Sebuah cangkir terjatuh ke lantai. Percikan air teh yang berada di cangkir mengenai dress yang digunakan Giselle. Menoleh pada pelaku. Giselle menampilkan raut datarnya, tidak ada kata maaf untuk pelaku.
“Sorry—Giselle tapi aku tidak sengaja,” ucap Xaviera memelas, menampilkan raut sangat meyakinkan jika dirinya memang tidak sengaja.“Oh My Godnees, apa yang terjadi?” tanya seorang wanita yang diikuti oleh pelayan dari belakang. Matanya tertuju pada Giselle. Menatapnya jengah seakan sudah tahu apa lagi yang dilakukan oleh menantunya yang kerap dicap sebagai pembuat onar. “Giselle kau berbuat ulah?”“No—Mom,” tolak Giselle membantah tuduhan mertuanya. “Kak Xaviera menjatuhkan Tehnya dan mengenaiku.” Ia tahu meski berusaha membela diri—mertuanya tidak akan percaya begitu saja padanya. Terlihat dari rautnya yang hanya menghela nafas sembari menggeleng.Xaviera menyatukan kedua tangannya. Giselle sangat hapal, Xaviera sangat pandai berakting—bahkan aktris terkenal saja mungkin kalah dengan kakak iparnya itu. “Sorry—Mom. Aku tidak sengaja. Sorry Giselle.”“Baiklah—Giselle ganti bajumu dulu. Setelah itu kembalilah ke sini untuk makan kue buatan Mommy,” ujar ibu Jordan. Wanita sosialita yang berumur lebih dari 60 tahun iu.“Oke, Mom.” Giselle bangkit dari duduknya. Tidak perlu banyak bicara lagi— ia memang harus pergi dari gerombolan jelmaan setan ini. Tanpa menoleh ia berjalan lurus ke arah kamar. Mansions orang tua Jordan memang sangat luas. Ia harus menaiki tangga lebih dulu sebelum mencapai kamar Jordan yang berada di lantai dua.Sampai di kamar ia langsung membuka lemari. Pakaiannya memang tidak banyak, namun semuanya masih terpasang logo baju desainer yang harganya mencapai puluhan juta. Melepaskan dress putih gadingnya, hingga sekarang tubuhnya hanya terbalut dalaman berwarna hitam.“Apa yang kau lakukan? Kau membuat ulah?” tanya seorang pria yang tiba-tiba datang dari arah pintu.Giselle tidak terkejut, itu suara Jordan. Ia menoleh sebentar lalu mengedikkan bahu. Fokusnya terpusat pada Dress berwarna maroon. Tangannya bergerak melepaskan logo dengan pelan. Sebuah tarikan di lengannya membuatnya hampir terjatuh.“Kenapa?” kesalnya pada si pelaku. Menatap tajam suaminya yang berani menghentikan aktivitasnya. Jika seminggu ini ia berusaha bersikap manis pada Jordan—sekarang sudah tidak lagi. Hati Jordan tErlandjur tertutup batu, besi, kapur dan semen bercampur pasir—sudah sangat sulit meluluhkannya.“Kau pasti membuat ulah lagi? Stop membuat keributan di keluargaku.” Jordan menatap Giselle dengan tajam.Giselle berdecih. Menatap Jordan yang kini menelusuri tubuhnya yang hanya terbalut dalaman saja. “Terpesona huh?” tanyanya angkuh.“Jangan bermimpi!” Jordan melangkah mundur menjauhi Giselle.“Kau pasti tidak menyangka tubuhku sebagus ini—bahkan lebih bagus dari selingkuhanmu di luar sana.” Giselle dengan percaya diri mengibaskan rambutnya ke belakang. “Kau bisa mencicipiku jika mau Jordan. Kau suamiku. Kau tidak tergoda denganku? Apa kau tidak normal sampai-sampai menyia-nyiakan istrimu yang cantik ini?”Jordan mengepalkan tangannya. “Tutup mulutmu! Ocehanmu tidak akan membuatku tergoda. Aku yakin beberapa pria telah menjamah tubuhmu. Aku tidak ingin menyentuh wanita yang sudah menjadi bekas banyak pria.”Setiap kalimat menusuk yang dilontarkan Jordan padanya, Giselle akan menganggapnya hanya sebuah omong kosong yang tidak perlu didengar. Menahan diri untuk tidak membalas dengan tindakan fisik yang nantinya juga akan merugikannya.“Kau akan menyesal Jordan!”~~Para pengawal berjajar di depan menyambut kedatangan Giselle dan Jordan. Pakaian mereka memang selalu sama setiap hari, yakni setelan kemeja hitam. Jumlah pengawal yang berkumpul lebih dari 20 orang. Tidak tahu sepenting apakah suaminya hingga memerlukan penjagaan yang begitu ketat—Giselle tidak akan mau repot-repot menanyakan hal itu. Melirik jam tangannya, ia ada jadwal pemotretan siang ini.