Home / Romansa / Selingkuh itu Ilmiah / Bab 19: Perasaan yang Tidak Mau Diteruskan

Share

Bab 19: Perasaan yang Tidak Mau Diteruskan

Author: gilang
last update Last Updated: 2025-07-22 23:49:28

"Kadang kita tidak takut jatuh cinta, kita takut mengulangi luka yang pernah kita sembunyikan di balik cinta itu."

—Inaya, dalam percakapan larut malam

Hari-hari setelah wawancara berjalan tanpa kehebohan baru. Tapi justru karena itu, Rayendra merasa seperti sedang berjalan di lantai kayu tua, sunyi, tapi bisa patah kapan saja.

Ia kembali mengajar, menyusun ulang materi kuliah, membalas pesan pelajar dengan sabar. Tapi di antara semua aktivitas itu, satu hal mulai berubah: jarak antara dirinya dan Inaya.

Bukan karena konflik, bukan karena bentrok, tapi karena intensitas emosi yang selama ini mereka rawat dalam kesadaran kini tumbuh menjadi hal yang lebih menuntut: keberanian untuk jujur tentang apa yang mereka rasakan.

Suatu malam, mereka duduk di balkon rumah kontrakan Inaya. Udara dingin, langit bersih. Di bawah mereka, suara sepeda motor dan anjing menggonggong menjadi suasana sunyi yang familier.

“Jadi,” ucap Inaya pelan, “kita ini apa?”

Pertanyaan itu seperti kaca bening, tidak memotong, tapi membuat pantulan menjadi terlalu jelas untuk dihindari.

Rayendra tidak langsung menjawab.

Ia tahu, sejak hari pertama mereka berbincang, sejak museum emosi, hingga diskusi etika, ada tarikan pelan di antara mereka, bukan rayuan, tapi semacam pengenalan yang tumbuh dari ruang aman.

“Aku nggak mau kita jadi perpaduan dari hubungan yang kita tolak,” katanya. "Aku nggak mau kita jadi pasangan yang saling terapi, saling menambal trauma. Kita lebih dari itu, kita harusnya jadi ruang bebas, bukan tempat untuk saling memperbaiki."

Inaya tersenyum kecil. "Aku setuju, makanya aku bertanya karena aku juga takut, takut kita terlalu nyaman jadi zona netral, sampai kita kehilangan keberanian untuk jujur: aku menyukaimu, tapi aku juga takut menyakitimu."

“Kenapa kamu takut menyakitiku?” tanya Rayendra.

"Karena aku tahu kamu sedang menata diri, dan aku bukan ingin jadi lem, Ren, aku hanya ingin jadi saksi, tapi kadang jadi saksi juga bisa salah kalau ikut masuk terlalu dalam."

Mereka terdiam.

Dari kejauhan, suara kereta malam terdengar samar. Waktu seolah berjalan lambat.

“Kalau kamu benar-benar suka aku,” kata Rayendra, “kenapa kamu tidak bilang dari dulu?”

Inaya tertawa pelan. “Karena aku sedang menunggu kamu berhenti menjadikan rasa bersalahmu sebagai alasan untuk membayar segalanya.”

Rayendra tertunduk. Ia tahu kalimat itu benar, ia tahu selama ini setiap niat baik selalu berakhir pada bentuk kompensasi, bukan memberi, tapi penebusan, dan cinta tidak bisa tumbuh dari utang.

Malam itu, mereka tidak memutuskan apa pun, tidak berciuman, tidak menyentuh, hanya saling duduk, memegang gelas teh hangat, dan tahu perasaan yang tidak terburu-buru bisa jauh lebih jujur daripada janji.

Setelah momen hening itu, Inaya memandangi bintang-bintang yang nyaris tak terlihat dari balik polusi langit Jakarta. Tangannya menyentuh gagang gelas, mengusap bekas uap panas yang masih tersisa.

