LOGINPenelitian bisa selesai. Tapi perasaan tak pernah punya tanggal kadaluarsa. Ia hanya belajar diam."
—Catatan Evaluasi Internal, Rayendra Mahendra Rayendra membaca ulang catatan itu. Penelitiannya sudah lama rampung, tapi hatinya masih seperti eksperimen yang tak pernah berkesudahan. Tiga minggu setelah sidang etik, hidupnya berjalan pelan, seperti film bisu yang kehilangan latar musik. Hari-harinya hanya diisi dengan membaca jurnal orang lain, seolah berusaha menambal pelarian dengan teori yang tidak lagi relevan dengan hidupnya. Ia berhenti mengajar. Fakultas menyebutnya cuti akademik, tapi diam-diam ia tahu: ia sedang menulis, bukan untuk menghasilkan karya, melainkan untuk belajar melepaskan. Nadia sudah pergi. Tidak ada jejak, tidak ada tanda. Suara tawanya yang dulu jadi musik apartemen kini hanya gema samar di kepalanya. Wangi parfumnya pun hilang, seakan-akan waktu sengaja menyedot habis kehadiran perempuan itu. Yang tertinggal hanyalah sebuah gaun kuning di lemari—saksi dari masa ketika Rayendra masih percaya cinta bisa dipetakan seperti variabel penelitian. Di laptopnya, folder “EmoLink” masih ada. Sunyi. Tak ada notifikasi, tak ada aktivitas. Hanya seperti kuburan digital—panggung kosong setelah semua aktor turun, lampu dipadamkan, dan penonton pulang. Oleh karena itu, sebuah undangan muncul di inbox-nya: seminar psikologi publik di pusat kebudayaan. Judulnya “Trauma, Keterikatan, dan Ruang Pemulihan Emosional.” Pembicara utamanya : Amelia Larasati, S.Psi, M.Psi. Nama itu menancap lama di matanya. Bukan kaget—lebih seperti sadar bahwa nama itu kini sudah berdiri sendiri, tanpa sistem bayangan, tanpa hubungan tersembunyi. Rayendra datang, duduk di kursi belakang. Jaket dan topi yang dipakainya bukan untuk menyamar, tapi untuk melindungi diri dari rasa yang belum sepenuhnya padam. Amel berdiri di depan ruangan, penuh percaya diri. Kata-katanya meluncur dengan tenang: tentang trauma, semu yang berputar, tentang bagaimana orang bisa jatuh cinta bukan pada orangnya, melainkan pada sensasi yang diselamatkan. "Ketika seseorang rapuh, ia tidak butuh solusi. Ia butuh ruang. Dan bila ruang itu datang dari orang yang salah, cinta bisa tumbuh di atas menginginkan yang seharusnya dihindari." Kalimat itu menghantam Rayendra. Seakan dia mendengar vonis yang tak pernah resmi dibacakan. Seusai seminar, orang-orang bubar. Rayendra hendak keluar, tapi langkahnya tertahan. Dari kejauhan, Amel menatapnya. Tidak mengejutkan. Tidak marah. Hanya muncul seseorang yang akhirnya mengakui: mereka pernah ada, dan kini hanya dua orang yang berbagi luka yang sudah kering. “Kamu datang,” ucap Amel. “Iya.Dengar kamu bicara... rasanya kayak dengar versi aku yang sudah sembuh.” Amel tipis tersenyum. "Aku belum pulih sepenuhnya. Tapi aku tahu kapan harus berhenti berdarah." Mereka duduk di bangku taman luar gedung. Langit mulai gelap, lampu taman menyala pelan. Suasana sepi, tapi bukan sepi yang asing. Rayendra berkata lirih, “Aku baru sadar, semua yang kita jalani dulu... lebih tentang aku yang kehilangan arah, bukan tentang kamu.” “Kamu nyari arah lewat aku. Aku nyari validasi lewat kamu,” jawab Amel. “Kita tidak jatuh cinta, Ren. Kita jatuh bersama. Dan saling berpegangan, padahal tangan kita sama-sama gemetar.” Sunyi sesaat. “Tapi rasanya nyata,” bisik Rayendra. “Iya, rasanya nyata,” kata Amel, suaranya tetap lembut. "Tapi cinta butuh ruang yang sehat. Dan waktu itu... kita terlalu rusak untuk membangunnya." Tidak ada air mata, hanya mata yang berair. Tidak ada amarah, hanya kejujuran. Dua bulan kemudian. Rayendra kembali mengajar. Ironisnya, fakultas menugaskannya di kelas “Etika Riset Psikologi Modern.” Dosen yang dulu dikritik karena melanggar etika, kini