunia akan berlomba-lomba mendapatkannya jika perlu mereka akan memperbanyak bibitnya.”

Aku menghadapkan laptop ke arah Azlan, layar laptop kembali terkunci. Ia mengetikkan beberapa huruf kembali. Dan layar segera terbuka. Aku melanjutkan tugasku.

“ Maksudmu semua orang butuh uang?” Dira bertanya lagi, aku menjawab datar.

“Benar. Apalagi yang akan mereka lakukan jika mereka punya kesempatan memiliki pohon emas kecuali mereka akan menjualnya dan membangun dan mendapatkan apa yang mereka inginkan.” Laptop kembali terkunci. Aku memberikannya pada Azlan sekali lagi. Dia tetap mengetikkan beberapa huruf kembali.

“ Terdengar cukup menakjubkan. Tapi, aku tidak yakin yang akan memperbanyak bibitnya adalah orang miskin. Tapi yang aku yakin mereka adalah orang kaya yang masih merasa miskin.” Dira mengatakan kalimat apa adanya. Di tengah danau yang asri kalimat itu terucap. Aku mengangguk membenarkan. Kali ini terngiang kalimatnya. Benar sekali !

Laptop terkunci lagi. Aku menyodorkan laptop ke arah Azlan dia mengetikkan beberapa huruf lagi.

“Bisa Anda katakan apa passwordnya kapten?” Tanyaku kesal. Di tengah kesibukannya dia menatap sambil mengerutkan kening.

“Kenapa tidak bertanya dari tadi nona.” Ujarnya.

“Kenapa tidak Anda beritahu Kapten!” Seruku tak mau kalah.

“ Karena Anda tidak akan mendapat jawaban dari sesuatu yang tidak anda tanyakan nona Sena.” Azlan menjawab tegas.

Aku menghela nafas, berusaha melunak dan mengalah padanya. Karena masalah tidak akan selesai jika kedua pihak masih sama-sama enggan mengalah.

“Baiklah. Apa passwordnya kapten?”

“Cerewet, itu saja!” Serunya tanpa menatapku. Aku sudah berasap mendengar jawabannya. Aku tidak tahu apa dia sedang bergurau atau serius. Intinya aku malas berlama-lama berurusan dengannya. Meskipun aku tahu aku akan selalu bersisian dengannya jika kami masih satu tim. Mengingat itu aku menghela nafas melegakan hati. Segera mengetikkan kata cerewet pada layar laptop yang masih terkunci.

C e r e w e t

Kata sandi yang aku masukkan salah. Aku merasa dia mempermainkanku ini sangat menyebalkan. Aku sudah geram, ingin rasanya melayangkan satu tumpukan buku ke arahnya.

“ Aku tidak ingin bercanda. Katakan passwordmu yang sebenarnya.” Aku berucap datar.

“ Kurasa Anda bisa mendengar kalimatku dengan baik.” Sahutnya.

“ Sudah kuketik cerewet. Tapi salah” Aku berucap dingin. Kesal sekali.

“Kau yakin?”

“99% yakin” Aku menegaskan.

“Kalau begitu kamu salah” Tukasnya.

“Jadi, apa passwordyang benar?” Aku memaksa.

“Cerewet itu saja” Dia mengulangi kalimat itu lagi. Aku menghadapkan laptop ke arahnya dan mengetik kata c e r e w e t.

Dia menatap datar, dan tak kalah dingin.

“Kau tidak mendengar ucapanku? Kuulangi sekali lagi, aku mengucapkan kalimat cerewet itu saja.” Dia menekan kalimat terakhirnya.

Aku teringat sesuatu. Apa l ketiga kata itu passwordnya? Aku segera mengetikkan apa yang dia ucapkan. Dengan segenap wajah semerah kepiting rebus aku tak berani menatap kan wajah lagi ke arahnya. Apakah dia sengajamenjebakku, entah apa pun alasannyaitu sangat menyebalkan. Azlanyangsangat menyebalkan aku menggerutu dalam hati.

Rasa maluku sudah sampai ke ubun-ubun, aku segera menyelesaikan tugasku. 15 menit berlalu kemudian menyalinnya ke flashdisk. Aku mengembalikan laptop itu di sampingnya kemudian melenggang berlalu, menuju Rizam dan Kay. Ada beberapa hal yang perlu kutanyakan.