“Aku punya ketakutan yang kadang aneh,” katanya lirih.

Rayendra menoleh.

“Aku takut jika suatu hari kita benar-benar bersama, kamu akan mulai menuliskan aku, bukan sebagai aku yang utuh, tapi sebagai kamu versi lain.”

Rayendra mengerutkan kening. “Maksudmu?”

Inaya menatap lurus ke depan. "Kamu pernah menulis banyak orang dalam hidupmu, kadang kamu tidak sadar, kamu mengubah mereka menjadi versi yang nyaman untuk teorimu. Aku takut kalau kita bersama, aku akan jadi karakter, bukan manusia."

Kalimat itu mengenai Rayendra seperti gelombang lambat, tidak sakit, tapi menampar pelan-pelan.

Ia menunduk. “Kamu benar, kadang aku menulis bukan untuk jujur, tapi untuk menghindari kejujuran yang terlalu berantakan.”

Inaya menyentuh bahunya sebentar, lalu berkata, “Makanya, aku ingin kita saling melihat dulu, tanpa tergesa-gesa menyebut nama hubungan ini karena terkadang label membuat kita merasa sudah saling menjadi milik, padahal kita belum benar-benar hadir.”

Rayendra mengangguk.

Mereka diam cukup lama, hanya ditemani suara serangga malam dan angin yang mulai menggigit kulit. Saat hendak masuk ke dalam, Rayendra berkata pelan, “Kalau suatu hari aku mulai menuliskanmu, dan kamu merasa itu bukan kamu, tolong bilang.”

Inaya tersenyum. "Aku akan bilang, tapi aku juga akan tetap di sebelahmu saat kamu belajar menulis tanpa menghilangkan."

Dua hari kemudian, Inaya mengirim pesan pendek:

"Aku ke Yogya sebentar, ada urusan keluarga. Kita bisa menelepon nanti, tapi aku rasa kita perlu waktu untuk berpikir, bukan untuk menjauh, tapi untuk tidak tenggelam sebelum mengetahui kedalamannya."

Rayendra membalas:

"Saya akan menunggu, bukan sebagai hukuman, tapi sebagai latihan untuk tidak lagi ingin mengendalikan segalanya."

Di malam ketiga kepergian Inaya, Rayendra membuka folder lamanya. Di situ, ia menemukan draft tulisan berjudul “Selingkuh Itu Ilmiah.”

Ia membaca ulang. Ternyata naskah itu tak pernah selesai.

Di bagian terakhir, ia menulis:

“Saya percaya manusia punya dorongan untuk merasa dilihat, tapi ketika dorongan itu lebih besar daripada kesediaan untuk mendengar, pengorbanan bukan sekadar kemungkinan, tapi keniscayaan.”

Ia menambahkan catatan baru:

“Kini saya percaya yang lebih penting dari melihat atau dilihat adalah keberanian untuk hadir, bukan sebagai objek atau pelaku, tapi sebagai bagian dari cerita yang tidak perlu dikontrol.”

Ia menyimpan draf itu, tapi kali ini tidak untuk diterbitkan. Ia hanya ingin tahu bahwa tulisannya pernah tumbuh, lalu berhenti, dan tidak semua yang berhenti itu gagal.

Seperti biasa sebelum tidur, Rayendra menulis di jurnal pribadinya:

"Aku tidak ingin mencintai untuk memperbaiki, aku ingin mencintai untuk menemani. Dan jika nanti aku jatuh lagi, biarlah bukan karena lupa, tapi karena percaya bahwa jatuh bukanlah selalu bentuk kegagalan."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Selingkuh itu Ilmiah   Bab 42 : 5 Bulan Berlalu, Godaan Ibu Mertua

