Share

4. Apes

Author: Renti Sucia
last update Last Updated: 2023-01-10 12:08:04

“Dea, kita disuruh berhenti!” teriak Nana masih dengan suara kencangnya.

Kali ini dia berinisiatif berpegangan pada pinggang Dea, tetapi masih saja hampir oleng. Apalagi waktu ketemu polisi tidur, Nana hampir saja tak bisa napas saking takutnya.

“Sama siapa?!” Tak kalah berisik Dea menyahut.

Takut-takut Nana menoleh, mau tahu siapa yang berteriak menyuruh berhenti.

“Heh?!” Mata Nana membulat hampir sempurna ketika melihat dua polantas lagi ngejar di belakang mereka.

“Siapa, Na?!” tanya Dea kepo tanpa mau memperlambat laju kendaraannya itu.

“Anu, polisi!”

“Hah? Anu-nya siapa?!”

Ingin sekali Nana getok kepala Dea yang asal jeplak kalau ngomong. Bisa-bisanya si Dea tanya begitu.

Yang duduk paling belakang tiup peluit, tapi Dea masih nggak nyadar kalau dia dikejar orang penting. Ampun, dah, kelakuan.

“Itu polisi ngejar kita!” Panik, Nana segera laporan ke Dea yang kekurangwarasannya lagi kumat. Tentu saja dengan suara super kencang, takut Dea pas lagi budeg.

“Hah? Serius?!” Cewek yang lagi ngebut itu ngintip di kaca spion. Matanya membulat nyaris sempurna karena kaget setengah mati. “Waduh!” Auto tepuk jidat, dong.

Dua oknum polisi lalu lintas menyuruh berhenti sekali lagi, raut wajah mereka terlihat amat menyeramkan bagi Dea. Alamak, alamat kena tilang dua cewek itu.

Diserang rasa panik, si Dea lupa sudah sama mas ganteng yang lagi dia kejar. Yang sekarang ada dalam otaknya cuma ketakutan akan menerima surat tilang. Belum lagi kena marah si bapak polisi, uang denda, dan sidang nanti. Asem.

Segelintir pikiran itu cukup mengganggu konsentrasi Dea. Eh, karenanya motor matic yang dikendarai jadi oleng beneran.

“Waduh, Dea! Fokuuus!” Inces Nana jerit-jerit histeris. “Remnya! Rem, Dea! Reeem!” Semakin suaranya tambah berisik, semakin kencang pula pegangan tangan pada pinggang Dea, dan hal itu bikin dia kegelian banget.

Boro-boro bisa fokus, Dea malah semakin tak bisa mengendalikan itu kendaraan bertenaga kudanya. Daripada nabrak kendaraan orang, lebih parah kalau nabrak manusia, Dea banting stang motor, belok ke taman kota.

“Deaaaa!”

“Nanaaa!” Kali ini Dea yang jerit-jerit.

Di depan sana ada sepasang muda mudi lagi asyik pacaran, dan si merah malah lempeng aja nggak mau belok.

“Wooy! Minggiiir!”

Dua sejoli yang kelihatan lagi main kartu remi melirik. Mereka panik tak kira-kira, lupa sudah sama kartu remi di tangan, mereka loncat berlawanan, menghamburkan kertas-kertas permainan itu seraya teriak kayak kesetanan.

“Maaf banget buat Mas dan Mbak yang lagi pacaraan!” Dea menerobos, mengacaukan tamasya ala-ala mereka.

Pasrah. Nana tutup mata, memohon ampun kepada Tuhan agar seluruh dosa-dosanya diampuni. Serius, Nana takut mati.

Di depan ada tumpukan rumput liar, motor itu nyungsep di sana. Dea dan Nana masih hidup dan untung tak mengalami luka serius, tetapi tetap saja bikin tulang belulang terasa nyeri habis jungkir balik.

“Nana ....” Dea memanggil dengan kepayahan. Posisinya tengkurap. Dia mangap-mangap, tak lama kemudian bangkit, cari-cari keberadaan temannya itu.

“Di sini ...,” lirihnya Nana menyahut.

“Wastagah!” Dea buru-buru mendekat kala melihat sahabatnya masuk ke dalam tumpukan rerumputan dengan posisi kepala duluan, alias beneran nyungsep.

