Share

2. Bertengkar

Weni kembali mengisi harinya dengan rutinitas yang terus ia jalani beberapa tahun ini. Meski terkadang lelah dan penat, Weni sangat tahu posisinya.

"Mama, aku mau es."

Rena menarik baju Weni, saat Weni membawanya untuk berbelanja kebutuhan. Weni yang berniat membeli sesuatu yang diinginkannya, kembali mengenyampingkan hal itu dan membeli apa yang diinginkan Rena.

"Rena mau yang mana?" sambil menggendong tubuh kecil Rena, Weni membuka chiller es krim.

"Ini," ucapnya dengan menunjuk es krim yang cukup mahal.

"Kalau yang ini mau tidak?" Rena mencoba mengalihkan ke es krim yang memiliki rasa yang sama, tapi lebih murah.

"Mau yang ini," rengeknya.

Weni mau tak mau mengambil apa yang diinginkan Rena, ia harus kembali mengirit agar bisa mencukupi kebutuhan bulan ini.

"Baiklah," ucap Weni yang disambut tawa bahagia Rena.

"Weni?"

Suara seorang wanita mengejutkan Weni yang tengah mengambil es krim yang diinginkan Rena. 

"Bianca?" 

Weni terkejut melihat seorang wanita yang merupakan teman satu sekolahnya dahulu. Bianca terlihat sangat berbeda dari terakhir kali Weni melihatnya.

"Ya ampun, aku hampir tidak mengenalimu."

Weni menyambut sapaan Bianca dengan pelukan, harum tubuhnya sangat manis menyeruak ke Indra penciuman Weni. Entah mengapa sekejap rasa iri menghampiri dirinya.

"Ini anakmu?" tanya Bianca mencubit pipi Rena yang tengah di gandeng Weni.

"Iya," ucap Weni dengan senyumannya.

"Manis sekali." Bianca berjongkok di hadapan Rena. "Nama kamu siapa gadis kecil?" tanya Bianca dengan manisnya.

"Lena …," jawan Rena yang masih sedikit sulit mengucapkan huruf 'R'.

"Rena, Tante." Weni mengkoreksi ucapan Rena.

Bianca tertawa kecil dan berujung menggendong Rena dan membawanya berkeliling. Rena yang memang tidak takut dengan orang asing, hanya bisa menurut.

"Rena mau beli apa? Tante yang belikan," ucap Bianca.

"Tidak perlu, Bia."

"Lena mau itu," ucap Rena dengan menunjuk sebuah coklat mahal yang memang selalu ia pinta, tapi tak pernah dibelikan karena mahal.

"Oke," ucap Bianca mengambil beberapa coklat.

"Tidak perlu, Bia. Dia …."

Bianca menahan tangan Weni dan menggeleng, menandakan untuk Weni menghentikan penolakannya. Weni yang sangat tahu sikap Bianca hanya bisa menurut.

Pada akhirnya belanjaan Rena cukup banyak, Weni terus meminta maaf dan berterima kasih pada Bianca saat mereka sudah berada di luar.

"Tidak perlu sungkan, anggap saja ini permintaan maaf ku karena tidak datang ke pernikahanmu."

Bianca kembali tersenyum, di sambut senyum kecil Rena saat Bianca mencubitnya. Weni hanya bisa tertunduk malu.

"Bisakah kita minum kopi di kafe seberang sebentar?" tawar Bianca.

Weni yang tak enak hati, akhirnya tidak bisa menolak tawaran Bianca. Bersama mereka ke kafe, Bianca lah yang menggendong Rena.

Mereka pergi setelah sebelumnya menaruh belanjaan di mobil Bianca. Ya, mobil Bianca. Hal itu membuat Weni kembali menciut.

"Minumlah," ucap Bianca menyodorkan nampan yang berisi minuman serta makanan.

Rena yang duduk di kursi khusus anak tersenyum bahagia saat sebuah es krim terpampang di hadapannya. Bahkan cupcake coklat juga tersedia untuknya.

"Bagaimana kabarmu?" tanya Bianca membuka pembicaraan.

"Seperti inilah," jawab Weni dengan senyuman yang sedikit dipaksakan.

"Aku menikahi duda kaya, hidupku berubah sejak itu." Bianca mulai bercerita tanpa Weni tanya. "Kamu tahu? Untuk sampai di sini, aku di hina bahkan sampai ada yang menamparku."

"Apa? Bagaimana bisa?" Weni tak percaya dengan apa yang terjadi.

Bianca tersenyum karena sudah menduga ekspresi apa yang akan dibuat Weni. Weni sangat berbeda dengan orang lain, dia polos dan juga jujur.

