Pagi ini Dea maksain bangun karena lapar. Padahal, ia hanya tidur sebentar menjelang subuh. Gara-gara Nana, sih, jadi begadang. Lihat saja buktinya, lingkaran mata Dea menghitam sekarang.
Momy Karina lagi asyik masak sambil ngelantunin lagu dangdut milik raja dangdut. Tak usah disebut namanya, sejagat raya pasti sudah tahu siapa, kan?“Mom—”Eh, baru aja mau bicara, Nana menarik lengannya sambil teriak ceria, ngajakin beli gorengan abang-abang yang suka nongkrong di pengkolan jalan raya. Nana beli sebagai pelengkap hidangan di meja makan nanti.Keduanya pun pergi dengan perut kosong. Tak ayal suara gerucuk-gerucuk dari perut terus terdengar. Ah, tetapi mereka santai saja. Untung keadaan kota lagi rame, jadi suara khas kelaparan itu tak terdengar orang lain.“Bang beli bakwan, keroket, tahu isi, sama goreng tempe dibungkus, ya. Pokoknya atur-atur, deh, yang penting isinya lengkap. Ini uangnya,” ucap Nana seraya menyerahkan lembar hijau bertuliskan angka dua puluh ribu.Ya, ampun. Uang segitu minta paket lengkap. Kebangetan, si Nana.“Loh, Bang. Kok, cuma delapan biji, sih? Biasanya dua puluh ribu dapat sepuluh.” Nana masih saja protes, kelihatan banget kalau dia itu manusia pelit bin medit.“Bahan-bahan pada naik, Mbak. Yang dianikin di sini cuma goreng tahu isi, karena dia yang paling banyak pakai bahan.” Begitulah pembelaan si bapak penjual gorengan. Tahu aja sampai disebut 'Dia'.Dea menyikut pinggang Nana saking gemas.“Udah, ayok pulang. Malu-maluin aja pake nawar kebangetan. Nggak denger si bapaknya bilang harga bahan-bahan pada naik?” bisik Dea pelan, takut terdengar si bapak.Nana berdesis dan menatap sahabatnya sinis. Namun, akhirnya ia menurut juga. Lah, habisnya di belakang sudah pada sebal lihat dua cewek ini tak selesai-selesai belanja gorengan.Demi keamanan bersama, Dea yang sebenarnya sudah pegal berdiri gara-gara tadi antri juga, menyeret Nana kepayahan menuju area memarkir kendaraan roda duanya.“Duh, kamu gimana, sih, bukannya belain aku, kok malah nyeret-nyeret begini. Dasar teman tak berkepritemanan!” Nana ngedumel saat dia sudah lebih dulu menduduki jok motor matic miliknya.Kesal, Nana sampai kesusahan masukin kunci motor ke lubangnya. Tak bisa lagi menahan rasa sebal, kepala motor lah yang jadi korban.“Heh, Nana?! Jangan esmosi! Sini Mariposa aja, ya cantik yang bawa motornya.” Dea menarik lengan sahabatnya yang lagi gencar mukulin kepala motor.Cuma gara-gara gorengan kurang dua biji aja kemarahannya sampai meledak begitu. Kasihan sekali motornya. Untung bukan orang. Kalau orang pasti lebih kasihan lagi.Nana setuju, ia pun mengalah dan duduk di jok belakang. Kali ini biar Dea yang bawa. Yah, walau di belakang masih terdengar omelan dahsyatnya, sampai bilang mau cari kang gorengan lain dan pindah langganan. Dasar.Karena rasa lapar sudah tak bisa lagi ditahan, Nana mengambil bakwan buat ganjal perut. Lagi asyik-asyiknya ngunyem, si Dea ngerem dadakan sampe Nana hampir jatuh.