Home / Romansa / Selingkuh itu Ilmiah / Bab 8: Sepi yang Tidak Bisa Diobservasi

Share

Bab 8: Sepi yang Tidak Bisa Diobservasi

Author: gilang
last update Last Updated: 2025-07-16 14:45:23

Sepi tidak selalu datang saat sendiri. Tapi sering muncul ketika kau mulai mendengar suara batin yang selama ini kau hindari."

—Catatan Riset Pribadi, Rayendra Mahendra

Rayendra merenungkan catatan itu, merasa bahwa kesepian yang ia alami kini lebih dalam daripada sekadar ketiadaan orang lain di sekitarnya. Sepi itu tidak berwujud, tapi menempel, seperti bayangan yang selalu setia mengikuti.

Akhir bulan, ia berjalan ke taman belakang fakultas. Tempat yang dulu selalu ia hindari karena terlalu banyak kenangan dengan Nadia. Aroma tanah basah dan daun-daun membusuk memenuhi udara, menciptakan suasana melankolis yang seolah dirancang khusus untuk menyayat hati.

Namun entah kenapa, kakinya justru memilih duduk di bangku yang sama—bangku yang dulu sering jadi saksi diam percakapan mereka. Ia menatap daun berguguran, tanpa merasa bersalah, tanpa merasa benar. Hanya… ada. Seperti seorang pengamat yang terasing, menyaksikan kehidupan orang lain dari balik kaca.

Seorang anak kecil berlari sambil membawa balon, tawanya pecah menembus udara. Di kejauhan, sepasang kekasih sibuk berbicara lewat mata, bukan lewat layar ponsel.

Dan untuk pertama kalinya, Rayendra merasa tidak ingin meneliti apa pun.

Ia hanya ingin menyaksikan.

Karena kini ia paham:

Cinta ternyata bukan tentang siapa yang paling paham. Tapi siapa yang berani diam, ketika logika sudah tidak mampu lagi menjelaskan.

Keesokan paginya, alarm pukul 06.00 berbunyi. Rayendra hanya menatap langit-langit kamar. Tidak buru-buru bangun, tidak ingin kembali tidur. Diam saja. Seperti tahanan yang mendengar bel penjara: terpaksa bangun, tapi tanpa alasan untuk hidup.

Apartemen kini benar-benar milik satu orang. Tanpa suara sandal Nadia. Tanpa gelas kopi dobel. Tanpa sandi Wi-Fi yang ia ganti tiap bulan. Tanpa ketikan laptop yang dulu berpadu dengan napasnya. Semua hilang, berganti ruang kosong yang penuh gema kenangan.

Rayendra mulai paham: keberadaan seseorang bukan sekadar soal fisik. Kadang justru absensinya yang membuat ruang semakin penuh—penuh oleh sisa yang tak bisa dihapus.

Hari itu ia dijadwalkan mengisi kuliah tamu di sebuah kampus swasta di Depok. Temanya ia pilih sendiri: “Ketika Peneliti Menjadi Subjek: Mengenali Diri Melalui Metode.”

Ia tiba lebih awal, duduk di ruang tunggu. Beberapa mahasiswa menyapa, sebagian mengenalnya dari seminar daring, sebagian lain hanya tahu ia “dosen yang pernah jadi bahan gosip karena penelitiannya yang rumit.”

Tidak apa-apa. Dunia memang begitu: suka mengganti identitas seseorang dengan peristiwa terakhirnya.

Di ruang kuliah, Rayendra bicara panjang. Nada suaranya kali ini lebih rendah, bukan melemah, tapi membumi. Ia menekankan bahwa peneliti bukanlah cermin yang steril. Luka, bias, bahkan cinta, bisa ikut menyusup ke dalam data.

Seseorang mengangkat tangan, menatap tajam.

“Pak, kalau peneliti jatuh cinta sama subjeknya, apakah itu bisa dibenarkan selama tidak ada pelanggaran fisik atau hukum?”

