Sesuai dengan ekspetasi Rhea, Bandung memang kota yang menenangkan. Ia tidak salah memilih tempat pelarian. Baru satu bulan hidup di sini, tapi Rhea sudah bisa merasakan sedikit perbedaan yang terjadi pada pola hidupnya.
Setelah menjadi seorang pengangguran, Rhea merasa hidupnya menjadi lebih santai. Bangun pagi tidak perlu repot memilih setelan apa yang akan ia pakai ke kantor hari ini atau sibuk mempersiapkan bahan untuk meeting.Isabell: tidak merindukan kantor?Rhea yang baru selesai melakukan workout sebagai kegiatan rutinnya itu, lantas mengecek ponsel dan spontan tersenyum, membaca pesan dari Isabell.Rhea: menjadi pengangguran ternyata lebih menyenangkanTak butuh waktu lama untuk Rhea menunggu balasan dari Isabell. Pada jam segini biasanya gadis itu sedang menyantap sarapan, tidak heran kenapa bisa membalas pesan dalam hitungan detik.Isabell: itu karena kau sudah kaya!Isabell: beda halnya denganku. Sudah kerja bagai kuda saja aku masih tetap miskin.Sambil terkekeh pelan Rhea menggelengkan kepalanya. Rhea melempar ponselnya ke atas sofa lalu beranjak menuju kamar mandi. Mengabaikan pesan menyedihkan Isabell. Dulu, Rhea tidak jauh berbeda dengan gadis itu. Bekerja keras untuk menghidupi diri sendiri di kota orang. Bedanya, Rhea berhasil mengambil hati anak dari pemimpin perusahaan tempatnya bekerja, sehingga kini kekayaan bertambah tanpa harus bekerja sekeras dulu.Rhea melangkahkan kakinya memasuki bathtub yang sudah ia isi dengan air hangat. Usai tubuh polosnya terendam di sana, perlahan wanita itu memejamkan kedua matanya, merasakan ketenangan dan kedamaian di tempat yang menjadi spot favoritnya di rumah ini. Menghabiskan waktu di dalam kamar mandi sambil merendam air hangat dapat membuat pikiran Rhea menjadi tenang.Beberapa menit keheningan menyelimuti, samar suara isakan memenuhi ruangan lembab itu. Ya, Rhea terisak. Air matanya tidak pernah absen terjun ketika nama Danial melintas di kepalanya. Rasa kesepian membuat Rhea harus sedikit lebih sabar untuk menghempaskan Danial dari pikiran. Tidak ada cara praktis untuk melupakan seseorang, semua butuh waktu.DRTTT!!!Getaran pada ponsel berhasil menghentikan tangisan Rhea. Wanita itu segera meraih benda pipih tersebut dan menempelkannya ke daun telinga setelah membaca display si penelepon. Rayn."Ada apa menelponku pagi-pagi, tumben sekali!""Selamat pagi, benar ini dengan keluarga dari Raynhard?"Ekspresi wajah Rhea berubah, antara bingung dan terkejut mendengar suara perempuan yang muncul dari sambungan nomor ponsel sang adik."Ya, benar." jawab Rhea serius."Saat ini pasien Raynhard sedang mendapatkan perawatan intensif di rumah Sakit Menuju Sehat, apa Ibu bisa datang untuk menjadi walinya?"Nafas Rhea seketika berhenti, tubuhnya yang mulai dingin menegak tatkala mendengar apa yang lawan bicara virtualnya katakan. Pasien? "Ya, saya segera menuju ke sana."Sebenarnya banyak yang ingin Rhea pertanyakan, seperti; apa yang terjadi pada adiknya? Kenapa pemuda itu mendapatkan perawatan intensif di rumah sakit tanpa sepengetahuannya? Apa Rayn mengalami kecelakaan atau memiliki penyakit mematikan yang selama ini dia sembunyikan darinya?Semua pertanyaan itu ia urungkan. Rhea memilih untuk bergegas memakai baju dan pergi ke Jakarta dengan mobilnya.