Weni kembali mengisi harinya dengan rutinitas yang terus ia jalani beberapa tahun ini. Meski terkadang lelah dan penat, Weni sangat tahu posisinya.
"Mama, aku mau es."
Rena menarik baju Weni, saat Weni membawanya untuk berbelanja kebutuhan. Weni yang berniat membeli sesuatu yang diinginkannya, kembali mengenyampingkan hal itu dan membeli apa yang diinginkan Rena.
"Rena mau yang mana?" sambil menggendong tubuh kecil Rena, Weni membuka chiller es krim.
"Ini," ucapnya dengan menunjuk es krim yang cukup mahal.
"Kalau yang ini mau tidak?" Rena mencoba mengalihkan ke es krim yang memiliki rasa yang sama, tapi lebih murah.
"Mau yang ini," rengeknya.
Weni mau tak mau mengambil apa yang diinginkan Rena, ia harus kembali mengirit agar bisa mencukupi kebutuhan bulan ini.
"Baiklah," ucap Weni yang disambut tawa bahagia Rena.
"Weni?"
Suara seorang wanita mengejutkan Weni yang tengah mengambil es krim yang diinginkan Rena.
"Bianca?"
Weni terkejut melihat seorang wanita yang merupakan teman satu sekolahnya dahulu. Bianca terlihat sangat berbeda dari terakhir kali Weni melihatnya.
"Ya ampun, aku hampir tidak mengenalimu."
Weni menyambut sapaan Bianca dengan pelukan, harum tubuhnya sangat manis menyeruak ke Indra penciuman Weni. Entah mengapa sekejap rasa iri menghampiri dirinya.
"Ini anakmu?" tanya Bianca mencubit pipi Rena yang tengah di gandeng Weni.
"Iya," ucap Weni dengan senyumannya.
"Manis sekali." Bianca berjongkok di hadapan Rena. "Nama kamu siapa gadis kecil?" tanya Bianca dengan manisnya.
"Lena …," jawan Rena yang masih sedikit sulit mengucapkan huruf 'R'.
"Rena, Tante." Weni mengkoreksi ucapan Rena.
Bianca tertawa kecil dan berujung menggendong Rena dan membawanya berkeliling. Rena yang memang tidak takut dengan orang asing, hanya bisa menurut.
"Rena mau beli apa? Tante yang belikan," ucap Bianca.
"Tidak perlu, Bia."
"Lena mau itu," ucap Rena dengan menunjuk sebuah coklat mahal yang memang selalu ia pinta, tapi tak pernah dibelikan karena mahal.
"Oke," ucap Bianca mengambil beberapa coklat.
"Tidak perlu, Bia. Dia …."
Bianca menahan tangan Weni dan menggeleng, menandakan untuk Weni menghentikan penolakannya. Weni yang sangat tahu sikap Bianca hanya bisa menurut.
Pada akhirnya belanjaan Rena cukup banyak, Weni terus meminta maaf dan berterima kasih pada Bianca saat mereka sudah berada di luar.
"Tidak perlu sungkan, anggap saja ini permintaan maaf ku karena tidak datang ke pernikahanmu."
Bianca kembali tersenyum, di sambut senyum kecil Rena saat Bianca mencubitnya. Weni hanya bisa tertunduk malu.
"Bisakah kita minum kopi di kafe seberang sebentar?" tawar Bianca.
Weni yang tak enak hati, akhirnya tidak bisa menolak tawaran Bianca. Bersama mereka ke kafe, Bianca lah yang menggendong Rena.
Mereka pergi setelah sebelumnya menaruh belanjaan di mobil Bianca. Ya, mobil Bianca. Hal itu membuat Weni kembali menciut.
"Minumlah," ucap Bianca menyodorkan nampan yang berisi minuman serta makanan.
Rena yang duduk di kursi khusus anak tersenyum bahagia saat sebuah es krim terpampang di hadapannya. Bahkan cupcake coklat juga tersedia untuknya.
"Bagaimana kabarmu?" tanya Bianca membuka pembicaraan.
"Seperti inilah," jawab Weni dengan senyuman yang sedikit dipaksakan.
"Aku menikahi duda kaya, hidupku berubah sejak itu." Bianca mulai bercerita tanpa Weni tanya. "Kamu tahu? Untuk sampai di sini, aku di hina bahkan sampai ada yang menamparku."