“ADUH, Dea! Apa-apaan, sih?!” jerit Nana kesal. Bukan cuma kesal perihal rem dadakan, tapi juga karena goreng bakwan yang baru ia gigit dua kali malah terlempar entah ke mana.Dea membenarkan helm, sementara Nana turun buru-buru, nundukin punggung sama kepala. Cari bakwan yang jatuh tadi.“Na, Na, liat itu siapa?” Tanpa memerhatikan Nana, Dea memanggil-manggil pakai nada semringah, macam lagi nemu harga diskon di toko pakaian.Nana cuek, dan masih mencari-cari bakwan tadi dengan rajin. Sebab tak ada jawaban, Dea pun akhirnya melirik teman sejawatnya. Lantas, alisnya terpaut kala melihat kelakuan Nana yang bisa dibilang aneh itu.“Heh, kamu ngapain, Nana?!” tanya Dea kemudian.“Cari bakwan yang lompat dari tanganku, Posa. Kamu, sih, bawa motor nggak bener, jadi pengganjal perutku lompat.”Dea menganga, tak percaya si Nana senekat itu. Tidak, baginya Nana keterlaluan meditnya, sampe gorengan jatuh pun dicari lagi. Kalau ketemu juga percuma, tak bisa dimakan lagi, kan? Aneh-aneh aja cewek berambut kepang itu.“Ya Tuhan ... Nana ngapain cari-cari makanan yang udah jatuh, sih?” Dea bertanya kesal sembari kepalanya bolak-balik nengok antara ke arah jalan raya sana dan ke arah Nana. Kelihatan panik.“Ya, mau dipungut lagi. Kan, sayang itu harganya dua ribu.”Kembali Dea dibuat menganga. Tak salah? Dipungut lagi? Astaga.“Ih, Nana kok jorok banget. Udah, ah, ayo cepetan nanti ketinggalan!” Tanpa menunggu jawaban Nana, ia langsung menarik lengannya dan memaksa duduk di jok belakang.“Aduh, Dea apa, sih? Ketinggalan apa? Itu bakwannya sayang banget,” rengek Nana sebal dan berusaha turun lagi.Akan tetapi Dea segera mendesis tak suka. Matanya melotot, dan tangan kanan segera menunjuk jok sambil menyuruh Nana untuk tetap duduk dengan tenang.Nana monyong ogah berkata lagi, yang ada dia malah berpangku tangan sekarang, lalu memalingkan muka.“Yaelah, Na. Gara-gara bakwan aja pake pasang muka judes. Ntar aku ganti cuma bakwan doang. Kalo perlu aku belikan bakwannya sepuluh biji.” Dea yang sadar akan kesalahannya telah menyakiti hati Nana pun menjanjikan suatu hal yang kini bikin cewek di belakangnya semringah lagi.“Asik! Yang bener, nih?!” tanyanya heboh.“Iya. Sekarang pegangan yang kenceng, kita susulin mas ganteng di depan itu,” ujar Dea cengengesan.Etdah. Ternyata dari tadi Dea itu merhatiin cowok di kejauhan sana, toh. Pantesan lagi tenang-tenangnya bawa motor, malah hampir nyungsep. Padahal dia lihat cowok yang baginya bagai mutiara langka di tengah-tengah bebatuan hitam.Iya, insiden ngerem dadakan terjadi karena mata si Dea mendadak pulak lihat itu cowok ganteng di seberang jalan lagi duduk di halte bis pake seragam lari pagi.Eh, seragam lari pagi emangnya ada? Yah, anggap ada aja, deh.Nana mengedar pandang, cari sosok yang Dea sebut mas ganteng itu teliti.