Priiit! Priiit!

Aduh, gawat. Itu duo polisi masih aja rajin ngejar. Alhasil keduanya nyerah dan membiarkan mereka menghukum Dea dan Nana atas kelalaian dalam mengendara.

Surat tilang yang sangat tak diinginkan akhirnya terpaksa Dea terima. Kelengkapan surat motor diambil, dan mereka harus datang untuk sidang kalau mau benda penting itu balik ke tangan.

Tragisnya nasib mereka.

Dea dan Nana pulang ke rumah dengan keheningan. Kali ini Nana yang bawa motor, lajunya super selow.

“Na, ngomong dong,” pinta Dea, sebel karena dicuekin dari tadi. Sekarang mereka udah mau sampai ke dekat rumah.

“Ogah, lagi ngambek sama kamu. Apes banget pagi-pagi udah dibuat jungkir balik sampe gorenganku pada hilang entah ke mana, dan semua itu cuma gara-gara kamu liat mas yang katamu ganteng itu. Parah.”

Katanya ogah, tetapi si Nana malah nyerocos nyalahin Dea. Cewek itu diam, tetapi bukan lagi mikirin kesalahannya, melainkan lagi mikirin si cowok ganteng yang membahana tadi. Aduh, Dea, Dea.

“Wah, siapa ya namanya, orang mana, udah beristri apa belum, sih?” gumam Dea. Lupa sudah dia sama Nana dan rasa sebelnya tadi. Dan hal ini tambah bikin sahabatnya geram.

“Dea kampreeet!” Saking gemas pengen gampar, Nana pun menjerit tepat di samping daun telinga Dea sebagai pelampiasan.

Dea bergidik dan menutup telinganya yang sakit berdengung-dengung. Tanpa Nana berucap lagi, dia pergi masuk ke dalam sambil menghentakkan kaki.

“Na, tunggu. Naaa!” Bahkan teriakkannya sama sekali tak berarti. Cuma buang-buang tenaga saja sebab Nana tak ada niat sedikit pun untuk menjawab.

Baru saja mau nyusul. Eh, langkahnya terhenti kala satu tangan menariknya. Dan itu adalah Maya, kakak ketiganya.

“Ooh, ternyata kamu di sini, ya?” Muka Kak Maya tercetak murka. Dadanya naik turun seakan kemurkaan itu akan segera meledak dari dalam dirinya.

Dea memaksakan segurat senyum melengkung lebar, tetapi yang didapat adalah jeweran Kak Maya. Jeweran super dahsyat yang akhirnya membuat dia menjerit kesakitan.

“Aduh, aduh! Sakit, Kak!” Sekeras apa pun Dea berusaha melepaskan, jeweran Kak Maya tak bisa lepas saking dahsyatnya.

“Sakit?! Sakit, ya?! Nih, kakak tambahin sakitnya biar kamu mikir!” Kak Maya menambahkan tenaga dalam menjewer Dea, dan cewek itu meringis tambah kesakitan.

“Aw! Aw! Ampun, Kak May! Sakiit!” Dea mencoba melepaskan diri, tapi ternyata susah.

Hal itu menciptakan kegaduhan yang membuat Nana serta Momy Karina keluar dari rumah. Keduanya kaget luar biasa ketika melihat pemandangan seram di depan mata.

“Aduh, aduh, May. Kasian Dea. Saya tahu dia salah karena minggat dari rumah, tapi jangan begitu dihukumnya, cukup nasehati saja.” Momy Karina yang tak tega melihat Dea kesakitan begitu pun menegur Kak Maya, tetapi seertinya perempuan itu tak akan mau dengar.

“Biarin aja, Tan. Dia kelewatan! Udah kabur nggak bilang-bilang, serumah pada heboh nyariin ternyata dia ngumpet di sini, toh?!”

Etdah, masa kabur harus minta izin dulu sama orang rumah. Momy Karina dan Nana menganga mendengar ucapan Kak Maya itu.

“Oh, harus izin dulu, ya?” Polosnya si Nana malah tanya begitu. Tambah bodohlah suasana.

“Iyalah! Emang kurang ajar! Sekarang gara-gara dia, nih, ya, Bapak ada dalam sel tahanan!” Kak May meledak, memuntahkan segala amarah yang menumpuk dalam dadanya. Dengan mata melotot besar tentunya.

