Home / Romansa / Selingkuh itu Ilmiah / Bab 11: Dunia yang Mulai Membuka Jendela

Share

Bab 11: Dunia yang Mulai Membuka Jendela

Author: gilang
last update Last Updated: 2025-07-17 11:31:04

Saat kita berhenti menjelaskan diri sendiri, terkadang justru dunia mulai bertanya dengan cara yang lebih jujur."

—Potongan Radio Wawancara, Rayendra Mahendra

Senin pagi di kampus terasa lebih segar. Langit mendung, tapi tidak kelabu. Mahasiswa lalu-lalang: ada yang memakai headphone, ada yang membaca di tangga fakultas. Dari jendela ruang dosen lantai dua, Rayendra mengamati, bukan untuk mencari inspirasi, melainkan belajar hadir.

Sudah hampir dua bulan sejak ia berhenti mengejar publikasi. Kini ia hanya mengajar, membimbing, dan sesekali hadir di forum komunitas atau platform independen yang lebih cair daripada seminar akademik.

Saat sedang membaca draf skripsi mahasiswa, sebuah email masuk.

Subjek: Undangan Menjadi Narasumber di Podcast Manusia Dalam Diri

Rayendra membuka. Podcast itu cukup dikenal di kalangan intelektual muda dan penyintas trauma. Topiknya reflektif, dikemas seperti diskusi ruang tamu.

Isi undangan:

"Kami ingin mengundang Bapak (jika berkenan kami memanggil Mas Rayendra saja) untuk episode bertema 'Menyesal dengan Penuh Kesadaran'. Kami percaya pengalaman pribadi Anda dapat memberi ruang bagi pendengar yang sedang belajar jujur ​​pada diri sendiri."

Rayendra menjawab. Tema itu seperti mengetuk pintu yang selama ini ia kunci. Ia membalas singkat:

"Saya bersedia, tapi tidak akan membawakan teori. Saya hanya akan bercerita."

Perekaman dilakukan di studio kecil di Kemang. Dinding busa berlapis, sofa abu-abu, dan lukisan wajah-wajah tanpa mata. Rayendra duduk dengan headset besar di kepalanya.

Host-nya, perempuan berambut keriting bernama Rea, menyapanya ringan.

“Kita santai aja, Mas Rayen. Anggap ini ngobrol setelah dua cangkir kopi.”

Rayendra tersenyum. “Saya baru sempat minum satu.”

“Kalau begitu, kita bakal lama duduknya.”

Obrolan dimulai.

Rea bertanya pelan, hampir berbisik. “Apa penyesalan paling diam yang pernah Mas Rayendra simpan?”

Rayendra berhenti sebentar. “Aku pernah kehilangan rumah karena terlalu memikirkan makna rumah secara teoritis.”

“Dan kalau bisa diulang?”

“Aku tetap akan kehilangan, tapi kali ini aku akan berkata: Tunggu sebentar. Aku sedang belajar mencintai, bukan mengobservasimu. ”

Hening. Rea sempat menyeka matanya sebelum melanjutkan.

Mereka berbincang tentang cinta, kesalahan yang lahir dari niat baik, dan peran lelaki yang terlalu lama menilai dirinya lewat kebermanfaatan.

“Kadang aku tidak tahu apa aku cinta, atau cuma merasa berguna,” kata Rayendra.

“Dan sekarang?”

“Sekarang aku ingin belajar hadir tanpa harus merasa penting.”

Episode itu tayang seminggu kemudian. Viral, bukan karena sensasi, tapi karena ketulusan.

Puluhan komentar memenuhi akun media sosial Rayendra yang selama ini nyaris kosong.

"Saya juga pernah mencintai orang lain dalam diam, sambil tetap menjadi pasangan yang 'baik'. Terima kasih sudah membuat kami merasa tidak sendirian."

"Ternyata saya tidak aneh karena merasa kosong meski sudah menikah. Terima kasih sudah memberi bahasa untuk luka kami."

Rayendra membaca semuanya. Ia tidak membalas, hanya menyimpan. Untuk pertama kalinya, ia merasakan tulisannya hidup di orang lain, bukan di jurnal.

Tak lama kemudian, gunung bertanya menjadi moderator di simposium nasional psikologi perkotaan. Tema: “Tantangan Relasi Emosional di Era Terputus Connection.”

