Masuk"Tidak. Karena sudah berhenti mencarinya."
Dalam perjalanan pulang, ia tidak membuka laptop. Hanya ada selembar kertas puisi yang dipersembahkan Ibu Ayi pagi tadi. Satu umpan membuatnya cukup lama: "Yang kau sebut penelitian mungkin hanya pelarian. Yang kau sebut cinta mungkin hanya pengulangan luka lama. Tapi jika akhirnya kau bisa berdiri dan berkata 'aku salah' tanpa malu— maka itu sudah lebih ilmiah dari semua hipotesismu." Malam itu, di apartemen, Rayendra membuka dokumen Word baru. Ia mengumpulkan file itu: “Buku yang Tidak Akan Diterbitkan.” Bab pertamanya berjudul: “Aku Tidak Lagi Meneliti, Aku Mengaku.” Untuk pertama kalinya, ia menulis bukan sebagai dosen, bukan sebagai mantan suami, bukan sebagai peneliti yang jatuh cinta pada subjeknya. Ia menulis sebagai seseorang yang pernah melewati batas, dan kini pulang bukan dengan jawaban, melainkan dengan kesadaran. Setelah menyimpan dokumen itu, ia menutup laptop. Malam Jakarta terasa berbeda. Dari balkon, ia melihat langit yang cukup bersih—tak penuh bintang, tapi cukup terang untuk menyinari pikiran. Ia merasa dadanya tidak sesak, hanya kosong. Dan untuk pertama kalinya, ia bersyukur atas kepergiannya. Di bawah sana, suara kendaraan samar terdengar. Dari jendela apartemen tetangga, ia bisa melihat cahaya: ada keluarga yang tertawa di depan TV, ada yang duduk diam dalam percakapan yang tak berjalan. Rayendra menatap tanpa iri, tanpa sinis. Ia tahu, setiap rumah punya gaduhnya sendiri, dan diam tidak selalu berarti damai. Ponselnya berbunyi. Satu pesan masuk dari nomor yang sejak lama ia simpan tapi jarang dibuka. Nadia. "Terima kasih sudah datang ke mediasi dengan sikap baik. Aku harap kamu tetap sehat. Aku mendengar kamu jadi pembicara di kampus seni, itu bagus. Mungkin sekarang kamu sudah mulai menulis bukan untuk jurnal, tapi untuk jiwamu sendiri. Aku melakukan proses itu terus berlanjut." Rayendra membaca pesan itu berkali-kali. Ia tidak membalas malam itu. Ia tahu, ada bentuk cinta yang tidak perlu diulang, tapi pantas dihormati selamanya. Ia menulis catatan baru: “Nadia tidak pernah membenciku. Dia hanya kecewa karena aku lebih sibuk mencintai konsep daripada mencintai kehidupan yang kami bangun.” “Dan aku tak bisa menyalahkan dia. Saat aku sibuk membuktikan cinta secara ilmiah, dia sibuk mempertahankan rumah yang aku abaikan.” Malam itu, ia tidur tanpa membuka laptop lagi. Pagi berikutnya, Rayendra keluar lebih awal. Ia membeli roti dan teh di warung dekat taman, lalu duduk di bangku beton yang masih basah oleh embun. Seorang pria tua memberi makan burung merpati, sementara anak-anak sekolah berlarian di trotoar. Hidup, katanya, tidak pernah berhenti meski kau sedang hancur. Hidup tidak menunggumu. Dari saku jaketnya, ia mengeluarkan buku catatan kecil. Kali ini, ia tidak menulis refleksi panjang, melainkan daftar sederhana: Hal-hal yang ingin saya lakukan tanpa alasan akademis: Mengirim surat fisik ke seseorang, bukan email. Membaca buku tanpa menandai apapun. Menyapa satpam kampus duluan. Membantu mahasiswa yang bimbang, tanpa menjadikan mereka bahan studi kasus. Memotret langit tanpa niat posting. Menulis puisi buruk dan tidak malu. Bertanya pada seseorang: “Apa kabar hatimu?”