Home / Romansa / Selingkuh itu Ilmiah / Bab 20: Sunyi yang Tidak Menuntut Diisi

Share

Bab 20: Sunyi yang Tidak Menuntut Diisi

Author: gilang
last update Last Updated: 2025-07-23 00:22:24

“Beberapa jarak bukan untuk menguji siapa yang lebih kuat bertahan, tapi untuk memberi ruang agar kehadiran tidak menjadi beban.”

—Inaya, dari Yogyakarta

Minggu pertama tanpa Inaya berjalan seperti hari-hari yang kehilangan rutinitas tenang. Bukan karena tidak ada yang dilakukan—kelas tetap berjalan, revisi kurikulum tetap diminta, dan siswa tetap mengirimkan draf skripsi dengan penuh harap. Tapi ada yang menghilang dari ruang kecil Rayendra: pantulan dari seseorang yang tidak pernah menghakimi keraguannya.

Balkon tempat mereka biasa bicara kini hanya menimbulkan suara angin sore. Gelas-gelas teh yang biasa mereka isi dua kini hanya dicuci satu per satu. Rayendra tidak merata, tapi juga belum mampu mengganti suasana itu dengan kata-kata apa pun.

Inaya mengirim kabar rutin: foto makanan rumah, pemandangan sawah dari jendela rumah neneknya, dan potongan kalimat singkat yang sering terasa seperti puisi kecil.

“Hari ini aku belajar memasak lagi. Aku lupa kalau mengiris bawang bisa mengingatkanmu pada rasa sakit yang kamu kira sudah lama sembuh.”

Rayendra membaca pesan itu malam hari, lalu hanya membalas:

"Kadang luka itu belum sembuh, ia hanya berubah bentuk. Tapi aku senang kamu bisa melihatnya tanpa rasa takut."

Di kampus, perubahan dalam diri Rayendra mulai terlihat. Ia tidak lagi menjadikan materi kuliah sebagai arena pertunjukan intelektual, ia mulai bertanya balik pada siswa:

“Apa pendapat kalian sebelum saya memberi jawaban dari buku?”

Suatu kali, seorang mahasiswi bertanya, “Pak, apakah selingkuh itu bisa dicegah dengan komunikasi?”

Rayendra menjawab sebentar, lalu berkata:

"Komunikasi bisa mencegah banyak hal, tapi terkadang bukan komunikasi yang hilang, melainkan keberanian untuk jujur pada diri sendiri. Banyak orang bicara, tapi tidak mengatakan hal yang sebenarnya mereka takutkan."

Mahasiswi itu menunduk, dan Rayendra tahu pertanyaan itu bukan untuk nilai, tapi untuk menyelamatkan sesuatu yang belum bisa ia ceritakan.

Sore hari, Rayendra menerima undangan untuk menjadi pembicara di seminar nasional psikologi hubungan modern. Topiknya:

“Etika Emosi di Era Narasi Digital.”

Undangan itu datang dari universitas di luar kota, dan ia nyaris menolaknya, tapi pesan dari Inaya datang pada waktu yang hampir bersamaan.

“Aku rasa kamu harus bicara lagi, bukan karena kamu punya banyak hal untuk dikatakan, tapi karena kamu mulai punya cara baru untuk mendengarkan dirimu sendiri saat berbicara.”

Ia membalas:

“Aku tidak ingin menjadi suara yang keras, aku ingin menjadi gema yang membuat orang berpikir tanpa merasa kalah.”

Malam itu, Rayendra menulis ulang draft lamanya, bukan untuk diterbitkan, tapi untuk melihat kembali bagaimana ia dulu mengolah emosi menjadi teori. Ia mulai mengedit, bukan dengan semangat membela diri, tapi dengan semangat mendamaikan versinya yang dulu dan versinya yang sekarang.

Di lembar pertama, ia menambahkan catatan baru:

“Jika dulu aku menulis untuk dipercaya, kini aku menulis untuk tidak menghilang. Dan jika aku pernah menyakiti lewat kata, aku berharap hari ini tulisanku bisa menjadi ruang tempat orang tidak merasa sendirian.”