* * *Selepas kepergian Liya kemarin, Danial sudah memiliki rencana apa yang akan ia lakukan ke depan. Salah satunya, pindah ke Bandung adalah tujuan utama. Tapi untuk menyamarkan rasa curiga keluarganya, Danial akan meminta Papa nya untuk menjadikannya Direktur di cabang perusahaan Aktaraja yang bertempat di Bandung. Danial juga sudah mendapatkan izin dari Liya.Ketika waktu makan siang tiba, Danial segera datang menemui Ayahnya di ruangan pria tua itu.Tok! Tok! Tok!Pintu besar berwarna coklat itu Danial ketuk beberapa kali sebelum masuk dan berjalan menghampiri Akta yang sedang menikmati waktu senggangnya dengan bermain catur bersama sekretarisnya, Mira.Menyadari kehadiran sang anak, Akta menoleh lalu menggerakan tangannya sebagai sinyal untuk mempersilakan Danial duduk bergabung."Duduklah," Katanya, lalu kembali fokus ke papan catur lagi, "Katamu ada yang ingin kau bicarakan, apa itu?" sambung Akta seraya mengusap-usap dagunya, sedang berpikir bagaimana langkah yang harus ia ambil untuk memakan kuda milik lawan.Danial berdehem sebelum menoleh dan tersenyum tipis ke arah Mira, wanita berumur empat puluh tahun yang sudah menjadi sekretaris Papa nya sejak ia masih kuliah. Mira adalah orang terpercaya keluarganya, jadi Danial merasa tidak apa-apa untuk mengatakan hal ini di hadapan Mira juga."Bagaimana dengan perkembangan kantor cabang yang di Bandung, Pa?" tanya Danial berbasa-basi. Sebenarnya ia sudah tahu kalau saat ini Direktur cabang perusahaan Aktaraja sedang terlibat kasus perselingkuhan. Dan sepertinya, tidak lama lagi dia akan kehilangan posisinya.Sesuai dengan dugaan Danial, Akta perlahan menghembuskan napas berat. "Terjadi sesuatu di sana. Aku berniat untuk memecat Mourin karena istrinya membuat keributan di kantor."Senyum miring Danial terlukis samar. Ia lantas duduk mendekat ke arah Akta. "Bagaimana jika aku saja yang menggantikan posisinya di sana?" tanyanya to the point.Akta seketika menoleh terkejut, bola matanya memandang Danial dengan ekspresi tidak percaya. "Bodoh. Sudah bagus kau aku tempatkan di kantor pusat!" jawabnya menekan.Dengan ekspresi mengeras Danial membuang napas, "Aku tidak mengambil banyak andil di sini karena sudah ada Ayah dan paman. Apa salahnya jika aku ingin suasana baru?" balas Danial mencari alasan yang masuk akal dan menambah keyakinan sang Ayah untuk mewujudkan keinginannya.Akta berdecih, "Bagaimana dengan istrimu? apa dia sudah sampai di Sidney dengan selamat?" tanyanya mengalihkan pembicaraan."Dia sudah sampai di apartemennya. Jangan khawatir." jawab Danial. Pagi tadi Liya memang menelepon untuk mengabari kalau dirinya sudah tiba di apartemen yang akan menjadi tempat tinggalnya selama di Sidney."Baguslah kalau begitu. Kau harus sering-sering menelepon dan memperhatikannya."Danial memutar bola matanya tak peduli, "Ya, tentu. Tetapi, bagaimana dengan permintaanku yang tadi?"Akta berdehem panjang. Ia terdiam sejenak dengan pandangan menerawang ke arah papan catur, pun dengan Danial serta Mira yang sedari tadi tak berani ikut menimpali, wanita itu memilih untuk memasang telinga baik-baik. Pembicaraan dua petinggi Perusahaan itu pasti akan menjadi gosip besar jika ia sebarkan ke para pegawai.Isabell mengambil gelas es kopi miliknya dari atas meja, kemudian meminumnya hingga tandas. Berharap es kopi yang menyegarkan tenggorokannya itu dapat meredam amarah yang menguasai dirinya saat ini.Mendengar berita tentang Danial yang sedang beredar di kantornya membuat Isabell meradang. Tanpa banyak pikir, gadis itu segera bangkit dari kursi kerjanya, kemudian membawa langkahnya ke ruangan kebesaran Danial. Bagaimana Isabell bisa menahan diri, beberapa menit lalu ia mendengar berita kalau Danial akan dipindahtugaskan ke kantor cabang di Bandung. Kebetulan atau direncanakan, demi Tuhan, hal ini sangat tidak lucu! "Pak Danial ada di dalam?" tanya Isabell ke Ardan, Sekretaris Danial. Pria berkacamata itu menaikan sebelah alisnya melihat kedatangan Isabell yang tidak diundang."Ada perlu apa, Isabell?" tanyanya dengan tenang.Isabell berdehem, mengontrol dirinya agar tidak terlalu lihat emosi di depan Ardan. Meski umurnya sudah dipertengahan tiga puluh lima, tapi pria itu tidak kalah t
