Share

05. Rencana Danial

Sesuai dengan ekspetasi Rhea, Bandung memang kota yang menenangkan. Ia tidak salah memilih tempat pelarian. Baru satu bulan hidup di sini, tapi Rhea sudah bisa merasakan sedikit perbedaan yang terjadi pada pola hidupnya.

Setelah menjadi seorang pengangguran, Rhea merasa hidupnya menjadi lebih santai. Bangun pagi tidak perlu repot memilih setelan apa yang akan ia pakai ke kantor hari ini atau sibuk mempersiapkan bahan untuk meeting.

Isabell: tidak merindukan kantor?

Rhea yang baru selesai melakukan workout sebagai kegiatan rutinnya itu, lantas mengecek ponsel dan spontan tersenyum, membaca pesan dari Isabell.

Rhea: menjadi pengangguran ternyata lebih menyenangkan

Tak butuh waktu lama untuk Rhea menunggu balasan dari Isabell. Pada jam segini biasanya gadis itu sedang menyantap sarapan, tidak heran kenapa bisa membalas pesan dalam hitungan detik.

Isabell: itu karena kau sudah kaya!

Isabell: beda halnya denganku. Sudah kerja bagai kuda saja aku masih tetap miskin.

Sambil terkekeh pelan Rhea menggelengkan kepalanya. Rhea melempar ponselnya ke atas sofa lalu beranjak menuju kamar mandi. Mengabaikan pesan menyedihkan Isabell. Dulu, Rhea tidak jauh berbeda dengan gadis itu. Bekerja keras untuk menghidupi diri sendiri di kota orang. Bedanya, Rhea berhasil mengambil hati anak dari pemimpin perusahaan tempatnya bekerja, sehingga kini kekayaan bertambah tanpa harus bekerja sekeras dulu.

Rhea melangkahkan kakinya memasuki bathtub yang sudah ia isi dengan air hangat. Usai tubuh polosnya terendam di sana, perlahan wanita itu memejamkan kedua matanya, merasakan ketenangan dan kedamaian di tempat yang menjadi spot favoritnya di rumah ini. Menghabiskan waktu di dalam kamar mandi sambil merendam air hangat dapat membuat pikiran Rhea menjadi tenang.

Beberapa menit keheningan menyelimuti, samar suara isakan memenuhi ruangan lembab itu. Ya, Rhea terisak. Air matanya tidak pernah absen terjun ketika nama Danial melintas di kepalanya. Rasa kesepian membuat Rhea harus sedikit lebih sabar untuk menghempaskan Danial dari pikiran. Tidak ada cara praktis untuk melupakan seseorang, semua butuh waktu.

DRTTT!!!

Getaran pada ponsel berhasil menghentikan tangisan Rhea. Wanita itu segera meraih benda pipih tersebut dan menempelkannya ke daun telinga setelah membaca display si penelepon. Rayn.

"Ada apa menelponku pagi-pagi, tumben sekali!"

"Selamat pagi, benar ini dengan keluarga dari Raynhard?"

Ekspresi wajah Rhea berubah, antara bingung dan terkejut mendengar suara perempuan yang muncul dari sambungan nomor ponsel sang adik.

"Ya, benar." jawab Rhea serius.

"Saat ini pasien Raynhard sedang mendapatkan perawatan intensif di rumah Sakit Menuju Sehat, apa Ibu bisa datang untuk menjadi walinya?"

Nafas Rhea seketika berhenti, tubuhnya yang mulai dingin menegak tatkala mendengar apa yang lawan bicara virtualnya katakan. Pasien? 

"Ya, saya segera menuju ke sana."

Sebenarnya banyak yang ingin Rhea pertanyakan, seperti; apa yang terjadi pada adiknya? Kenapa pemuda itu mendapatkan perawatan intensif di rumah sakit tanpa sepengetahuannya? Apa Rayn mengalami kecelakaan atau memiliki penyakit mematikan yang selama ini dia sembunyikan darinya?

