Setelah mendengar kabar dahsyat yang begitu mengagetkan tiga manusia beda usia di hadapan Kak Maya, mereka pun gegas mengusulkan untuk pergi ke lokasi.
Dea, Nana, dan si Momy cantik terpaksa naik angkot karena tidak mungkin bagi mereka naik motor bonceng tiga. Tamat riwayat mereka kalau ketahuan sama polisi lagi.Yang tadi saja sudah bikin bete bin kesel waktu surat-surat kendaraan diambil, apalagi seandainya yang dibawa motornya? Kacau, nanti Dea habis diomelin sama ibu dan anak itu.Waktu masih menunjukan pukul sembilan ketika ketiganya sampai di polsek. Dea disambut oleh tatapan sinis kedua kakaknya, juga Arvan dan sang ibu.“Dea! Kamu nggak apa-apa?! Ada yang luka?!”Buset, Kak Anita langsung menangkup wajah Dea sampai miring-miring, mastiin keadaannya. Karena dia masih mikir kalau adiknya itu baru bebas dari penyekapan.“Aduh, Kak. Ada apa, sih? Aku baik-baik aja. Kalian kenapa, sih?!” Dea melepas tangkupan tangan Kak Anita, dia pun beralih pandang sama cowok ganteng samping mamanya yang cetar. “Kamu ngapain di sini?” Kemudian dengan heran Dea bertanya.Mama Arvan yang ngeuh kalau Dea inilah yang dimaksud Pak Jhon. Ia pun segera pasang muka judes dan menghadang agar Dea tak bicara pada anaknya.“Oh, jadi ini biang keroknya! Kamu Dea, kan?!” Mama Arvan terlihat sangat marah. Sampe dia berkacak pinggang sekarang.Dea yang polos, atau mungkin kelewat beloon mengangguk pelan, dan menggariskan senyum yang begitu lebar seraya mengulurkan tangan.“Saya Dea, Tan. Tante cantik siapa?” Aduh, Dea ini benar-benar oon.Tangannya hanya menggantung di udara. Dia diabaikan. Mama Arvan boro-boro mau terima uluran tangannya, ia malah berdecak sebal.Kak Anita langsung menarik tangan Dea sambi ngomel.“Enggak usah kecentilan sok mau ngajak salaman sama itu emak-emak. Dia itu yang bikin bapak masuk penjara! Ngerti?!”Mata Dea membulat sempurna. Kok bisa?! Begitulah kira-kira isi pikirannya. Untuk beberapa saat Dea diam, tampak berpikir keras.“Emang dia siapa?” bisik Dea kemudian, masih dalam zona beloon yang tak terkira. Matanya sering sekali lirik Arvan yang malah mencoba menghindari kontak mata dengannya. Itu bikin Dea agak bertanya-tanya.“Emaknya mantan kamu!”“Hah?!” Dea membulatkan kedua mata yang memang agak belo. Dia menatap mama Arvan dan cowok itu secara bergantian.Kali ini suasana kembali ricuh karena Kak Dina menuntut supaya bapaknya segera dibebaskan. Dia bilang nggak ikhlas kalau sampai bapaknya nginep di penjara walau cuma sehari.Sementara suasana rusuh di sana, Dea cuma diam mencoba mencerna apa yang terjadi sebenarnya.“Dea! Kamu kok, diam saja! Ayo bilang kalau kamu memang diculik oleh mereka biar bapak bisa segera lepas!” Kak Dina bicara sambil menarik tangannya untuk duduk di hadapan pak polisi.Dea berdeham, lirik kiri dan kanan tak mengerti akan permasalahan yang terjadi. Jadi, ini kenapa? Apa hubungannya dia diculik dan bapak yang masuk penjara?Cewek itu sungguh tak mengerti.