—dan benar-benar ingin tahu jawabannya. Ia menatap daftar itu lama, lalu menambahkan: Memaafkan diri sendiri... meski butuh ratusan daftar tambahan untuk benar-benar percaya bahwa aku pantas dimaafkan. Hari itu, ketika dia tiba di kampus untuk mengajar kelas sore, sesuatu yang tak biasa menunggunya. Seorang mahasiswa semester bawah mendekat, lalu menyodorkan sebuah sketsa. Gambar itu menampilkan siluet pria yang duduk sendirian di ruangan penuh coretan. Di tengah gambar, tertulis: “Selingkuh Itu Ilmiah?” Dan di bawah: “Atau cuma cara manusia membenarkan ketakutannya sendiri?” Rayendra tersenyum kecil. “Ini kamu yang gambarnya?” “Ya, Pak,” jawab si pelajar. “Awalnya saya nggak ngerti kenapa ada orang bisa jatuh cinta di luar pernikahan. Tapi setelah dengar kuliah Bapak, saya mungkin belum setuju… tapi saya mengerti.” Rayendra mengangguk pelan. “Mengerti itu lebih penting daripada setuju.” Ia melipat sketsa itu, menyimpannya di tas. Itu bukan penghargaan, tapi pengakuan. Dan terkadang, pengakuan jauh lebih menyembuhkan daripada pujian. Malam harinya, ia kembali ke ruang kerja. Kali ini, laptop dibuka dengan perasaan yang berbeda. Ia menulis bab baru dalam “Buku yang Tidak Akan Diterbitkan.” Judulnya: “Ketika Ruang Sunyi Menjadi Ruang Belajar.” Dan kalimat pembukanya: “Aku tidak menulis untuk diterbitkan. Aku menulis agar aku tidak mengulangi kesalahan yang sama dengan dalih bahwa aku sedang memperbaiki dunia, padahal aku bahkan belum membereskan isi kepalaku sendiri.”"Godaan tidak selalu datang dari ruang gelap atau kesepian. Kadang-kadang ia menyelip di antara meja kerja, tumpukan dokumen, dan sapaan biasa. Yang berbahaya bukan godaannya—melainkan bagaimana kita menutup mata seolah-olah ia tidak pernah ada."—Catatan Rayendra MahendraKejadian semalam sangat membuat hari ini kacau, untungnya kantor ku masih sepi.Setelah menikah dengan Inaya aku memutuskan untuk bekerja pada salah satu perusahaan penulisan seperti Content Writer, Editor, Penulisan Akademis, dengan gaji yang lumayan oke, sedangkan Inaya juga memutuskan hal yang sama yaitu bekerja sebagai asisten pada perusahaan di kantornya.Awalnya kami tidak adaniatan untk bekerja, namun kami sangat ingin membeli rumah untk kami berdua.Ya kehidupan kami berubah sangat drastisAku duduk di meja komputer ku, lalu menatap layar ku, namun aneh, masih saja aku tidak terfokuskan, mengingat kejadian semalam yang begitu menegangkanAku sangat bingung, kenapa kejadian seperti itu bisa terjadi dan kena
"Pagi ini terasa aneh. Bukan hanya karena tubuhku lemas, tapi juga karena pikiranku terisi kejadian semalam—suara, desah, dan datangnya yang membuatku sulit membedakan mana kenyataan dan mana khayalan."masih terasa berat akibat kejadian semalam, tanpa berlama lama aku segera beranjak dari yang benar benar membatk tempat tidurku untuk segera kekamar mandi untuk menyegarkan tubuhku.Seakan masih tidak menyangka, suara desahan Mama Liona yang menggoda, dan tatapannya yang benar benar membuatku terpesonaAku menelan ludah, dadaku terasa sesak oleh keadaan yang amat sulitTiba tiba Liana datang “Kaakkk, masih tidur ya?..aku mau liat dong” suaranya yang teramat lucu khas anak SMA itu mengetuk pintu kamarkuu, dia adik dari Inaya, Bentkan tubhnya cukup dibilang seksi untuk anak seumurannya, badannya tinggi dengan kulitnya yang putih membuat dia sangat cocok untuk dibilang cantik, apalagi ketika ia memakai daster merah muda yang membuat wajah imut nya sangat disukai para pria seumur nya.“Kak