Dira menegurku sebelum langkahku jauh.

“Mau kemana Sen?”

“ Aku ada perlu, sekalian ingin merasakan suasana di atas sana. Mau gabung?” Aku menawarkan. Dia mengangguk setuju dan menutup buku-bukunya membawanya ke arahku. Kami berlalu bersama.

Rizam berbaring seperti para turis menjemur tubuh mereka. Tapi jika boleh aku sarankan sebaiknya dia tidak berjemur, kulit sawo matangnya akan terlihat lebih manis jika tidak berada di bawah matahari langsung. Dira menggeleng melihat tingkah Rizam yang begitu menikmati susasana.

Kay mengeluarkan buku dari balik jaketnya. Menyodorkan padaku.

“ Kamu perlu belajar banyak hal dari ekspedisi ini.” Dia tersenyum di akhir kalimatnya. Aku enggan bertanya, dan memilih membuka buku itu. Dan ternyata isinya kosong, aku tertawa perlahan. Dan mengangkat alisku. Seolah bertanya apa maksudnya.

Dira sedang berdiskusi hal penting dengan Rizam dia tidak memperdulikan kami.

“ Kau perlu banyak belajar. Dan tulis di sana. Aku akan membacanya setelah ekspedisi berlalu.” Ujarnya menegaskan.

Aku mengangguk, duduk di sampingnya menatap ke depan ke arah kemudi.

“ Bagaimana kamu yakin aku akan sempat menulis sesuatu di buku kecil ini. Bahkan aku sendiri rasanya susah untuk mendeskripsikan sedikit kalimat tentang ekspedisi ini.” Aku terdiam dan melanjutkan.

“ Tugasku cukup rumit.”.

“Jangan merasa berat sendirian, kamu belum mencoba jadi aku dan Dira. Kami berdua harus mati-matian meneliti banyak jenis pohon untuk bahan materi kita. Hal itu cukup menguras tenaga otak dan raga.” Jelasnya.

“Itu terdengar sangat rumit” Aku mencoba memahami.

Dia mengangguk dan melanjutkan pertanyaannya.

“Jadi apa yang membuatmu merasa rumit?” Dia menatapku. Aku menggeleng cepat. Aku tidak ingin hal konyol yang aku rasakan menjadi alasanku merasa tugasku rumit. Tidak mungkin aku akan menjelaskan bahwa aku kesal pada Azlan hanya karena sebuah password. Dan itulah penyebab mengapa aku merasa tugasku paling berat. Terdengar lelucon bukan?

“ Pohon apa yang sudah kau teliti dengan Dira? “ Aku balik bertanya.

Kay mengingat-ingat sejenak. Memutar otaknya kembali membongkar memorinya.

“Mulai dari pohon yang paling sering kita jumpai di area perumahan atau kampus. Contohnya pohon Cemara, pohon rambutan, mawar, dan beberapa jenis bunga lain” Jawabnya.

“Target selanjutnya apa?” Aku balik bertanya.

“Maksudmu, penelitianku?” Tanyanya. Aku pun mengangguk.

“Tidak banyak” Dia mengeluarkan sebuah kertas dari sakunya. Mengeluarkannya dan menunjukkannya padaku. Aku membacanya sekilas.

“Hah? Sebanyak ini? Tujuh belas macam tumbuhan? Apa kau yakin kita akan menyelesaikan misi ini dengan tenggat waktu yang sudah di tentukan?” Kay mengangguk yakin, seolah tidak ada kata tidak baginya. Mata elangnya menatap lurus ke depan. Menyiratkan kuattekadnya ingin menyelesaikan misi ini. Apadiasadar? Begitulah yang terlintas di pikiranku.

“Semoga berhasil!” Seruku tersenyum kecut menatap danau.

Dalam hati terdalam, aku tidak yakin dengan jalanku. Sedangkan aku tahu ini adalah hal yang aku inginkan sejak dulu. Ada sedikit kecewa di hatiku. Tapi aku tidak bisa egois atau aku akan kehilangan peluangku seluruhnya. Jalanku masih panjang, bagaimana aku akan kuat menjalani semua yang tampak kalut di depan mata jika hatiku tidak meyakinkan langkahku sendiri. Semua itu memenuhi pikiranku, aku bimbang dan sesak.