    Aku tidak percaya, ternyata tubh mertuaku jauh lebih nikmat dari pada istriku sendiri malam ini aku melepaskan hasrat ku dengan Mama Liona Ibu mertuak sendiri.“Enak banget ma, sampai sampai aku tidak bisa berhenti menggoyang”. Ucap Rayen yang sangat puas malam itu“Kamu juga sangat perkasa Rayen, mama sampai kewalahan, ayo kita lanjut lagi” “Siap ma, kita lanjut sampai pagi”Sedangkan inaya istri Rayendra berselingkuh dengan pria lain**Malam itu sangat dingin, hawa yang sangat menenangkan. Tapi tidak untukku . Aku terjaga malam itu dikamar dengan perasaan dan pikiran yang kacau, seharusnya disebelahku ada istriku yang menemaniku, disaat dingin yang mencengkam ini aku hanya bisa memeluk bantal.Memang 1 tahun ini aku sering bercinta dengannya semalaman. Sekarang benda pusakaku sedang tegang, tapi sekarang aku sendirian tidak mungkin jika aku sampai jajan di luar. Semenjak menikah nafsuku tinggi, apalagi cuaca dingin begini.Rayen mendapatkan pesan sara dari Inaya“Sayang jangan lup

  • Selingkuh itu Ilmiah   Bab 41: Rumah Pertama

    "Cinta sejati bukan hanya tentang siapa yang kita pilih untuk bersama, tetapi juga keberanian untuk telanjang dalam arti yang paling jujur—tanpa topeng, tanpa dalih." —Catatan Inaya Malam itu, kamar sederhana Rayendra berubah menjadi ruang sakral. Bukan karena hiasan bunga atau lilin aromaterapi, tapi karena dua hati yang selama ini berputar dalam lingkaran luka, akhirnya menemukan keberanian untuk berhenti berlari. Inaya duduk di tepi ranjang, jarinya memainkan renda tipis gaun tidur yang baru saja ia kenakan. Ia tampak gugup, sesuatu yang jarang terlihat dari sosoknya yang biasanya kokoh. Rayendra, yang berdiri di dekat jendela, menutup tirai perlahan. Udara malam menyelinap sebentar sebelum benar-benar tertutup, menyisakan aroma hujan yang masih menempel di dedaunan. “Kenapa kamu diam?” tanya Inaya, suaranya lirih. Rayendra tersenyum kecil, lalu mendekat. “Aku takut kalau aku bicara, aku akan terdengar seperti dosen yang sedang memberi kuliah, padahal malam ini aku hanya ingin

  • Selingkuh itu Ilmiah   Bab 40: Sentuhan Pertama di Ranjang Pengantin

    Malam pertama bukan hanya tentang hasrat, tapi tentang janji untuk saling mencintai dan menjaga selamanya." —Rayendra, membatin Malam itu, setelah semua hiruk pikuk pesta berakhir, Rayendra dan Inaya akhirnya tiba di kamar suite pengantin mereka. Kamar itu didekorasi dengan indah, dengan taburan kelopak mawar merah di atas tempat tidur dan lilin-lilin aromaterapi yang menciptakan suasana romantis. Di dinding ada tulisan neon berbentuk hati dengan pesan “Selamat menempuh hidup baru, semoga cinta ini abadi “ Inaya merasa gugup sekaligus bersemangat. Ia tidak sabar untuk menghabiskan malam pertama sebagai istri Rayendra. "Indah sekali," ucap Inaya, mengagumi dekorasi kamar. "Tidak seindah dirimu," balas Rayendra sambil tersenyum lembut. Ia mendekati Inaya dan memeluknya erat. "Aku sangat mencintaimu," bisik Rayendra di telinga Inaya. "Aku juga sangat mencintaimu," balas Inaya. Rayendra mencium kening Inaya dengan lembut, lalu beralih ke bibirnya. Ciuman itu awalnya lembut dan penu

