Hm ... hanya karena Pak Jhon tidak sabaran untuk mendapat penjelasan dan pengakuan anak bungsunya yaitu Dea, akhirnya yang terjadi adalah, mobil yang dinaiki banyak orang itu oleng dan hampir menabrak pembatas jalan.
CKIIIIT!Untungnya Pak Jhon bisa mengendalikan kembali mobilnya dan memilih untuk berhenti. Daripada mati gara-gara ceroboh."Ya Allah, Pak! Hati-hati!" Dea Posa terkaget-kaget sampai mikir apa dia baru saja hampir berurusan dengan malaikat kematian lagi? Aduh ... Dea sampai basah oleh keringat."Gusti, tak kira kita akan mati, Bun." Nana Banana malah nyeplos sekata-kata. Mengilatkam bulatnya mata Pak Jhon dan Momy Karina."Nana! Jangan ngomong gitu!" tegur Momy Karina sambil mencubit pinggang Nana. Nana meringis sakit, dia yang polos hanya nyengir usai meminta maaf bila kata-katanya salah."Iya, untung masih selamat." Dan ganti dengan kalimat ini.'Buset, tahu ini si Nana. Kagak bisa baca situasi lagi genting juga. Mata bapakku sampai mau keluar lompat, tuh.'"Bapak nggak apa-apa, kan?" Kakak Dea bertanya. Cemas, bagaimana tidak. Usai hampir menabrak pembatas jalan, mana mungkin jantung Pak Jhon baik-baik saja. Sedikitnya kaget, lah."Enggak. Enggak apa-apa. Sebaiknya sekarang kita melanjutkan perjalanan. Biar urusan Dea nanti kita bicarakan di rumah," ucap Pak Jhon sambil menyalakan kembali mesin mobil.Tangan yang mulai keriput itu sedikit gemetar. Tapi untungnya tak ada yang menyadari. Mobil pun melaju kembali, kali ini agak pelan.***Sampai di rumah, Pak Jhon kembali dibuat jengkel oleh kelakuan Dea Posa karena anak itu tak langsung masuk ke rumah, malah dadah-dadah pada Nana di balik pagar.Hal yang membuat darah Pak Jhon bergejolak. Kak Dian yang menyadari itu kontan meminta Pak Jhoj masuk lebih dulu, biar Dea, dia yang urus."Pastikan Dea segera masuk dan jangan sampai dia keluyuran lagi." Pak Jhon melangkah menuju pintu utama. Meninggalkn ketiga anaknya yang kini terfokus pada Dea."May, kamu samperin sana si Dea. Dasar anak itu, udah salah malah bertingkah!"Kak Maya berjalan tergesa. Menghampiri Dea."De, udah jangan ngegibah terus. Besok aja, ya. Bapak udah ngambek di dalem, tuh. Jangan nambah-nambah," kata Kak Maya sambil menyeret Dea sekuat tenaga.Maklum saja, Kak Maya lagi hamil begini. Jadi kurang tenaga. Habis tenaganya sejak bangun pagi hanya untuk muntah."Iya, iya, Kak Maya. Dadah Nana. Sampai besok, ya!"Masih saja dadah-dadah. Kak Maya jadi gemas, mau tak hih rasanya!Dea dan Kak Maya pun masuk. Namun, ketika melihat Pak Jhon duduk di sofa dan menatap tajam, Dea sudah malas duluan. Pasti mau mengungkit masalah jeruji besi lagi, terus menyalahkan dia.Akkh!"Duduk!" titahnya. Tuh, kan. Suara Pak Jhon sudah menggelegar bak petir di tengah malam. Mengejutkan ketiga anak-anaknya, kecuali Dea.Dea terlalu fokus pada bapaknya yang egois."Duduk, Dea! Apa yang kamu lakukan? Malah diam kayak patung!" Kak Dina menarik Dea ke arah sofa, membuat Dea akhirnya duduk saling berhadapan dengan bapaknya."Dea, kasih bapak penjelasan kenapa kamu kabur dari rumah?!"Ih! Lagi-lagi dituding kabur dari rumah. Tapi memang benar juga, sih apa yang dikatakan bapaknya. Pergi diam-diam dan membawa pakaian sama saja dengan kabur, kan?"Gara-gara kamu bapak sampai—""Pak! Jangan nyalahin Dea terus, dong. Bapak sendiri juga salah. Orang kalau anaknya pergi itu dicariin baik-baik, dicari tahu apa penyebab dia pergi, terus introspeksi diri kenapa bisa Dea pergi. Bener Bapak nggak ada ngerasa salah sedikitpun?!" potong Dea. Dia nyerocos, dan ini kali pertama dia memuntahkan kemarahannya kepada Pak Jhon.Luar biasa. Berani sekali Dea! Ketika kakaknya terkaget-kaget. Anak baru lahir kemarin itu sekarang mampu melawan bapak mereka?! Astaga! Demi langit dan bumi, ketiganya