Dua hari sebelum seminar, Inaya mengirim pesan suara dari Yogyakarta. Suaranya terdengar tenang, tapi ada ketegangan kecil di ujung napasnya.

"Tadi aku ketemu mantanku. Dia ngajak ketemu karena katanya penasaran, apakah aku sekarang jadi lebih lembut setelah dekat sama kamu."

Rayendra membaca transkrip otomatisnya dulu, sebelum berani memutar suara itu.

“Aku menjawab, 'Bukan lebih lembut, aku jadi lebih sadar kapan harus marah dan kapan harus diam.' Dan aku sadar, bukan kamu yang mengubah aku, tapi kamu masih punya ruang buat aku melihat ulang siapa diriku sebenarnya.”

Setelah mendengarkan pesan suara itu tiga kali, Rayendra meletakkan ponselnya di atas meja. Ia tidak langsung membalas, bukan karena bingung, tapi karena hatinya sedang membaca perlahan kata-kata Inaya.

Ia berjalan ke balkon, tempat mereka dulu sering duduk berdua, lalu duduk sendirian sambil membawa secangkir teh yang mulai dingin.

Sambil memandangi jalanan sepi malam, ia menulis dalam jurnal kecilnya:

“Keberanian bukan soal mendekat, tapi soal tidak buru-buru menarik ketika seseorang butuh menjauh. Aku sedang belajar menjadi lelaki yang tidak menyamar seb

Ia membalik halaman. Tulisan-tulisan lamanya kini terasa seperti surat dari orang asing, orang yang terlalu pandai berkata-kata, tapi belum cukup berani tinggal di dalam diam.

Dari kejauhan, terdengar suara tukang roti keliling. Suaranya lembut, tidak mengganggu, hanya lewat, seperti perasaan yang tidak ingin dipaksakan, hanya ingin dikenal.

Ia kembali ke dalam, mengambil buku yang menyajikan Inaya, Emosi Tanpa Tujuan, dan membuka halaman yang dulu ditandai oleh Inaya:

“Jika kamu ingin mengerti orang lain, temani mereka di ruang yang tidak ingin kamu tinggali.”

Rayendra tersenyum. Ia tahu selama ini ia hanya berani hadir di ruang yang bisa ia definisikan, tapi Inaya mengajarkannya untuk duduk di ruang yang tidak bisa ia kendalikan: jarak, sunyi, intim.

Keesokan harinya, ia menulis email panjang kepada Inaya, tapi sebelum mengirim, ia menghapus sebagian besar isinya, lalu hanya menyisakan satu kalimat:

"Aku tidak tahu kita ini sedang ke mana, tapi kalau tujuan akhirnya bukan kamu, aku tetap senang pernah berada di perjalanan ini."

Hari seminar tiba. Ruangan penuh. Beberapa peserta membawa bukunya yang lama, beberapa membawa ekspresi skeptis, tapi kali ini, Rayendra tidak membuka presentasi dengan kutipan, ia hanya berdiri, dan berkata:

"Hari ini saya tidak akan menjelaskan bagaimana cinta bekerja, saya hanya ingin mengajak kita semua membedakan: mana cinta yang dibangun dari rasa takut kehilangan, dan mana yang tumbuh dari kesediaan untuk tidak selalu hadir."

Ada yang mencatat, ada yang mengangguk, tapi tak ada yang mendebat karena untuk pertama kalinya, Rayendra tidak terlihat seperti orang yang ingin menang, ia terlihat seperti orang yang telah kalah cukup banyak, dan kini ingin hadir tanpa tuntutan.

Sepulang dari seminar, malam hari di kamarnya, Rayendra membuka satu folder baru di laptopnya.

Judulnya:

“Ruang yang Tidak Menuntut Ikatan”

Isinya masih kosong, tapi tidak terasa hampa.

