Jadi Dea emang serba salah. Ini salah itu salah. Karena dia biangnya bikin masalah.
Dea diem aja pas lihat adegan lebay para kakak-kakaknya peluk haru Pak Jhon yang baru dikeluarin dari dalam sel tahanan. Bagi dia, itu seperti tontonan drama ikan terbang.Boro-boro mau ikut-ikutan, dia ogah sendiri dan ceritanya agak sebel atas kelakuan Pak Jhon yang ngerusuh semalam di rumah sang mantan.Momy Karina gemas dan akhirnya dorong itu cewek, suruh samperin Pak Jhon. Berhubung semua terjadi karena dia nggak ngasih tahu kalau Dea semalam minggat ke rumah, Momy Karin jadi ngerasa paling bersalah.“Apa, sih, Momy?!” tanya Dea setengah berbisik. Dia memicingkan matanya saking sebel.“Sana ke bapakmu dan minta maaf.”Yang bener aja? Minta maaf adalah hal tersulit bagi Dea. Harusnya bapaknya yang minta maaf padanya karena sudah menjadi tembok penghalang bagi dia yang lagi cari cinta sejati.Dea dan Momy Karina masih saing adu mulut dalam bisikan, sampe nggak sadar kalau Pak Jhon dan kedua kakaknya lagi liatin mereka.“Ehem!” Pak Jhon berdeham kencang, bikin Dea dan Momy Karin berhenti bicara.Mata Dea bertemu dangan mata Pak Jhon. Namun, keduanya saling tatap begitu sengit seolah baru saja ketemu musuh bebuyutan.“Heh, Dea! Sini! Kamu enggak seneng, apa, bapak udah bebas?” Kak Anita memanggil, menggerakan tangannya, berisyarat agar Dea mendekat.“Tuh kan disuruh. Sana pergi.” Si Nana malah nambah-nambahin. Bikin Dea semakin kesal.Pandangan Dea menatap bapaknya yang cemberut, lalu teralih ke Momy Karina. Bibirnya miring-miring.“Dea, ih!” Kak Dina malah sengaja samperin adiknya dan tarik tangan dia.Diseretlah itu si Dea. Dan sekarang posisinya lagi berhadapan dengan bapaknya sendiri.“Heh, muka kamu kenapa gitu?”Si Dea yang kaget malah cegukan. Walhasil malah ditepuk-tepuk punggungnya sama dua kakak dia.Pak Jhon mengerutkan kening, cemberut juga. Dia merasa ini bukan saatnya mengintrogasi Dea. Jadi, dia memutuskan untuk pergi dari sana.“Ayo pulang. Bawa adikmu, seret kalau perlu andai dia nggak mau pulang.”Pak Jhon emang tiada duanya dalam hal ketegasan. Perintahnya tak bisa diabaikan dan tak boleh ada yang bantah. Pokoknya harus!Dea tak sempat bicara, dia pun akhirnya beneran diseret Kak Anita dan Kak Dina. Momy Karina dan Nana ngekor di belakang mereka.“Ayo masuk!” Pak Jhon saat ini tak lagi menunjukan wajah ramah, jutek abis.Mungkin dia adalah sesebapak paling jutek di dunia bagi Dea. Cewek itu tak bisa membantah, lalu naik sesuai perintah.“Bu Karin dan Nana pulang naik apa? Mana motornya?” Pak Jhon bertanya sebelum ia benar-benar tancap gas. Ia heran melihat dua tetangganya hanya berdiri di sisi jalan, biasanya suka bawa motor, tetapi kali ini tidak.“Ah, ini—”“Tadi kami datang naik angkutan umum.” Dea memotong ucapan Momy Karina. Ia mengeluarkan kepalanya di jendela mobil. “Ajak bareng, dong, Pak.” Cewek ini melanjutkan.Pak Jhon berdeham, sementara Momy Karina sama Nana salah tingkah. Mereka pun berkata akan pulang naik angkutan umum saja.Karena tidak enak, Pak Jhon pun langsung mengajak keduanya pulang bersama. Bukan kebetulan rumah mereka dekat, jadi ia mengajak dengan agak sedikit kukuh.Nana dan ibunya yang cantik badas itu akhirnya setuju. Jauh dalam hati Nana berkata, ‘Nggak sia-sia sok jual mahal. Akhirnya bikin bapak si Dea simpati juga.’Ingin sekali dia terkikik di tempat, tetapi ditahan. Gengsi, dong. Nanti ketahuan modusnya.Ibu dan anak itu akhirnya ikut naik ke mobil sport milik Pak Jhon. Di belakang desak-desakan banget. Bagi Nana, rasanya udah kayak naik angkot aja. Jauh dalam hatinya dia agak nyesel juga, tuh.‘Mending naik ojek kalo begini!’ Nana membatin, dan rautnya sekarang cukup sebal.Tak ada yang bicara selama perjalanan, mereka masih ada dalam zona canggung. Namun, Pak Jhon yang udah kelewat kepo akhirnya memutuskan memulai bahasan.