“Enak aja! Anak saya mana mungkin culik anak orang. Iiih amit-amit kayak nggak ada cewek lain aja buat dibawa ke rumah.” Mama Arvan yang sudah kesal tingkat dewa pun protes. Dan Arvan cuma bisa ngelus-ngelus bahu si mama sambil nasehatin supaya jangan teriak kenceng-kenceng. Berisik.“Stooop! Ini ada apa sebenarnya?! Aku nggak ngerti! Penculikan apa? Kenapa bapak dipenjara? Maksudnya aku diculik bapak?”Pertanyaan bodoh Dea membuat suasana hening. Anggap saja jangkrik pun memilih membisu saking bingungnya dengan situasi saat ini.Kak Dina mengerutkan kening.“Loh, Dea. Bukannya kamu diculik mantan kamu itu?” Lalu Kak Dina bertanya sambil menunjuk batang hidung Arvan yang sembunyi di balik punggung mamanya.Dea juga mengerutkan kening sekarang. Lalu menggeleng. Sementara Nana dan si Momy malah saling pandang. Antara bingung dan mau ngakak, kok bisa-bisanya kedua kakak Dea nyangka dia diculik. Padahal, semalam dia tidur di rumah mereka.“Nah, dengerin, tuh! Dia bilang nggak diculik! Enak aja main tuduh sembarangan. Ditimpuk pakai sandal aja kalian tau rasa!” Duh, mulut mama Arvan memang agak pedas. Dan hal itu bikin Kak Dina dan Kak Anita geram bukan main.Mereka hampir saja mau jambak rambut perempuan yang disebut sama mereka nenek lampir itu sekuatnya. Tapi urung saat liat pak polisi ngeluarin pentungan sebagai alat mengancam.“Jadi, saudara Dea tidak diculik?” tanya Pak Polisi.Dea mengangguk. Ya jelas enggak, lah. Mana mungkin ada adegan diculik mantan. Lah, wong dia yang diputusin. Terus, udah putus mau apa diculik segala? Pikirnya.“Kalau kamu enggak diculik, terus semalam kamu hilang ke mana?” tanya Kak Anita. Dia mencoba meredam amarahnya yang bercampur gelisah.Cewek polos itu malah garuk-garuk kepala, lalu menunjuk Nana.“Nginep di rumah Nana.” Suaranya nyaris tak terdengar karena grogi. Ya, gimana nggak grogi, jawaban dia ditungguin sama semuanya.“Oalah ....”Pak Polisi mengangguk. Ia mencatat apa di kertas, entah. Tak ada yang tahu.Sementara mama Arvan kembali mancing-mancing supaya keluarga Dea makin kesel, Momy Karina berusaha mencairkan suasana. Ia mulai menebar senyum mempesona supaya tak ada lagi kerusuhan di kantor polisi. Yang ada nanti mereka semua dimasukan ke sel tahanan gara-gara membuat kegaduhan.Akhirnya mama Arvan diam. Masalah utama pun terpecahkan. Soal tuduhan penculikan yang tidak benar pun sudah teluruskan. Sekarang tinggal soal bapak mereka yang masih dikurung di sel tahanan. Tak lama Kak Dina meminta supaya agar juragan lele itu dibebaskan. Ia ingin mama Arvan mencabut laporan.“Oh tak semudah itu, bapak kalian sudah membuat kekacauan di rumah saya. Rusak pintu utama, pula. Bahkan hampir bunuh anak saya ini!” tolaknya seraya berpangku tangan.Dea melotot mendengar pernyataan mama Arvan.