Mentari semakin gencar menyemai cahayanya di jam dua belas siang ini. Panasnya lumayan membakar kulit kepala siapa saja yang ada di bawah cahayanya.Pak Jhon melihat ke luar jendela kaca, menatap betapa indah cuaca hari ini sebab tak mendung seperti kemarin.Pikirnya, mungkin karena hujan sudah puas menghujani bumi semalaman, jadi alam menciptakan cuaca bagus hari ini sebagai gantinya.Hati yang awalnya dipenuhi ragam curiga, prasangka, serta ketakutan itu telah kosong ruang-ruangnya. Semua perasaan semu itu telah lari entah ke mana. Pergi, sejak ia selesai bicara dengan Daffa.***Dea dan Daffa kini sedang bergandengan tangan di pinggir pantai. Tidak dekat airnya, sebab panas. Mereka berjalan-jalan di sepanjang deretan pohon-pohon kelapa.Hari yang cerah, hubungan yang sedikit diberi izin, dua hal itu membuat Dea dan Daffa senang bukan main."Jadi, bapak bilang gitu? Izinkan Mas buat ikut seleksinya?" Antara senang dan resah, keduanya menyatu seperti kopi dan gula.Duh, berbahaya. Ra
"Saya akan hubungi abah dan nenek saya di kampung, Pak. Segera."Malam itu Daffa berpikir bahwa semuanya sudah selesai, dan ia hanya tinggal membawa keluarganya untuk menghadap Pak Jhon. Tak pikiran bahwa akan ada halangan lain sama sekali."Tapi sebelum itu terjadi, kamu harus meluluhkan hati kakak Dea dulu, Dina. Karena saya tak bisa mengizinkan kalian menyeriusi hubungan ini tanpa restu dari semua anak-anak saya."Sampai ketika Pak Jhon berkata begini, Daffa pun terkejut. Dia menatap Dea yang murung. Pantas saja Dea tak seantusias dirinya.Jantung Daffa yang semula berdentum-dentum penuh dengan pukulan cinta itu perlahan tak sesemangat itu lagi. Dirinya merasa lemas lunglai seketika.***Dea Dan Daffa duduk berdua di teras rumah. Saling diam awalnya."Kak Dina beneran nggak mau nerima aku sebagai calon iparnya, ya?" Sampai detik ini ia tak mengerti, apa yang salah dari dirinya sampai kakak Dea yang sulung itu tak mau bahkan hanya sekadar melirik saja.Dea tertunduk tak kalah lesu.
Hari-hari berlalu begitu saja. Normal seperti yang kemarin-kemarin. Herman masih berusaha sekuat hati mendapatkan Kak Dina serta perhatiannya.Tapi tak kunjung mendapat respons yang baik."Kamu, tuh ngapain, sih setiap hari ngikutin?! Kulapoin kamu ke polisi kalau gini terus, dasar penguntit!" Bahkan Kak Dina mengancam saking gedeknya dengan kelakuan Herman yang ada setiap kali ia keluar rumah.Seperti ketika ia lari pagi, tiba-tiba muncul dan sok akrab. Ketika ia mau makan di luar, tiba-tiba duduk di belakangnya atau di sebelahnya. Sampai hari ini ... malam ini, ketika Kak Dina keluar untuk membeli sesuatu di mart, dia muncul lagi, malah pake sok-sok'an mau ngebayarin barang belanjaannya segala.Kak Dina semakin ilfeel."Nanti kalau pak polisinya nanya kenapa aku menguntit, aku pasti jawab karena Dina cantik," ujar Herman tidak takut sekali. Kalaupun dia beneran dilaporkan, pikirnya tak akan mungkin bisa dipenjara lama-lama. Toh, kesalahannya hanya jatuh cinta. Tak ada sentuhan tanga
“Ruwet! Ruwet!” Cewek muda berponi itu ngedumel dengan semburat raut sebal.Dia berjalan melintas jalan raya tengah malam, yang langitnya menampakkan bulan sedang berdampingan dengan bintang. Penampakkan itu justru membuat si cewek berponi yang belum sempat mengikat rambut bercat honey tea kusut itu semakin merasa merana. Lengkung miris pun tergaris. Ia mengelus dadanya seraya berucap,“Bulan aja ada pasangannya,” celotehnya lelah hayati dan berhenti melangkah sejenak. Lah aku? Baru pacaran lima hari aja udah jadi jomlo lagi. Nasiib, nasib. Sabar, ya, buat aku ....“Keluhan itu sebenarnya sama sekali tidak membantu. Malah yang ada beban hidupnya terasa tambah berat, dan ujung-ujungnya malah bikin stres abis.Nama cewek itu Dea Klaudia, putri bungsu dari sesebapak bernama Pak Jhon. Widih, keren, ya, nama bapaknya Dea? Itu panggilannya. Kalau nama aslinya Jhoni Mujahidin, seorang juragan ternak ikan lele yang ketenaran usahanya tak diragukan lagi. Dea ini punya tiga kakak perempuan ya