“Dea, kenapa semalam kamu kabur?” Akhirnya pertanyaan itu melesat dari mulut Pak Jhon.Ia sudah menahan supaya tidak bertanya dulu soal ini, tetapi ada suatu rasa yang mendorong begitu kuat dalam dada. Baginya, kalau tidak segera mengeluarkannya, mungkin ia bisa mati dadakan akibat penasaran.“Dea enggak kabur.” Cewek itu berkata dengan sangat datar. Ia bahkan ogah melirik bapaknya sendiri.“Kalau bukan kabur, apa namanya? Kalau pergi nggak izin, namanya ya kabur!” Pak Jhon begitu kukuh. Saat ini ia tak akan pernah puas andai Dea tak mengakui kesalahannya.“Loh, emang bukan kabur, kok. Cuma minggat. Lagian, mana mungkin minggatnya bilang dulu. Aneh itu namanya,” celetuk Dea. Intonasinya terdengar sangat tidak bersahabat.“Sama aja Deaa!” Semua orang yang ada di mobil berseru cukup kencang, bikin Dea spontan tutup kuping sama dua telapak tangannya.“Tahu nggak, gara-gara kamu bapak jadi masuk penjara?! Seumur-umur, baru kali ini duduk di balik jeruji. Itu semua karena kamu!” Pak Jhon yang udah kebelet ngeluarin uneg-uneg pun akhirnya memuntahkan semua emosinya pada Dea.Sayangnya cewek itu malah nggak merasa melakukan kesalahan itu.“Loh, kok gara-gara Dea?! Ya itu mah Bapak aja yang main pergi dan ngerusuh di rumah orang. Siapa tadi yang pertama bilang Dea diculik? Padahal, ya, apa-apa itu harus dibuktikan dulu. Ini apa coba? Bapak malah main ancam orang. Udah salah, ngerusak properti, bikin malu pula!” Cerocosnya sambil memetakan kedua tangannya di udara. Entahlah maksudnya apa, pokoknya begitulah cara Dea menunjukan ekspresinya. Menunjukan protes karena tidak mau disalahkan.Kedua kakaknya begitu tak suka melihat sikap Dea sekarang. Menurut mereka itu sungguh tidak sopan.“Dea, kalau ngomong yang sopan! Malah nyalahin Bapak!” Kak Dina mulai emosi. Namun, tentunya teguran itu sama sekali tidak membuat Dea gentar. Ia tetap bersikap bodo amat.“Apa, sih? Biasa aja, kok.” Dea membantah, tak lupa ekspresi wajahnya dibuat kesal.Janggut Pak Jhon sudah naik turun terbawa dagunya yang bergerak-gerak. Itu bukan lagi melemaskan otot, tapi lagi nahan emosi yang begitu membara.“Kamu, tuh, ya, dibilangin!” Kak Anita menambahkan. Dia juga emosi.“Para kakak-kakak Dea yang imut, mari kita tenang sejenak. Sepertinya suasana kurang kondusif untuk beradu argumen sekarang.”Nana mendadak angkat suara, dan itu malah bikin keadaan jadi canggung abis. Pak Jhon yang lagi nyetir diam-diam ngintip di kaca, liatin Nana dengan sorot mata mengilat tajam.‘Apa-apaan, sih, ikut campur urusan keluarga orang!’ Pak Jhon membatin. Dia gedek abis.Momy Karina yang merasa tak enak akhirnya menyikut putrinya yang polos. Celakanya si Nana malah nggak ngerti dan cuma nyengir kuda. Merasa dia sudah paling benar di sana.Mobil mendadak oleng gara-gara fokus Pak Jhon bercabang ke mana-mana. Walhasil semua yang ada di dalam jadi panik bukan main.“Wastaganaga! Bapaaaak!” Si Dea yang duduk di depan jerit kencang. Bikin kepanikan nyerang semua orang.“Awaaas!”Semua teriak parah. Haduh, dasar keluarga paling heboh sejagad raya. Kira-kira mereka selamat enggak, ya? Apa bakal nyungsep kayak kasus Dea dan Nana?Hm ... hanya karena Pak Jhon tidak sabaran untuk mendapat penjelasan dan pengakuan anak bungsunya yaitu Dea, akhirnya yang terjadi adalah, mobil yang dinaiki banyak orang itu oleng dan hampir menabrak pembatas jalan.CKIIIIT!Untungnya Pak Jhon bisa mengendalikan kembali mobilnya dan memilih untuk berhenti. Daripada mati gara-gara ceroboh."Ya Allah, Pak! Hati-hati!" Dea Posa terkaget-kaget sampai mikir apa dia baru saja hampir berurusan dengan malaikat kematian lagi? Aduh ... Dea sampai basah oleh keringat."Gusti, tak kira kita akan mati, Bun." Nana Banana malah nyeplos sekata-kata. Mengilatkam bulatnya mata Pak Jhon dan Momy Karina."Nana! Jangan ngomong gitu!" tegur Momy Karina sambil mencubit pinggang Nana. Nana meringis sakit, dia yang polos hanya nyengir usai meminta maaf bila kata-katanya salah."Iya, untung masih selamat." Dan ganti dengan kalimat ini.'Buset, tahu ini si Nana. Kagak bisa baca situasi lagi genting juga. Mata bapakku sampai mau keluar lompat, tuh.'"Bapak ngga