Cleo Miguel membuang napas jengah saat menerima pesan dari Danial. Pesan dengan satu kalimat yang membawa langkah Cleo ke kediaman teman sekaligus atasannya itu."Kau memanggilku untuk ini?" tanya Cleo, jari telunjuknya menunjuk botol wine di atas meja, satu dari botol itu tersisa setengah isinya.Danial berdecak, ia hanya menoleh sekilas lalu menendang kursi kosong di sampingnya seolah menyuruh tamunya itu untuk duduk."Jadi, kau patah hati karena di tinggal mantan istrimu ke Bandung atau di tinggal istri barumu ke Australia?" celetuk Cleo sembari menarik kursi dan mendudukinya. Tak ingin melihat ekspresi Danial yang sedang memakinya, Cleo lantas meraih gelas kecil lalu menuangkan Wine ke dalamnya, menandaskan minuman itu dalam satu kali tegukan."Kau sudah dengar soal pemindahan ku ke Bandung?" Lama terdiam, Danial berujar tanpa menatap lawan bicaranya. Pemandangan malam di luar balkon lantai dua rumahnya lebih layak untuk dipandang dari pada wajah bengis milik Cleo."Jika Aktaraja
"Kau tidak seharusnya datang kemari!"Rhea tersenyum simpul, kepalanya menggeleng kecil, "Tidak masalah. Lagi pula, aku juga merindukan kopi di sini." balasnya sambil menunjukan gelas ice kopi di tangan yang sempat ia beli di coffee shop sebrang. Saat ini, Rhea sedang menginjakan kakinya di lobi kantor Aktaraja Holding. Alibinya untuk bertemu dengan Isabell, padahal ada niat tersembunyi, apa lagi kalau bukan untuk melihat wajah seseorang yang tiba-tiba ia rindukan.Isabell berdesis, "Benar hanya merindukan kopi? sepertinya ada seseorang yang pasti kau rindukan di sini?" balas Isabell dengan tatapan menelisik. Rhea tergugup, gelagatnya berubah salah tingkah. Isabell memang pandai membaca pikiran seseorang. "Apa maksudmu?" "Maksudku kau pasti merindukan teman kantormu yang dulu, kan?" jawab Isabell membuat Rhea menghembuskan napas lega. "Ya, sedikit."Isabell berdecih, wajah devilnya kini terpasang, "Teman kantor atau Pak Direktur?" tanyanya membuat napas Rhea tercekat. "Anak ini!
Rhea membeku ditempat ketika melihat siapa tamu yang datang ke rumahnya malam ini. Hampir saja Rhea menampar dirinya sendiri karena takut kalau ini hanya halusinasi. Kenyataan bahwa saat ini Danial menyandangi rumahnya seperti mimpi. Seulas senyum pun tidak dapat Rhea lukis, wajahnya membeku seketika bertatapan dengan manik legam Danial. "Maaf jika kedatanganku mengejutkanmu," Peka dengan yang Rhea rasakan, Danial berkata maaf dengan raut sesal. Tidak ada wajah dingin yang Rhea temukan seperti saat terakhir kali mereka bertemu, di hari pernikahan kedua pria itu. "Dari mana kau tahu alamat rumahku?" tanyanya. Tidak ada komunikasi diantara mereka sejak Danial menjatuhkan talaknya. Rhea bahkan tidak mengatakan soal kepindahannya ke Danial. "Aku akan menjelaskannya kalau kau mengizinkan aku untuk masuk," jawab Danial. Rhea menghembuskan napas kasar sebelum menggeser tubuhnya untuk memberi akses Danial masuk ke dalam rumahnya. Menapaki isi rumah Rhea, mata Danial tidak dapat berhenti m
