Share

3. Pagi yang Cerah

Pagi ini Dea maksain bangun karena lapar. Padahal, ia hanya tidur sebentar menjelang subuh. Gara-gara Nana, sih, jadi begadang. Lihat saja buktinya, lingkaran mata Dea menghitam sekarang.

Momy Karina lagi asyik masak sambil ngelantunin lagu dangdut milik raja dangdut. Tak usah disebut namanya, sejagat raya pasti sudah tahu siapa, kan?

“Mom—”

Eh, baru aja mau bicara, Nana menarik lengannya sambil teriak ceria, ngajakin beli gorengan abang-abang yang suka nongkrong di pengkolan jalan raya. Nana beli sebagai pelengkap hidangan di meja makan nanti.

Keduanya pun pergi dengan perut kosong. Tak ayal suara gerucuk-gerucuk dari perut terus terdengar. Ah, tetapi mereka santai saja. Untung keadaan kota lagi rame, jadi suara khas kelaparan itu tak terdengar orang lain.

“Bang beli bakwan, keroket, tahu isi, sama goreng tempe dibungkus, ya. Pokoknya atur-atur, deh, yang penting isinya lengkap. Ini uangnya,” ucap Nana seraya menyerahkan lembar hijau bertuliskan angka dua puluh ribu.

Ya, ampun. Uang segitu minta paket lengkap. Kebangetan, si Nana.

“Loh, Bang. Kok, cuma delapan biji, sih? Biasanya dua puluh ribu dapat sepuluh.” Nana masih saja protes, kelihatan banget kalau dia itu manusia pelit bin medit.

“Bahan-bahan pada naik, Mbak. Yang dianikin di sini cuma goreng tahu isi, karena dia yang paling banyak pakai bahan.” Begitulah pembelaan si bapak penjual gorengan. Tahu aja sampai disebut 'Dia'.

Dea menyikut pinggang Nana saking gemas.

“Udah, ayok pulang. Malu-maluin aja pake nawar kebangetan. Nggak denger si bapaknya bilang harga bahan-bahan pada naik?” bisik Dea pelan, takut terdengar si bapak.

Nana berdesis dan menatap sahabatnya sinis. Namun, akhirnya ia menurut juga. Lah, habisnya di belakang sudah pada sebal lihat dua cewek ini tak selesai-selesai belanja gorengan.

Demi keamanan bersama, Dea yang sebenarnya sudah pegal berdiri gara-gara tadi antri juga, menyeret Nana kepayahan menuju area memarkir kendaraan roda duanya.

“Duh, kamu gimana, sih, bukannya belain aku, kok malah nyeret-nyeret begini. Dasar teman tak berkepritemanan!” Nana ngedumel saat dia sudah lebih dulu menduduki jok motor matic miliknya.

Kesal, Nana sampai kesusahan masukin kunci motor ke lubangnya. Tak bisa lagi menahan rasa sebal, kepala motor lah yang jadi korban.

“Heh, Nana?! Jangan esmosi! Sini Mariposa aja, ya cantik yang bawa motornya.” Dea menarik lengan sahabatnya yang lagi gencar mukulin kepala motor.

Cuma gara-gara gorengan kurang dua biji aja kemarahannya sampai meledak begitu. Kasihan sekali motornya. Untung bukan orang. Kalau orang pasti lebih kasihan lagi.

Nana setuju, ia pun mengalah dan duduk di jok belakang. Kali ini biar Dea yang bawa. Yah, walau di belakang masih terdengar omelan dahsyatnya, sampai bilang mau cari kang gorengan lain dan pindah langganan. Dasar.

Karena rasa lapar sudah tak bisa lagi ditahan, Nana mengambil bakwan buat ganjal perut. Lagi asyik-asyiknya ngunyem, si Dea ngerem dadakan sampe Nana hampir jatuh.

“ADUH, Dea! Apa-apaan, sih?!” jerit Nana kesal. Bukan cuma kesal perihal rem dadakan, tapi juga karena goreng bakwan yang baru ia gigit dua kali malah terlempar entah ke mana.

Dea membenarkan helm, sementara Nana turun buru-buru, nundukin punggung sama kepala. Cari bakwan yang jatuh tadi.

“Na, Na, liat itu siapa?” Tanpa memerhatikan Nana, Dea memanggil-manggil pakai nada semringah, macam lagi nemu harga diskon di toko pakaian.