“Apa, Dea?! Mas gan—” Belum juga perkataannya selesai, Dea sudah menghidupkan mesin dan main tancap gas saja. “Hwaaaa! Pelan-pelan, Dea! Cari mati, lu?!” Nana jerit-jerit, rusuh pegangan.“Mas ganteeeng! Tungguin!”Kumat sudah penyakit gampang jatuh cintanya. Nana malu sebab Dea masih aja nggak tahu diri, malah teriak-teriak panggil itu si mas ganteng yang baru naik bus kota.“Deaa! Pelan-pelan nanti celaka!” Kembali sahabatnya mengingatkan, dia benar-benr takut mati dadakan.“Pegangan, makanya Na!” Kali ini Dea menyahut kencang, lalu ia memperkencang laju motor.“Asem! Ini udah pegangan! Tetep aja takut! Berhenti nggak?!”“Nanti berhenti setelah si mas itu kesusul!”“Dasar stres! Dea strees!”Dea si cewek poni itu malah terbahak mendengar kata terakhir Nana. Dan masa bodoh sama ketakutan sahabatnya itu.Parah emang. Dea ngebut beneran, dan celakanya dia kini dikejar polisi yang lagi tugas pagi. Mereka dikejar.Aduh, anak sama bapak suka banget mancing-mancing pak polisi. Ish ish.Hari-hari berlalu begitu saja. Normal seperti yang kemarin-kemarin. Herman masih berusaha sekuat hati mendapatkan Kak Dina serta perhatiannya.Tapi tak kunjung mendapat respons yang baik."Kamu, tuh ngapain, sih setiap hari ngikutin?! Kulapoin kamu ke polisi kalau gini terus, dasar penguntit!" Bahkan Kak Dina mengancam saking gedeknya dengan kelakuan Herman yang ada setiap kali ia keluar rumah.Seperti ketika ia lari pagi, tiba-tiba muncul dan sok akrab. Ketika ia mau makan di luar, tiba-tiba duduk di belakangnya atau di sebelahnya. Sampai hari ini ... malam ini, ketika Kak Dina keluar untuk membeli sesuatu di mart, dia muncul lagi, malah pake sok-sok'an mau ngebayarin barang belanjaannya segala.Kak Dina semakin ilfeel."Nanti kalau pak polisinya nanya kenapa aku menguntit, aku pasti jawab karena Dina cantik," ujar Herman tidak takut sekali. Kalaupun dia beneran dilaporkan, pikirnya tak akan mungkin bisa dipenjara lama-lama. Toh, kesalahannya hanya jatuh cinta. Tak ada sentuhan tanga
"Saya akan hubungi abah dan nenek saya di kampung, Pak. Segera."Malam itu Daffa berpikir bahwa semuanya sudah selesai, dan ia hanya tinggal membawa keluarganya untuk menghadap Pak Jhon. Tak pikiran bahwa akan ada halangan lain sama sekali."Tapi sebelum itu terjadi, kamu harus meluluhkan hati kakak Dea dulu, Dina. Karena saya tak bisa mengizinkan kalian menyeriusi hubungan ini tanpa restu dari semua anak-anak saya."Sampai ketika Pak Jhon berkata begini, Daffa pun terkejut. Dia menatap Dea yang murung. Pantas saja Dea tak seantusias dirinya.Jantung Daffa yang semula berdentum-dentum penuh dengan pukulan cinta itu perlahan tak sesemangat itu lagi. Dirinya merasa lemas lunglai seketika.***Dea Dan Daffa duduk berdua di teras rumah. Saling diam awalnya."Kak Dina beneran nggak mau nerima aku sebagai calon iparnya, ya?" Sampai detik ini ia tak mengerti, apa yang salah dari dirinya sampai kakak Dea yang sulung itu tak mau bahkan hanya sekadar melirik saja.Dea tertunduk tak kalah lesu.