Tidak hanya itu, semua yang terbayang di kepalaku adalah jalan yang berliku dan berkerikil, aku bahkan tidak tahu cara terbaik menghibur diri sendiri. Atau hanya sekedar menepi dari pikiran yang semrawut ini, pikiran yang tak pernah tergambarkan oleh kata-kata sederhana.

Aku menatap danau sekali lagi. Perasaanku sedikit membaik, rasa takut dan gelisahku perlahan memudar. Danau yangindah, asri dan yang paling penting bersih. Tidak ada sampah sedikit pun di sini. Berbeda dengan kondisi alam di kota kami, yang terlihat sangat menyedihkan.

Percikan air yang di lalui perahu kami terlihat indah. Aku tidak pernah mabuk dalam urusan perjalanan begitu juga dengan ke lima temanku, mereka memiliki kondisi fisik yang bagus.Lagipula perjalanan yang kami tempuh hanya 2 jam lebih. Otomatis hal itu tidak sulit bukan, apalagi pemandangan kiri kanan kami cukup menghibur menghempaskan kebosanan.

Aku menatap dua orang di ujung sana, mereka terlihat asyik berbincang sedari tadi. Sesekali mereka tertawa, entah apa yang mereka diskusikan. Tapi aku yakin, keduanya pasti merasa nyaman. Bagaimana tidak, mereka terlihat akrab sekali. Hingga tak terasa perjalanan 2 jam lebih itu pun berlalu.

Perlahan kapal menepi membiarkan badannya menyentuh jembatan kapal. Kami segera turun, sesegera mungkin penduduk setempat menggantikan kami. Aku melihat mereka sedang membersihkan duri di baju mereka.Mereka tersenyum ke arah kami. Kemudian melambaikan tangan ke arah kami setelah kami sampai di ujung jembatan.

Pemilik kapal itu tersenyum lebar. Ia tidak banyak berbicara pada kami, dia hanya berbicara banyak pada Azlan selama perjalanan tadi. Percakapan mereka tak kurang dari 2 jam di mulai sejak masalah passwordku. Azlan tersenyum ke arahnya dan sempat melambaikan tangan. Rizam dan Kay juga melakukan hal yang sama. Perahu itu menunggu penumpang lain sebelum berangkat. Namun kami tidak bisa berlama-lama di sini, kami harus melanjutkan perjalanan untuk mempersingkat waktu.

Kami menelusuri jalan dengan petunjuk peta. Sekitar 100 meter lagi kita akan sampai di pusat keramaian di kota ini. Tempat kami bisa bertanya banyak hal dan menemui pemimpin pulau ini. Terik matahari menyengat begitu panas. Perjalanan ini seolah panjang saja, bagaimana tidak selain banyak tumbuhan berduri di kanan kiri jalan setapak ini. Pohon-pohon besar juga berdiri tegak seolah menjadi penghalang jalan ini.

Kami sempat berpapasan dengan beberapa penduduk setempat, dengan pakaian sederhana tapi dengan raut wajah bahagia dia bersama seorang anak kecil yang cantik. Mereka terlihat terburu-buru namun masih bisa tersenyum ke arah kami.

Banyak pertanyaan yang muncul di kepalaku yang belum bisa aku tanyakan, bukan karena tidak ingin bertanya namun karena aku sedikit takut mengajukan pertanyaan apa pun terlebih lagi teman-temanku tidak ada yang memulai percakapan apa pun. Antara bingung dan sedikit ragu aku masih mengikuti langkah demi langkah si kapten menyebalkan. Kami semua tidak ada yang berani bertanya sedikit pun ke manakah kami akan melangkahkan kaki kami.Meskipun petunjuk peta kami akan ke pusat kota jika kami bisa menyebutnya demikian di pulau ini. Bahkan aku tidak yakin pulau ini punya sebuah kota.

Setelah berkecamuk dengan pikiranku sendiri akhirnya kami berhasil sampai di ujung jalan setapak.

Aku di buat takjub melihatnya, bagaimana tidak! Pemandangan yang kulihat adalah tempat menakjubkan yang pernah kulihat langsung. Pohon-pohon hijau menjulang tinggi menghiasi setiap rumah yang saling berhadap-hadapan hanya di pisahkan oleh jalan lebih lebar yang dari jalan setapak sebelumnya.

