Share

4. Apes

“Dea, kita disuruh berhenti!” teriak Nana masih dengan suara kencangnya.

Kali ini dia berinisiatif berpegangan pada pinggang Dea, tetapi masih saja hampir oleng. Apalagi waktu ketemu polisi tidur, Nana hampir saja tak bisa napas saking takutnya.

“Sama siapa?!” Tak kalah berisik Dea menyahut.

Takut-takut Nana menoleh, mau tahu siapa yang berteriak menyuruh berhenti.

“Heh?!” Mata Nana membulat hampir sempurna ketika melihat dua polantas lagi ngejar di belakang mereka.

“Siapa, Na?!” tanya Dea kepo tanpa mau memperlambat laju kendaraannya itu.

“Anu, polisi!”

“Hah? Anu-nya siapa?!”

Ingin sekali Nana getok kepala Dea yang asal jeplak kalau ngomong. Bisa-bisanya si Dea tanya begitu.

Yang duduk paling belakang tiup peluit, tapi Dea masih nggak nyadar kalau dia dikejar orang penting. Ampun, dah, kelakuan.

“Itu polisi ngejar kita!” Panik, Nana segera laporan ke Dea yang kekurangwarasannya lagi kumat. Tentu saja dengan suara super kencang, takut Dea pas lagi budeg.

“Hah? Serius?!” Cewek yang lagi ngebut itu ngintip di kaca spion. Matanya membulat nyaris sempurna karena kaget setengah mati. “Waduh!” Auto tepuk jidat, dong.

Dua oknum polisi lalu lintas menyuruh berhenti sekali lagi, raut wajah mereka terlihat amat menyeramkan bagi Dea. Alamak, alamat kena tilang dua cewek itu.

Diserang rasa panik, si Dea lupa sudah sama mas ganteng yang lagi dia kejar. Yang sekarang ada dalam otaknya cuma ketakutan akan menerima surat tilang. Belum lagi kena marah si bapak polisi, uang denda, dan sidang nanti. Asem.

Segelintir pikiran itu cukup mengganggu konsentrasi Dea. Eh, karenanya motor matic yang dikendarai jadi oleng beneran.

“Waduh, Dea! Fokuuus!” Inces Nana jerit-jerit histeris. “Remnya! Rem, Dea! Reeem!” Semakin suaranya tambah berisik, semakin kencang pula pegangan tangan pada pinggang Dea, dan hal itu bikin dia kegelian banget.

Boro-boro bisa fokus, Dea malah semakin tak bisa mengendalikan itu kendaraan bertenaga kudanya. Daripada nabrak kendaraan orang, lebih parah kalau nabrak manusia, Dea banting stang motor, belok ke taman kota.

“Deaaaa!”

“Nanaaa!” Kali ini Dea yang jerit-jerit.

Di depan sana ada sepasang muda mudi lagi asyik pacaran, dan si merah malah lempeng aja nggak mau belok.

“Wooy! Minggiiir!”

Dua sejoli yang kelihatan lagi main kartu remi melirik. Mereka panik tak kira-kira, lupa sudah sama kartu remi di tangan, mereka loncat berlawanan, menghamburkan kertas-kertas permainan itu seraya teriak kayak kesetanan.

“Maaf banget buat Mas dan Mbak yang lagi pacaraan!” Dea menerobos, mengacaukan tamasya ala-ala mereka.

Pasrah. Nana tutup mata, memohon ampun kepada Tuhan agar seluruh dosa-dosanya diampuni. Serius, Nana takut mati.

Di depan ada tumpukan rumput liar, motor itu nyungsep di sana. Dea dan Nana masih hidup dan untung tak mengalami luka serius, tetapi tetap saja bikin tulang belulang terasa nyeri habis jungkir balik.

“Nana ....” Dea memanggil dengan kepayahan. Posisinya tengkurap. Dia mangap-mangap, tak lama kemudian bangkit, cari-cari keberadaan temannya itu.

“Di sini ...,” lirihnya Nana menyahut.

“Wastagah!” Dea buru-buru mendekat kala melihat sahabatnya masuk ke dalam tumpukan rerumputan dengan posisi kepala duluan, alias beneran nyungsep.

Priiit! Priiit!

Aduh, gawat. Itu duo polisi masih aja rajin ngejar. Alhasil keduanya nyerah dan membiarkan mereka menghukum Dea dan Nana atas kelalaian dalam mengendara.