cemas takut akan ada pertikaian sengit malam ini."Heh, Dea. Jangan gitu sama bapak. Bapak tanya baik-baik, bukan nyalahin kamu. Astaga anak ini." Kak Dina angkat bicara sebelum bapaknya. Dengan maksud untuk meredakan suasana yang mendadak horor.Iyalah, jika Pak Jhon marah besar, rasanya aura horor pada keluar."Au ah gelap," kata Dea, dan berakhir membuat Pak Jhon murka.BRAAAK!Digebraknya meja, sontak semua terkaget-kaget. Dea menatap mata Pak Jhon yang mengilat marah. Sorotnya terlihat berapi-api, bahkan mungkin rasanya ingin menelan hidup-hidup anaknya yang membangkang ini."Bapak tanya baik-baik, dan kamu malah berlaku kurang ajar! Siapa yang mengajari kamu menjadi anak seperti ini?! Hah?! Jika ibumu melihatnya, dia pasti merasa sedih!"Sekarang mata Dea yang dibuat berkaca-kaca perih. Ibu? Mengapa bapaknya mengungkit ibunya yang sudah tiada?! Benar-benar jahat!"Dea begini juga karena Bapak! Bapak banyak ngatur, makanya Dea muak. Masalah jodoh aja sampe diatur! Jadi jangan nyalahin Dea melulu! Sumpah, deh! Nggak paham sama Bapak!"Dea Posa menitikkan air mata. Saking kecewanya, saking muaknya. Dia menjengkat pergi menuju kamar tanpa mau lagi menatap mata bapaknya."Dea!" Kak Anita hendak mengejar, tapi langsung ditahan oleh Pak Jhon."Sudah. Biarkan dia. Kalian masuklah ke kamar masing-masing. Tidur. Jangan tunggu bapak kalian naik darah baru pergi," ucap Pak Jhon dengan tatapan kosong.Sepeninggal anak-anaknya yang lain, Pak Jhon menatap pintu kamar Dea, menghela napas berat dan membuangnya. Dikesampingkan rasa marah yang menggebu-gebu itu, Pak Jhon berusaha menenangkan diri. Terutama ketika mendengar lengking tangis anak bontotnya itu."Bukan bapak ga sayang dan sok ngatur, Dea. Asal kamu tahu saja, semua demi kebaikan kamu." Hingga tak terasa air matanya keluar sedikit.Pak Jhon teringat mendiang istrinya. Ia meraih bingkai foto ibu dari anak-anaknya. Lalu berjalan menuju kamar Dea. Pak Jhon berdiri di depan pintu kamar itu, berpikir apa mungkin tindakannya memang salah?Di dalam, Dea pun masih menangis lepas. Saat ini, Dea juga tengah memandangi potret mendiang ibunya yang sudah cukup lama tiada."Andai aja Ibu masih ada. Bapak nggak akan segila itu!" kata Dea membuat langkah Pak Jhon yang baru maju selangkah terhenti."Bapak sekarang jahat, Bu! Bapak bener-bener jahat!"Demi Tuhan, nyeri hati Pak Jhon. Dengan apa yang sudah ia lakukan demi melindungi putri bungsunya dari lelaki buaya, ia dicap jahat."Bu, kamu dengar kata anakmu? Dia menyebutku jahat. Bagaimana menurut kamu?" gumam Pak Jhon sambil menatap kembali foto di tangan. Air matanya menitik tak tertahan.Tadinya ingin mengetuk pintu, ingin bicara baik-baik dengan harapan agar Dea bisa mengerti. Ia ingin anaknya paham bahwa acara seleksi calon mantu yang dilakukannya adalah untuk kebaikannya. Bukan yang lain. Bukan tak boleh punya pasangan itu saja. Tapi karena mendengar kata itu, Pak Jhon batal mengetuk. Lebih baik dia pergi ke kamarnya.Sekarang, keduanya tengah menangis tanpa suara di kamr masing-masing, menangisi orang yang selalu dirindukan setiap harinya.Bu Anggiani. Sosok mendiang istri terbaik bagi Pak Jhon, juga ibu terbaik bagi Dea.Pagi menyapa seperti biasa. Hanya suasana saja yang berbeda. Biasanya, saat membuka mata akan ada salah satu kakaknya yang membangunkan dia sambil bawa sapu atau kemoceng. Memaksa bangun.Tapi kali ini tidak, dan Dea merasa ada yang kosong. Dia duduk di tepi ranjang dengan helaan napas lesu tanpa tenaganya.Menoleh ke atas meja samping ranjang.Tak ada gelas berisi susu, tak ada helai roti selai yang biasa sudah nangkring di atas sana. Tambah lesu Dea Posa.Dia hampir berpikir kakak-kakaknya memusuhi karena masalah semalam. Tapi bukan itu aslinya, dia hanya lupa pintu kamar dikunci, jadi tak ada yang bisa masuk ke dalamnya."Hm, pantesan nggak ada yang masuk kasih perhatian, toh pintunya dikonci. Dah, ah buset!" gerutunya mulai membuat bibir macam tengah komat-kamit.Dea membuka pintu. Dan benar saja, roti serta segelas susu sudah berdiri di atas nampan di lantai itu. Seketika mata serasa tengah diciumi irisan bawang, panas dan tak bisa membuat air matanya diam di tempat."Padahal ngg