"Ada gosip yang mengatakan kalau istrinya Danial melanjutkan studi ke Australia, aku jadi semakin yakin kalau dia sengaja pindah ke Bandung untuk dekat denganmu. Kau harus hati-hati, kabari aku kalau dia datang ke rumahmu!" informasi panjang dari Isabell melalui obrolan virtual itu berhasil membuat Rhea terdiam.Pantas saja kemarin Danial menawarkannya untuk berkunjung ke apartement pria itu, rupanya Danial tinggal sendiri di kota kembang ini. Pikir Rhea. "Hei, kenapa diam? Katakan sesuatu!" sentak Isabell karena tidak mendapati respon dari lawan bicara.Rhea berdehem, kembali mengumpulkan kesadarannya. "Ya, aku mengerti. Lagi pula, kau berpikir terlalu jauh. Bukankah Danial pindah karena ia harus bekerja di kantor cabang?" tanya Rhea sembari melanjutkan aktivitasnya menyiram tanaman."Tapi pasti ada alasan lain. Apa kau berpikir ini sebuah kebetulan? Ayolah, Rhea! Kantor cabang Aktaraja bukan hanya di Bandung, kan? Malah seharusnya Danial menolak untuk dipindahkan karena di sana ada
"Hari ini Ibu Rhea sedang tidak ada di rumahnya, Pak." Sepasang alis tebal Danial terangkat, "Pergi ke mana dia?" tanyanya sambil menatap jengkel sang anak buah yang memberi laporan setengah-setengah. "Menemui Ayahnya." jawaban singkat itu berhasil mencetak kerutan dikening Danial.Masalah apa lagi yang tua bangka itu buat hingga melibatkan Rhea? tanya Danial membatin."Satu minggu lalu adiknya Bu Rhea masuk rumah sakit karena dianiaya oleh rentenir, Pak." sambung pria berbadan tegap itu.Tangan Danial terkepal. "Sial! Kenapa kau baru memberitahuku sekarang?!" sentaknya emosi. Tidak perlu dijelaskan lebih lanjut, jika melibatkan rentenir dan mantan ayah mertuanya, Danial sudah tau apa yang telah terjadi."Maaf, Pak." anak buah Danial menunduk dalam. "Siapkan mobil, sekarang!" perintah Danial membentak, napasnya menggebu tak beraturan."Siap, Pak!" sahutnya, ia menunduk hormat sebelum pergi memenuhi perintah sang tuan.BRAK!Danial menggebrak meja, mimik wajah pria itu mengetat mena
"Apa aku salah lihat? Apa kau benar Rhea?" Danial bertanya-tanya dengan nada tak percaya saat mendapati mantan istrinya berdiri menunggu di depan pintu apartemennya.Rhea memutar bola matanya, "Jangan berlebihan, Danial!" sungutnya menahan kesal.Sekilas Danial terkekeh, ia lantas membuka pintu apartemennya dan mempersilakan Rhea masuk lebih dulu. "Seharusnya kau hubungi aku dulu agar aku pulang lebih cepat. Apa tadi kau menunggu lama?"Alih-alih membalas ucapan Danial, Rhea malah mendudukan dirinya di sofa ruang tengah. Sepasang matanya yang dihias bulu mata lentik itu juga mengedarkan pandang, memandang isi apartemen mewah milik Danial. "Bukankah ini terlalu besar untuk ditempati sendirian?" gumam Rhea.Danial ikut mendudukan diri di sofa single, "Benar. Kau mau menemaniku tinggal di sini?" godanya seraya memainkan alis.Samar Rhea berdecih. "Kontrol dirimu, Danial! Kau sangat tidak pantas untuk mengatakan itu!" ketus Rhea. Semakin lama Rhea semakin dibuat bingung dengan sikap mant
Rhea membuang napas kasar, padatnya lalu lintas kota Jakarta sore ini membuat kepalanya pening. Mobil yang ditumpanginya bersama Rayn sudah dua jam terkepuk di kemacetan."Kemarin aku bertemu Cleo." Rayn bersua diantara berisiknya obrolan penyiar di radio mobil. "Dia bertanya sedikit tentangmu." lanjut Rayn tanpa mengalihkan pandangannya dari jalanan di depannya. Tangan Rhea terulur untuk mematikan radio itu. "Bagaimana kabarnya? Dia baik?" "Ya. Apa aku perlu menelepon dia dan mengajaknya untuk bergabung bersama kita nanti malam? Sepertinya dia akan senang jika tahu kau ada di sini." ujar Rayn dengan antusias. Cleo memang bukan orang asing bagi orang-orang terdekat Rhea.Rhea merogoh isi tas brandednya, mengeluarkan ponsel mahalnya dari dalam sana. "Aku akan menghubunginya." jawabnya. Rhea: Are you free tonight?Cleo: Kau bertanya seperti itu seolah kau sedang berada di JakartaKekehan terbit di bibir Rhea, cepat sekali pemuda itu membalas pesannya. Rhea: Memang. Nanti malam aku ak