Mag-log inKehidupan akademik mengajarkanku berbicara untuk meyakinkan. Kehidupan pribadi memaksaku belajar diam, agar tidak semakin melukai."
—Catatan Lantai Dua, Rayendra Mahendra Pukul 08.00 pagi. Rayendra duduk di meja makan yang kini terasa terlalu besar untuk satu orang. Satu mug teh tawar, sepotong roti panggang, dan sebuah amplop undangan terbuka di hadapannya. Undangan itu datang dari kampus seni di Bandung—bukan kampus ternama, tapi cukup progresif. Mereka mengundangnya sebagai pembicara tamu dalam acara “Literasi Emosional untuk Generasi Kreatif.” Ia membaca ulang email pengantarnya: “Kami percaya, Pak Rayendra tidak hanya menyampaikan teori, tapi juga pengalaman hidup yang relevan bagi generasi muda. Mohon pertimbangkan kehadiran Bapak, bukan sebagai dosen, tapi sebagai manusia yang pernah merasa hancur lalu menulis kembali dirinya.” Kalimat terakhir itu menusuk. Bukan sebagai dosen. Tapi sebagai manusia. Rayendra menutup email dan tersenyum kecil. Undangan itu tak menyebutkan gelarnya, tak memajang CV akademik, tak menyinggung gelar doktoralnya. Dan anehnya… itu terasa melegakan. Tiga hari kemudian, ia duduk di gerbong eksekutif kereta menuju Bandung. Buku catatan kecil dan pulpen ada di tangannya. Bukan untuk menulis makalah, melainkan fragmen. “Aku pernah merasa penting karena bisa menjelaskan perasaan orang lain. Tapi ternyata yang membuatku utuh justru saat aku berhenti menjelaskan dan mulai mendengarkan tanpa niat menganalisis.” “Dulu aku menulis untuk diterbitkan. Kini aku menulis agar tidak meledak di dalam.” Ia berhenti menulis, menatap keluar jendela. Sawah, perbukitan, dan kabut tipis bergulir seperti film bisu. Dari pengeras suara terdengar suara kondektur, tapi baginya hanya gema samar. Di bangku sebelah, seorang gadis muda tertidur dengan headphone menutupi telinganya. Sekilas, Rayendra teringat masa ketika ia pun sering tertidur di kereta, pulang-pergi kuliah. Bedanya, kini ia tidak lagi punya seseorang yang menunggunya di stasiun. Acara berlangsung di ruang terbuka kampus seni. Peserta duduk lesehan, beralas tikar. Tidak ada meja panel, tidak ada podium. Hanya mikrofon kecil dan kopi sachet yang dibagi rata. Semua terasa asing, tapi hangat. Rayendra memperkenalkan diri tanpa titel. “Halo. Saya Rayendra. Pernah jadi suami, pernah jadi peneliti, dan sekarang sedang belajar jadi manusia biasa.” Tawa kecil terdengar, bukan mengejek, tapi menyambut kejujuran. “Saya pernah meneliti infidelitas emosional di kalangan urban. Hasilnya: sebagian besar orang yang selingkuh secara emosional bukan karena niat jahat, tapi karena kehabisan tempat untuk merasa penting.” Semua hening. Tak ada ponsel yang sibuk, semua mata tertuju padanya. “Tapi yang lebih penting dari hasil itu adalah kenyataan bahwa saya sendiri akhirnya menjadi bagian dari data yang saya kumpulkan. Saya pernah lupa batas, hingga yang saya teliti bukan lagi sekadar data, tapi seseorang yang membuat saya kehilangan rumah sendiri.” Keheningan makin dalam. Tidak ada keterkejutan keras, justru ada empati. Seorang peserta mengangkat tangan. “Pak, kalau semua itu bisa diulang, apa Bapak akan berhenti di tengah jalan? Atau tetap meneliti karena merasa itu penting?” Rayendra menarik napas panjang sebelum menjawab. “Kalau bisa diulang, saya tetap akan meneliti. Tapi kali ini, saya akan jujur lebih awal—pada istri saya, pada subjek saya, pada diri saya sendiri. Karena rasa bersalah bukan muncul karena kita mencintai orang yang salah, tapi karena kita menyembunyikan cinta itu dengan cara yang salah.” Selesai sesi, mahasiswa satu per satu menghampirinya. Bukan untuk foto atau tanda tangan, tapi untuk berbagi kisah. Tentang orang tua yang menuntut tanpa memeluk, tentang pacar yang memanipulasi tapi sekaligus memberi rasa ‘dibutuhkan.’ Rayendra mendengarkan dengan serius. Ia tidak mencatat, tidak memberi nasihat. Hanya menatap dengan mata yang jernih, berusaha menjadi ruang yang dulu ia harapkan dari orang lain. Malam itu, ia menginap di rumah kayu sederhana, rumah singgah dosen tamu di tengah kampus. Ia kembali menulis: “Hari ini aku merasa berguna, bukan karena aku tahu jawabannya, tapi karena aku hadir tanpa berpura-pura paham.” “Mungkin ini bentuk baru dari cinta—cinta yang tidak lagi ditujukan pada seseorang, tapi pada pengalaman yang akhirnya diterima, bukan disangkal.” Esok paginya, saat sarapan di teras kayu, ia ditemani seorang dosen lokal, Ibu Ayi—seorang terapis yang juga penyair. Sambil menuangkan kopi, Ibu Ayi bertanya, “Pak Rayendra, kalau sekarang diajak menulis ulang penelitian Bapak dulu, apa yang akan ditambahkan?” Rayendra tersenyum, menjawab pelan, “Bab terakhir.” “Isinya?” “Judulnya: Ketika Peneliti Memilih Tidak Meneliti Lagi.” Ibu Ayi tertawa hangat. “Karena sudah menemukan jawabannya?” Rayendra menatap cangkir kopinya, lalu berkata lirih, “Bukan karena sudah menemukan. Tapi karena akhirnya saya berani berhenti mencari dengan cara yang salah.”"Godaan tidak selalu datang dari ruang gelap atau kesepian. Kadang-kadang ia menyelip di antara meja kerja, tumpukan dokumen, dan sapaan biasa. Yang berbahaya bukan godaannya—melainkan bagaimana kita menutup mata seolah-olah ia tidak pernah ada."—Catatan Rayendra MahendraKejadian semalam sangat membuat hari ini kacau, untungnya kantor ku masih sepi.Setelah menikah dengan Inaya aku memutuskan untuk bekerja pada salah satu perusahaan penulisan seperti Content Writer, Editor, Penulisan Akademis, dengan gaji yang lumayan oke, sedangkan Inaya juga memutuskan hal yang sama yaitu bekerja sebagai asisten pada perusahaan di kantornya.Awalnya kami tidak adaniatan untk bekerja, namun kami sangat ingin membeli rumah untk kami berdua.Ya kehidupan kami berubah sangat drastisAku duduk di meja komputer ku, lalu menatap layar ku, namun aneh, masih saja aku tidak terfokuskan, mengingat kejadian semalam yang begitu menegangkanAku sangat bingung, kenapa kejadian seperti itu bisa terjadi dan kena
"Pagi ini terasa aneh. Bukan hanya karena tubuhku lemas, tapi juga karena pikiranku terisi kejadian semalam—suara, desah, dan datangnya yang membuatku sulit membedakan mana kenyataan dan mana khayalan."masih terasa berat akibat kejadian semalam, tanpa berlama lama aku segera beranjak dari yang benar benar membatk tempat tidurku untuk segera kekamar mandi untuk menyegarkan tubuhku.Seakan masih tidak menyangka, suara desahan Mama Liona yang menggoda, dan tatapannya yang benar benar membuatku terpesonaAku menelan ludah, dadaku terasa sesak oleh keadaan yang amat sulitTiba tiba Liana datang “Kaakkk, masih tidur ya?..aku mau liat dong” suaranya yang teramat lucu khas anak SMA itu mengetuk pintu kamarkuu, dia adik dari Inaya, Bentkan tubhnya cukup dibilang seksi untuk anak seumurannya, badannya tinggi dengan kulitnya yang putih membuat dia sangat cocok untuk dibilang cantik, apalagi ketika ia memakai daster merah muda yang membuat wajah imut nya sangat disukai para pria seumur nya.“Kak