"Apa? Bagaimana bisa?" Weni tak percaya dengan apa yang terjadi.
Bianca tersenyum karena sudah menduga ekspresi apa yang akan dibuat Weni. Weni sangat berbeda dengan orang lain, dia polos dan juga jujur.
Semua orang akan terkejut, tapi memiliki ekspresi yang berbeda. Meski belum tahu apa itu alasannya, semua akan menghinanya hanya karena ia mengatakan menikahi duda.
"Pria itu berbohong, dia masih memiliki Istri."
"Lalu?"
"Lalu?" Bianca mengulang pertanyaan Weni.
"Iya, Lalu kenapa? Pria itu kan yang bohong, bukan kamu." Weni terlihat kesal, melihat itu Bianca tertawa dibuatnya. "Kenapa malah tertawa?"
"Kalau orang akan mengatakan aku bodoh karena mau menikahi pria yang sudah berbohong padanya, lalu kenapa kamu justru membelaku?"
Weni menatap Bianca sesaat, ia sangat tahu Bianca orang yang bukan seperti sekarang. Bianca terkenal pendiam dan juga memiliki aura yang tertutup, tidak seperti sekarang.
"Kalau kamu benar bahagia karena pria itu, bukalah itu baik? Meski ada hati yang terluka, apa salah sesekali memikirkan kebahagiaan diri sendiri." Weni memegang kedua tangan Bianca. "Segala hal yang terjadi bukankah sudah punya makna tersendiri, hal itu bukan terjadi karena kebetulan."
Bianca menatap Weni, meski ucapannya sangat menghibur. Ada pancaran mata yang tak bisa di artikan di sana.
Bianca bisa melihat perubahan besar Weni, dia terlihat bukan dirinya yang dahulu di kenal oleh siapapun di sekolah. Ia terlihat jauh lebih baik dari yang pernah dikenalnya.
"Terima kasih," ucap Bianca.
"Sama-sama, sekarang hiduplah tanpa mempedulikan orang lain. Kamu tidak bisa sempurna di segala hal, karena kita ini manusia bukan?"
"Apa kamu bahagia sekarang?" tanya Bianca balik.
Degh!
Rasanya segala beban yang disimpannya terbuka dan hampir menjuat kepermukaan. Weni menarik napas dan mengembuskannya kembali, ia kembali menarik bebannya dan tersenyum.
"Kebahagiaanku ada di depan mataku," ucap Weni seraya menatap Rena yang tengah memakan es krimnya dengan riang.
"Katakanlah lelah, bila kamu lelah. Katakanlah bahagia, bila kamu bahagia." Bianca tersenyum. "Tapi aku yakin kamu sudah memikirkan segalanya, aku hanya harap kamu bahagia."
Weni terpaku dengan ucapan Bianca, tak lama ia kembali tersenyum dan mereka larut dengan pembicaraan lainnya.
"Tidak terasa kita mengobrol banyak, terima kasih untuk hari ini."
Bianca berbicara dari dalam mobilnya sebelum pergi.
"Sama-sama, aku juga terima kasih."
"Dadah Rena," pamit Bianca pada Rena.
"Telima kasih Tante," ucap Rena dengan lancar.
Bianca tersenyum dan pergi, meninggalkan Weni yang terpaku di tempatnya. Ia tidak tahu bahwa dunia cukup banyak berubah.
"Mama," panggil Rena membuyarkan lamunan Weni.
"Ayo, pulang!" seru Weni dengan riang yang disambut tawa Rena.
"Ayo," seru Weni.
**
"Kamu menghamburkan uang lagi?" marah Haris melempar beberapa barang.
Haris pulang lebih awal dan terkejut saat menemukan beberapa makanan berada di atas meja. Ia yang marah menarik Weni yang tengah tertidur di samping Rena, beruntung Rena tak bangun.
"Itu dari teman aku Mas," jelas Weni.
"Kamu mengemis dari mereka?" Haris menatap tajam Weni. "Setelah kamu mengemis terus dengan sebelah, kamu lanjut mengemis pada temanmu?"
Haris mengambil tasnya kembali, ia juga mengambil jaket yang tadi di lepaskannya. Weni mencoba menahan Haris.