Pagi menyapa seperti biasa. Hanya suasana saja yang berbeda. Biasanya, saat membuka mata akan ada salah satu kakaknya yang membangunkan dia sambil bawa sapu atau kemoceng. Memaksa bangun.Tapi kali ini tidak, dan Dea merasa ada yang kosong. Dia duduk di tepi ranjang dengan helaan napas lesu tanpa tenaganya.Menoleh ke atas meja samping ranjang.Tak ada gelas berisi susu, tak ada helai roti selai yang biasa sudah nangkring di atas sana. Tambah lesu Dea Posa.Dia hampir berpikir kakak-kakaknya memusuhi karena masalah semalam. Tapi bukan itu aslinya, dia hanya lupa pintu kamar dikunci, jadi tak ada yang bisa masuk ke dalamnya."Hm, pantesan nggak ada yang masuk kasih perhatian, toh pintunya dikonci. Dah, ah buset!" gerutunya mulai membuat bibir macam tengah komat-kamit.Dea membuka pintu. Dan benar saja, roti serta segelas susu sudah berdiri di atas nampan di lantai itu. Seketika mata serasa tengah diciumi irisan bawang, panas dan tak bisa membuat air matanya diam di tempat."Padahal ngg
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Sudah mau lupa, eh sidia nampak di depan mata. Alamat kayang Dea Posa, soalnya lelaki dambaannya disangka takdir yang tak bisa dihindari."Bener-bener, deh. Alhamdulillah ...."Dea berjalan centil. Membenarkan anak rambut ke belakang telinga sebelum akhirnya dia jalan lurus menuju dia. Laki-laki tampan membahana bermama Daffa.'Alamak ... semakin dekat semakin kelihatan gantengnya. Buset, dah ciptaan Tuhan sempurna banget.'Lebay. Dea muji berlebihan. Karena pada kenyataannya tak ada manusia yang sempurna di muka bumi, termasuk Daffa sekaligus. Walau benar adanya, wajah Daffa macam patung pahatan, dia ada kurangnya.Daffa bukam orang kaya seperti Dea. Terlahir sederhana, diasuh oleh nenek kakeknya, sebab sejak lahir dia dibuang ditinggalkan kedua orang tua yang dipisahkan oleh meja sidang.Sudahlah, hal itu sungguh memilukan untuk dibahas di bab ini.Daffa melamar kerja di kecamatan dan baru saja diterima. Dia kini jadi anak magang yang banyak penggemarnya
Andai Daffa adalah kumbang, dialah kumbang jenis pemilih. Walau dikata ribuan bunga berbaris di tengah hamparan taman, ia tak akan mau hinggap pada salah satunya walau sebentar."Di mana, ya rumahnya? Apa aku buntuti aja dia, ya?" Dea ngeyel mencari tahu soal Daffa di sosial media, siapa tahu ada jejaknya.Tapi ... bukannya menemukan akunnya satu saja, yang ada malah Dea dilanda kesal bukan main. Daffa sungguh kolot, tak ada sosial media!"Ah! Atau jangan-jangan dia pakai nama lain kalau di facebook? Duh, kok gitu banget sih? Kan, jadi susah nyarinya!"Sedikit dongkol, akhirnya Dea menyerah sebentar, lalu melempar ponsel ke kasur. Dia mendesah berat, sesusah ini, ya mendapatkan hati Daffa? Hati meringis, sebab ini kali pertama dia diabaikan oleh pria."Jangankan mendapatkan hati si mas ganteng, mendapatkan akun sosial medianya aja nggak bisa. Sial banget emang. Dan anehnya, dia tambah memesona aja. Kalau iya ga ada akun sosmed, wah bisa dipastikan kalau dia itu cowok setia."Dea bergu