“Hah? Sel tahanan?! Maksudnya?!” Tiga orang yang semalam bisa bobo cantik itu kaget bukan kepalang, terlebih Dea. Hampir saja dia jantungan.

Duh, kira-kira gimana, ya, nasib si bapak di sana?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Seleksi Calon Mantu   89. Berakhir Bahagia

    Hari-hari berlalu begitu saja. Normal seperti yang kemarin-kemarin. Herman masih berusaha sekuat hati mendapatkan Kak Dina serta perhatiannya.Tapi tak kunjung mendapat respons yang baik."Kamu, tuh ngapain, sih setiap hari ngikutin?! Kulapoin kamu ke polisi kalau gini terus, dasar penguntit!" Bahkan Kak Dina mengancam saking gedeknya dengan kelakuan Herman yang ada setiap kali ia keluar rumah.Seperti ketika ia lari pagi, tiba-tiba muncul dan sok akrab. Ketika ia mau makan di luar, tiba-tiba duduk di belakangnya atau di sebelahnya. Sampai hari ini ... malam ini, ketika Kak Dina keluar untuk membeli sesuatu di mart, dia muncul lagi, malah pake sok-sok'an mau ngebayarin barang belanjaannya segala.Kak Dina semakin ilfeel."Nanti kalau pak polisinya nanya kenapa aku menguntit, aku pasti jawab karena Dina cantik," ujar Herman tidak takut sekali. Kalaupun dia beneran dilaporkan, pikirnya tak akan mungkin bisa dipenjara lama-lama. Toh, kesalahannya hanya jatuh cinta. Tak ada sentuhan tanga

  • Seleksi Calon Mantu   88. Rencana Daffa

    "Saya akan hubungi abah dan nenek saya di kampung, Pak. Segera."Malam itu Daffa berpikir bahwa semuanya sudah selesai, dan ia hanya tinggal membawa keluarganya untuk menghadap Pak Jhon. Tak pikiran bahwa akan ada halangan lain sama sekali."Tapi sebelum itu terjadi, kamu harus meluluhkan hati kakak Dea dulu, Dina. Karena saya tak bisa mengizinkan kalian menyeriusi hubungan ini tanpa restu dari semua anak-anak saya."Sampai ketika Pak Jhon berkata begini, Daffa pun terkejut. Dia menatap Dea yang murung. Pantas saja Dea tak seantusias dirinya.Jantung Daffa yang semula berdentum-dentum penuh dengan pukulan cinta itu perlahan tak sesemangat itu lagi. Dirinya merasa lemas lunglai seketika.***Dea Dan Daffa duduk berdua di teras rumah. Saling diam awalnya."Kak Dina beneran nggak mau nerima aku sebagai calon iparnya, ya?" Sampai detik ini ia tak mengerti, apa yang salah dari dirinya sampai kakak Dea yang sulung itu tak mau bahkan hanya sekadar melirik saja.Dea tertunduk tak kalah lesu.

  • Seleksi Calon Mantu   87. Restu Pak Jhon

    Mentari semakin gencar menyemai cahayanya di jam dua belas siang ini. Panasnya lumayan membakar kulit kepala siapa saja yang ada di bawah cahayanya.Pak Jhon melihat ke luar jendela kaca, menatap betapa indah cuaca hari ini sebab tak mendung seperti kemarin.Pikirnya, mungkin karena hujan sudah puas menghujani bumi semalaman, jadi alam menciptakan cuaca bagus hari ini sebagai gantinya.Hati yang awalnya dipenuhi ragam curiga, prasangka, serta ketakutan itu telah kosong ruang-ruangnya. Semua perasaan semu itu telah lari entah ke mana. Pergi, sejak ia selesai bicara dengan Daffa.***Dea dan Daffa kini sedang bergandengan tangan di pinggir pantai. Tidak dekat airnya, sebab panas. Mereka berjalan-jalan di sepanjang deretan pohon-pohon kelapa.Hari yang cerah, hubungan yang sedikit diberi izin, dua hal itu membuat Dea dan Daffa senang bukan main."Jadi, bapak bilang gitu? Izinkan Mas buat ikut seleksinya?" Antara senang dan resah, keduanya menyatu seperti kopi dan gula.Duh, berbahaya. Ra

