Share

Chapter 2

Jordan melempar kakinya yang otomatis juga melempar istrinya menjauh hingga terjatuh di lantai. “Kau menjijikkan. Jangan lagi muncul di hadapanku.”

Langkahnya yang angkuh meninggalkan istrinya yang masih terduduk lemas di lantai. Siapapun yang melihat keadaan Giselle pasti sangat mengasahani wanita itu. Sedikitpun tidak pernah mendapatkan perhatian ataupun kasih sayang dari suaminya sendiri.

“Apa aku sangat tidak menarik?” lirih Giselle.

Di dalam Mansions mewah ini, Giselle tak lebih hanyalah seekor burung di dalam sangkar emas. Menjalani kehidupan sebagai istri Jordan si pengusaha dan pejabat pemerintah yang sukses membuatnya sangat tertekan. Di awasi seluruh mata, dibatasi gerak-geriknya dan dituntut harus sempurna tanpa celah di mata masyarakat.

Bagi orang-orang yang melihat, Giselle adalah wanita yang paling beruntung yang menikah dengan pria tampan dan sukses seperti Jordan. Mempunyai kekayaan yang melimpah dan hidup serba kelebihan. Namun, dibalik itu semua ada sebuah penderitaan yang dirasakan oleh Giselle. Sendirian, hampa dan kosong seperti itulah jiwanya sekarang.

“I miss you Ma,” lirih Giselle.

“Bangun, Nona. Anda bisa kedinginan terlalu lama di bawah,” ucap salah satu maid yang bekerja di Mansions. tangannya bergerak menyentuh lengan Giselle berusaha membantu.

Namun apa? Giselle akan menerima bantuan dari seorang pelayan? Tidak. Dengan kasar Giselle menghempaskan tangan Pelayan itu. “Tidak perlu! Jangan menyentuhku!”

Pelayan itu akhirnya memilih untuk menyingkir. Berbaris rapi dengan 2 pelayan lain. Giselle mengepalkan tangannya erat. Ia bahkan tahu betul sifat para pelayan itu—di depan mereka memang bersikap seolah menghormatinya, namun saat di belakang—mulut mereka tidak berhenti mengatakan omong kosong tentang dirinya.

~~

Ada sebuah agenda rutin yang selalu dilakukan oleh keluarga Jordan. Yakni berkumpul 6 bulan sekali. Meski berada di luar negeri tetap harus meluangkan waktu dan pulang. Hanya sekedar makan malam biasa, yang berharap bisa diisi oleh canda tawa, obrolan ringan khas keluarga. Lalu dilanjut minum teh untuk para wanita sedangkan pria bermain billiard ataupun catur.

Giselle minum teh dengan anggun. Usai menyeruput hangat tehnya, kemudian mengusapkan tisu ke bibirnya.

“Giselle, kulihat wajahmu semakin bersinar? Boleh kutahu tipsnya?” tanya seorang wanita cantik. Blasteran Indonesia-Rusia, wanita yang berstatus kakak ipar ketiganya—Catrine.

Giselle tersenyum tipis. “Tipsku hanya merawat wajah secara rutin.”

Catrine mengangguk. “Aku iri denganmu. Kau tidak pernah perawatan tapi mempunyai wajah yang mulus, sedangkan aku? Aku menghabiskan ratusan juta pergi ke Klinik untuk mendapatkan kulit secerah dan sebersih wajahmu.” Ia nampak menggeleng. “By the way kau menggunakan skincare apa?”

“Hanya Skincare yang dapat dibeli orang-orang.”

“Oh Giselle.” Catrine menggeleng lagi. “Aku benar-benar iri denganmu. Aku menggunakan Skincare khusus untuk wajahku, karena wajahku yang tidak bisa menggunakan Skincare biasa apalagi Skincare murah.”

Giselle nampak santai. Ia mengeluarkan tasnya yang berwarna kuning. Salah satu barang keluaran brand terkenal. Limited edition, tentu tas itu bernilai ratusan juta. Jumlahnya hanya ada 4 di dunia. “Aku hanya menggunakan produk lokal untuk merawat wajahku, kak.” Ia mengeluarkan produk skincare dari tasnya. Bertuliskan salah satu brand lokal yang harganya tidak sampai satu juta.