  • Selingkuh itu Ilmiah   Bab 39: Bayangan Masa Lalu di Lampu Pesta

    Cinta sejati adalah ketika kamu bisa memaafkan masa lalu dan membangun masa depan bersama." —Inaya, dalam hatinya Rayendra membeku di tempatnya, matanya terpaku pada sosok Amelia yang berdiri di dekat pintu masuk ballroom. Jantungnya berdegup kencang, dan keringat dingin mulai membasahi telapak tangannya. Inaya menyadari perubahan ekspresi Rayendra. Ia mengikuti arah pandang suaminya dan melihat Amelia. Ia menghela napas panjang. "Biarkan aku yang bicara dengannya," bisik Inaya sambil menggenggam tangan Rayendra erat. Rayendra mengangguk. Ia tahu, Inaya lebih kuat dari yang ia kira. Inaya berjalan menghampiri Amelia dengan langkah tegap. Ia berhenti tepat di hadapan mantan istri suaminya itu. Amelia menyambut mereka dengan senyum sinis. "Selamat, Rayendra, Inaya," ucap Amelia, suaranya dingin seperti es. "Semoga kalian bahagia... selamanya." "Amelia," sapa Inaya dengan tenang. "Apa yang kau lakukan di sini?" Amelia menatap Inaya dengan tatapan kosong. "Aku hanya ingin melihat

  • Selingkuh itu Ilmiah   Bab 38: Pesta Cinta Dibawah Gemerlap Lampu

    "Resepsi pernikahan adalah perayaan cinta, tempat dua hati bersatu dalam kebahagiaan yang tak terhingga." —Rayendra, dalam pidato pernikahannya Setelah upacara pemberkatan yang khidmat, Rayendra dan Inaya bergegas menuju ballroom hotel yang telah disulap menjadi sebuah taman impian. Dekorasi bunga-bunga segar berwarna pastel memenuhi ruangan, menciptakan suasana yang romantis dan elegan. Para tamu undangan sudah memadati ballroom, memberikan ucapan selamat dan doa restu kepada Rayendra dan Inaya. Senyum bahagia terpancar dari wajah kedua mempelai. "Selamat ya, Rayendra, Inaya," ucap Kanya sambil memeluk kedua sahabatnya. "Semoga kalian selalu bahagia dan langgeng." "Terima kasih, Kanya," balas Rayendra. "Kau adalah salah satu orang yang paling berjasa dalam hidup kami." "Selamat menempuh hidup baru, Inaya," ucap Aluna sambil memeluk Inaya. "Semoga kau dan Rayendra selalu saling mencintai dan mendukung." "Terima kasih, Aluna," balas Inaya. "Aku senang kau bisa hadir di sini." Ra

  • Selingkuh itu Ilmiah   Bab 37: Janji Suci di Altar Cinta

    "Di altar ini, dua jiwa berjanji untuk selamanya, mengukir kisah cinta abadi yang tak lekang oleh waktu." —Inaya, dalam sumpahnya Mentari pagi menyinari Jakarta dengan hangat, seolah ikut berbahagia menyambut hari pernikahan Rayendra dan Inaya. Di sebuah hotel mewah, suasana terasa begitu sibuk namun penuh sukacita. Inaya duduk di depan meja rias, dikelilingi oleh para perias yang sedang bekerja keras menyulapnya menjadi seorang ratu sehari. Ia mengenakan robe berwarna putih gading dengan detail renda yang elegan. "Kamu cantik sekali, Inaya," puji Kanya yang datang menemaninya. "Rayendra pasti pangling melihatmu nanti." Inaya tersenyum malu. "Aku gugup sekali," akunya. "Ini adalah hari yang sangat penting dalam hidupku." "Tenang saja," balas Kanya sambil menggenggam tangan Inaya. "Semua akan berjalan lancar. Kau dan Rayendra pantas mendapatkan kebahagiaan ini." Sementara itu, di kamar lain, Rayendra juga sedang bersiap-siap. Ia mengenakan setelan jas berwarna hitam yang membuatn

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status