“Hah?! Maksudnya apa, Tan?!”Kekagetan dia ditambah pas mama Arvan jelasin soal kronologi kejadian semalam yang bikin darahnya sempat naik turun dengan cepat kayak lagi naik roaler coaster di taman hiburan.Menuduh Arvan culik dia tanpa alasan kuat, juga bukti yang kuat. Sudah gaya-gayaan bawa pedang keramat segala, ngancem mau bunuh Arvan, anak semata wayang yang dia sayang. Udah gitu, Pak Jhon datang di waktu papa Arvan dinas di luar kota, bikin keduanya ketar-ketir luar biasa.Untung dia garcep buru-buru hubungin polisi, alhasil Pak Jhon kalah juga kalau ditodong senjata api.Setelah dengerin penjelasan yang sebenarnya seperti ocehan itu, Dea menganga lebar. Hampir aja nyamuk dan lalat masuk, kesedot itu oksigen yang masuk dari mulut.Tak lama, Dea pun meminta supaya mama Arvan membebaskan bapaknya. Ia juga meminta maaf atas kejadian yang semalam mereka alami. Jujur, bagi dia itu bukanlah suatu kesengajaan. Bapaknya begitu karena sayang.Awalnya permintaan Dea pun ditolak, tapi cewek itu nggak menyerah. Dia juga membujuk Arvan sehingga akhirnya rengekan dia didengar. Mama Arvan pun mencabut laporannya dengan syarat agar Dea tahu diri, jangan ngejar Arvan lagi.‘Iya janji. Nggak akan ngejar lagi. Aku udah dapet cogan baru’ Begitulah isi hati Dea. Dea, Dea.Hari-hari berlalu begitu saja. Normal seperti yang kemarin-kemarin. Herman masih berusaha sekuat hati mendapatkan Kak Dina serta perhatiannya.Tapi tak kunjung mendapat respons yang baik."Kamu, tuh ngapain, sih setiap hari ngikutin?! Kulapoin kamu ke polisi kalau gini terus, dasar penguntit!" Bahkan Kak Dina mengancam saking gedeknya dengan kelakuan Herman yang ada setiap kali ia keluar rumah.Seperti ketika ia lari pagi, tiba-tiba muncul dan sok akrab. Ketika ia mau makan di luar, tiba-tiba duduk di belakangnya atau di sebelahnya. Sampai hari ini ... malam ini, ketika Kak Dina keluar untuk membeli sesuatu di mart, dia muncul lagi, malah pake sok-sok'an mau ngebayarin barang belanjaannya segala.Kak Dina semakin ilfeel."Nanti kalau pak polisinya nanya kenapa aku menguntit, aku pasti jawab karena Dina cantik," ujar Herman tidak takut sekali. Kalaupun dia beneran dilaporkan, pikirnya tak akan mungkin bisa dipenjara lama-lama. Toh, kesalahannya hanya jatuh cinta. Tak ada sentuhan tanga
"Saya akan hubungi abah dan nenek saya di kampung, Pak. Segera."Malam itu Daffa berpikir bahwa semuanya sudah selesai, dan ia hanya tinggal membawa keluarganya untuk menghadap Pak Jhon. Tak pikiran bahwa akan ada halangan lain sama sekali."Tapi sebelum itu terjadi, kamu harus meluluhkan hati kakak Dea dulu, Dina. Karena saya tak bisa mengizinkan kalian menyeriusi hubungan ini tanpa restu dari semua anak-anak saya."Sampai ketika Pak Jhon berkata begini, Daffa pun terkejut. Dia menatap Dea yang murung. Pantas saja Dea tak seantusias dirinya.Jantung Daffa yang semula berdentum-dentum penuh dengan pukulan cinta itu perlahan tak sesemangat itu lagi. Dirinya merasa lemas lunglai seketika.***Dea Dan Daffa duduk berdua di teras rumah. Saling diam awalnya."Kak Dina beneran nggak mau nerima aku sebagai calon iparnya, ya?" Sampai detik ini ia tak mengerti, apa yang salah dari dirinya sampai kakak Dea yang sulung itu tak mau bahkan hanya sekadar melirik saja.Dea tertunduk tak kalah lesu.