Aku tidak percaya, ternyata tubh mertuaku jauh lebih nikmat dari pada istriku sendiri malam ini aku melepaskan hasrat ku dengan Mama Liona Ibu mertuak sendiri.“Enak banget ma, sampai sampai aku tidak bisa berhenti menggoyang”. Ucap Rayen yang sangat puas malam itu“Kamu juga sangat perkasa Rayen, mama sampai kewalahan, ayo kita lanjut lagi” “Siap ma, kita lanjut sampai pagi”Sedangkan inaya istri Rayendra berselingkuh dengan pria lain**Malam itu sangat dingin, hawa yang sangat menenangkan. Tapi tidak untukku . Aku terjaga malam itu dikamar dengan perasaan dan pikiran yang kacau, seharusnya disebelahku ada istriku yang menemaniku, disaat dingin yang mencengkam ini aku hanya bisa memeluk bantal.Memang 1 tahun ini aku sering bercinta dengannya semalaman. Sekarang benda pusakaku sedang tegang, tapi sekarang aku sendirian tidak mungkin jika aku sampai jajan di luar. Semenjak menikah nafsuku tinggi, apalagi cuaca dingin begini.Rayen mendapatkan pesan sara dari Inaya“Sayang jangan lup
"Cinta sejati bukan hanya tentang siapa yang kita pilih untuk bersama, tetapi juga keberanian untuk telanjang dalam arti yang paling jujur—tanpa topeng, tanpa dalih." —Catatan Inaya Malam itu, kamar sederhana Rayendra berubah menjadi ruang sakral. Bukan karena hiasan bunga atau lilin aromaterapi, tapi karena dua hati yang selama ini berputar dalam lingkaran luka, akhirnya menemukan keberanian untuk berhenti berlari. Inaya duduk di tepi ranjang, jarinya memainkan renda tipis gaun tidur yang baru saja ia kenakan. Ia tampak gugup, sesuatu yang jarang terlihat dari sosoknya yang biasanya kokoh. Rayendra, yang berdiri di dekat jendela, menutup tirai perlahan. Udara malam menyelinap sebentar sebelum benar-benar tertutup, menyisakan aroma hujan yang masih menempel di dedaunan. “Kenapa kamu diam?” tanya Inaya, suaranya lirih. Rayendra tersenyum kecil, lalu mendekat. “Aku takut kalau aku bicara, aku akan terdengar seperti dosen yang sedang memberi kuliah, padahal malam ini aku hanya ingin
Malam pertama bukan hanya tentang hasrat, tapi tentang janji untuk saling mencintai dan menjaga selamanya." —Rayendra, membatin Malam itu, setelah semua hiruk pikuk pesta berakhir, Rayendra dan Inaya akhirnya tiba di kamar suite pengantin mereka. Kamar itu didekorasi dengan indah, dengan taburan kelopak mawar merah di atas tempat tidur dan lilin-lilin aromaterapi yang menciptakan suasana romantis. Di dinding ada tulisan neon berbentuk hati dengan pesan “Selamat menempuh hidup baru, semoga cinta ini abadi “ Inaya merasa gugup sekaligus bersemangat. Ia tidak sabar untuk menghabiskan malam pertama sebagai istri Rayendra. "Indah sekali," ucap Inaya, mengagumi dekorasi kamar. "Tidak seindah dirimu," balas Rayendra sambil tersenyum lembut. Ia mendekati Inaya dan memeluknya erat. "Aku sangat mencintaimu," bisik Rayendra di telinga Inaya. "Aku juga sangat mencintaimu," balas Inaya. Rayendra mencium kening Inaya dengan lembut, lalu beralih ke bibirnya. Ciuman itu awalnya lembut dan penu
Cinta sejati adalah ketika kamu bisa memaafkan masa lalu dan membangun masa depan bersama." —Inaya, dalam hatinya Rayendra membeku di tempatnya, matanya terpaku pada sosok Amelia yang berdiri di dekat pintu masuk ballroom. Jantungnya berdegup kencang, dan keringat dingin mulai membasahi telapak tangannya. Inaya menyadari perubahan ekspresi Rayendra. Ia mengikuti arah pandang suaminya dan melihat Amelia. Ia menghela napas panjang. "Biarkan aku yang bicara dengannya," bisik Inaya sambil menggenggam tangan Rayendra erat. Rayendra mengangguk. Ia tahu, Inaya lebih kuat dari yang ia kira. Inaya berjalan menghampiri Amelia dengan langkah tegap. Ia berhenti tepat di hadapan mantan istri suaminya itu. Amelia menyambut mereka dengan senyum sinis. "Selamat, Rayendra, Inaya," ucap Amelia, suaranya dingin seperti es. "Semoga kalian bahagia... selamanya." "Amelia," sapa Inaya dengan tenang. "Apa yang kau lakukan di sini?" Amelia menatap Inaya dengan tatapan kosong. "Aku hanya ingin melihat