Awalnya dia hampir menolak, tapi nama pembicara utama di hari kedua menarik perhatiannya:

Dr. Inaya Salma — peneliti hubungan digital dan trauma antargenerasi.

Rayendra mencari tahu. Ia menemukan artikel opini Inaya:

"Kita hidup di dunia yang terlalu mudah berbagi, tapi terlalu sulit membuka diri. Orang mengirim emoji, tapi menyimpan luka."

Gaya tulisannya tajam, tapi empatik. Di bagian profil tertulis:

"Inaya Salma adalah penyintas relasi manipulatif berkedok intelektualitas. Ia menulis karena pernah dicatat sebagai 'data' oleh seseorang yang seharusnya mendengarkan."

Rayendra berbaring. Kata-kata itu seperti menohok masa lalunya.

Apakah ini tentang dirinya? Tentang Amel? Atau siapa saja yang pernah dijadikan studi kasus oleh mereka yang rakus pengetahuan tapi kurangnya keberanian emosional?

Ia menarik napas panjang, lalu menulis pada panitia:

"Saya bersedia menjadi moderator sesi bersama Dr. Inaya. Sudah waktunya saya mendengar cara bicara yang berbeda."

Hari simposium tiba. Auditorium penuh.

Di belakang panggung, seseorang menampar pundaknya.

“Mas Rayen?”

Dia menoleh. Seorang perempuan muda berkacamata, blazer gelap, rok panjang. Wajahnya tenang, matanya dalam.

“Saya Inaya.”

Rayendra mengulurkan tangannya. “Terima kasih sudah hadir.”

Inaya menjawab pelan. “Saya berterima kasih. Tidak semua orang berani duduk di meja yang berisi cermin.”

Sesi berjalan lancar. Inaya memaparkan tentang algoritma empati digital: bagaimana manusia mudah mengira perhatian sebagai afeksi, dan bagaimana hubungan bisa berubah jadi eksperimen tanpa disadari.

Rayendra lebih banyak mendengarkan daripada berbicara.

Dan setelahnya, ia sadar sesuatu berubah—bukan hanya pada dirinya sendiri, tapi di cara ia melihat hubungan: bukan untuk diteliti, bukan untuk dijustifikasi, melainkan untuk dipahami, meski dengan risiko disakiti.

Tepuk tangan penutup terasa lain. Bukan karena setuju, tapi karena audiens merasa mereka baru saja diberi bahasa untuk luka yang selama ini tak bernama.

Usai sesi, Inaya masih duduk. Ia menulis sesuatu di secarik kertas, lalu menyerahkannya.

“Ini bukan catatan akademik,” ujarnya.

Rayendra membukanya.

"Saya tidak tahu apa yang pernah Anda lakukan, tapi saya tahu Anda sekarang berbeda. Kadang-kadang, itu cukup untuk memulai percakapan baru."

Rayendra merawat. "Saya tidak ingin menjelaskan masa lalu. Tapi jika suatu hari kamu ingin tahu, saya tidak akan lari."

Inaya menjawab, "Saya tidak mencari jawaban. Saya hanya ingin tahu apa yang akan kamu lakukan dengan kesadaran yang kamu punya sekarang."

Keduanya tertawa kecil. Tawa dua orang yang tahu pernah berada di lingkaran sama: terlalu tahu, lalu kehilangan rasa.

Sebelum pergi, Inaya berkata, “Saya tinggal di Jakarta dua minggu. Kalau butuh teman berdiskusi, hubungi saya. Bukan sebagai rekan, tapi sebagai manusia.”

Rayendra tersenyum. “Mungkin itu tawaran paling jujur ​​yang saya terima belakangan ini.”

Malam itu, di apartemen, Rayendra tidak membuka file jurnal. Ia membuka dokumen pribadinya: Buku yang Tidak Akan Diterbitkan.

Ia menambahkan satu bab baru.

Bab 4: Tentang Mereka yang Tidak Datang untuk Dipecahkan

"Aku pernah bertemu seseorang yang membuatku ingin diperbaiki, lalu bertemu lagi dengan seseorang yang membuatku tidak ingin menjelaskan. Kini aku tahu, cinta bukan soal menjawab atau membela diri, tapi soal siapa yang tetap duduk di meja meski tidak ada kesimpulan."