Rayendra diam. Pertanyaan itu menusuk seperti pisau. Lalu ia menjawab pelan:

“Kalau kamu harus bertanya begitu, berarti kamu sudah tahu jawabannya. Karena cinta yang butuh pembenaran biasanya lahir dari tempat yang salah.”

Sepulangnya, Rayendra mampir ke toko buku. Rak Fiksi Psikologis yang dulu ia sukai terasa asing. Kini ia justru tertarik pada rak yang sepi: Spiritualitas dalam Ilmu Modern.

Matanya berhenti pada buku tipis berjudul Kekosongan sebagai Ruang Belajar.

Di kafe kecil dekat taman, ia membaca kalimat pertama yang seperti ditulis untuknya:

"Kita tidak selalu membutuhkan jawaban. Kadang kita hanya perlu duduk bersama pertanyaan itu sampai tidak menyakitkan lagi."

Ia terdiam. Selama ini ia sibuk mencari jawaban, sibuk meneliti, sibuk membuktikan. Tapi justru lupa bahwa tidak semua pertanyaan harus dijawab.

Malam itu, di balkon apartemen, ia menatap lampu kota. Titik-titik cahaya itu mirip grafik data—naik, turun, acak, penuh variabel tak terduga. Sama seperti hidupnya.

Ia membuka laptop. Tidak lagi membuka EmoLink—platform itu sudah menjadi artefak masa lalu. Ia menulis satu kalimat besar:

"Bagaimana mengukur kesetaraan yang tidak diakui?"

Lalu jari-jarinya bergerak, menulis tanpa rencana:

“Kesepian bukan hanya saat ditinggalkan. Tapi juga saat berhenti relevan dalam hidup orang lain. Dan yang lebih parah, saat kita sendiri mulai ragu apakah masih penting bagi diri kita sendiri.”

Kemudian ia berhenti. Menatap layar. Mengetik lagi:

“Aku ingin memaafkan diriku. Tapi aku bahkan belum selesai membenci kenyataan bahwa aku membiarkan semua ini terjadi.”

Hari Minggu, Rayendra pergi ke makam ayahnya. Sudah lima tahun ia tidak berkunjung. Ia membawa bunga dan jurnal lama.

Duduk di samping nisan, ia berbisik pelan:

“Yah… dulu aku pikir jadi pintar itu cukup. Aku kira teori bisa menyelamatkanku dari krisis hidup. Tapi ternyata, aku lebih rapuh dari mahasiswa yang pernah aku bimbing.”

Angin berhembus. Sunyi, tapi tidak mencekam.

“Dan yang lebih menyakitkan… aku tahu aku salah. Tapi aku terlalu menikmati jadi ‘dibutuhkan’ sampai lupa bertanya: apakah aku juga benar-benar peduli?”

Tangannya meremas tanah.

“Aku ingin berubah, Yah. Tapi aku tidak tahu mulai dari mana.”

Dalam perjalanan pulang, pesan masuk. Dari salah satu mantan mahasiswa bimbingan:

"Pak, saya dengar Ibu Nadia sudah pindah ke Bali. Kami sempat bicara soal tesis… beliau titip salam. Katanya, semoga Bapak bahagia, entah dengan siapa atau dengan apa."

Rayendra terdiam lama membaca pesan itu. Bahagia. Entah dengan siapa… atau dengan apa. Itu bukan doa dari rasa memiliki, tapi dari rasa ikhlas.

Dan ia sadar: belum tentu ia bisa membalas dengan ketulusan yang sama.

Malam itu, ia tidak menulis, tidak membaca, tidak membuka media sosial.

Hanya duduk di balkon, dengan secangkir teh hangat.

