Share

Selingkuh dengan Jin_4

Selingkuh dengan Jin

Part_4

Aku masih menatap lekat pintu kamarku. Tempat di mana jin itu menghilang dan meninggalkan bekas seperti asap. Aku menangis tergugu setelahnya. Ada rasa sesal di dalam hati. Namun ada juga rasa lain yang tak biasa, seperti rasa rindu akan belaian yang pernah diberikan oleh jin yang berubah menjadi Mas Satya.

Ingin aku terlepas dari belenggu jin itu. Namun aku tak kuasa melakukannya. Selain takut, aku juga tidak tahu bagaimana caranya. Ingin aku berterus terang kepada Mas Satya, tapi hati tak sampai untuk bercerita.

Malam ini kulewati dengan segala rasa yang berkecamuk. Rasa takut membuatku tak ingin terpejam meski sebenarnya rasa kantukku sudah melanda sedari tadi. Aku takut jika aku tertidur, jin itu akan datang lagi dan melakukan perbuatan yang sama. Meski aku mendapatkan suatu kepuasan dari jin itu, namun aku tidak ingin hal itu berlanjut.

Hingga menjelang subuh, mataku masih terjaga. Azan subuh berkumandang kantuk mulai menyerang. Tak bisa kuajak kompromi lagi. Padahal aku berniat untuk menunaikan kewajiban sebagai seorang muslim. Kuurungkan niat hendak mengambil wudu, melanjutkan rebahan. Semakin lama mataku semakin berat, tak terasa aku terlelap.

"Rita, bangun sudah siang!" Aku terkejut saat terasa tangan dingin menepuk pipiku. Berkali-kali aku mengerjapkan mata. Tampak Mas Satya tersenyum ke arahku.

"Ma-maaf, Mas. Aku baru tertidur subuh tadi," ucapku pada Mas Satya. Dengan cepat aku bangkit untuk duduk. Mas Satya membantuku.

"Nggak papa, kok! Oiya, aku sudah beli sarapan buat kita, tapi aku mandi dulu, ya?" Mas Satya bangkit dan berjalan meninggalkan kamar tidur kami tanpa menunggu jawabanku.

Ting!

Notifikasi pesan aplikasi hijau di ponselku berbunyi. Segera kuraih ponsel, yang semalam kuletakkan di meja kecil di samping ranjang. Rupanya salah satu temanku, alumni sekolah tingkat SMA yang mengirimkan pesan di grup W******p. Temanku memberi pengumuman bahwa minggu depan akan mengadakan reuni yang wajib dihadiri semua alumni seangkatanku.

"Duh, mana perhiasan nggak punya, baju juga hanya baju lama aja yang ada," gerutuku setelah membaca pesan di grup alumni SMA-ku.

Resah mulai kurasakan. Memikirkan bagaimana nanti, jika aku menghadiri acara reuni sekolahku. Tanpa satu pun perhiasan yang kupakai. Pasti teman-teman akan menghinaku seperti dulu saat masih sekolah. 

Lamunanku buyar ketika mendengar panggilan dari Mas Satya. Segera kuletakkan kembali ponselku ke tempat semula. Setelah berdiri di hadapan Mas Satya, ia menyodorkan sebungkus nasi goreng padaku. Di tangannya, ia juga membawa sebungkus nasi miliknya sendiri.

"Makan dulu, yuk! Aku lapar." Mas Satya mengajakku makan. Kami menikmati makan pagi kami sambil menonton acara televisi, sesekali berbincang-bincang.

"Mas, minggu depan aku ada acara reuni sama teman SMA, boleh, ya, aku datang?" tanyaku meminta izin pada Mas Satya.

Mas Satya yang sedang asik mengunyah makanannya menoleh sejenak, kemudian ia menganggukkan kepalanya.

Ingin sebenarnya aku berterus terang pada Mas Satya, jika aku ingin membeli baju baru dan perhiasan. Agar bisa kupakai saat acara reuni nanti. Akan tetapi tenggorokanku rasanya tercekat, tak sampai hati meminta kepada Mas Satya. Mengingat bahwa perekonomian kami pas-pasan. Biarlah nanti aku yang akan memikirkannya sendiri. Agar aku bisa mendapatkan barang-barang yang aku inginkan.

Setelah makan kubereskan semua peralatan makan yang kotor. Setelah itu kutata kembali piring dan peralatan lainnya yang sudah bersih kembali ke tempat semula.

