Bila saja mungkin waktu bisa diputar, Daffa tak akan memberikan nomor ponselnya kepada Dea Posa yang dianggapnya genit luar biasa. Karenanya, sekarang ponselnya yang terbiasa damai sentosa itu diserang oleh Chat unfaedah perempuan itu.Fiuh~Lagi-lagi hanya bisa mengeluarkan rasa sesalnya lewat hembus napas panjang.Jika Daffa ingat lagi, selain genit dan terang-terangan menunjukkan perasaan sukanya, dia juga ternyata manja. Buktinya pagi tadi pun dia memaksa Daffa untuk mengantarkannya hingga ke perempatan jalan sana dengan alasan takut kena jambret lagi.Untunglah Daffa punya alasan untuk menghindari keinginannya, setelah dia memberikan nomor ponselnya cuma-cuma begitu saja pada Dea Posa karena kasihan sudah ditipu Herman. Dia juga agak geram soal yang satu itu, sebab Herman memanfaatkan kesempatan itu untuk meraih keuntungan dengan menjual nomornya.Saat ini dia tengah santai menghadap layar komputer, sebab dokumen yang diminta Pak Camat sudah selesai ia kerjakan. Sering menoleh ke
Tok! Tok! Tok!Pintu kamar Dea Posa diketuk pelan. Pelakunya tak lain bapak Dea sendiri, Pak Jhon. Pria yang memiliki perut tumpah-tumpah itu ingin memastikan apakah putrinya baik-baik saja? Sejak kemarin, setelah pulang bekerja, dia doyan bersemayam di kasurnya melulu.Pak Jhon khawatir, ingin tahu apa hal penyebabnya. Apakah jangan-jangan dia sedang patah hati lagi tanpa ia ketahui?"Dea ...." suara berat khas Pak Jhon banget mulai memenuhi gendang telinga Dea.Segera gadis itu beranjak dari posisinya kini, kemudian berjalan setengah ngibrit menuju ambang pintu. 'Duh, bapak bisanya ganggu aja. Orang lagi chat-an sama ayang Daffa.' Hatinya menggerundel sebal. Tapi yang namanya Pak Jhon, kalau diabaikan justru malah akan menjadi. Intinya ... sebelum hal itu terjadi, ia pun cepat-cepat bangkit, tak mau menunggu singa dalam diri Pak Jhon bangun dulu.KREEET ... pintu terbuka. Dea menyambut bapaknya dengan senyum semringah yang jelas sekali terpaksa."Kenapa, Pak? Hee ...." Sambil nyengi
Sabtu sore, Dea yang gabut jalan mendekati pagar kecamatan yang sudah tertutup, mungkin karena hampir semua karyawan pulang, kecuali dua orang lagi yang belum, di antaranya ada Daffa."Pasti dia belum pulang. Kelihatan dari motornya yang masih terparkir ganteng di halaman," ujarnya seraya berusaha mengintip di celah pagar.Namun, melakukan itu berasa percuma, Dea sama sekali tidak dapat melihat sang pujaan hati. Sudah jinjit pun hasilnya tetap sama, tak kelihatan.Jadi, Dea memasukkan kepalanya iseng ke celah pagar besi hitam dan sedikit karatan itu."Kapan dia pulangnya, sih?" gumam Dea Posa. Merasa melakukan hal itu pun sia-sia, maksud hati ingin kembali mengeluarkan kepala ke luar pagar, eh ... malah nyangkut.Waduh!Dea terkejut, mengapa kepalanya malah terjebak tak bisa dikeluarkan. Dua tangannya memegangi dua jeruji pagar itu, lalu berusaha dengan keras untuk menarik kepalanya lagi. Akan tetapi hasilnya gagal."Mampus, nih. Nggak bisa dilepas lagi ... gimana?" Wajah Dea sudah te
Hari berganti lagi. Kali ini sudah waktunya bagi Dea bekerja dengan shift pagi pulang sore. Namun, karena Nana sedang ambil cuti, sehabis pulang kerja, Dea malah pergi main dulu dengannya sepuas hati.Tahu-tahu langit sudah gelap ketika keduanya pulang ke rumah. Karena takut kepada Pak Jhon, dia mengendap-endap. Terlebih lagi saat menggeser pagar di depan, Dea melakukannya sangat perlahan supaya tidak timbul suara decit."Heh, Dea!" Nana Banana yang iseng tiba-tiba memunculkan kepalanya di celah pagar."Bujubuneng! Syaiton!" Dan sukses membuat nyawa Dea hampir terbang lewat ubun-ubun kepala. "Nana, ngagetin aja!" sentak Dea dengan suara setengah berbisik, tapi bernada ngegas.Ya, bagaimana tidak ngegas, orang emosi. Katanya tadi Nana mau langsung masuk, tahunya malah balik lagi dan mengagetkan Dea yang akhir-akhir ini emosian. Alhasil dia marah. Tapi bukan Nana namanya bila menyesali perbuatannya, justru dia malah nyengir kuda seakan tak punya dosa."Syaiton matamu, De.""Maaf, ya aku