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Sudah mau lupa, eh sidia nampak di depan mata. Alamat kayang Dea Posa, soalnya lelaki dambaannya disangka takdir yang tak bisa dihindari."Bener-bener, deh. Alhamdulillah ...."Dea berjalan centil. Membenarkan anak rambut ke belakang telinga sebelum akhirnya dia jalan lurus menuju dia. Laki-laki tampan membahana bermama Daffa.'Alamak ... semakin dekat semakin kelihatan gantengnya. Buset, dah ciptaan Tuhan sempurna banget.'Lebay. Dea muji berlebihan. Karena pada kenyataannya tak ada manusia yang sempurna di muka bumi, termasuk Daffa sekaligus. Walau benar adanya, wajah Daffa macam patung pahatan, dia ada kurangnya.Daffa bukam orang kaya seperti Dea. Terlahir sederhana, diasuh oleh nenek kakeknya, sebab sejak lahir dia dibuang ditinggalkan kedua orang tua yang dipisahkan oleh meja sidang.Sudahlah, hal itu sungguh memilukan untuk dibahas di bab ini.Daffa melamar kerja di kecamatan dan baru saja diterima. Dia kini jadi anak magang yang banyak penggemarnya
Andai Daffa adalah kumbang, dialah kumbang jenis pemilih. Walau dikata ribuan bunga berbaris di tengah hamparan taman, ia tak akan mau hinggap pada salah satunya walau sebentar."Di mana, ya rumahnya? Apa aku buntuti aja dia, ya?" Dea ngeyel mencari tahu soal Daffa di sosial media, siapa tahu ada jejaknya.Tapi ... bukannya menemukan akunnya satu saja, yang ada malah Dea dilanda kesal bukan main. Daffa sungguh kolot, tak ada sosial media!"Ah! Atau jangan-jangan dia pakai nama lain kalau di facebook? Duh, kok gitu banget sih? Kan, jadi susah nyarinya!"Sedikit dongkol, akhirnya Dea menyerah sebentar, lalu melempar ponsel ke kasur. Dia mendesah berat, sesusah ini, ya mendapatkan hati Daffa? Hati meringis, sebab ini kali pertama dia diabaikan oleh pria."Jangankan mendapatkan hati si mas ganteng, mendapatkan akun sosial medianya aja nggak bisa. Sial banget emang. Dan anehnya, dia tambah memesona aja. Kalau iya ga ada akun sosmed, wah bisa dipastikan kalau dia itu cowok setia."Dea bergu
Jam berdenting di tengah gersangnya waktu tengah hari ini. Belum lagi panasnya matahari menambah panas hawa dalam ruangan di mana Daffa menjalankan tugasnya sebagai pekerja magang kecamatan.Ada AC, tapi tetap tak bisa meredam panasnya ciptaan yang Maha Kuasa.Daffa sedang sibuk-sibuknya menginput data, dia mengerjakan sefokus yang ia bisa. Setelah berhasil lulus kuliah, dan langsung diberi amanah pekerjaan yang lumayan langsung bisa dia jalankan tanpa hambatan, mana mungkin Daffa sia-siakan.Pekerjaan di kota bagai jarum dalam jerami. Ribuan orang berlomba mencari-cari hingga tubuh bercucur peluh. Tapi akhirnya hanya satu yang beruntung mendapatkannya.Katakan Daffa sedang mujur, di saat orang berusaha sampai rela merogoh kantong uang untuk menyogok orang dalam, dia bisa masuk tanpa embel-embel apa pun karena dia memiliki kemampuan. Ini membuktikan bahwa tidak semua hal bisa dibeli dengan uang, meski kenyataannya jaman sekarang hal itu sudah lumrah dilakukan Berbekal restu dan doa,