Kami terus berjalan melewati rumah-rumah kecil seukuran 5x5 jika kita sama, itu seukuran dengan kamar tidurku di rumah.Rumah minimalis ini di desain sesederhana mungkin. Hanya ada 1 pintu di bagian depan, juga jendela yang terbuat dari kayu yang tidak di kombinasikan dengan kaca mirip pintu tapi bentuknya mirip jendela. Begitu pula dengan jendela di samping rumah.

Kami melewati banyak rumah, sekitar 4 rumah yang saling berhadapan telah kami lewati. Satu hal yang kutahu sampai disini, bentuk rumah ini sama. Ukurannya pun sama, yang membedakan hanya warna cat pintu mereka. Ada yang biru, navy, hijau, army, pink, maroondan seterusnya.

Kami melihat penduduk duduk bersama-sama di sebuah tempat yang beratap genting dengan lantai semen, tidak ada pintu tidak ada jendela. Mereka sedang membersihkanhasil panen mereka yang tepat di panen pada bulan ini. Seperti ubi, bengkoang, mentimun dan masih banyak lagi. Mereka tidak hanya mencuci dan membersihkan hasil panen mereka, namun mereka juga mengupasnya dan memotong tipis beberapa ubi itu dan menumbuk beberapa ubi lainnya.

Yang membuatku kagum adalah semua jenis hasil panen mereka berkualitas tinggi, berbeda dengan hasil panen masyarakat yang di jual di pasaran kota. Aku yakin sepertinya mereka tidak banyak mencampur tanaman mereka dengan bahan kimia.

Kami menyapa mereka, mereka tetap terlihat ramah dengan pakaian sederhana mereka. Tanpa banyak model tanpa banyak motif sederhana apa adanya.

Mereka mempersilahkan kami duduk, senyum tetap tak pernah lepas dari wajah mereka. Seolah mereka benar-benar menikmati apa yang mereka lakukan. Beberapa dari mereka menghentikan pekerjaan dan mempersilahkan kami duduk di atas tikar yang baru saja ia gelar. Kami segera duduk di atas tikar. Mereka bertanya maksud kedatangan kami ke sini. Dengan cepat Azlan menjawab pertanyaan itu. Mereka mengangguk dengan jawaban kami, kemudian mereka mengantarkan kami pada kepada desa mereka. Jika memang sebutan itu bisa di pakai di tempat ini.

Tak butuh waktu lama, kami sampai di rumah kepala desa mereka. Jaraknya tidak terlalu jauh hanya butuh waktu 5 menit untuk tiba di rumahnya.

Rumahnya sedikit lebih besar dari para penduduk lainnya. Mungkin seukuran 8x8 cm. Yang tentu saja ukuran itu bukanlah ukuran rumah kepala desa jika di kota kami. Bagaimana tidak, ukuran minimal rumah kepala desa di daerah kami bagitu besar mungkin 3 atau 4 kali lebih besar dari ukuran yang ada di sini. Padahal belum termasuk halamannya, belum lagi pagarnya. Sudahlah, apa pun itu aku malas membahasnya.

Halaman rumahnya sangat bersih, tanah coklat tua ini sepertinya baru saja di sapu. Bekas sapu lidi itu masih terlihat di sana, pohon mangga dan rambutan juga ada di sini. Dan beberapa pohon lainnyasepertijambu. Karena itulah panas matahari tidak membakar kulit kami sebab pohon-pohon ini sudah menaungi kami. Kami duduk di halaman rumah sebab rumah ini tidak memiliki teras, lagi pula mereka sudah menyiapkan kursi di halaman rumahnya bahkan sebelum kami datang kursi ini sudah tertata rapi.

Laki-laki tua itu keluar dari rumahnya di dampingi wanita yang sudah cukup tua. Ia berjalan tertatih Azlan mencoba membantu laki-laki tua itu, namun laki-laki itu menolaknya. Wanita paruh baya di sampingnya hanya tersenyum mengangguk. Setelah sampai dan duduk di kursi, pak tua ini menyalami kami layaknya orang sehat dan kuat. Kami terheran di buatnya, namun tak banyak hal yang kami tanyakan kecuali perkenalan dan pertanyaan berikutnya tentang tujuan kami ke sini.