Aku tidak percaya, ternyata tubh mertuaku jauh lebih nikmat dari pada istriku sendiri malam ini aku melepaskan hasrat ku dengan Mama Liona Ibu mertuak sendiri.“Enak banget ma, sampai sampai aku tidak bisa berhenti menggoyang”. Ucap Rayen yang sangat puas malam itu“Kamu juga sangat perkasa Rayen, mama sampai kewalahan, ayo kita lanjut lagi” “Siap ma, kita lanjut sampai pagi”Sedangkan inaya istri Rayendra berselingkuh dengan pria lain**Malam itu sangat dingin, hawa yang sangat menenangkan. Tapi tidak untukku . Aku terjaga malam itu dikamar dengan perasaan dan pikiran yang kacau, seharusnya disebelahku ada istriku yang menemaniku, disaat dingin yang mencengkam ini aku hanya bisa memeluk bantal.Memang 1 tahun ini aku sering bercinta dengannya semalaman. Sekarang benda pusakaku sedang tegang, tapi sekarang aku sendirian tidak mungkin jika aku sampai jajan di luar. Semenjak menikah nafsuku tinggi, apalagi cuaca dingin begini.Rayen mendapatkan pesan sara dari Inaya“Sayang jangan lup
"Cinta sejati bukan hanya tentang siapa yang kita pilih untuk bersama, tetapi juga keberanian untuk telanjang dalam arti yang paling jujur—tanpa topeng, tanpa dalih." —Catatan Inaya Malam itu, kamar sederhana Rayendra berubah menjadi ruang sakral. Bukan karena hiasan bunga atau lilin aromaterapi, tapi karena dua hati yang selama ini berputar dalam lingkaran luka, akhirnya menemukan keberanian untuk berhenti berlari. Inaya duduk di tepi ranjang, jarinya memainkan renda tipis gaun tidur yang baru saja ia kenakan. Ia tampak gugup, sesuatu yang jarang terlihat dari sosoknya yang biasanya kokoh. Rayendra, yang berdiri di dekat jendela, menutup tirai perlahan. Udara malam menyelinap sebentar sebelum benar-benar tertutup, menyisakan aroma hujan yang masih menempel di dedaunan. “Kenapa kamu diam?” tanya Inaya, suaranya lirih. Rayendra tersenyum kecil, lalu mendekat. “Aku takut kalau aku bicara, aku akan terdengar seperti dosen yang sedang memberi kuliah, padahal malam ini aku hanya ingin
Malam pertama bukan hanya tentang hasrat, tapi tentang janji untuk saling mencintai dan menjaga selamanya." —Rayendra, membatin Malam itu, setelah semua hiruk pikuk pesta berakhir, Rayendra dan Inaya akhirnya tiba di kamar suite pengantin mereka. Kamar itu didekorasi dengan indah, dengan taburan kelopak mawar merah di atas tempat tidur dan lilin-lilin aromaterapi yang menciptakan suasana romantis. Di dinding ada tulisan neon berbentuk hati dengan pesan “Selamat menempuh hidup baru, semoga cinta ini abadi “ Inaya merasa gugup sekaligus bersemangat. Ia tidak sabar untuk menghabiskan malam pertama sebagai istri Rayendra. "Indah sekali," ucap Inaya, mengagumi dekorasi kamar. "Tidak seindah dirimu," balas Rayendra sambil tersenyum lembut. Ia mendekati Inaya dan memeluknya erat. "Aku sangat mencintaimu," bisik Rayendra di telinga Inaya. "Aku juga sangat mencintaimu," balas Inaya. Rayendra mencium kening Inaya dengan lembut, lalu beralih ke bibirnya. Ciuman itu awalnya lembut dan penu
Cinta sejati adalah ketika kamu bisa memaafkan masa lalu dan membangun masa depan bersama." —Inaya, dalam hatinya Rayendra membeku di tempatnya, matanya terpaku pada sosok Amelia yang berdiri di dekat pintu masuk ballroom. Jantungnya berdegup kencang, dan keringat dingin mulai membasahi telapak tangannya. Inaya menyadari perubahan ekspresi Rayendra. Ia mengikuti arah pandang suaminya dan melihat Amelia. Ia menghela napas panjang. "Biarkan aku yang bicara dengannya," bisik Inaya sambil menggenggam tangan Rayendra erat. Rayendra mengangguk. Ia tahu, Inaya lebih kuat dari yang ia kira. Inaya berjalan menghampiri Amelia dengan langkah tegap. Ia berhenti tepat di hadapan mantan istri suaminya itu. Amelia menyambut mereka dengan senyum sinis. "Selamat, Rayendra, Inaya," ucap Amelia, suaranya dingin seperti es. "Semoga kalian bahagia... selamanya." "Amelia," sapa Inaya dengan tenang. "Apa yang kau lakukan di sini?" Amelia menatap Inaya dengan tatapan kosong. "Aku hanya ingin melihat