Nana cuek, dan masih mencari-cari bakwan tadi dengan rajin. Sebab tak ada jawaban, Dea pun akhirnya melirik teman sejawatnya. Lantas, alisnya terpaut kala melihat kelakuan Nana yang bisa dibilang aneh itu.

“Heh, kamu ngapain, Nana?!” tanya Dea kemudian.

“Cari bakwan yang lompat dari tanganku, Posa. Kamu, sih, bawa motor nggak bener, jadi pengganjal perutku lompat.”

Dea menganga, tak percaya si Nana senekat itu. Tidak, baginya Nana keterlaluan meditnya, sampe gorengan jatuh pun dicari lagi. Kalau ketemu juga percuma, tak bisa dimakan lagi, kan? Aneh-aneh aja cewek berambut kepang itu.

“Ya Tuhan ... Nana ngapain cari-cari makanan yang udah jatuh, sih?” Dea bertanya kesal sembari kepalanya bolak-balik nengok antara ke arah jalan raya sana dan ke arah Nana. Kelihatan panik.

“Ya, mau dipungut lagi. Kan, sayang itu harganya dua ribu.”

Kembali Dea dibuat menganga. Tak salah? Dipungut lagi? Astaga.

“Ih, Nana kok jorok banget. Udah, ah, ayo cepetan nanti ketinggalan!” Tanpa menunggu jawaban Nana, ia langsung menarik lengannya dan memaksa duduk di jok belakang.

“Aduh, Dea apa, sih? Ketinggalan apa? Itu bakwannya sayang banget,” rengek Nana sebal dan berusaha turun lagi.

Akan tetapi Dea segera mendesis tak suka. Matanya melotot, dan tangan kanan segera menunjuk jok sambil menyuruh Nana untuk tetap duduk dengan tenang.

Nana monyong ogah berkata lagi, yang ada dia malah berpangku tangan sekarang, lalu memalingkan muka.

“Yaelah, Na. Gara-gara bakwan aja pake pasang muka judes. Ntar aku ganti cuma bakwan doang. Kalo perlu aku belikan bakwannya sepuluh biji.” Dea yang sadar akan kesalahannya telah menyakiti hati Nana pun menjanjikan suatu hal yang kini bikin cewek di belakangnya semringah lagi.

“Asik! Yang bener, nih?!” tanyanya heboh.

“Iya. Sekarang pegangan yang kenceng, kita susulin mas ganteng di depan itu,” ujar Dea cengengesan.

Etdah. Ternyata dari tadi Dea itu merhatiin cowok di kejauhan sana, toh. Pantesan lagi tenang-tenangnya bawa motor, malah hampir nyungsep. Padahal dia lihat cowok yang baginya bagai mutiara langka di tengah-tengah bebatuan hitam.

Iya, insiden ngerem dadakan terjadi karena mata si Dea mendadak pulak lihat itu cowok ganteng di seberang jalan lagi duduk di halte bis pake seragam lari pagi.

Eh, seragam lari pagi emangnya ada? Yah, anggap ada aja, deh.

Nana mengedar pandang, cari sosok yang Dea sebut mas ganteng itu teliti.

“Apa, Dea?! Mas gan—” Belum juga perkataannya selesai, Dea sudah menghidupkan mesin dan main tancap gas saja. “Hwaaaa! Pelan-pelan, Dea! Cari mati, lu?!” Nana jerit-jerit, rusuh pegangan.

“Mas ganteeeng! Tungguin!”

Kumat sudah penyakit gampang jatuh cintanya. Nana malu sebab Dea masih aja nggak tahu diri, malah teriak-teriak panggil itu si mas ganteng yang baru naik bus kota.

“Deaa! Pelan-pelan nanti celaka!” Kembali sahabatnya mengingatkan, dia benar-benr takut mati dadakan.

“Pegangan, makanya Na!” Kali ini Dea menyahut kencang, lalu ia memperkencang laju motor.

“Asem! Ini udah pegangan! Tetep aja takut! Berhenti nggak?!”

“Nanti berhenti setelah si mas itu kesusul!”

“Dasar stres! Dea strees!”

Dea si cewek poni itu malah terbahak mendengar kata terakhir Nana. Dan masa bodoh sama ketakutan sahabatnya itu.

Parah emang. Dea ngebut beneran, dan celakanya dia kini dikejar polisi yang lagi tugas pagi. Mereka dikejar.

Aduh, anak sama bapak suka banget mancing-mancing pak polisi. Ish ish.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
zahra
ngakak ih,,lucu banget si
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status