  • Seleksi Calon Mantu   86. Lolos Jadi Kandidat

    Nadewi terhenti ketika melihat Daffa terburu-buru. Ia segera kembali, mengikuti langkah Daffa yang entah mau ke mana. Tapi melihat wajahnya begitu berseri, Nadewi pikir mood Daffa sudah membaik, makanya dia berniat untuk PDKT lagi.Ya ... namanya mental pelakor tak ada urat malunya. Dia akan kembali lagi dan lagi sampai laki orang benar-benar berhasil direbutnya.Namun, ketika melihat apa yang terjadi di luar gedung hotel, niat terselubungnya runtuh sudah.Semua karena Nadewi melihat Dea Posa memeluk Daffa. Tidak, lebih tepatnya mereka berdua saling berpelukan sama-sama."Dasae nggak tahu malu! Nggak tahu tempat! Najis amit-amit ih! Liatnya aja jijik!" umpat kasar Nadewi. Inilah bentuk rasa kecewanya karena berkali-kali melihat Daffa benar-benar hanyut dalam cinta yang Dea beri.Kenapa tidak bisa ke dirinya, sih? Dia cantik dan seksi!Ya, bila dibandingkan dengan Dea, Nadewi unggul. Tapi hanya unggul di badan, tidak di hati dan pikiran. Nadewi terlalu gila untuk bisa menjadi kekasih h

  • Seleksi Calon Mantu   85. Dijemput Ayang Dea

    "Ya Allah ... pagi-pagi ada aja yang membuatku mau julid." Daffa ngelus Dada. Lantas masuk kamar mandi. Akhirnya dia cuci muka saja, lalu berdoa kepada Allah untuk mengampuninya karena tidak salat subuh.Meski Daffa niatkan, nanti di-qodho, tetap saja rasa bersalah itu menghantui. Saking tak biasanya Daffa melewatkan waktu salat seperti hari ini.Daffa membenahi koper, bersiap pulang. Semalam ia dan pak camat sudah sepakat akan langsung pulang menjelang siang karena tugas sudah tak ada lagi.Tapi karena pak camat melewatkan satu tanda tangan di dokumen, mungkin waktu pulang tertunda. Daffa akan menunggu.Ketukan di pintu mengejutkan Daffa yang masih mengemas pakaian. Tak lama menyusul suara Pak Ridwan, salah satu rekan yang pak camat ajak juga.Daffa buru-buru meninggalkan aktivitasnya dulu, lalu menghampiri pintu dan membukanya."Daffa, kamu katanya kecelakaan. Apa kamu baik-baik saja?!" Pak Ridwan memang terlihat galak, tapi aslinya perhatian. Daffa tersenyum, memperlihatkan tangann

  • Seleksi Calon Mantu   84. Pagi-pagi Sudah Dibuat Kesal

    Malam terasa syahdu dan damai. Entah apa yang terjadi setelah Pak Jhon pingsan, dia tidak ingat. Ingatan terakhirnya hanyalah betapa erat Daffa menggenggam tangannya agar ia tak lepas."Ya Allah, aku telah menzalimi anak sebaik itu," gumam Pak Jhon di tengah sesal yang mengungkungnya.Setelah kejadian yang terjadi, banyak hal yang Pak Jhon ketahui tentang seorang Daffa. Dia memang miskin, tapi tidak dengan akal dan hatinya.Jika kelak Pak Jhon menitipkan Dea padanya, mungkin dia akan menjadi sosok yang tepat untuk menjaga anak bontotnya. Memang benar kekayaan tidak bisa menjamin kebahagiaan akan selalu melanda, kadang kesederhanaan pun bila dijalani dengan rasa syukur serta ikhlas, kebahagiaan itu sendiri akan hadir tanpa diminta.Mungkin maksud Dea begitu, hanya saja Pak Jhon selalu dibutakan oleh yang namanya bibit beber bobot. Pria tampan, kaya, berwibawa, berasal dari keluarga jelas dan berpangkat. Selama ini patokan sempurna Pak Jhon begitu adanya. Bukankah itu salah?"Ternyata a

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status