"Dan aku berharap, orang berikutnya tidak datang untuk memahami diriku yang lama, tapi mendampingi diriku yang sedang dibangun ulang."

Ia menutup laptop, menyalakan lampu, menatap langit Jakarta dari balik kaca, lalu berbisik dalam hati:

"Mungkin kali ini, aku benar-benar siap mendengarkan. Tanpa mencatat. Tanpa takut jatuh cinta hanya karena merasa didengarkan kembali."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Selingkuh itu Ilmiah   Bab 44 : “Godaan Baru di Tengah Kacau Pikiran”

    "Godaan tidak selalu datang dari ruang gelap atau kesepian. Kadang-kadang ia menyelip di antara meja kerja, tumpukan dokumen, dan sapaan biasa. Yang berbahaya bukan godaannya—melainkan bagaimana kita menutup mata seolah-olah ia tidak pernah ada."—Catatan Rayendra MahendraKejadian semalam sangat membuat hari ini kacau, untungnya kantor ku masih sepi.Setelah menikah dengan Inaya aku memutuskan untuk bekerja pada salah satu perusahaan penulisan seperti Content Writer, Editor, Penulisan Akademis, dengan gaji yang lumayan oke, sedangkan Inaya juga memutuskan hal yang sama yaitu bekerja sebagai asisten pada perusahaan di kantornya.Awalnya kami tidak adaniatan untk bekerja, namun kami sangat ingin membeli rumah untk kami berdua.Ya kehidupan kami berubah sangat drastisAku duduk di meja komputer ku, lalu menatap layar ku, namun aneh, masih saja aku tidak terfokuskan, mengingat kejadian semalam yang begitu menegangkanAku sangat bingung, kenapa kejadian seperti itu bisa terjadi dan kena

  • Selingkuh itu Ilmiah   Bab 43 : Mata yang Tak Seharusnya

    "Pagi ini terasa aneh. Bukan hanya karena tubuhku lemas, tapi juga karena pikiranku terisi kejadian semalam—suara, desah, dan datangnya yang membuatku sulit membedakan mana kenyataan dan mana khayalan."masih terasa berat akibat kejadian semalam, tanpa berlama lama aku segera beranjak dari yang benar benar membatk tempat tidurku untuk segera kekamar mandi untuk menyegarkan tubuhku.Seakan masih tidak menyangka, suara desahan Mama Liona yang menggoda, dan tatapannya yang benar benar membuatku terpesonaAku menelan ludah, dadaku terasa sesak oleh keadaan yang amat sulitTiba tiba Liana datang “Kaakkk, masih tidur ya?..aku mau liat dong” suaranya yang teramat lucu khas anak SMA itu mengetuk pintu kamarkuu, dia adik dari Inaya, Bentkan tubhnya cukup dibilang seksi untuk anak seumurannya, badannya tinggi dengan kulitnya yang putih membuat dia sangat cocok untuk dibilang cantik, apalagi ketika ia memakai daster merah muda yang membuat wajah imut nya sangat disukai para pria seumur nya.“Kak

  • Selingkuh itu Ilmiah   Bab 42 : 5 Bulan Berlalu, Godaan Ibu Mertua

    Aku tidak percaya, ternyata tubh mertuaku jauh lebih nikmat dari pada istriku sendiri malam ini aku melepaskan hasrat ku dengan Mama Liona Ibu mertuak sendiri.“Enak banget ma, sampai sampai aku tidak bisa berhenti menggoyang”. Ucap Rayen yang sangat puas malam itu“Kamu juga sangat perkasa Rayen, mama sampai kewalahan, ayo kita lanjut lagi” “Siap ma, kita lanjut sampai pagi”Sedangkan inaya istri Rayendra berselingkuh dengan pria lain**Malam itu sangat dingin, hawa yang sangat menenangkan. Tapi tidak untukku . Aku terjaga malam itu dikamar dengan perasaan dan pikiran yang kacau, seharusnya disebelahku ada istriku yang menemaniku, disaat dingin yang mencengkam ini aku hanya bisa memeluk bantal.Memang 1 tahun ini aku sering bercinta dengannya semalaman. Sekarang benda pusakaku sedang tegang, tapi sekarang aku sendirian tidak mungkin jika aku sampai jajan di luar. Semenjak menikah nafsuku tinggi, apalagi cuaca dingin begini.Rayen mendapatkan pesan sara dari Inaya“Sayang jangan lup