Wanita tua yang sedari tadi mendengarkan cerita kami tersenyum. Ia membawakan kami segelas teh hijau, aromanya bagitu khas dan menenangkan. Ia juga membawakan ubi goreng sebagai jamuan untuk kita, rasanya lezat sekali. Kami menikmatinya dengan lahap. Bahkan tidak ada minuman tersisa di dalam gelas maupun gorengan yang tersisa di dalam piring.

Pak tua memberitahu kami beberapa pilihan tempat yang ingin kami kunjungi. Pilihan yang cukup sulit untuk di putuskan. Yakni tempat pedalaman yang penuh dengan predator berbisa namun begitu indah tanaman dan jenis hewannya sangat memukau. Yang kedua adalah tempatnya sangat indah karena di penuhi dengan rumput hijau yang mengelilingi lokasi. Serta di penuhi dengan beragam jenis unggas yang biasa bermain di sana sepanjang pagi sebab danaunya begitu hijau dan bersih, tak hanya itu pohon dan beberapa jenis tumbuhan di sana juga bisa di gunkaan sebagai sumber penelitian. Hanya saja, tempat ini terlalu strategis sehingga kami perlu begitu berhati-hati, sebab daerah ini adalah daerah batas antara desa damai yakni desa pak tua, desa kacau yang berada tidak jauh dari tempat kami akan tinggal. Azlan menarik nafas, ia telah menjatuhkan piliham.

Setelah perbincangan singkat dan penuh makna itu, kami berpamitan setelah menerima peta kecil yang di berikan pak tua. Azlan menerimanya dengan hati-hati. Mereka melambaikan tangan kea rah kami, wajah pak tua sangat meyakinkan. Garis kasar di wajahnya sangat menyiratkan harapan. Kami mengikuti Azlan di belakangnya ia masih fokus pada peta yang di pegangnya, kami mendengar bunyi cicitan burung dari kejauhan, angin menerpa tubuh kami. Rasa lelah kami seolah hanyut terbawa angin, daerah yang jauh dari alat perusak lingkungan itu memang lebih menyenangkan, tidak ada polusi, tidak ada bunyi-bunyi mengganggu di jalan dan banyak hal lain yang lebih menyenangkan daripada di kota.

 Kami tiba di halaman yang luas dengan rumput hijau yang membentang beberapa pohon berjarak yang di tanam dengan baik, kami memilih tempat yang dekat di samping danau hijau yang mengalir. Suara percikan airnya menenangkan.

Kami segera menggelar karpet dan mendirikan sholat berjamaah Ashar, kami berwudu’ di danau dengan pakaian dan sajadah seadanya. Prinsip kami dalam setiap situasi adalah memprioritas shakat di atas segalanya, sepenting apapun masalahnya kami sudah menanamkan prinsip kami jauh di dalam hati kami, sehingga gangguan apapun enggan menyurutkan langkah kami untuk berpaling dari shalat kami.

Azlan mengangkat kedua tangannya untuk takbir, kami mengikuti dari belakang. Azlan adalah lulusan alumni pondok pesantren itulah mengapa bacaan shalatnya begitu bindah terdengar seolah shalat kami mengusir lelah selama perjalanan, kami menikmati shalat kami sebagaimana kami istirahat. Bacaannya begitu tenang dalam hati dan teneram merasuk ke dalam jiwa. Kami mengikuti gerakannya hingga pada salam.

Kami berzikir sejenak, kemudian memanjatkan doa kami. Meskipun kami tidak memberitahu doa kami satu sama lain, aku yakin satu do’a kita yang sama. Yakni permohonan kepada Allah agar misi kami bisa terlaksana dengan baik, berharap kami semua bisa mendapatkan pengalaman terbaik, penelitian terbaik sehingga akan bermanfaat untuk masa yang akan dating nantinya. Kami mencukupkan do’a kami kemudian kami beranjak melakukan misi kami berikutnya.

Azlan meletakkan ranselnya. Kay mengeluarkan tenda dari ranselnya. Dia dengan cekatan membuka lipatan dan mendirikan tiga tenda yang cukup. Yakni satu tenda untuk laki-laki, satu tenda untuk perempuan, dan satunya lagi untuk kebutuhan lain. Rizam dan Dira segera mengumpulksn kayu sebagai bahan bakar,aku dan Faleya mencari sayuran untuk makan malam nanti. Kami menyusuri setiap sudut hutan, melewati banyak rumput liar, pohon-pohon sepinggang juga beberapa tumbuhan lain. Pohon-pohom rindang banyak bermunculaan, kami merapatkan jarak antara kita. Suara-suara kepakan burung di atas sana sesekali mengagetkan langkah kami, kami terkejut saat melihat ular yang cukup besar melintas di depan kita. Kami terdiam dan saling pandang saatu sama lain, pasalnya jarak antara ular dan kami hanya beberapa meter. Kami menghela nafas lega saat ular itu berlalu mennggalkan kita dengan selamat.