Semua orang akan terkejut, tapi memiliki ekspresi yang berbeda. Meski belum tahu apa itu alasannya, semua akan menghinanya hanya karena ia mengatakan menikahi duda.

"Pria itu berbohong, dia masih memiliki Istri."

"Lalu?"

"Lalu?" Bianca mengulang pertanyaan Weni.

"Iya, Lalu kenapa? Pria itu kan yang bohong, bukan kamu." Weni terlihat kesal, melihat itu Bianca tertawa dibuatnya. "Kenapa malah tertawa?"

"Kalau orang akan mengatakan aku bodoh karena mau menikahi pria yang sudah berbohong padanya, lalu kenapa kamu justru membelaku?"

Weni menatap Bianca sesaat, ia sangat tahu Bianca orang yang bukan seperti sekarang. Bianca terkenal pendiam dan juga memiliki aura yang tertutup, tidak seperti sekarang.

"Kalau kamu benar bahagia karena pria itu, bukalah itu baik? Meski ada hati yang terluka, apa salah sesekali memikirkan kebahagiaan diri sendiri." Weni memegang kedua tangan Bianca. "Segala hal yang terjadi bukankah sudah punya makna tersendiri, hal itu bukan terjadi karena kebetulan."

Bianca menatap Weni, meski ucapannya sangat menghibur. Ada pancaran mata yang tak bisa di artikan di sana.

Bianca bisa melihat perubahan besar Weni, dia terlihat bukan dirinya yang dahulu di kenal oleh siapapun di sekolah. Ia terlihat jauh lebih baik dari yang pernah dikenalnya.

"Terima kasih," ucap Bianca.

"Sama-sama, sekarang hiduplah tanpa mempedulikan orang lain. Kamu tidak bisa sempurna di segala hal, karena kita ini manusia bukan?" 

"Apa kamu bahagia sekarang?" tanya Bianca balik.

Degh!

Rasanya segala beban yang disimpannya terbuka dan hampir menjuat kepermukaan. Weni menarik napas dan mengembuskannya kembali, ia kembali menarik bebannya dan tersenyum.

"Kebahagiaanku ada di depan mataku," ucap Weni seraya menatap Rena yang tengah memakan es krimnya dengan riang.

"Katakanlah lelah, bila kamu lelah. Katakanlah bahagia, bila kamu bahagia." Bianca tersenyum. "Tapi aku yakin kamu sudah memikirkan segalanya, aku hanya harap kamu bahagia."

Weni terpaku dengan ucapan Bianca, tak lama ia kembali tersenyum dan mereka larut dengan pembicaraan lainnya.

"Tidak terasa kita mengobrol banyak, terima kasih untuk hari ini." 

Bianca berbicara dari dalam mobilnya sebelum pergi.

"Sama-sama, aku juga terima kasih."

"Dadah Rena," pamit Bianca pada Rena.

"Telima kasih Tante," ucap Rena dengan lancar.

Bianca tersenyum dan pergi, meninggalkan Weni yang terpaku di tempatnya. Ia tidak tahu bahwa dunia cukup banyak berubah.

"Mama," panggil Rena membuyarkan lamunan Weni.

"Ayo, pulang!" seru Weni dengan riang yang disambut tawa Rena.

"Ayo," seru Weni.

**

"Kamu menghamburkan uang lagi?" marah Haris melempar beberapa barang.

Haris pulang lebih awal dan terkejut saat menemukan beberapa makanan berada di atas meja. Ia yang marah menarik Weni yang tengah tertidur di samping Rena, beruntung Rena tak bangun.

"Itu dari teman aku Mas," jelas Weni.

"Kamu mengemis dari mereka?" Haris menatap tajam Weni. "Setelah kamu mengemis terus dengan sebelah, kamu lanjut mengemis pada temanmu?"

Haris mengambil tasnya kembali, ia juga mengambil jaket yang tadi di lepaskannya. Weni mencoba menahan Haris.

"Dia yang ngasih Mas, kami tidak sengaja bertemu. Aku ingin menggantinya, hanya saja aku tidak ada uang." Weni mencoba berbicara dan menjelaskan semampu yang ia bisa.

"Makanya hasilkan uang juga, jangan hanya mengandalkan uangku." Haris menepis tangan Weni. "Liat wanita lain, mereka membantu Suaminya menghasilan uang. Bukan hanya tidur saja di rumah!"

Lagi dan lagi, Haris pergi setelah bertengkar. Suara tangis Rena terdengar, membuatnya kembali memilih menghampiri Rena.

"Maafkan Mama, Papa." 

Weni memeluk erat Rena dan mencoba menenangkan tangisannya. Melupakan air mata sendiri yang sejak tadi ingin keluar.

Melupakan sakit yang terus menghujam jantungnya. Menahan segalanya, hanya atas nama keharmonisan.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status