Share

Bab 6

Jadi Dea emang serba salah. Ini salah itu salah. Karena dia biangnya bikin masalah.

Dea diem aja pas lihat adegan lebay para kakak-kakaknya peluk haru Pak Jhon yang baru dikeluarin dari dalam sel tahanan. Bagi dia, itu seperti tontonan drama ikan terbang.

Boro-boro mau ikut-ikutan, dia ogah sendiri dan ceritanya agak sebel atas kelakuan Pak Jhon yang ngerusuh semalam di rumah sang mantan.

Momy Karina gemas dan akhirnya dorong itu cewek, suruh samperin Pak Jhon. Berhubung semua terjadi karena dia nggak ngasih tahu kalau Dea semalam minggat ke rumah, Momy Karin jadi ngerasa paling bersalah.

“Apa, sih, Momy?!” tanya Dea setengah berbisik. Dia memicingkan matanya saking sebel.

“Sana ke bapakmu dan minta maaf.”

Yang bener aja? Minta maaf adalah hal tersulit bagi Dea. Harusnya bapaknya yang minta maaf padanya karena sudah menjadi tembok penghalang bagi dia yang lagi cari cinta sejati.

Dea dan Momy Karina masih saing adu mulut dalam bisikan, sampe nggak sadar kalau Pak Jhon dan kedua kakaknya lagi liatin mereka.

“Ehem!” Pak Jhon berdeham kencang, bikin Dea dan Momy Karin berhenti bicara.

Mata Dea bertemu dangan mata Pak Jhon. Namun, keduanya saling tatap begitu sengit seolah baru saja ketemu musuh bebuyutan.

“Heh, Dea! Sini! Kamu enggak seneng, apa, bapak udah bebas?” Kak Anita memanggil, menggerakan tangannya, berisyarat agar Dea mendekat.

“Tuh kan disuruh. Sana pergi.” Si Nana malah nambah-nambahin. Bikin Dea semakin kesal.

Pandangan Dea menatap bapaknya yang cemberut, lalu teralih ke Momy Karina. Bibirnya miring-miring.

“Dea, ih!” Kak Dina malah sengaja samperin adiknya dan tarik tangan dia.

Diseretlah itu si Dea. Dan sekarang posisinya lagi berhadapan dengan bapaknya sendiri.

“Heh, muka kamu kenapa gitu?”

Si Dea yang kaget malah cegukan. Walhasil malah ditepuk-tepuk punggungnya sama dua kakak dia.

Pak Jhon mengerutkan kening, cemberut juga. Dia merasa ini bukan saatnya mengintrogasi Dea. Jadi, dia memutuskan untuk pergi dari sana.

“Ayo pulang. Bawa adikmu, seret kalau perlu andai dia nggak mau pulang.”

Pak Jhon emang tiada duanya dalam hal ketegasan. Perintahnya tak bisa diabaikan dan tak boleh ada yang bantah. Pokoknya harus!

Dea tak sempat bicara, dia pun akhirnya beneran diseret Kak Anita dan Kak Dina. Momy Karina dan Nana ngekor di belakang mereka.

“Ayo masuk!” Pak Jhon saat ini tak lagi menunjukan wajah ramah, jutek abis.

Mungkin dia adalah sesebapak paling jutek di dunia bagi Dea. Cewek itu tak bisa membantah, lalu naik sesuai perintah.

“Bu Karin dan Nana pulang naik apa? Mana motornya?” Pak Jhon bertanya sebelum ia benar-benar tancap gas. Ia heran melihat dua tetangganya hanya berdiri di sisi jalan, biasanya suka bawa motor, tetapi kali ini tidak.

“Ah, ini—”

“Tadi kami datang naik angkutan umum.” Dea memotong ucapan Momy Karina. Ia mengeluarkan kepalanya di jendela mobil. “Ajak bareng, dong, Pak.” Cewek ini melanjutkan.

Pak Jhon berdeham, sementara Momy Karina sama Nana salah tingkah. Mereka pun berkata akan pulang naik angkutan umum saja.

Karena tidak enak, Pak Jhon pun langsung mengajak keduanya pulang bersama. Bukan kebetulan rumah mereka dekat, jadi ia mengajak dengan agak sedikit kukuh.

Nana dan ibunya yang cantik badas itu akhirnya setuju. Jauh dalam hati Nana berkata, ‘Nggak sia-sia sok jual mahal. Akhirnya bikin bapak si Dea simpati juga.’

Ingin sekali dia terkikik di tempat, tetapi ditahan. Gengsi, dong. Nanti ketahuan modusnya.