"Dia yang ngasih Mas, kami tidak sengaja bertemu. Aku ingin menggantinya, hanya saja aku tidak ada uang." Weni mencoba berbicara dan menjelaskan semampu yang ia bisa.
"Makanya hasilkan uang juga, jangan hanya mengandalkan uangku." Haris menepis tangan Weni. "Liat wanita lain, mereka membantu Suaminya menghasilan uang. Bukan hanya tidur saja di rumah!"
Lagi dan lagi, Haris pergi setelah bertengkar. Suara tangis Rena terdengar, membuatnya kembali memilih menghampiri Rena.
"Maafkan Mama, Papa."
Weni memeluk erat Rena dan mencoba menenangkan tangisannya. Melupakan air mata sendiri yang sejak tadi ingin keluar.
Melupakan sakit yang terus menghujam jantungnya. Menahan segalanya, hanya atas nama keharmonisan.
***
"Mas, bisa tolong bantu aku bermain sebentar dengan Rena?" Weni meminta tolong Haris yang tengah bermain ponselnya dengan televisi yang menyala.Hari ini adalah hari libur Haris, sejak pagi Haris terus bermain ponselnya. Sementara Weni, ia sudah sibuk sejak matahari mulai terbit.Pekerjaan yang sama terus ia lakukan setiap harinya, tapi itu adalah kewajibannya. Meski terkadang penat, kodratnya sebagai seorang Istri membuatnya tak bisa menolaknya."Aku ini sedang libur, aku ingin beristirahat. Bukankah itu wajar?" Haris menatap tajam Weni, menolak dibalik ucapannya.Weni terdiam, dia butuh Rena ditemani Haris. Tapi lagi-lagi dirinya harus mengurus anaknya dan juga mengurus rumah secara bersamaan."Mama …."Tangan kecil Rena yang menarik tangannya, membuyarkan lamunannya. Rasa kesal dan sakit hati yang dirasakan berangsur reda, terlebih saat Rena t
"Makanlah dahulu." Weni menahan Haris yang ingin langsung berangkat bekerja, padahal Weni sudah memasak sejak pagi. Bahkan ia sudah membuatkan kopi, yang biasa menjadi rutinitas sang suami. "Aku sudah telat," elak Haris. "Ini masih jam berapa Mas, kamu …." "Aku sudah bilang telat, ya telat." Haris menepis tangan Weni yang tadi sempat menahannya. Ia bahkan tak mengecup kening dan memberi salam seperti dulu, saat awal dirinya menikah. Weni yang kecewa, mengambil kopi yang dibuatnya dan meminumnya. Ia tidak nafsu makan belakangan ini, kopilah yang membuatnya sedikit tenang.
"Bagus, kamu melakukannya dengan baik." Haris menerima uang dari Weni tanpa bertanya dari mana uang itu berasal. Ia hanya menerima uang itu dan tersenyum, mengusap kepala Weni. Hal yang selama ini sudah lama ditinggalkannya, bahkan Weni sudah lupa terakhir Haris menyentuhnya. Haris hanya menyentuhnya bila ia meminta berhubungan intim saja, saat dia terpuaskan dia akan tidur kembali. Tak ada sentuhan perhatian seperti sekarang dilakukannya, Haris mengusapnya lembut dengan penuh kasih sayang. Hanya saja Weni tetap merasakan hampa dan kosong. "Aku akan membayarkan uang ini," ucap Haris dengan membawa uang itu bersamanya. "Hati-hati di jalan."