“Untuk apa mereka berkumpul?” tanya Giselle saat mobil berhenti.“Salah satu pengawalmu ada yang mundur. Ada pengawal baru yang akan menggantikannya,” jelas Jordan.Giselle memutar bola matanya malas. “Lebih baik jika tidak ada pengawal yang mengikutiku.”Jordan menoleh, tatapan tidak sukanya menegaskan jika semua peraturannya tidak bisa ditawar apalagi diubah. “Jika terjadi sesuatu padamu—aku yang menanggungnya. Dan akan berdampak besar pada pandangan publik. Kau sebodoh itu untuk mengerti situasi?”“Ya—aku memang bodoh yang selalu berharap sedikit kebebasan darimu. Aku lelah dengan semua peraturan yang kau buat.” Peraturan yang dibuat Jordan memang membuatnya tertekan—kebebasan yang diinginkan tidak pernah ia dapat.Tidak ada lembut-lembutnya, Jordan mencengkram tangan Giselle yang nanti pasti akan memerah.“Patuhi semua peraturanku jika ingin hidup teratur dan tenang. Jangan membantahku apalagi mencoba memberontak. Aku bisa sangat mudah mengurungmu di Mansions tanpa bisa keluar sedikitpun.”“Kau sudah mengaturnya?” tanya Jordan pada orang kepercayaannya. Orang itu mengangguk. “Kau urus penjagaannya,” lanjutnya.Zeth selaku orang kepercayaan Jordan lagi-lagi mengangguk patuh. “Saya sudah menyiapkan orang yang akan menjaga Nona Giselle.”“Terserah. Aku masuk dulu,” ucap Giselle menyela. Bahunya acuh kemudian melangkah masuk ke dalam Mansions. Ingin segera keluar dari lingkaran Jordan. Jujur saja berdekatan dengan Jordan membuat bulu kuduknya kadang merinding. Mungkinkah Jordan mempunyai semacam aura hitam atau mistis yang sangat pekat hingga membuat orang sekelilingnya menjadi takut? Entahlah. “Kalian bubar! Laksanakan tugas kalian masing-masing!” perintah Jordan.“Kau awasi gerak-gerik semua pengawal baru. Jangan biarkan mereka menyentuh ranah terdalam Mansions. Pastikan mereka memang orang-orang yang bisa dipercaya.”~~“Saya Noah, saya pengawal baru, Nona.”Giselle menatap dalam seorang pria di depannya. Dari bawah hingga atas, semuanya nampak sempurna. Tubuh tinggi dan tegap, namun sayang wajahnya tidak sebagus badannya. Sebuah tompel yang berukuran besar menempel di pipi kanan.“Siapa namamu? Nola? Nora?” ulangi Giselle.“Noah,” ulangnya.Giselle mengangguk. “Oke Nola—Noah maksudku. Kau sekarang menjadi pengawal baruku?”“Iya—Nona.” Giselle memutar-mutarkan tasnya. “Lets go.” Berjalan santai diikuti oleh pengawal barunya bernama Noah itu, ia keluar dari Mansions.Jadwalnya siang ini tidak banyak, hanya melakukan pemotretan sebuah brand pakaian lokal. Pemiliknya adalah seorang selebriti terkenal dan juga temannya. Sebelum menikah, Giselle merupakan Selebgram yang mempunyai pengikut banyak. Sering menjadi Ambassador sebuah brand lokal maupun internasional. Semenjak menikah dengan Jordan yang berstatus sebagai pengusaha muda, dirinya semakin mendapat perhatian banyak orang.“Kau harus pulang sebelum jam 6 sore,” ucap seseorang dari belakang otomatis membuat Giselle berhenti.“Ya,” jawab Giselle malas kemudian melanjutkan langkahnya.“Jangan lakukan apapun yang membuatku malu!” teriak Jordan.Giselle sedikit tertawa. “Hanya berkumpul dengan temanku yang biasa saja tidak akan membuatmu malu, Jordan. Apakah status sosial selalu menentukan drajat seseorang?” “Berkumpulah dengan orang-orang berpengaruh. Temanmu yang miskin hanya akan mengemis padaku nantinya,” ucap Jordan dengan santai. Wajahnya yang angkuh membuat Giselle sangat muak. “Aku sudah berteman dengan banyak artis, pengusaha dan istri pejabat lain. Apa berkumpul dengan temanku sendiri tidak boleh? Kau sangat keterlaluan—aku hanya ingin berteman dengan orang yang kumau.” “Jika media sampai meliputmu sedang berkumpul dengan orang kampung itu—aku akan menghancurkan mereka. Aku akan benar-benar menghancurkan kehidupan mereka hingga kau yang akan menyesalinya nanti.”Jordan memegang dagu Giselle kasar. “Ingat ucapanku.” Setelah itu melepaskannya dan langsung berbalik pergi. Giselle mengepalkan kedua tangannya. Melirik Noah yang hanya diam saja menatap pertengkaran mereka. Ia menghela nafas kemudian berjalan keluar Ma