Mentari semakin gencar menyemai cahayanya di jam dua belas siang ini. Panasnya lumayan membakar kulit kepala siapa saja yang ada di bawah cahayanya.Pak Jhon melihat ke luar jendela kaca, menatap betapa indah cuaca hari ini sebab tak mendung seperti kemarin.Pikirnya, mungkin karena hujan sudah puas menghujani bumi semalaman, jadi alam menciptakan cuaca bagus hari ini sebagai gantinya.Hati yang awalnya dipenuhi ragam curiga, prasangka, serta ketakutan itu telah kosong ruang-ruangnya. Semua perasaan semu itu telah lari entah ke mana. Pergi, sejak ia selesai bicara dengan Daffa.***Dea dan Daffa kini sedang bergandengan tangan di pinggir pantai. Tidak dekat airnya, sebab panas. Mereka berjalan-jalan di sepanjang deretan pohon-pohon kelapa.Hari yang cerah, hubungan yang sedikit diberi izin, dua hal itu membuat Dea dan Daffa senang bukan main."Jadi, bapak bilang gitu? Izinkan Mas buat ikut seleksinya?" Antara senang dan resah, keduanya menyatu seperti kopi dan gula.Duh, berbahaya. Ra
Nadewi terhenti ketika melihat Daffa terburu-buru. Ia segera kembali, mengikuti langkah Daffa yang entah mau ke mana. Tapi melihat wajahnya begitu berseri, Nadewi pikir mood Daffa sudah membaik, makanya dia berniat untuk PDKT lagi.Ya ... namanya mental pelakor tak ada urat malunya. Dia akan kembali lagi dan lagi sampai laki orang benar-benar berhasil direbutnya.Namun, ketika melihat apa yang terjadi di luar gedung hotel, niat terselubungnya runtuh sudah.Semua karena Nadewi melihat Dea Posa memeluk Daffa. Tidak, lebih tepatnya mereka berdua saling berpelukan sama-sama."Dasae nggak tahu malu! Nggak tahu tempat! Najis amit-amit ih! Liatnya aja jijik!" umpat kasar Nadewi. Inilah bentuk rasa kecewanya karena berkali-kali melihat Daffa benar-benar hanyut dalam cinta yang Dea beri.Kenapa tidak bisa ke dirinya, sih? Dia cantik dan seksi!Ya, bila dibandingkan dengan Dea, Nadewi unggul. Tapi hanya unggul di badan, tidak di hati dan pikiran. Nadewi terlalu gila untuk bisa menjadi kekasih h
"Ya Allah ... pagi-pagi ada aja yang membuatku mau julid." Daffa ngelus Dada. Lantas masuk kamar mandi. Akhirnya dia cuci muka saja, lalu berdoa kepada Allah untuk mengampuninya karena tidak salat subuh.Meski Daffa niatkan, nanti di-qodho, tetap saja rasa bersalah itu menghantui. Saking tak biasanya Daffa melewatkan waktu salat seperti hari ini.Daffa membenahi koper, bersiap pulang. Semalam ia dan pak camat sudah sepakat akan langsung pulang menjelang siang karena tugas sudah tak ada lagi.Tapi karena pak camat melewatkan satu tanda tangan di dokumen, mungkin waktu pulang tertunda. Daffa akan menunggu.Ketukan di pintu mengejutkan Daffa yang masih mengemas pakaian. Tak lama menyusul suara Pak Ridwan, salah satu rekan yang pak camat ajak juga.Daffa buru-buru meninggalkan aktivitasnya dulu, lalu menghampiri pintu dan membukanya."Daffa, kamu katanya kecelakaan. Apa kamu baik-baik saja?!" Pak Ridwan memang terlihat galak, tapi aslinya perhatian. Daffa tersenyum, memperlihatkan tangann