“Mama ... Mama ....”Weni yang tengah tertidur, terbangun oleh suara kecil dan guncangan tangan kecil Rena di lengannya. Dengan mata yang masih berat, Weni mencoba membuka matanya.“Ah ...,” rintih Weni saat merasakan pipinya yang sedikit perih.Ia dengan berat hati mendudukkan tubuhnya dan menutup pipi yang terasa sakit dengan tangan dinginnya. Weni baru ingat apa yang terjadi semalam.Matanya yang bengkak dan rambut yang berantakan, terpantul dari kaca meja rias di hadapannya. Weni menghela napas berat dan beranjak dari duduknya.“Rena tunggu sini ya, Mama ke kamar mandi dulu.”Weni mencoba tersenyum perlahan karena sudut bibirnya terasa sakit. Namun tangan kecil Rena justru mencegahnya, ia menunjuk ponsel yang berada di atas kasurnya.“Itu, bunyi ....” Rena mencoba menjelaskan bahwa ponse
“Maaf Pak, Anda harus menghadiri rapat.”Seorang wanita masuk setelah mengetuk pintu beberapa kali dan memberikan sebuah berkas pada atasannya. Atasannya menatap layar komputer dan kembali menatap jam tangannya beberapa kali.Ia memutuskan untuk mematikan microphone yang masih menyala dan menatap wanita yang merupakan Sekretaris pribadinya. “Beri aku waktu sepuluh menit,” ucapnya.“Baik,” ucap wanita yang memiliki nama Kim Dami.Pria itu kembali menyalakan microphone dan menatap seorang wanita yang tengah menangis di layar komputernya. Ia ingin berbicara, hanya saja dirinya takut wanita itu justru semakin menangis.“Maafkan aku Hajoon,” ucap wanita yang berada di seberang panggilan videonya.“Tidak apa-apa.” Hajoon tersenyum pada wanita di dalam layar yang bukan lain adalah Weni. Seorang wanita yang ia kenal dari sebuah aplikasi dan kini mulai mengisi hari-harinya.“Aku
Weni membuka pintu dan kembali menemukan seorang pria tengah berdiri di hadapannya. “Maaf Anda siapa?” tanyanya.“Ini benar rumah Ibu Anggara?” tanya pria itu, sementara Weni hanya bisa mengangguk. “Ini ada kiriman paket,” ucapnya seraya mengambil sesuatu dari dalam mobil yang terparkir di depan.Weni terdiam sejenak, ia merasa tidak pernah membeli barang. “Maaf, tapi saya tidak pernah membeli barang Online. Apa Mas tidak salah rumah?” tanya Weni sebelum menerima sebuah paper bag yang cukup besar.“Anda bisa melihat nama pengirimnya karena saya di pesan untuk tidak boleh menyebutnya.” Pria itu memberi paper bag tersebut pada Weni.Weni hanya bisa menerimanya dan melihat nama pengirim, yang di maksudnya oleh kurir tersebut. Betapa terkejutnya Weni saat nama Park Hajoon tertera di kertas tersebut.“Benar, ini milik I
Hari ini, seorang wanita tengah sibuk dengan pekerjaan tambahan yang diberikan. Semua karena keluarganya hari ini tengah mengadakan acara untuk menyambut pengiriman Anak pertama di keluarganya sebagai perawat di Australia.“Bangga banget punya anak kaya Helen,” ucap seorang wanita paruh baya pada wanita yang merupakan tuan rumah acara.Helen Anggara sendiri adalah Anak pertama yang akan menjadi Perawat di Australia. Anak yang selalu menjadi kebanggaan keluarganya yang notabene nya adalah keluarga Pegawai Negeri Sipil.“Anak kamu juga hebat, sudah jadi Karyawan tetap di Bank.” Ibu dari Helen kembali memuji temannya itu.Tak lama mereka pun saling tertawa, setelah memuji anak pertama mereka yang sukses. Tanpa melihat sedikit pada wanita yang tengah membantu di dapur, yang merupakan anak kedua dari tuan rumah.“Weni, sapa Ibu Dian.”
“Jaga ucapan kalian!” Ghana berdiri di hadapan kedua orang yang sejak tadi asyik membicarakan Bianca maupun Weni. Hal itu mampu menarik perhatian semua orang yang ada di ruangan, tanpa terkecuali sang tuan rumah. “Apa pantas wanita terhormat dan berkelas membicarakan seseorang sampai seperti itu?” ucap Ghana kembali penuh penekanan. Bianca dengan segera menghampiri Ghana, mencoba menahan Ghana yang tengah meluapkan kekesalannya. Bianca sangat tahu bagaimana bila Ghana sampai benar-benar marah. “Maafkan kami, kami hanya ....” “Ghana, mereka tidak bermaksud mengatakan hal itu.” Helen segera memotong pembicaraan salah satu wanita dan mendekati Ghana, mencoba menetralkan keadaan. “Maafkan mereka,” bisik Helen dengan sedikit memohon. “Iya, katanya kamu ingin bermain sama Rena. Ayo,” ajak Bianca segera membawa Ghana mendekat pada Weni yang tengah terdia