Mentari semakin gencar menyemai cahayanya di jam dua belas siang ini. Panasnya lumayan membakar kulit kepala siapa saja yang ada di bawah cahayanya.Pak Jhon melihat ke luar jendela kaca, menatap betapa indah cuaca hari ini sebab tak mendung seperti kemarin.Pikirnya, mungkin karena hujan sudah puas menghujani bumi semalaman, jadi alam menciptakan cuaca bagus hari ini sebagai gantinya.Hati yang awalnya dipenuhi ragam curiga, prasangka, serta ketakutan itu telah kosong ruang-ruangnya. Semua perasaan semu itu telah lari entah ke mana. Pergi, sejak ia selesai bicara dengan Daffa.***Dea dan Daffa kini sedang bergandengan tangan di pinggir pantai. Tidak dekat airnya, sebab panas. Mereka berjalan-jalan di sepanjang deretan pohon-pohon kelapa.Hari yang cerah, hubungan yang sedikit diberi izin, dua hal itu membuat Dea dan Daffa senang bukan main."Jadi, bapak bilang gitu? Izinkan Mas buat ikut seleksinya?" Antara senang dan resah, keduanya menyatu seperti kopi dan gula.Duh, berbahaya. Ra
Nadewi terhenti ketika melihat Daffa terburu-buru. Ia segera kembali, mengikuti langkah Daffa yang entah mau ke mana. Tapi melihat wajahnya begitu berseri, Nadewi pikir mood Daffa sudah membaik, makanya dia berniat untuk PDKT lagi.Ya ... namanya mental pelakor tak ada urat malunya. Dia akan kembali lagi dan lagi sampai laki orang benar-benar berhasil direbutnya.Namun, ketika melihat apa yang terjadi di luar gedung hotel, niat terselubungnya runtuh sudah.Semua karena Nadewi melihat Dea Posa memeluk Daffa. Tidak, lebih tepatnya mereka berdua saling berpelukan sama-sama."Dasae nggak tahu malu! Nggak tahu tempat! Najis amit-amit ih! Liatnya aja jijik!" umpat kasar Nadewi. Inilah bentuk rasa kecewanya karena berkali-kali melihat Daffa benar-benar hanyut dalam cinta yang Dea beri.Kenapa tidak bisa ke dirinya, sih? Dia cantik dan seksi!Ya, bila dibandingkan dengan Dea, Nadewi unggul. Tapi hanya unggul di badan, tidak di hati dan pikiran. Nadewi terlalu gila untuk bisa menjadi kekasih h
"Ya Allah ... pagi-pagi ada aja yang membuatku mau julid." Daffa ngelus Dada. Lantas masuk kamar mandi. Akhirnya dia cuci muka saja, lalu berdoa kepada Allah untuk mengampuninya karena tidak salat subuh.Meski Daffa niatkan, nanti di-qodho, tetap saja rasa bersalah itu menghantui. Saking tak biasanya Daffa melewatkan waktu salat seperti hari ini.Daffa membenahi koper, bersiap pulang. Semalam ia dan pak camat sudah sepakat akan langsung pulang menjelang siang karena tugas sudah tak ada lagi.Tapi karena pak camat melewatkan satu tanda tangan di dokumen, mungkin waktu pulang tertunda. Daffa akan menunggu.Ketukan di pintu mengejutkan Daffa yang masih mengemas pakaian. Tak lama menyusul suara Pak Ridwan, salah satu rekan yang pak camat ajak juga.Daffa buru-buru meninggalkan aktivitasnya dulu, lalu menghampiri pintu dan membukanya."Daffa, kamu katanya kecelakaan. Apa kamu baik-baik saja?!" Pak Ridwan memang terlihat galak, tapi aslinya perhatian. Daffa tersenyum, memperlihatkan tangann
Malam terasa syahdu dan damai. Entah apa yang terjadi setelah Pak Jhon pingsan, dia tidak ingat. Ingatan terakhirnya hanyalah betapa erat Daffa menggenggam tangannya agar ia tak lepas."Ya Allah, aku telah menzalimi anak sebaik itu," gumam Pak Jhon di tengah sesal yang mengungkungnya.Setelah kejadian yang terjadi, banyak hal yang Pak Jhon ketahui tentang seorang Daffa. Dia memang miskin, tapi tidak dengan akal dan hatinya.Jika kelak Pak Jhon menitipkan Dea padanya, mungkin dia akan menjadi sosok yang tepat untuk menjaga anak bontotnya. Memang benar kekayaan tidak bisa menjamin kebahagiaan akan selalu melanda, kadang kesederhanaan pun bila dijalani dengan rasa syukur serta ikhlas, kebahagiaan itu sendiri akan hadir tanpa diminta.Mungkin maksud Dea begitu, hanya saja Pak Jhon selalu dibutakan oleh yang namanya bibit beber bobot. Pria tampan, kaya, berwibawa, berasal dari keluarga jelas dan berpangkat. Selama ini patokan sempurna Pak Jhon begitu adanya. Bukankah itu salah?"Ternyata a