Share

3. Pesan Pertama

"Mas, bisa tolong bantu aku bermain sebentar dengan Rena?" Weni meminta tolong Haris yang tengah bermain ponselnya dengan televisi yang menyala.

Hari ini adalah hari libur Haris, sejak pagi Haris terus bermain ponselnya. Sementara Weni, ia sudah sibuk sejak matahari mulai terbit.

Pekerjaan yang sama terus ia lakukan setiap harinya, tapi itu adalah kewajibannya. Meski terkadang penat, kodratnya sebagai seorang Istri membuatnya tak bisa menolaknya.

"Aku ini sedang libur, aku ingin beristirahat. Bukankah itu wajar?" Haris menatap tajam Weni, menolak dibalik ucapannya.

Weni terdiam, dia butuh Rena ditemani Haris. Tapi lagi-lagi dirinya harus mengurus anaknya dan juga mengurus rumah secara bersamaan.

"Mama …." 

Tangan kecil Rena yang menarik tangannya, membuyarkan lamunannya. Rasa kesal dan sakit hati yang dirasakan berangsur reda, terlebih saat Rena tersenyum.

"Aku akan pergi ke rumah teman, lebih baik beristirahat di sana."

Suara yang cukup keras terdengar dari dapur tempat Weni bersama Rena. Weni berlari ke depan bersama Rena, mengejar Haris yang tengah bersiap.

"Istirahatlah di rumah, aku tidak akan mengganggumu." 

Weni mencoba menghentikan langkah Haris, tapi itu percuma. Haris tetap pergi, meski Rena tengah menangis karena ditinggal Ayahnya.

Weni menggendong Rena, mencoba menenangkannya. Ia mengajak bermain Rena, menyingkirkan tugasnya akan rumah.

Beruntung Rena dengan cepat menghentikan tangisannya dan bermain seperti biasanya. Hingga akhirnya Rena tertidur, ia segera menyelesaikan tugasnya.

Setelah segala tugas selesai, ia berbaring di samping Rena dan menatap langit-langit kamarnya. Melamunkan segala yang terjadi, terlebih saat mengingat ucapan Bianca.

Weni menatap ponselnya yang selalu sepi, ia jarang memainkan media sosial karena suaminya melarang itu. Bahkan nomor teman-temannya juga tidak ada, itu karena suaminya tidak suka dengan teman-temannya.

Weni sebenarnya cukup populer di sekolah dulu, bahkan di saat ia bekerja sekalipun. Namun setelah bertemu Haris, dunianya seakan ditarik oleh Haris.

Weni menjauh dari apa yang dia suka, bahkan dari semua teman-temannya. Ia seakan terkurung di rumah, tanpa tahu dunia luar yang sesungguhnya.

Namun saat melihat satu aplikasi yang ia tak kenal di ponselnya, membuat segala pikirannya terhenti. Dirinya fokus pada aplikasi tersebut, karena dirinya  tak merasa menginstalnya.

Terlebih ponselnya itu rata-rata berisi aplikasi untuk bermain Rena, sementara aplikasi tersebut cukup berbeda.

"Ah, ini yang di instal Mila."

Weni baru mengingat akan aplikasi yang di instal oleh Mila. Ia menatap aplikasi yang menunjukkan ada satu pesan di sana. Ia yang penasaran segera membukanya dan melihat pesan tersebut.

[Hai, salam kenal. Bolehkah aku berkenalan denganmu?]

Pesan yang bertuliskan bahasa Inggris itu, cukup menarik perhatiannya. Weni melihat profil tersebut dan mendapati foto pemandangan malam yang indah.

Namanya adalah Park Hajoon, dia berasal dari Korea Selatan. Sementara umurnya berbeda 3 tahun darinya, entah mengapa Weni sangat penasaran dengannya.

[Hai.]

Hanya itu yang bisa di balas oleh Weni karena ia cukup bingung. 

Tak lama status akun itu yang tadinya dilihat terakhir 10 jam yang lalu, berubah menjadi online.

[Aku Park Hajoon, asal Korea Selatan. Kamu?]

Weni bingung, rasanya ia ingin segera membalasnya. Entah rasanya ia bisa merasakan kesenangan yang sudah lama dilupakannya.

Namun saat melihat Rena yang tengah tertidur, membuatnya menahan balasan yang sudah diketiknya. Perasaan bersalah tiba-tiba merayapinya.

Weni memindahkan aplikasi itu dan memasukkannya ke dalam aplikasi tersembunyi. Berusaha melupakannya, seperti aplikasi media sosial lainnya yang ia tak sentuh lagi.

***

"Kamu bisa minta uang dengan keluargamu?" 