Karena kali ini, dia tidak menulis untuk memulai sesuatu, ia menulis untuk memberi tempat bagi apa pun yang akan datang, dengan atau tanpa Inaya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Selingkuh itu Ilmiah   Bab 42 : 5 Bulan Berlalu, Godaan Ibu Mertua

    Aku tidak percaya, ternyata tubh mertuaku jauh lebih nikmat dari pada istriku sendiri malam ini aku melepaskan hasrat ku dengan Mama Liona Ibu mertuak sendiri.“Enak banget ma, sampai sampai aku tidak bisa berhenti menggoyang”. Ucap Rayen yang sangat puas malam itu“Kamu juga sangat perkasa Rayen, mama sampai kewalahan, ayo kita lanjut lagi” “Siap ma, kita lanjut sampai pagi”Sedangkan inaya istri Rayendra berselingkuh dengan pria lain**Malam itu sangat dingin, hawa yang sangat menenangkan. Tapi tidak untukku . Aku terjaga malam itu dikamar dengan perasaan dan pikiran yang kacau, seharusnya disebelahku ada istriku yang menemaniku, disaat dingin yang mencengkam ini aku hanya bisa memeluk bantal.Memang 1 tahun ini aku sering bercinta dengannya semalaman. Sekarang benda pusakaku sedang tegang, tapi sekarang aku sendirian tidak mungkin jika aku sampai jajan di luar. Semenjak menikah nafsuku tinggi, apalagi cuaca dingin begini.Rayen mendapatkan pesan sara dari Inaya“Sayang jangan lup

  • Selingkuh itu Ilmiah   Bab 41: Rumah Pertama

    "Cinta sejati bukan hanya tentang siapa yang kita pilih untuk bersama, tetapi juga keberanian untuk telanjang dalam arti yang paling jujur—tanpa topeng, tanpa dalih." —Catatan Inaya Malam itu, kamar sederhana Rayendra berubah menjadi ruang sakral. Bukan karena hiasan bunga atau lilin aromaterapi, tapi karena dua hati yang selama ini berputar dalam lingkaran luka, akhirnya menemukan keberanian untuk berhenti berlari. Inaya duduk di tepi ranjang, jarinya memainkan renda tipis gaun tidur yang baru saja ia kenakan. Ia tampak gugup, sesuatu yang jarang terlihat dari sosoknya yang biasanya kokoh. Rayendra, yang berdiri di dekat jendela, menutup tirai perlahan. Udara malam menyelinap sebentar sebelum benar-benar tertutup, menyisakan aroma hujan yang masih menempel di dedaunan. “Kenapa kamu diam?” tanya Inaya, suaranya lirih. Rayendra tersenyum kecil, lalu mendekat. “Aku takut kalau aku bicara, aku akan terdengar seperti dosen yang sedang memberi kuliah, padahal malam ini aku hanya ingin

  • Selingkuh itu Ilmiah   Bab 40: Sentuhan Pertama di Ranjang Pengantin

    Malam pertama bukan hanya tentang hasrat, tapi tentang janji untuk saling mencintai dan menjaga selamanya." —Rayendra, membatin Malam itu, setelah semua hiruk pikuk pesta berakhir, Rayendra dan Inaya akhirnya tiba di kamar suite pengantin mereka. Kamar itu didekorasi dengan indah, dengan taburan kelopak mawar merah di atas tempat tidur dan lilin-lilin aromaterapi yang menciptakan suasana romantis. Di dinding ada tulisan neon berbentuk hati dengan pesan “Selamat menempuh hidup baru, semoga cinta ini abadi “ Inaya merasa gugup sekaligus bersemangat. Ia tidak sabar untuk menghabiskan malam pertama sebagai istri Rayendra. "Indah sekali," ucap Inaya, mengagumi dekorasi kamar. "Tidak seindah dirimu," balas Rayendra sambil tersenyum lembut. Ia mendekati Inaya dan memeluknya erat. "Aku sangat mencintaimu," bisik Rayendra di telinga Inaya. "Aku juga sangat mencintaimu," balas Inaya. Rayendra mencium kening Inaya dengan lembut, lalu beralih ke bibirnya. Ciuman itu awalnya lembut dan penu