berdiri di depan kelas membicarakan pagar moral. “Etika bukan pagar, tapi cermin,” katanya. “Kalau kamu merasa perlu menyembunyikan sesuatu dari data kamu sendiri, berarti kamu sedang berdiri di perbatasan—antara ilmu dan godaan pribadi.” Beberapa siswa mencatat dengan serius, beberapa kebingungan. Tapi Rayendra tahu: kata-kata itu bukan berasal dari buku teks. Itu lahir dari luka. Di ruang dosen, sebuah email masuk. Artikel lamanya dimuat ulang di majalah psikologi populer. Judulnya: “Kebutuhan Afeksi dalam Relasi Urban Berjangka Panjang.” Dulu, saya bangga dengan tulisan itu. Kini, dia hanya tersenyum getir. Tulisan itu bukan analisis tujuan—melainkan proyeksi. Alibi. Ia menutup laptop. Untuk pertama kalinya, ia melangkah ke masjid kampus. Bukan untuk seminar, bukan untuk survei sosial, tapi untuk salat Jumat. Khatib hari itu berbicara tentang amanah hati : betapa mudahnya manusia menjaga harta dan jabatan, namun betapa seringnya ia menghidupkan hati sendiri. Rayendra duduk di saf belakang, baju koko seadanya, dan merasa seperti seseorang yang akhirnya kehabisan tempat bersembunyi. Ia berdoa. Tidak menangis. Tapi hancur. Bukan karena kehilangan Amel. Bukan karena perceraian yang sebentar lagi diketok hakim. Tapi karena dia akhirnya mengerti: selama ini dia berpikir sedang menyelidiki emosi manusia, padahal dia hanya tenggelam di dalamnya tanpa pelampung. Dan untuk pertama kalinya, Rayendra tidak mencari teori. Ia hanya duduk. Diam. Menerima."Godaan tidak selalu datang dari ruang gelap atau kesepian. Kadang-kadang ia menyelip di antara meja kerja, tumpukan dokumen, dan sapaan biasa. Yang berbahaya bukan godaannya—melainkan bagaimana kita menutup mata seolah-olah ia tidak pernah ada."—Catatan Rayendra MahendraKejadian semalam sangat membuat hari ini kacau, untungnya kantor ku masih sepi.Setelah menikah dengan Inaya aku memutuskan untuk bekerja pada salah satu perusahaan penulisan seperti Content Writer, Editor, Penulisan Akademis, dengan gaji yang lumayan oke, sedangkan Inaya juga memutuskan hal yang sama yaitu bekerja sebagai asisten pada perusahaan di kantornya.Awalnya kami tidak adaniatan untk bekerja, namun kami sangat ingin membeli rumah untk kami berdua.Ya kehidupan kami berubah sangat drastisAku duduk di meja komputer ku, lalu menatap layar ku, namun aneh, masih saja aku tidak terfokuskan, mengingat kejadian semalam yang begitu menegangkanAku sangat bingung, kenapa kejadian seperti itu bisa terjadi dan kena
"Pagi ini terasa aneh. Bukan hanya karena tubuhku lemas, tapi juga karena pikiranku terisi kejadian semalam—suara, desah, dan datangnya yang membuatku sulit membedakan mana kenyataan dan mana khayalan."masih terasa berat akibat kejadian semalam, tanpa berlama lama aku segera beranjak dari yang benar benar membatk tempat tidurku untuk segera kekamar mandi untuk menyegarkan tubuhku.Seakan masih tidak menyangka, suara desahan Mama Liona yang menggoda, dan tatapannya yang benar benar membuatku terpesonaAku menelan ludah, dadaku terasa sesak oleh keadaan yang amat sulitTiba tiba Liana datang “Kaakkk, masih tidur ya?..aku mau liat dong” suaranya yang teramat lucu khas anak SMA itu mengetuk pintu kamarkuu, dia adik dari Inaya, Bentkan tubhnya cukup dibilang seksi untuk anak seumurannya, badannya tinggi dengan kulitnya yang putih membuat dia sangat cocok untuk dibilang cantik, apalagi ketika ia memakai daster merah muda yang membuat wajah imut nya sangat disukai para pria seumur nya.“Kak