Namun fokus Catrine tidak pada benda yang ditujukkan oleh Giselle, melainkan tas kuning yang berlogo brand terkenal.

“Bukankah itu tas yang kau incar, Cat?” tanya seorang wanita yang duduk di samping kiri Giselle. Xaviera, kakak ipar keduanya. Lebih memihak pada Catrine yang usianya tidak jauh berbeda dengannya.

“Ya—aku mengincarnya. Katanya sudah dimiliki oleh orang lain dan aku tidak bisa memilikinya meski menawarkan harga dua kali lipat.” Catrine menatap Giselle dengan senyum paksa. “Aku tidak menyangka orang itu adalah kau, adik ipar.”

Giselle tersenyum puas. “Oh tas ini—aku mendapatkannya dengan mudah karena aku pernah menjadi Ambassadornya.”

“Kau beruntung mendapatkan adikku sebagai suami. Dia sangat royal hingga membiarkanmu menghamburkan uang untuk membeli barang branded,” ucap Gabriella kakak perempuan Jordan, kakak ipar pertamanya dan juga satu-satunya putri di keluarga Parvis. Ia duduk di sisi kiri Catrine.

“Hm—aku sangat beruntung. Meski dia terlihat dingin tapi sebenarnya dia sangat menyayangiku dan perhatian.” Giselle melirik suaminya yang tengah berbincang dengan ayah dan juga saudaranya.

“Ehm—sepertinya hanya aku yang ingin segera makan kookies ringan?” tanya seorang wanita yang duduk di samping kanan Giselle.

“Come on—Laura. Tubuhmu lebih berisi dari 6 bulan lalu. Kusarankan jangan terlalu banyak makan. Kau tentu tidak ingin adikku berpaling pada wanita lain bukan?” tanya Gabriella.

Giselle terdiam. Dari sudut matanya, ia melirik Laura, kakak ipar keempatnya itu tengah menghela nafas. Wanita cantik yang sering terkena cibiran karena bentuk tubuhnya. Laura cantik dengan tubuhnya yang tidak seideal menantu lainnya. Tubuh Laura memang berisi namun tidak sampai obesitas dan penyakitan. Cantik memang mempunyai versi sendiri ‘kan? buktinya Laura masih sangat dicintai suaminya.

“Malam ini waktunya makan right? Aku tidak akan diet malam ini—aku ingin makan banyak kue yang dibuat langsung oleh Mommy,” ujar Giselle.

“Kau juga, Giselle. Kau harus selalu menjaga bentuk tubuhmu agar Jordan tidak berpaling pada wanita lain,” kini Xaviera angkat bicara lagi.

“Aku tahu Jordan sangat mencintaku—aku percaya padanya. Dia tidak akan berpaling dariku.”

Catrine tertawa ringan. “Sampai sekarang kau belum juga hamil, Giselle. Kau tahu apa yang membuat laki-laki berat meninggalkan wanita? Itu karena ada anak. Berhati-hatilah mulai sekarang.”

Giselle tersenyum manis. “Ehm—kak, kau sudah mempunyai dua anak yang sudah besar. Kelak saat aku sudah hamil, aku ingin tips bagaimana cara melahirkan bayi yang sangat sehat hanya dalam kurun 4 bulan?”

Catrine mencengkram cangkir tehnya, apa yang dikatakan Giselle adalah sebuah penghinaan baginya. Semua orang tahu jika dirinya hamil diluar nikah yang menyebabkan kakak Jordan harus bertanggung jawab menikahinya. Diam-diam Giselle tersenyum tipis menikmati kemenangannya.

Dengan arogan Catrine menatap Giselle. “Karena aku subur—aku bahkan tidak perlu berkonsultasi dulu pada dokter untuk mendapatkan anak.” Matanya melirik Xaviera yang duduk di samping Giselle.

PYAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status