Haris membuka pembicaraan, setelah seharian ia menutup mulutnya.

"Sepertinya tidak bisa, kamu tahu sendiri keluarga aku bagaimana."

Weni berbicara pelan-pelan, takut suaminya tersinggung. Namun segalanya percuma. Sebaik apapun atau sehalus apapun Weni bicara, ia tetap salah bicara.

"Akhir bulan kita harus membayar hutang, aku sudah berusaha bekerja sana sini. Tapi itu belum cukup untuk membayar hutang, apa kamu tidak memikirkan itu?" Haris menatap Weni yang mulai tertunduk seperti biasanya.

Haris kembali kesal melihat wanita di hadapannya itu, bukannya mencari jalan keluar dia justru hanya bisa diam. Bahkan terkadang dia menangis dan kembali menambah beban pikirannya.

"Bagaimana kita akan membayar semua itu? Harusnya hanya itu yang kamu pikirkan, jangan hanya menangis dan diam!"

"Aku tahu Mas, selama ini aku berusaha mencari pekerjaan. Aku …."

"Nyatanya? Kamu hanya diam di rumah dan menghabiskan uang!"

BRAK!

Haris memukul meja, membuat Weni terkejut dan tak lama di susul tangis Rena yang terkejut.

"Bagaimanapun caranya, hasilkan uang dan bantu aku melunasi hutang!"

Haris bangkit dari duduknya dan masuk ke kamar. Sementara Weni segera berlari ke kamar Rena yang sudah ia tempati cukup lama.

Weni menggendong Rena dan membuatnya tenang. Karena kalau tidak, Haris akan kembali marah dan berujung pergi.

"Rena kaget ya?" tanya Weni menahan getaran suaranya.

Rena mengangguk pasti sambil menghapus air matanya yang mengalir di pipi. "Tadi Papa memukul nyamuk, jadi jangan takut lagi ya."

Rena mengangguk mengerti, ia kembali tiduran di dalam pelukan Weni. Tak butuh waktu lama Rena kembali tertidur, membuat Weni kembali tenggelam dengan kepiluannya.

Namun tak lama, tangannya mengambil ponsel di hadapannya. Membuka beberapa aplikasi sosial media yang ia punya, mencoba mencari teman dan kerabat terdekat.

Tapi semuanya nihil, tak ada yang bisa dihubungi. Sekalipun ada, ia tak sanggup untuk bicara bahwa ia ingin meminjam uang.

Belum sempat mencari kembali, notifikasi sebuah aplikasi membuatnya tertarik. Aplikasi yang ia buka terakhir kali memberikan pemberitahuan pesan masuk.

[Kenapa tidak balas?]

[Maukah kamu jadi pacarku? Aku akan membayar untuk itu.]

Kata 'bayar' yang tertera di layar mengusik hatinya, terlebih mengingat bahwa orang tersebut orang asing. Ia tak mengenalnya, bahkan dirinya tak tahu bahwa pria itu nyata.

[Aku akan membayarmu 1000$ per bulan.]

Belum sempat Weni berpikir, angka yang keluar membuatnya tercengang. Bagaimana tidak? 1000 dollar sama saja sekitar 14 juta rupiah.

[Apa yang harus aku lakukan?]

Weni akhirnya membalas pesan tersebut, uang membuatnya tidak punya pilihan lain. Hidupnya yang kelilit hutang dan tuntutan sang suami tak bisa lagi membuatnya berpikir jernih.

"Apa aku sudah gila?" gumam Weni saat menunggu balasan pria itu.

Cukup lama Weni menunggu balasan itu dan pria itu tak kunjung membalasnya. Pikirannya entah kenapa berkelana, membayangkan permintaan apa yang akan diterimanya.

"Kenapa dia tak kunjung membalas?" 

Weni mulai frustasi akan balasan pria itu, hingga ia tak sadar dirinya ketiduran tepat di samping Rena. Tubuh serta pikirannya sudah banyak bekerja hari ini, jadi seberat apapun pikirannya ia akan tertidur begitu saja.

Ting!

Satu notifikasi masuk, tapi sayangnya Weni tak menyadarinya dan tetap tertidur dengan memeluk Rena.

***

"Apakah wanita semudah itu?"

Seorang pria terduduk di Sofanya, menatap televisi yang terus menyala. Sejak tadi ia menatap ponselnya dan tak mengetik apapun.

Cukup lama ia berpikir dan tak lama tangannya mulai menari di atas layar ponselnya, menulis apa yang diinginkannya. Sambil tersenyum miring, ia menyudahi ketikannya.

Menaruh ponselnya dan kembali ke kamarnya, melanjutkan istirahatnya yang tertunda.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status