Bibir merah jambu itu mengerucut tajam, pertanda sebal tengah menguasainya. Bagaimana tidak? Setelah si tampan membahana menyamakannya dengan perempuan lainnya."Hih, enak aja! Dasar si hati batu. Pake bilang nggak suka cewek segala." Berjalan melintas jalan, kembali ke depan toko minimarket.Nana Banana keluar lagi, ngintip dari pintu. Dia sudah curiga ada yang terjadi ketika tadi hilang bagai angin lalu. Kelihatan dari gelagat kesalnya yang begitu jelas."Kamu kenapa, Posa? Misuh-misuh di situ? Tadi kamu ngilang ke mana? Kirain pulang, ternyata balik lagi. Jangan bilang kamu ke kecamatan buat nemuin ayang-ayanganmu itu?" Praduga yang pas sekali dengan kenyataan yang ada.Dea menatap sinis sahabatnya. Sebelum akhirnya ia menjatuhkan diri di kursi itu, lalu menyandar pasrah sembari menghela napas panjang dan mengeluarkannya lagi tak kalah panjang.Ngomong-ngomong, kalimat yang Nana lontarkan persis sekali dengan apa yang Dea lakukan. Dia jadi curiga, jangan-jangan sahabatnya ini punya
Bermodalkan dukungan Pak Jhon, akhirnya Dea Posa bisa bekerja di tempat yang ia inginkan. Di minimarket sama dimana Nana bekerja. Ada dua sif di sana, pagi hingga magrib, dan dari magrib hingga pagi menjelang.Dea Posa kebagian sif malam. Jadi dia akan bekerja dimulai dari pukul enam sore hingga pukul enam pagi. Begitulah jam kerja di sana, dan Dea sangat semangat sekali sampai mau jungkir balik."Eh tapi ... jam enam artinya mas kesayangan udah pulang, dong. Kan kecamatan tutup sore habis Ashar. Aduh, Posa gini amat nasibmu." Dia mau mati suri saja rasanya karena kesal.Tapi ya sudah. Dea tak bisa apa. Yang penting kerja dulu saja. Sudah mau pukul setengah enam, dia sudah bersiap dengan seragam merah berkerahnya, memakai jeans hitam panjang, dan menyampirkan tas selempang di bahu. Sementara itu rambutnya dia kuncir kuda. Kalau tidak memakai hijab, wajib dikuncir soalnya."Bapak, Dea pergi dulu, ya." Ada Pak Jhon sedang mengamati ikan arwana kesayangan di dalam akuarium. Dea mendekati
Demi langit dan bumi, Dea Posa senang bukan main ketika dia akhirnya mendapatkan nomor ayang Daffa. Sekalipun akhirnya dia harus merelakan uang tiga puluh ribu sebagai gantinya, supaya Herman mau memberikan nomor itu, dia tak merasa dirugikan sama sekali."Tapi kenapa foto profilnya kayak beda gitu, sih?" gumam Dea usai menyimpan nomor itu dengan nama 'Ayang DafDaf' di ponselnya.Memang, setelah menilik-nilik dengan saksama, Dea menemukan ada yang aneh dengan posturnya. Dia lama melihatnya sampai mata mau juling-juling. Tapi .... "Ah, efek diupload jadi begini, kan biasanya? Kadang suka gepeng, kadang suka bulet. Ya udah, lah. Yang penting aku bisa kirimi pesan. Aaaah dia pasti kaget banget, kan aku bisa dapetin nomornya?"Rada-rada. Yeni yang melihat tingkah rekan kerjanya yang baru ini hanya geleng kepala. Terlihat Dea mengetik sebuah pesan. Ketik, hapus, ketik, hapus, terus saja begitu sampai Yeni sebal melihatnya."Heh, Dea. Itu ada pembeli, simpen HP-nya. Lagian dilarang main HP
Tangisan Dea semakin menggelegar bagai guntur di atas mega. Memancing orang-orang yang sedang lewat di jalan, baik yang naik kendaraan atau pejalan kaki.Nenek-nenek datang menghampiri. Menunjuk batang hidung Daffa. “Heh, kamu anak muda yang ganteng, mentang-mentang ganteng, pagi-pagi begini udah mau melecehkan perempuan aja. Mana di tengah jalan!”Waduh!Daffa kena fitnah jahara dari nenek-nenek yang tak tahu duduk permasalahannya. Rongga dada seketika dipenuhi dengan rasa gelisah tak terkira. Kepala Daffa menggeleng, sementara dua tangannya terangkat hingga ke dada.“Eh, ja-jangan asal nuduh, Nek. Justru saya baru aja mau menyelamatkan dia dari penjambretan!” sangkal Daffa cepat. Dia bergegas menarik lengan Dea Posa yang kondisi tubuhnya masih layu bak bunga yang lama tak tersirami air.“Bener, kan Dea?! Dea, sadar dong! Udah, jangan nangis terus! Nanti aku kasih nomorku lagi!” tekan Daffa yang akhirnya menyadarkan Dea.Dea berhenti menangis. “Beneran?”“Iya, tapi bubarin dulu kerum