Faleya menghentikan langkah kakinya ia enggan melanjutkan perjalanan, seolah kakinya sudah tak memiliki kekuatan lagi untuk melangkah. Aku mengggenggam tangannya erat-erat membiarkannya menghembuskan nafas hingga ia mengangguk dan kembali melanjutkan perjalanan. Kami tiba di sebuah ddaerah yang sangat subur daerah ini di penuhi rumput di sana kami melihat ada sekumpulan sayur bayam kami segera mendekat. Namun sebelum kami menyentuhnya Faleya meringis dan menjauh. Dengan perasaan terkejut aku pun bertanya.

“ Ada apa?” Dia menggeleng dan menunjuk ke arah sayur.

“ Ada ulat” Aku yang hendak mendekat kea rah sayur pun spontan mundur. Sebab satu binatang yang membuatku geli ialah Ulat. Bagiku, binatang yang satu ini adalah satu-satunya fobia untukku. Aku mundur lebih jauh dari Faleya. Ia malah tertawa sambil memegang perutnnya, ia tertawa tanpa beban dan melihatku dengan tatapan lucu.

“ Berhenti tertawa, ini tidak lucu!” Seruku sambil bergidik menatap Ulat itu, Faleya segera mengambil pisau di tanganku kemudian dia memisahakan daun-daun yang di makan Ulat itu,ia mengambil bagian yang bersih. Begitu seterusnya hingga keranjang yang kami bawa penuh dengan sayur, untunglah kami mendapatkannya cukup banyak sehingga kami bisa menerima bagian dengan cukup begitulah yang aku pikirkan. Rasa ngeri dalam diriku perlahan menjauh. Kami melangkah untuk pulang. Dalam hati aku mengutuk diriku sendiri bagaimana tidak aku bersikpa seperti itu tadi kepada Faleya sehingga ia tertawa sebegitu kencang.

Faleya menatapku, dia masih belum percaya dengan apa yang ia lihat, aku menggerutu dibuatnya, dia kembali tertawa hingga di jalan setapak menuju perkemahan.

“ Mengapa cemberut seperti itu?” Gelak tawa kembali terdengar di telingaku.

“ Berhentilah tertawa, FAL” Ucapku dengan nada serius. Dia menutup mulutnya seketika, namun ia tidak bisa menyembunyikan sisa tawanya. Aku menggerutu sekali lagi dan meninggalkan Faleya dibelakang, ia berlari kecil menyusulku.

“ Dulu, aku juga sama sepertimu, sebenarnya aku mengingat ekspresimu sebagai wajahku dulu saat masih fpbia dengan Ulat. Aku berhenti mendengar kalimatnya. Faleya menghentikan langkahnya, dan melanjutkan kalimatnya.

“ Aku juga sering di bully karena itu bahkan sampai menangis karena mereka. Oleh karena itu, aku betekad untuk menjadi perempuan yang pemberani. “ Dia menghentikan ucapannya. Lalu menatapku lagi.

“ Kau mau tahu alasannya?” Aku mengangguk sebagai jawaban.

“ Aku meminta nenekku untuk mengumpulkan Ulat dan memberikannya padaku. Awalnya aku sangat takut, bahkan sempat menangis, kemudia aku terus mencobanya hingga percobaan kelima aku tidak menangis. Aku mencoba menyentuh mereka dan mencoba menghadapi rasa takutku. Seperti itu seterusnya, hingga rasa takutku hilang. Hikmahnya adalah, tidak ada ketakutan jika kita mau mencoba menjadi pemberani, serta terus berusaha meawan rasa takut itu, tidak ada sesuatu mudah yang menghampiri jika masih berproses,, karena sejatinya rasa takut bukan berasal dari mereka tapi dari dalam dirimu sendiri” Faleya menyentuh pundakku dan tersenyum. Aku mengangguk dan kami melangkah berdua kembali ke perkemahan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status