Malam terasa syahdu dan damai. Entah apa yang terjadi setelah Pak Jhon pingsan, dia tidak ingat. Ingatan terakhirnya hanyalah betapa erat Daffa menggenggam tangannya agar ia tak lepas."Ya Allah, aku telah menzalimi anak sebaik itu," gumam Pak Jhon di tengah sesal yang mengungkungnya.Setelah kejadian yang terjadi, banyak hal yang Pak Jhon ketahui tentang seorang Daffa. Dia memang miskin, tapi tidak dengan akal dan hatinya.Jika kelak Pak Jhon menitipkan Dea padanya, mungkin dia akan menjadi sosok yang tepat untuk menjaga anak bontotnya. Memang benar kekayaan tidak bisa menjamin kebahagiaan akan selalu melanda, kadang kesederhanaan pun bila dijalani dengan rasa syukur serta ikhlas, kebahagiaan itu sendiri akan hadir tanpa diminta.Mungkin maksud Dea begitu, hanya saja Pak Jhon selalu dibutakan oleh yang namanya bibit beber bobot. Pria tampan, kaya, berwibawa, berasal dari keluarga jelas dan berpangkat. Selama ini patokan sempurna Pak Jhon begitu adanya. Bukankah itu salah?"Ternyata a
"Bu-bukan begitu, Om. Sa-saya hanya ... aih, ya sedikit—""Dakjaaaaaal! Kamu kurang ajar!" Jelas Pak Jhon murka. Tak ada orang tua yang akan diam saja mengetahui anaknya sudah disentuh pria asing yang bukan pria sah-nya.Pak Jhon melepas kedua sisi perahu yang akhirnya mengakibatkan oleng. Kedua tangan Daffa segera bergerak mencoba menenangkan."Om, tenang dulu. Saya akan jelaskan! Se-semua terjadi begitu saja. Saya mengaku salah, tolong maafkan saya sekali ini saja, saya berjanji tidak akan melakukannya lagi. Sumpah demi Allah!" Ia juga ikut berdiri sekarang, gara-gara takut perahunya terbalik tiba-tiba. Mana hujan belum reda, ombaknya semakin ganas.Wah, kalau sampai nyemplung, untuk selamat rasanya sangat mustahil sekali. Daffa tetap ingin hidup, belum mau mati."Kamu gila?! Terjadi begitu saja?! Bawa-bawa Allah segala! Disambar petir baru tahu rasa!""Haih, Om boleh marah! Boleh memukul saya, tapi tolong jangan sekarang. Sekarang tidak tepat, kita bisa jatuh ke lautan, Om. Saya mo
GLEGAAAR!Hujan kembali turun dari angkasa, menyerbu manusia yang ada di muka bumi, termasuk Dea dan lainnya yang kini masih panik melihat pertikaian antara Pak Jhon dan Daffa.Payung yang Dea kenakan akhirnya tak berguna gara-gara dihantam angin kencang. Melayang, terbang, lalu entah mendarat di mana.Pada akhirnya menunggu hujan reda hanya sia-sia, sebab badan Dea tetap saja basah."Kak Anita! Tolong itu gimana ya Allah!" Dea merangkul kakaknya, tapi Kak Anita pun sama tak tahu harus bagaimana. Dia stres hanya dengan melihat pedang itu bergerak ke kanan dan kiri berusaha menebas Daffa."Telepon polisi!""Jangan Dea! Mau mampus bapakmu masuk sel?!"Ya, pilihan sulit. "Tapi kalau sampai Daffa terluka, bapak tetap akan masuk penjara!" kukuhnya."Ya Allah Dea, masih aja kamu bela pacarmu di saat begini. Iya aku tahu ini sangat menakutkan, aku juga takut bapak melukai anak orang, tapi aku lebih takut bapak kenapa-kenapa. Kecapean aja bisa kumat jantungnya!"Kak Anita melepaskan tangan De
Dea masih memeluk Daffa, erat. Tak peduli Daffa memaksa untuk melepaskannya, Dea tetap tak mau beranjak jauh darinya."Astagfirullah Dea! Ini udah hampir jam sembilan. Kalau kamu nggak pulang, putus kepalamu!" Bukan hanya Dea saja yang Daffa khawatirkan, tapi dirinya sendiri juga. Alamat putus sungguhan kalau anak gadis Pak Jhon tidak diantar pulang sesegera mungkin."Dea nggak mau putus! Kita kawin lari aja gimana?" ucap Dea sekata-kata. Sambil sesenggukan menangis lara."Innalillahi. Kamu ngomong apa?! Buruan lepas ya Allah! Nggak ada, ya kawin lari. Aku tak mau!" tolak Daffa blak-blakan. "Nggak ada pernikahan yang akan langgeng tanpa restu orang tua! Kalau pun ada, pasti rumah tangganya dihantui rasa bersalah dan tak akan bahagia! Sadarlah dan lepaskan Dea!"Melihat jam berdenting begitu cepat membuat Daffa semakin putus asa. Dia seperti prajurit di tengah gempuran bom dan anak panah. Hanya sendirian, tinggal menunggu waktu saja sampai semua buah senjata itu mengenai dirinya.Bersa