Sepi menemaninya. Tapi untuk pertama kalinya, ia tidak melawan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
gilang
mantap sekali
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Selingkuh itu Ilmiah   Bab 44 : “Godaan Baru di Tengah Kacau Pikiran”

    "Godaan tidak selalu datang dari ruang gelap atau kesepian. Kadang-kadang ia menyelip di antara meja kerja, tumpukan dokumen, dan sapaan biasa. Yang berbahaya bukan godaannya—melainkan bagaimana kita menutup mata seolah-olah ia tidak pernah ada."—Catatan Rayendra MahendraKejadian semalam sangat membuat hari ini kacau, untungnya kantor ku masih sepi.Setelah menikah dengan Inaya aku memutuskan untuk bekerja pada salah satu perusahaan penulisan seperti Content Writer, Editor, Penulisan Akademis, dengan gaji yang lumayan oke, sedangkan Inaya juga memutuskan hal yang sama yaitu bekerja sebagai asisten pada perusahaan di kantornya.Awalnya kami tidak adaniatan untk bekerja, namun kami sangat ingin membeli rumah untk kami berdua.Ya kehidupan kami berubah sangat drastisAku duduk di meja komputer ku, lalu menatap layar ku, namun aneh, masih saja aku tidak terfokuskan, mengingat kejadian semalam yang begitu menegangkanAku sangat bingung, kenapa kejadian seperti itu bisa terjadi dan kena

  • Selingkuh itu Ilmiah   Bab 43 : Mata yang Tak Seharusnya

    "Pagi ini terasa aneh. Bukan hanya karena tubuhku lemas, tapi juga karena pikiranku terisi kejadian semalam—suara, desah, dan datangnya yang membuatku sulit membedakan mana kenyataan dan mana khayalan."masih terasa berat akibat kejadian semalam, tanpa berlama lama aku segera beranjak dari yang benar benar membatk tempat tidurku untuk segera kekamar mandi untuk menyegarkan tubuhku.Seakan masih tidak menyangka, suara desahan Mama Liona yang menggoda, dan tatapannya yang benar benar membuatku terpesonaAku menelan ludah, dadaku terasa sesak oleh keadaan yang amat sulitTiba tiba Liana datang “Kaakkk, masih tidur ya?..aku mau liat dong” suaranya yang teramat lucu khas anak SMA itu mengetuk pintu kamarkuu, dia adik dari Inaya, Bentkan tubhnya cukup dibilang seksi untuk anak seumurannya, badannya tinggi dengan kulitnya yang putih membuat dia sangat cocok untuk dibilang cantik, apalagi ketika ia memakai daster merah muda yang membuat wajah imut nya sangat disukai para pria seumur nya.“Kak

  • Selingkuh itu Ilmiah   Bab 42 : 5 Bulan Berlalu, Godaan Ibu Mertua

    Aku tidak percaya, ternyata tubh mertuaku jauh lebih nikmat dari pada istriku sendiri malam ini aku melepaskan hasrat ku dengan Mama Liona Ibu mertuak sendiri.“Enak banget ma, sampai sampai aku tidak bisa berhenti menggoyang”. Ucap Rayen yang sangat puas malam itu“Kamu juga sangat perkasa Rayen, mama sampai kewalahan, ayo kita lanjut lagi” “Siap ma, kita lanjut sampai pagi”Sedangkan inaya istri Rayendra berselingkuh dengan pria lain**Malam itu sangat dingin, hawa yang sangat menenangkan. Tapi tidak untukku . Aku terjaga malam itu dikamar dengan perasaan dan pikiran yang kacau, seharusnya disebelahku ada istriku yang menemaniku, disaat dingin yang mencengkam ini aku hanya bisa memeluk bantal.Memang 1 tahun ini aku sering bercinta dengannya semalaman. Sekarang benda pusakaku sedang tegang, tapi sekarang aku sendirian tidak mungkin jika aku sampai jajan di luar. Semenjak menikah nafsuku tinggi, apalagi cuaca dingin begini.Rayen mendapatkan pesan sara dari Inaya“Sayang jangan lup