Hubungan mereka sempat terhenti saat Giselle dijodohkan atau dijual oleh orang tuanya pada Jordan. Mau tidak mau—Giselle harus menerima dirinya harus menikah dengan adik pria yang dicintainya. “I miss you,” bisik Erland. Memojokkan tubuh Giselle ke dinding. Mengurung tubuh mungil itu agar tidak bisa lepas darinya. Giselle hanya pasrah saat lehernya dihisap oleh Erland. Tangannya mengepal ingin segera menghentikan semua ini. Erland kembali menyatukan pangutan bibir mereka. Meski Giselle terdiam tidak membalas permainnya, Erland berusaha menggigit bibir Giselle agar terbuka. Hingga ia berhasil melesak masuk, memperdalam permainnya. “I want you—sweety,” bisik Erland. Menyatukan dahi, Erland tersenyum sembari mengusap pipi Giselle yang memerah. Kemudian beralih mengusap bibir wanita itu yang membengkak akibat perbuatannya. Giselle mendongak. “Aku tidak bisa.” Mencengkram erat gaunnya agar tidak turun. Mengepal sekaras mungkin untuk menyalurkan rasa kecewanya karena melanggar janjinya
Hampir menyemburkan kopinya. Melisa melotot seakan tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Giselle. “Apa? kau bilang dia pergi ke Amerika?”“Ya. Dia memang pergi ke Amerika bersama istri dan anaknya. Kau sudah tahu kegiatan rutin keluarga Jordan adalah bertemu 6 bulan sekali untuk makan malam. Meski tinggal di luar negeri harus menyempatkan waktu untuk pulang. Dan ya dia pulang dan menemuiku.”“Jangan bilang kau masih mencintainya?” tebakan Melisa hampir benar. Namun Giselle sudah tidak mencintai pria itu lagi. “Tidak—““Jangan bohong padaku Giselle.” “Baiklah-baiklah, aku hanya sedikit merindukannya. Tapi aku tidak bisa bersamanya lagi.” Melisa menepuk bahu Giselle dengan bangga. Melihat temannya yang bisa mengambil keputusan dengan tegas membuatnya bangga. Giselle yang sekarang jauh lebih berprinsip dari pada dulu. “Aku bangga denganmu. Prinsip untuk tidak menjalin hubungan dengan pria beristri harus terus kau pegang, Giselle. Jangan mau termakan janji manis laki-laki yang
“Bukan seperti itu, Nona.” Panik Noah tengah menatap Giselle. Pertama kalinya Noah bertatapan mata dengan majikannya itu. Di bawah sorot lampu yang tidak terlalu terang ini, kecantikan Giselle tidak memudar. Meski rambut acak-acakan, make up yang mulai luntur dan pakaian yang tidak serapi tadi. “Aku hanya bercanda.” Pecah juga tawa Giselle. “Aku tahu—kau tidak mungkin menyukai wanita sepertiku. Aku ini banyak kekurangannya. Aku bukan istri idaman, tidak bisa memasak, cerewet, suka cari ribut, biang masalah, pembawa sial, bar-bar dan apa ya….. kayaknya itu deh.” Giselle hanya tertawa santai saja. Sedangkan Noah tidak suka Giselle yang meredahkan diri seperti itu. “Jangan berpikir seperti itu—Nona. Anda harus percaya diri.” “Aku percaya diri dengan kecantikanku. Tapi selain itu—semuanya 0 %.” “Aku mendengar Nona lulusan kedokteran luar negeri. Nona pasti pintar.” Giselle bertepuk tangan. “Woaah—kau pasti mencari tahu tentangku. Kau ternyata teliti juga.” “Seperti itu.” “Mengenai