  • Selingkuh itu Ilmiah   Bab 39: Bayangan Masa Lalu di Lampu Pesta

    Cinta sejati adalah ketika kamu bisa memaafkan masa lalu dan membangun masa depan bersama." —Inaya, dalam hatinya Rayendra membeku di tempatnya, matanya terpaku pada sosok Amelia yang berdiri di dekat pintu masuk ballroom. Jantungnya berdegup kencang, dan keringat dingin mulai membasahi telapak tangannya. Inaya menyadari perubahan ekspresi Rayendra. Ia mengikuti arah pandang suaminya dan melihat Amelia. Ia menghela napas panjang. "Biarkan aku yang bicara dengannya," bisik Inaya sambil menggenggam tangan Rayendra erat. Rayendra mengangguk. Ia tahu, Inaya lebih kuat dari yang ia kira. Inaya berjalan menghampiri Amelia dengan langkah tegap. Ia berhenti tepat di hadapan mantan istri suaminya itu. Amelia menyambut mereka dengan senyum sinis. "Selamat, Rayendra, Inaya," ucap Amelia, suaranya dingin seperti es. "Semoga kalian bahagia... selamanya." "Amelia," sapa Inaya dengan tenang. "Apa yang kau lakukan di sini?" Amelia menatap Inaya dengan tatapan kosong. "Aku hanya ingin melihat

  • Selingkuh itu Ilmiah   Bab 38: Pesta Cinta Dibawah Gemerlap Lampu

    "Resepsi pernikahan adalah perayaan cinta, tempat dua hati bersatu dalam kebahagiaan yang tak terhingga." —Rayendra, dalam pidato pernikahannya Setelah upacara pemberkatan yang khidmat, Rayendra dan Inaya bergegas menuju ballroom hotel yang telah disulap menjadi sebuah taman impian. Dekorasi bunga-bunga segar berwarna pastel memenuhi ruangan, menciptakan suasana yang romantis dan elegan. Para tamu undangan sudah memadati ballroom, memberikan ucapan selamat dan doa restu kepada Rayendra dan Inaya. Senyum bahagia terpancar dari wajah kedua mempelai. "Selamat ya, Rayendra, Inaya," ucap Kanya sambil memeluk kedua sahabatnya. "Semoga kalian selalu bahagia dan langgeng." "Terima kasih, Kanya," balas Rayendra. "Kau adalah salah satu orang yang paling berjasa dalam hidup kami." "Selamat menempuh hidup baru, Inaya," ucap Aluna sambil memeluk Inaya. "Semoga kau dan Rayendra selalu saling mencintai dan mendukung." "Terima kasih, Aluna," balas Inaya. "Aku senang kau bisa hadir di sini." Ra

  • Selingkuh itu Ilmiah   Bab 37: Janji Suci di Altar Cinta

    "Di altar ini, dua jiwa berjanji untuk selamanya, mengukir kisah cinta abadi yang tak lekang oleh waktu." —Inaya, dalam sumpahnya Mentari pagi menyinari Jakarta dengan hangat, seolah ikut berbahagia menyambut hari pernikahan Rayendra dan Inaya. Di sebuah hotel mewah, suasana terasa begitu sibuk namun penuh sukacita. Inaya duduk di depan meja rias, dikelilingi oleh para perias yang sedang bekerja keras menyulapnya menjadi seorang ratu sehari. Ia mengenakan robe berwarna putih gading dengan detail renda yang elegan. "Kamu cantik sekali, Inaya," puji Kanya yang datang menemaninya. "Rayendra pasti pangling melihatmu nanti." Inaya tersenyum malu. "Aku gugup sekali," akunya. "Ini adalah hari yang sangat penting dalam hidupku." "Tenang saja," balas Kanya sambil menggenggam tangan Inaya. "Semua akan berjalan lancar. Kau dan Rayendra pantas mendapatkan kebahagiaan ini." Sementara itu, di kamar lain, Rayendra juga sedang bersiap-siap. Ia mengenakan setelan jas berwarna hitam yang membuatn

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status