Semua pertanyaan itu ia urungkan. Rhea memilih untuk bergegas memakai baju dan pergi ke Jakarta dengan mobilnya.

* * *

Selepas kepergian Liya kemarin, Danial sudah memiliki rencana apa yang akan ia lakukan ke depan. Salah satunya, pindah ke Bandung adalah tujuan utama. Tapi untuk menyamarkan rasa curiga keluarganya, Danial akan meminta Papa nya untuk menjadikannya Direktur di cabang perusahaan Aktaraja yang bertempat di Bandung. Danial juga sudah mendapatkan izin dari Liya.

Ketika waktu makan siang tiba, Danial segera datang menemui Ayahnya di ruangan pria tua itu.

Tok! Tok! Tok!

Pintu besar berwarna coklat itu Danial ketuk beberapa kali sebelum masuk dan berjalan menghampiri Akta yang sedang menikmati waktu senggangnya dengan bermain catur bersama sekretarisnya, Mira.

Menyadari kehadiran sang anak, Akta menoleh lalu menggerakan tangannya sebagai sinyal untuk mempersilakan Danial duduk bergabung.

"Duduklah," Katanya, lalu kembali fokus ke papan catur lagi, "Katamu ada yang ingin kau bicarakan, apa itu?" sambung Akta seraya mengusap-usap dagunya, sedang berpikir bagaimana langkah yang harus ia ambil untuk memakan kuda milik lawan.

Danial berdehem sebelum menoleh dan tersenyum tipis ke arah Mira, wanita berumur empat puluh tahun yang sudah menjadi sekretaris Papa nya sejak ia masih kuliah. Mira adalah orang terpercaya keluarganya, jadi Danial merasa tidak apa-apa untuk mengatakan hal ini di hadapan Mira juga.

"Bagaimana dengan perkembangan kantor cabang yang di Bandung, Pa?" tanya Danial berbasa-basi. Sebenarnya ia sudah tahu kalau saat ini Direktur cabang perusahaan Aktaraja sedang terlibat kasus perselingkuhan. Dan sepertinya, tidak lama lagi dia akan kehilangan posisinya.

Sesuai dengan dugaan Danial, Akta perlahan menghembuskan napas berat. "Terjadi sesuatu di sana. Aku berniat untuk memecat Mourin karena istrinya membuat keributan di kantor."

Senyum miring Danial terlukis samar. Ia lantas duduk mendekat ke arah Akta. "Bagaimana jika aku saja yang menggantikan posisinya di sana?" tanyanya to the point.

Akta seketika menoleh terkejut, bola matanya memandang Danial dengan ekspresi tidak percaya. "Bodoh. Sudah bagus kau aku tempatkan di kantor pusat!" jawabnya menekan.

Dengan ekspresi mengeras Danial membuang napas, "Aku tidak mengambil banyak andil di sini karena sudah ada Ayah dan paman. Apa salahnya jika aku ingin suasana baru?" balas Danial mencari alasan yang masuk akal dan menambah keyakinan sang Ayah untuk mewujudkan keinginannya.

Akta berdecih, "Bagaimana dengan istrimu? apa dia sudah sampai di Sidney dengan selamat?" tanyanya mengalihkan pembicaraan.

"Dia sudah sampai di apartemennya. Jangan khawatir." jawab Danial. Pagi tadi Liya memang menelepon untuk mengabari kalau dirinya sudah tiba di apartemen yang akan menjadi tempat tinggalnya selama di Sidney.

"Baguslah kalau begitu. Kau harus sering-sering menelepon dan memperhatikannya."

Danial memutar bola matanya tak peduli, "Ya, tentu. Tetapi, bagaimana dengan permintaanku yang tadi?"

Akta berdehem panjang. Ia terdiam sejenak dengan pandangan menerawang ke arah papan catur, pun dengan Danial serta Mira yang sedari tadi tak berani ikut menimpali, wanita itu memilih untuk memasang telinga baik-baik. Pembicaraan dua petinggi Perusahaan itu pasti akan menjadi gosip besar jika ia sebarkan ke para pegawai.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status