Aku tidak percaya, ternyata tubh mertuaku jauh lebih nikmat dari pada istriku sendiri malam ini aku melepaskan hasrat ku dengan Mama Liona Ibu mertuak sendiri.“Enak banget ma, sampai sampai aku tidak bisa berhenti menggoyang”. Ucap Rayen yang sangat puas malam itu“Kamu juga sangat perkasa Rayen, mama sampai kewalahan, ayo kita lanjut lagi” “Siap ma, kita lanjut sampai pagi”Sedangkan inaya istri Rayendra berselingkuh dengan pria lain**Malam itu sangat dingin, hawa yang sangat menenangkan. Tapi tidak untukku . Aku terjaga malam itu dikamar dengan perasaan dan pikiran yang kacau, seharusnya disebelahku ada istriku yang menemaniku, disaat dingin yang mencengkam ini aku hanya bisa memeluk bantal.Memang 1 tahun ini aku sering bercinta dengannya semalaman. Sekarang benda pusakaku sedang tegang, tapi sekarang aku sendirian tidak mungkin jika aku sampai jajan di luar. Semenjak menikah nafsuku tinggi, apalagi cuaca dingin begini.Rayen mendapatkan pesan sara dari Inaya“Sayang jangan lup
"Cinta sejati bukan hanya tentang siapa yang kita pilih untuk bersama, tetapi juga keberanian untuk telanjang dalam arti yang paling jujur—tanpa topeng, tanpa dalih." —Catatan Inaya Malam itu, kamar sederhana Rayendra berubah menjadi ruang sakral. Bukan karena hiasan bunga atau lilin aromaterapi, tapi karena dua hati yang selama ini berputar dalam lingkaran luka, akhirnya menemukan keberanian untuk berhenti berlari. Inaya duduk di tepi ranjang, jarinya memainkan renda tipis gaun tidur yang baru saja ia kenakan. Ia tampak gugup, sesuatu yang jarang terlihat dari sosoknya yang biasanya kokoh. Rayendra, yang berdiri di dekat jendela, menutup tirai perlahan. Udara malam menyelinap sebentar sebelum benar-benar tertutup, menyisakan aroma hujan yang masih menempel di dedaunan. “Kenapa kamu diam?” tanya Inaya, suaranya lirih. Rayendra tersenyum kecil, lalu mendekat. “Aku takut kalau aku bicara, aku akan terdengar seperti dosen yang sedang memberi kuliah, padahal malam ini aku hanya ingin
Malam pertama bukan hanya tentang hasrat, tapi tentang janji untuk saling mencintai dan menjaga selamanya." —Rayendra, membatin Malam itu, setelah semua hiruk pikuk pesta berakhir, Rayendra dan Inaya akhirnya tiba di kamar suite pengantin mereka. Kamar itu didekorasi dengan indah, dengan taburan kelopak mawar merah di atas tempat tidur dan lilin-lilin aromaterapi yang menciptakan suasana romantis. Di dinding ada tulisan neon berbentuk hati dengan pesan “Selamat menempuh hidup baru, semoga cinta ini abadi “ Inaya merasa gugup sekaligus bersemangat. Ia tidak sabar untuk menghabiskan malam pertama sebagai istri Rayendra. "Indah sekali," ucap Inaya, mengagumi dekorasi kamar. "Tidak seindah dirimu," balas Rayendra sambil tersenyum lembut. Ia mendekati Inaya dan memeluknya erat. "Aku sangat mencintaimu," bisik Rayendra di telinga Inaya. "Aku juga sangat mencintaimu," balas Inaya. Rayendra mencium kening Inaya dengan lembut, lalu beralih ke bibirnya. Ciuman itu awalnya lembut dan penu
Cinta sejati adalah ketika kamu bisa memaafkan masa lalu dan membangun masa depan bersama." —Inaya, dalam hatinya Rayendra membeku di tempatnya, matanya terpaku pada sosok Amelia yang berdiri di dekat pintu masuk ballroom. Jantungnya berdegup kencang, dan keringat dingin mulai membasahi telapak tangannya. Inaya menyadari perubahan ekspresi Rayendra. Ia mengikuti arah pandang suaminya dan melihat Amelia. Ia menghela napas panjang. "Biarkan aku yang bicara dengannya," bisik Inaya sambil menggenggam tangan Rayendra erat. Rayendra mengangguk. Ia tahu, Inaya lebih kuat dari yang ia kira. Inaya berjalan menghampiri Amelia dengan langkah tegap. Ia berhenti tepat di hadapan mantan istri suaminya itu. Amelia menyambut mereka dengan senyum sinis. "Selamat, Rayendra, Inaya," ucap Amelia, suaranya dingin seperti es. "Semoga kalian bahagia... selamanya." "Amelia," sapa Inaya dengan tenang. "Apa yang kau lakukan di sini?" Amelia menatap Inaya dengan tatapan kosong. "Aku hanya ingin melihat