***

Kembali malam menyapa. Seperti hari kemarin, aku merasa takut jika memasuki waktu malam. Apalagi Mas Satya akan meninggalkanku sendiri sampai esok pagi. Ingin aku mencegah Mas Satya agar malam ini menemaniku saja, namun tak ada alasan yang kuat untuk kukatakan padanya.

"Kamu, kenapa, Sayang, kok, sepertinya gelisah?" tanya Mas Satya. Rupanya ia memperhatikan perubahan sikapku.

"Ehm, ng-nggak papa, kok, Mas," kilahku. Padahal benar, kalau aku sedang gelisah. Tiba-tiba saja perasaanku jadi tak tenang.

"Kalau ada masalah, bilang sama Mas, jangan dipikir sendiri!" Mas Satya menasihatiku. Aku hanya menanggapinya dengan anggukan. Bingung. Apa sebaiknya aku meminta Mas Satya untuk mengambil libur kerja lagi malam ini?

Aku mencoba memberanikan diri menyampaikan pada Mas Satya, agar ia tidak pergi kerja lagi malam ini. Ternyata Mas Satya tidak menyetujui permintaanku dengan alasan yang masih sama seperti sebelumnya. Tak enak jika sering bolos kerja tanpa alasan yang kuat.

Dapat kumengerti alasan Mas Satya yang memang benar. Ya sudahlah, semoga malam ini baik-baik saja. Dan jin itu tidak datang lagi.

***

Tepat pukul sembilan malam Mas Satya pergi ke tempat kerjanya, meninggalkanku seorang diri di rumah. Setelah aku mengunci pintu segera aku beranjak ke kamar. Sunyi rasanya keadaan rumah, membuat rasa takutku semakin membuncah.

Segera kurebahkan diriku di kasur dan kutarik selimut. Hampir menutupi semua anggota tubuhku. Dinginnya malam semakin menusuk kala kudengar seperti suara ketukan tetapi pelan. Berusaha mempertajam pendengaran, agar bisa dengan jelas mendengar asal suara ketukan itu. Tetapi suara itu perlahan menghilang.

"Sayang, bangun!" Terdengar suara lembut Mas Satya berbisik di telingaku. Baru saja aku terlelap sudah harus terjaga lagi. Dengan malas aku membuka mata, menoleh ke sumber suara. Mas Satya sudah duduk di sampingku yang masih berbaring. Ia tersenyum. Tidak, lebih tepatnya seperti menyeringai.

Dengan cepat aku bangkit dan menjauh darinya. Ketakutan kembali membelenggu. Ada keyakinan bahwa ia bukanlah Mas Satya asli. Aku melirik ke arah jendela ternyata langit masih gelap tampak dari celah tirainya.

Sosok itu semakin mendekatiku, ia berusaha menggapai tubuhku. Ingin aku menepis tangan jin yang ada di hadapanku. Namun, terasa berat untuk sekadar menggerakkan tanganku.

"Jangan takut, Sayang! Aku datang akan memenuhi semua keinginanmu." Jin itu tersenyum. Memang tidak tampak menyeramkan. Hanya saja aku tetap dibelenggu rasa takut.

"Aku tahu apa yang kamu butuhkan saat ini, Sayang. Jangan khawatir, aku akan memenuhi semua keinginanmu," imbuhnya lagi.

Aku mengernyitkan dahi, heran. Mengapa ia bisa tahu jika aku sedang menggarapkan sesuatu yang tidak mudah untuk kudapatkan?

Oh, iya, aku baru ingat. Ia bukan bangsa manusia yang bisa dibohongi. Ia adalah makhluk gaib yang menyerupai suamiku. Pasti dengan mudah ia dapat mengetahui semuanya tanpa aku bercerita.

"Katakan saja padaku, apa yang kamu inginkan, Sayang! Apakah kamu membutuhkan ini?" Sosok jin yang berubah menjadi Mas Satya itu menunjukkan uang dan emas dengan jumlah yang begitu banyak.

Mataku terbelalak tajam melihat semua itu. Spontanitas aku ingin meraih benda-benda yang ada di tangan jin itu. Akan tetapi jin itu menghalangi tanganku.

"Kamu bisa memiliki semua ini dengan mudah. Asal kamu mau memenuhi syarat dariku. Apakah kamu bersedia?"

Next ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status