BLUG!Pintu utama dibanting Dea, pintu kamarnya."Ih! Bapak nyebelin!" Kemudian ia melemparkan diri ke atas kasur dengan mata penuh dengan cairan bening asinnya.Cairan hangat itu keluar pertanda ia tengah tersakiti hatinya. Semua karena perkara perjodohan itu. Dan ia sama sekali tak punya andil di dalamnya. Tugasnya sebagai anak terakhir Pak Jhon hanyalah untuk menurut saja. Ia tak ada hak apa pun untuk buka suara, memberi pendapat, apalagi penolakan.Sungguh ironi sekali memang, satu-satunya orang tua yang Dea miliki saat ini rasanya sudah berubah menjadi biro jodoh until jannah, tapi dengan versi memaksa. Dea pikir, sekarang hidupnya sesak sekali. Ia bukan lagi tuan putri yang akan mewarisi Tahta, tapi jadi Rapunzel yang dikurung rajanya sendiri di menara tinggi."Ah, Bapak jahat." Tangisnya masih pecah seribu setelah ia dipertemukan dengan Om Bromo itu, setelah membicarakan soal perjodohan kucing dalam sarung.Ya, Dea menyebutnya sebagai perjodohan kucing dalam karung, sebab
Seperti biasa, pagi ini diadakan briefing oleh Pak Manager. Dea menjadi yang paling semangat sebagai anak baru di sana. Nana sampai memonyongkan bibirnya dengan setengah tersenyum. Bangga sekali dia sebagai teman sekaligus rekan kerja."Sebentar lagi bulan Agustus tiba, akan ada kegiatan olahraga yang pesertanya para karyawan minimarket juga. Semua pegawai minimarket akan menyumbangkan beberapa orang untuk dijadikan perwakilan, termasuk dari kita. Dari cabang kita butuh empat orang yang nantinya akan digabungkan dengan karyawan pusat atau cabang-cabang yang lain. Acara akan diselenggarakan seminggu full, jadi yang ikut jadi peserta, dibebastugaskan sementara dari status kasir atau karyawan lainnya. Siapa di sini yang mau ikut?"Waw, itu kabar yang tidak terduga. Setelah beberapa tahun Nana bekerja di minimarket tersebut, baru kali ini perusahaan yang bergerak dalam bidang ini ikut-ikutan memeriahkan acara tujuh belasan. Biasanya juga tak ada acara seperti itu. Tumben sekali pikir Nana
"Hah?! Kamu dijodohin?! Jadi, mobil yang semalam parkir di depan rumah kamu itu beneran calon suamimu? What?!"Ekspresi terkejut itu muncul sesaat setelah Dea Posa bercerita tentang apa yang terjadi semalam. Tentang perjodohan kucing dalam karung. Pakai suara ekstra berisik pula, Dea terpaksa menyenggol keras pinggangnya hingga ia meringis kesakitan.Mau bagaimana lagi? Kagetnya Nana macam lagi pengumuman soalnya."Aduh, Dea. Kalau nyenggol itu kira-kira dikit napa, ah!" omel Nana, kali ini dengan suara yang amat pelan."Ya, maaf. Habisnya suara kamu itu kayak toa masjid aja, Na.""Ya, udah aku juga minta maaf, soalnya kaget." Nana mendekat, lalu membisik, "Jadi, semalam beneran apa yang aku bilang itu?"Dea tak langsung menjawab. Dia malah menghela napasnya begitu dalam hingga rasanya seperti tengah menyampaikan lelah letih lesu secara bersamaan. Ia tengah bimbang mau menyampaikan cerita dari mana dulu setelah ini.Untungnya ruko bubur Bang Juki ini sedang agak sepi. Soalnya yang sar
Dea dan Nana masih nongkrong di ruko Bang Juki. Baik hati dan kurang sabar bagaimana pria beranak empat itu dalam menghadapi dua gadis yang duduk di meja kedua paling pojok itu. Selain pesan bubur masing-masing semangkuk dan sate ati ampela, mereka sama sekali tak memesan apa-apa lagi dan leha-leha duduk lama di sana.Kalau di tempat orang lain, pasti sudah kena tegur.Tapi karena Dea serta Nana ini sudah langganan jadi pembeli buburnya, ya wes ... dibebaskan. Kecuali kalau pembeli sedang membeludak macam pagi buta tadi. Itu pun paling diminta pindah ke belakang, bukan langsung mengusir blak-blakkan."AH!" Dea menyimpan ponselnya di meja setelah bermenit-menit menunggu centang dua biru menyala tak kunjung terjadi.Padahal ia menunggu sedari tadi.Nana mengambil ponsel Dea dan ikut mengamati."Udah hampir sepuluh menit sejak pesan dikirim, De. Belum juga dibuka." Sang sahabat mengatakannya."Iya, udah tahu, Na. Makanya aku merasa gila. Padahal selain pagi tadi di persimpangan, kami bel