“Benarkah? Sepertinya bukan karena Diet. Apa kau Stress akhir-akhir ini?” Giselle tersenyum. “Aku tidak punya alasan untuk Stress kak.” Mengambil lengan Jordan dan memeluknya lembut. “Aku punya Jordan yang selalu mendukungku. Aku hanya diet saja. Banyak pemotretan yang menuntutku harus terlihat tetap langsing.” “Oh… baguslah..” balas Xaviera. Seperti biasa, menantu keluarga Parvis memang selalu mencari celah untuk menyerang saudara iparnya sendiri. Kalau bukan Giselle ya Laura. Giselle berdiri. Ijin ke kamar mandi. Setelah berada di dalam toilet. Ia menatap pantulan dirinya sendiri. Sampai kapan terus berada di situasi kepura-puraan ini. Giselle lelah terus diatur layaknya boneka oleh Jordan. Menatap pantulan dirinya di depan cermin. Benar apa yang dikatakan Xaviera, badannya memang terlihat lebih kurus. Karena apa lagi? Stress, terlalu banyak pikiran. Giselle bahkan tidak bisa makan dengan benar saat bersama Jordan. Mengusap beberapa keringat di dahinya. Giselle kembali menyapuk
“Tapi itu dulu—aku sudah tidak pernah melakukannya lagi. Jangan paksa aku—kali ini kau benar-benar keterlaluan!” Giselle berdiri dari duduknya. Berjalan ke arah pintu keluar Mansions—namun para pengawal dengan sigap menahannya. Mereka berjajar di depan Giselle dengan kompak. Giselle berdecih, membalikkan badannya. “Apa yang akan kudapat setelah aku melakukannya?” tanya Giselle lantang. Jordan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku. “Apa yang kau inginkan? Uang? Aku akan mentransfermu setelah kau pulang.” “Aku ingin cerai.” Tiga kata yang sangat sakral namun sering diucapkan Giselle pada Jordan. Membuat Jordan marah—sudah menjadi kebiasaannya. Jordan mengepalkan tangannya. “Jangan bersikap seolah aku membutuhkanmu. Aku sudah membelimu. Kau tidak berhak meminta lepas dariku.” Mengambil langakh lebih dekat—Jordan menancapkan kukunya ke pergelangan tangan Giselle. “Pergi dan turuti saja perintahku. Aku akan membayarmu—jangan banyak omong dan semakin membuatku marah.” Merasakan peri
“Aku baik, bagaimana denganmu, Selena?” sembari membalas pelukan selena.“Aku baik—tapi sebenarnya aku terpaksa mengikuti acara ini,” bisiknya pada Giselle. Giselle tertawa. Ia juga mengangguk pelan. “Me too.” Selena adalah anak dari seorang pengusaha yang katanya tahun ini akan mencalonkan sebagai Wali Kota. Jadi Selena seperti Giselle yang diajukan untuk memperkuat citra baik pada keluarganya. Mungkin sebagian dari relawan komunitas juga bertujuan sama. Tapi Giselle juga tidak menampik ada seseorang yang bergabung memang benar-benar ingin berkontribusi membangun masyarakat di pedesaan. Berjumlah 10, semuanya wanita. Ada tiga yang membawa bodyguard seperti Giselle. Untuk mencapai desa yang dimaksud—mereka menempuh perjalanan 3 jam dengan mobil, dilanjut 1 jam perjalanan menggunakan Motor. Setelah sampai, desa setempat menyambut mereka di sebuah balai desa. Mereka diberi arahan agar lebih mudah tinggal di desa selama satu minggu. Karena Desa yang masih terpencil dan letaknya di ba
Hari kedua dan ketiga terlewati dengan aman. Sekarang hari ke-empat. Agenda sekarang adalah penyuluhan tentang pernikahan dini. Nyatanya di kampung ini, banyak pernikahan dibawah umur. Di antara mereka juga banyak yang sudah melahirkan. Setelah melakukan penyuluhan, anggota komunitas akan berkeliling kampung. Memeriksa satu persatu rumah yang berisi oleh ibu muda ataupun ibu hamil. Giselle bersama Selena memasuki sebuah rumah. Di sana ada seorang gadis belia yang baru saja melahirkan. “Umur ibu berapa?” tanya Giselle. Ia membawa sebuah catatan yang nantinya akan diserahkan pada bidan setempat. “16 tahun, dok.” Giselle menatap perempuan itu belia yang nampak kurus. Tubuh yang tidak dirawat, penampilan yang begitu lusuh. “Saya periksa dulu.” Giselle melakukan pemeriksaan pada perempuan itu. “Saya akan beri vitamin. Di minum 3 kali sehari. Jangan sampai telat, karena kamu masih menyusui. Jadi sumber utama bayi ada di kamu.” “Terima kasih, Dok.” Perempuan itu menerima vitamin yang