Dea masih belum bisa memejam mata, padahal jam sudah menunjukkan hampir pukul dua malam. Hm ... gimana bisa merem, si Nana Banana masih aja ketawa jahat di sampingnya. Katanya karena terus terbayang dengan apa yang Dea ceritakan sebelumnya. Tentang insiden yang bagi cewek berponi itu sangat sadis. Cerita saat cinta seorang Arvan dites oleh bapaknya pakai cara tak biasa.Masa anak orang ditantangin gendong manja peliharaan si bapak, yaitu ikan lele sebesar paha. Sudah berkumis, berkepala gepeng, moncongnya mangap-mangap, pulak. Macam bibir mantan kurang ajar yang lagi gombal, dan ujung-ujungnya nge-gostingin kita.Ervan sebenarnya cowok gagah mirip opa-opa negara tetangga. Tinggi, tegap, dan kegantengannya sudah jangan ditanya lagi. Bagi Dea dia udah paling juara pokoknya.Soal kerjaan, tak kalah kerennya jabatan dia punya. Wakil direktur. Sudah tampan, mapan, pulak. Andai si Dea jadi menikah sama Arvan, sejahtera urusan dunianya.Awalnya, Arvan memang serius mau lamar si Dea, itulah
Pagi ini Dea maksain bangun karena lapar. Padahal, ia hanya tidur sebentar menjelang subuh. Gara-gara Nana, sih, jadi begadang. Lihat saja buktinya, lingkaran mata Dea menghitam sekarang.Momy Karina lagi asyik masak sambil ngelantunin lagu dangdut milik raja dangdut. Tak usah disebut namanya, sejagat raya pasti sudah tahu siapa, kan?“Mom—” Eh, baru aja mau bicara, Nana menarik lengannya sambil teriak ceria, ngajakin beli gorengan abang-abang yang suka nongkrong di pengkolan jalan raya. Nana beli sebagai pelengkap hidangan di meja makan nanti.Keduanya pun pergi dengan perut kosong. Tak ayal suara gerucuk-gerucuk dari perut terus terdengar. Ah, tetapi mereka santai saja. Untung keadaan kota lagi rame, jadi suara khas kelaparan itu tak terdengar orang lain.“Bang beli bakwan, keroket, tahu isi, sama goreng tempe dibungkus, ya. Pokoknya atur-atur, deh, yang penting isinya lengkap. Ini uangnya,” ucap Nana seraya menyerahkan lembar hijau bertuliskan angka dua puluh ribu. Ya, ampun. Uan
“Dea, kita disuruh berhenti!” teriak Nana masih dengan suara kencangnya.Kali ini dia berinisiatif berpegangan pada pinggang Dea, tetapi masih saja hampir oleng. Apalagi waktu ketemu polisi tidur, Nana hampir saja tak bisa napas saking takutnya.“Sama siapa?!” Tak kalah berisik Dea menyahut.Takut-takut Nana menoleh, mau tahu siapa yang berteriak menyuruh berhenti. “Heh?!” Mata Nana membulat hampir sempurna ketika melihat dua polantas lagi ngejar di belakang mereka. “Siapa, Na?!” tanya Dea kepo tanpa mau memperlambat laju kendaraannya itu.“Anu, polisi!”“Hah? Anu-nya siapa?!”Ingin sekali Nana getok kepala Dea yang asal jeplak kalau ngomong. Bisa-bisanya si Dea tanya begitu.Yang duduk paling belakang tiup peluit, tapi Dea masih nggak nyadar kalau dia dikejar orang penting. Ampun, dah, kelakuan.“Itu polisi ngejar kita!” Panik, Nana segera laporan ke Dea yang kekurangwarasannya lagi kumat. Tentu saja dengan suara super kencang, takut Dea pas lagi budeg.“Hah? Serius?!” Cewek yang l
Setelah mendengar kabar dahsyat yang begitu mengagetkan tiga manusia beda usia di hadapan Kak Maya, mereka pun gegas mengusulkan untuk pergi ke lokasi.Dea, Nana, dan si Momy cantik terpaksa naik angkot karena tidak mungkin bagi mereka naik motor bonceng tiga. Tamat riwayat mereka kalau ketahuan sama polisi lagi.Yang tadi saja sudah bikin bete bin kesel waktu surat-surat kendaraan diambil, apalagi seandainya yang dibawa motornya? Kacau, nanti Dea habis diomelin sama ibu dan anak itu.Waktu masih menunjukan pukul sembilan ketika ketiganya sampai di polsek. Dea disambut oleh tatapan sinis kedua kakaknya, juga Arvan dan sang ibu.“Dea! Kamu nggak apa-apa?! Ada yang luka?!”Buset, Kak Anita langsung menangkup wajah Dea sampai miring-miring, mastiin keadaannya. Karena dia masih mikir kalau adiknya itu baru bebas dari penyekapan.“Aduh, Kak. Ada apa, sih? Aku baik-baik aja. Kalian kenapa, sih?!” Dea melepas tangkupan tangan Kak Anita, dia pun beralih pandang sama cowok ganteng samping mama