  • Selingkuh itu Ilmiah   Bab 41: Rumah Pertama

    "Cinta sejati bukan hanya tentang siapa yang kita pilih untuk bersama, tetapi juga keberanian untuk telanjang dalam arti yang paling jujur—tanpa topeng, tanpa dalih." —Catatan Inaya Malam itu, kamar sederhana Rayendra berubah menjadi ruang sakral. Bukan karena hiasan bunga atau lilin aromaterapi, tapi karena dua hati yang selama ini berputar dalam lingkaran luka, akhirnya menemukan keberanian untuk berhenti berlari. Inaya duduk di tepi ranjang, jarinya memainkan renda tipis gaun tidur yang baru saja ia kenakan. Ia tampak gugup, sesuatu yang jarang terlihat dari sosoknya yang biasanya kokoh. Rayendra, yang berdiri di dekat jendela, menutup tirai perlahan. Udara malam menyelinap sebentar sebelum benar-benar tertutup, menyisakan aroma hujan yang masih menempel di dedaunan. “Kenapa kamu diam?” tanya Inaya, suaranya lirih. Rayendra tersenyum kecil, lalu mendekat. “Aku takut kalau aku bicara, aku akan terdengar seperti dosen yang sedang memberi kuliah, padahal malam ini aku hanya ingin

  • Selingkuh itu Ilmiah   Bab 40: Sentuhan Pertama di Ranjang Pengantin

    Malam pertama bukan hanya tentang hasrat, tapi tentang janji untuk saling mencintai dan menjaga selamanya." —Rayendra, membatin Malam itu, setelah semua hiruk pikuk pesta berakhir, Rayendra dan Inaya akhirnya tiba di kamar suite pengantin mereka. Kamar itu didekorasi dengan indah, dengan taburan kelopak mawar merah di atas tempat tidur dan lilin-lilin aromaterapi yang menciptakan suasana romantis. Di dinding ada tulisan neon berbentuk hati dengan pesan “Selamat menempuh hidup baru, semoga cinta ini abadi “ Inaya merasa gugup sekaligus bersemangat. Ia tidak sabar untuk menghabiskan malam pertama sebagai istri Rayendra. "Indah sekali," ucap Inaya, mengagumi dekorasi kamar. "Tidak seindah dirimu," balas Rayendra sambil tersenyum lembut. Ia mendekati Inaya dan memeluknya erat. "Aku sangat mencintaimu," bisik Rayendra di telinga Inaya. "Aku juga sangat mencintaimu," balas Inaya. Rayendra mencium kening Inaya dengan lembut, lalu beralih ke bibirnya. Ciuman itu awalnya lembut dan penu

  • Selingkuh itu Ilmiah   Bab 39: Bayangan Masa Lalu di Lampu Pesta

    Cinta sejati adalah ketika kamu bisa memaafkan masa lalu dan membangun masa depan bersama." —Inaya, dalam hatinya Rayendra membeku di tempatnya, matanya terpaku pada sosok Amelia yang berdiri di dekat pintu masuk ballroom. Jantungnya berdegup kencang, dan keringat dingin mulai membasahi telapak tangannya. Inaya menyadari perubahan ekspresi Rayendra. Ia mengikuti arah pandang suaminya dan melihat Amelia. Ia menghela napas panjang. "Biarkan aku yang bicara dengannya," bisik Inaya sambil menggenggam tangan Rayendra erat. Rayendra mengangguk. Ia tahu, Inaya lebih kuat dari yang ia kira. Inaya berjalan menghampiri Amelia dengan langkah tegap. Ia berhenti tepat di hadapan mantan istri suaminya itu. Amelia menyambut mereka dengan senyum sinis. "Selamat, Rayendra, Inaya," ucap Amelia, suaranya dingin seperti es. "Semoga kalian bahagia... selamanya." "Amelia," sapa Inaya dengan tenang. "Apa yang kau lakukan di sini?" Amelia menatap Inaya dengan tatapan kosong. "Aku hanya ingin melihat

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status