Jam berdenting di tengah gersangnya waktu tengah hari ini. Belum lagi panasnya matahari menambah panas hawa dalam ruangan di mana Daffa menjalankan tugasnya sebagai pekerja magang kecamatan.Ada AC, tapi tetap tak bisa meredam panasnya ciptaan yang Maha Kuasa.Daffa sedang sibuk-sibuknya menginput data, dia mengerjakan sefokus yang ia bisa. Setelah berhasil lulus kuliah, dan langsung diberi amanah pekerjaan yang lumayan langsung bisa dia jalankan tanpa hambatan, mana mungkin Daffa sia-siakan.Pekerjaan di kota bagai jarum dalam jerami. Ribuan orang berlomba mencari-cari hingga tubuh bercucur peluh. Tapi akhirnya hanya satu yang beruntung mendapatkannya.Katakan Daffa sedang mujur, di saat orang berusaha sampai rela merogoh kantong uang untuk menyogok orang dalam, dia bisa masuk tanpa embel-embel apa pun karena dia memiliki kemampuan. Ini membuktikan bahwa tidak semua hal bisa dibeli dengan uang, meski kenyataannya jaman sekarang hal itu sudah lumrah dilakukan Berbekal restu dan doa,
Bibir merah jambu itu mengerucut tajam, pertanda sebal tengah menguasainya. Bagaimana tidak? Setelah si tampan membahana menyamakannya dengan perempuan lainnya."Hih, enak aja! Dasar si hati batu. Pake bilang nggak suka cewek segala." Berjalan melintas jalan, kembali ke depan toko minimarket.Nana Banana keluar lagi, ngintip dari pintu. Dia sudah curiga ada yang terjadi ketika tadi hilang bagai angin lalu. Kelihatan dari gelagat kesalnya yang begitu jelas."Kamu kenapa, Posa? Misuh-misuh di situ? Tadi kamu ngilang ke mana? Kirain pulang, ternyata balik lagi. Jangan bilang kamu ke kecamatan buat nemuin ayang-ayanganmu itu?" Praduga yang pas sekali dengan kenyataan yang ada.Dea menatap sinis sahabatnya. Sebelum akhirnya ia menjatuhkan diri di kursi itu, lalu menyandar pasrah sembari menghela napas panjang dan mengeluarkannya lagi tak kalah panjang.Ngomong-ngomong, kalimat yang Nana lontarkan persis sekali dengan apa yang Dea lakukan. Dia jadi curiga, jangan-jangan sahabatnya ini punya
Bermodalkan dukungan Pak Jhon, akhirnya Dea Posa bisa bekerja di tempat yang ia inginkan. Di minimarket sama dimana Nana bekerja. Ada dua sif di sana, pagi hingga magrib, dan dari magrib hingga pagi menjelang.Dea Posa kebagian sif malam. Jadi dia akan bekerja dimulai dari pukul enam sore hingga pukul enam pagi. Begitulah jam kerja di sana, dan Dea sangat semangat sekali sampai mau jungkir balik."Eh tapi ... jam enam artinya mas kesayangan udah pulang, dong. Kan kecamatan tutup sore habis Ashar. Aduh, Posa gini amat nasibmu." Dia mau mati suri saja rasanya karena kesal.Tapi ya sudah. Dea tak bisa apa. Yang penting kerja dulu saja. Sudah mau pukul setengah enam, dia sudah bersiap dengan seragam merah berkerahnya, memakai jeans hitam panjang, dan menyampirkan tas selempang di bahu. Sementara itu rambutnya dia kuncir kuda. Kalau tidak memakai hijab, wajib dikuncir soalnya."Bapak, Dea pergi dulu, ya." Ada Pak Jhon sedang mengamati ikan arwana kesayangan di dalam akuarium. Dea mendekati
Demi langit dan bumi, Dea Posa senang bukan main ketika dia akhirnya mendapatkan nomor ayang Daffa. Sekalipun akhirnya dia harus merelakan uang tiga puluh ribu sebagai gantinya, supaya Herman mau memberikan nomor itu, dia tak merasa dirugikan sama sekali."Tapi kenapa foto profilnya kayak beda gitu, sih?" gumam Dea usai menyimpan nomor itu dengan nama 'Ayang DafDaf' di ponselnya.Memang, setelah menilik-nilik dengan saksama, Dea menemukan ada yang aneh dengan posturnya. Dia lama melihatnya sampai mata mau juling-juling. Tapi .... "Ah, efek diupload jadi begini, kan biasanya? Kadang suka gepeng, kadang suka bulet. Ya udah, lah. Yang penting aku bisa kirimi pesan. Aaaah dia pasti kaget banget, kan aku bisa dapetin nomornya?"Rada-rada. Yeni yang melihat tingkah rekan kerjanya yang baru ini hanya geleng kepala. Terlihat Dea mengetik sebuah pesan. Ketik, hapus, ketik, hapus, terus saja begitu sampai Yeni sebal melihatnya."Heh, Dea. Itu ada pembeli, simpen HP-nya. Lagian dilarang main HP