  • Selingkuh itu Ilmiah   Bab 41: Rumah Pertama

    "Cinta sejati bukan hanya tentang siapa yang kita pilih untuk bersama, tetapi juga keberanian untuk telanjang dalam arti yang paling jujur—tanpa topeng, tanpa dalih." —Catatan Inaya Malam itu, kamar sederhana Rayendra berubah menjadi ruang sakral. Bukan karena hiasan bunga atau lilin aromaterapi, tapi karena dua hati yang selama ini berputar dalam lingkaran luka, akhirnya menemukan keberanian untuk berhenti berlari. Inaya duduk di tepi ranjang, jarinya memainkan renda tipis gaun tidur yang baru saja ia kenakan. Ia tampak gugup, sesuatu yang jarang terlihat dari sosoknya yang biasanya kokoh. Rayendra, yang berdiri di dekat jendela, menutup tirai perlahan. Udara malam menyelinap sebentar sebelum benar-benar tertutup, menyisakan aroma hujan yang masih menempel di dedaunan. “Kenapa kamu diam?” tanya Inaya, suaranya lirih. Rayendra tersenyum kecil, lalu mendekat. “Aku takut kalau aku bicara, aku akan terdengar seperti dosen yang sedang memberi kuliah, padahal malam ini aku hanya ingin

  • Selingkuh itu Ilmiah   Bab 40: Sentuhan Pertama di Ranjang Pengantin

    Malam pertama bukan hanya tentang hasrat, tapi tentang janji untuk saling mencintai dan menjaga selamanya." —Rayendra, membatin Malam itu, setelah semua hiruk pikuk pesta berakhir, Rayendra dan Inaya akhirnya tiba di kamar suite pengantin mereka. Kamar itu didekorasi dengan indah, dengan taburan kelopak mawar merah di atas tempat tidur dan lilin-lilin aromaterapi yang menciptakan suasana romantis. Di dinding ada tulisan neon berbentuk hati dengan pesan “Selamat menempuh hidup baru, semoga cinta ini abadi “ Inaya merasa gugup sekaligus bersemangat. Ia tidak sabar untuk menghabiskan malam pertama sebagai istri Rayendra. "Indah sekali," ucap Inaya, mengagumi dekorasi kamar. "Tidak seindah dirimu," balas Rayendra sambil tersenyum lembut. Ia mendekati Inaya dan memeluknya erat. "Aku sangat mencintaimu," bisik Rayendra di telinga Inaya. "Aku juga sangat mencintaimu," balas Inaya. Rayendra mencium kening Inaya dengan lembut, lalu beralih ke bibirnya. Ciuman itu awalnya lembut dan penu

  • Selingkuh itu Ilmiah   Bab 39: Bayangan Masa Lalu di Lampu Pesta

    Cinta sejati adalah ketika kamu bisa memaafkan masa lalu dan membangun masa depan bersama." —Inaya, dalam hatinya Rayendra membeku di tempatnya, matanya terpaku pada sosok Amelia yang berdiri di dekat pintu masuk ballroom. Jantungnya berdegup kencang, dan keringat dingin mulai membasahi telapak tangannya. Inaya menyadari perubahan ekspresi Rayendra. Ia mengikuti arah pandang suaminya dan melihat Amelia. Ia menghela napas panjang. "Biarkan aku yang bicara dengannya," bisik Inaya sambil menggenggam tangan Rayendra erat. Rayendra mengangguk. Ia tahu, Inaya lebih kuat dari yang ia kira. Inaya berjalan menghampiri Amelia dengan langkah tegap. Ia berhenti tepat di hadapan mantan istri suaminya itu. Amelia menyambut mereka dengan senyum sinis. "Selamat, Rayendra, Inaya," ucap Amelia, suaranya dingin seperti es. "Semoga kalian bahagia... selamanya." "Amelia," sapa Inaya dengan tenang. "Apa yang kau lakukan di sini?" Amelia menatap Inaya dengan tatapan kosong. "Aku hanya ingin melihat

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status