Ibu dan anak itu akhirnya ikut naik ke mobil sport milik Pak Jhon. Di belakang desak-desakan banget. Bagi Nana, rasanya udah kayak naik angkot aja. Jauh dalam hatinya dia agak nyesel juga, tuh.

‘Mending naik ojek kalo begini!’ Nana membatin, dan rautnya sekarang cukup sebal.

Tak ada yang bicara selama perjalanan, mereka masih ada dalam zona canggung. Namun, Pak Jhon yang udah kelewat kepo akhirnya memutuskan memulai bahasan.

“Dea, kenapa semalam kamu kabur?” Akhirnya pertanyaan itu melesat dari mulut Pak Jhon.

Ia sudah menahan supaya tidak bertanya dulu soal ini, tetapi ada suatu rasa yang mendorong begitu kuat dalam dada. Baginya, kalau tidak segera mengeluarkannya, mungkin ia bisa mati dadakan akibat penasaran.

“Dea enggak kabur.” Cewek itu berkata dengan sangat datar. Ia bahkan ogah melirik bapaknya sendiri.

“Kalau bukan kabur, apa namanya? Kalau pergi nggak izin, namanya ya kabur!” Pak Jhon begitu kukuh. Saat ini ia tak akan pernah puas andai Dea tak mengakui kesalahannya.

“Loh, emang bukan kabur, kok. Cuma minggat. Lagian, mana mungkin minggatnya bilang dulu. Aneh itu namanya,” celetuk Dea. Intonasinya terdengar sangat tidak bersahabat.

“Sama aja Deaa!” Semua orang yang ada di mobil berseru cukup kencang, bikin Dea spontan tutup kuping sama dua telapak tangannya.

“Tahu nggak, gara-gara kamu bapak jadi masuk penjara?! Seumur-umur, baru kali ini duduk di balik jeruji. Itu semua karena kamu!” Pak Jhon yang udah kebelet ngeluarin uneg-uneg pun akhirnya memuntahkan semua emosinya pada Dea.

Sayangnya cewek itu malah nggak merasa melakukan kesalahan itu.

“Loh, kok gara-gara Dea?! Ya itu mah Bapak aja yang main pergi dan ngerusuh di rumah orang. Siapa tadi yang pertama bilang Dea diculik? Padahal, ya, apa-apa itu harus dibuktikan dulu. Ini apa coba? Bapak malah main ancam orang. Udah salah, ngerusak properti, bikin malu pula!” Cerocosnya sambil memetakan kedua tangannya di udara. Entahlah maksudnya apa, pokoknya begitulah cara Dea menunjukan ekspresinya. Menunjukan protes karena tidak mau disalahkan.

Kedua kakaknya begitu tak suka melihat sikap Dea sekarang. Menurut mereka itu sungguh tidak sopan.

“Dea, kalau ngomong yang sopan! Malah nyalahin Bapak!” Kak Dina mulai emosi. Namun, tentunya teguran itu sama sekali tidak membuat Dea gentar. Ia tetap bersikap bodo amat.

“Apa, sih? Biasa aja, kok.” Dea membantah, tak lupa ekspresi wajahnya dibuat kesal.

Janggut Pak Jhon sudah naik turun terbawa dagunya yang bergerak-gerak. Itu bukan lagi melemaskan otot, tapi lagi nahan emosi yang begitu membara.

“Kamu, tuh, ya, dibilangin!” Kak Anita menambahkan. Dia juga emosi.

“Para kakak-kakak Dea yang imut, mari kita tenang sejenak. Sepertinya suasana kurang kondusif untuk beradu argumen sekarang.”

Nana mendadak angkat suara, dan itu malah bikin keadaan jadi canggung abis. Pak Jhon yang lagi nyetir diam-diam ngintip di kaca, liatin Nana dengan sorot mata mengilat tajam.

‘Apa-apaan, sih, ikut campur urusan keluarga orang!’ Pak Jhon membatin. Dia gedek abis.

Momy Karina yang merasa tak enak akhirnya menyikut putrinya yang polos. Celakanya si Nana malah nggak ngerti dan cuma nyengir kuda. Merasa dia sudah paling benar di sana.

Mobil mendadak oleng gara-gara fokus Pak Jhon bercabang ke mana-mana. Walhasil semua yang ada di dalam jadi panik bukan main.

“Wastaganaga! Bapaaaak!” Si Dea yang duduk di depan jerit kencang. Bikin kepanikan nyerang semua orang.

“Awaaas!”

Semua teriak parah. Haduh, dasar keluarga paling heboh sejagad raya. Kira-kira mereka selamat enggak, ya? Apa bakal nyungsep kayak kasus Dea dan Nana?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status