Surat tilang yang sangat tak diinginkan akhirnya terpaksa Dea terima. Kelengkapan surat motor diambil, dan mereka harus datang untuk sidang kalau mau benda penting itu balik ke tangan.

Tragisnya nasib mereka.

Dea dan Nana pulang ke rumah dengan keheningan. Kali ini Nana yang bawa motor, lajunya super selow.

“Na, ngomong dong,” pinta Dea, sebel karena dicuekin dari tadi. Sekarang mereka udah mau sampai ke dekat rumah.

“Ogah, lagi ngambek sama kamu. Apes banget pagi-pagi udah dibuat jungkir balik sampe gorenganku pada hilang entah ke mana, dan semua itu cuma gara-gara kamu liat mas yang katamu ganteng itu. Parah.”

Katanya ogah, tetapi si Nana malah nyerocos nyalahin Dea. Cewek itu diam, tetapi bukan lagi mikirin kesalahannya, melainkan lagi mikirin si cowok ganteng yang membahana tadi. Aduh, Dea, Dea.

“Wah, siapa ya namanya, orang mana, udah beristri apa belum, sih?” gumam Dea. Lupa sudah dia sama Nana dan rasa sebelnya tadi. Dan hal ini tambah bikin sahabatnya geram.

“Dea kampreeet!” Saking gemas pengen gampar, Nana pun menjerit tepat di samping daun telinga Dea sebagai pelampiasan.

Dea bergidik dan menutup telinganya yang sakit berdengung-dengung. Tanpa Nana berucap lagi, dia pergi masuk ke dalam sambil menghentakkan kaki.

“Na, tunggu. Naaa!” Bahkan teriakkannya sama sekali tak berarti. Cuma buang-buang tenaga saja sebab Nana tak ada niat sedikit pun untuk menjawab.

Baru saja mau nyusul. Eh, langkahnya terhenti kala satu tangan menariknya. Dan itu adalah Maya, kakak ketiganya.

“Ooh, ternyata kamu di sini, ya?” Muka Kak Maya tercetak murka. Dadanya naik turun seakan kemurkaan itu akan segera meledak dari dalam dirinya.

Dea memaksakan segurat senyum melengkung lebar, tetapi yang didapat adalah jeweran Kak Maya. Jeweran super dahsyat yang akhirnya membuat dia menjerit kesakitan.

“Aduh, aduh! Sakit, Kak!” Sekeras apa pun Dea berusaha melepaskan, jeweran Kak Maya tak bisa lepas saking dahsyatnya.

“Sakit?! Sakit, ya?! Nih, kakak tambahin sakitnya biar kamu mikir!” Kak Maya menambahkan tenaga dalam menjewer Dea, dan cewek itu meringis tambah kesakitan.

“Aw! Aw! Ampun, Kak May! Sakiit!” Dea mencoba melepaskan diri, tapi ternyata susah.

Hal itu menciptakan kegaduhan yang membuat Nana serta Momy Karina keluar dari rumah. Keduanya kaget luar biasa ketika melihat pemandangan seram di depan mata.

“Aduh, aduh, May. Kasian Dea. Saya tahu dia salah karena minggat dari rumah, tapi jangan begitu dihukumnya, cukup nasehati saja.” Momy Karina yang tak tega melihat Dea kesakitan begitu pun menegur Kak Maya, tetapi seertinya perempuan itu tak akan mau dengar.

“Biarin aja, Tan. Dia kelewatan! Udah kabur nggak bilang-bilang, serumah pada heboh nyariin ternyata dia ngumpet di sini, toh?!”

Etdah, masa kabur harus minta izin dulu sama orang rumah. Momy Karina dan Nana menganga mendengar ucapan Kak Maya itu.

“Oh, harus izin dulu, ya?” Polosnya si Nana malah tanya begitu. Tambah bodohlah suasana.

“Iyalah! Emang kurang ajar! Sekarang gara-gara dia, nih, ya, Bapak ada dalam sel tahanan!” Kak May meledak, memuntahkan segala amarah yang menumpuk dalam dadanya. Dengan mata melotot besar tentunya.

“Hah? Sel tahanan?! Maksudnya?!” Tiga orang yang semalam bisa bobo cantik itu kaget bukan kepalang, terlebih Dea. Hampir saja dia jantungan.

Duh, kira-kira gimana, ya, nasib si bapak di sana?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status