Share

Chapter 4

Giselle sedikit tertawa. “Hanya berkumpul dengan temanku yang biasa saja tidak akan membuatmu malu, Jordan. Apakah status sosial selalu menentukan drajat seseorang?”

“Berkumpulah dengan orang-orang berpengaruh. Temanmu yang miskin hanya akan mengemis padaku nantinya,” ucap Jordan dengan santai. Wajahnya yang angkuh membuat Giselle sangat muak.

“Aku sudah berteman dengan banyak artis, pengusaha dan istri pejabat lain. Apa berkumpul dengan temanku sendiri tidak boleh? Kau sangat keterlaluan—aku hanya ingin berteman dengan orang yang kumau.”

“Jika media sampai meliputmu sedang berkumpul dengan orang kampung itu—aku akan menghancurkan mereka. Aku akan benar-benar menghancurkan kehidupan mereka hingga kau yang akan menyesalinya nanti.”

Jordan memegang dagu Giselle kasar. “Ingat ucapanku.” Setelah itu melepaskannya dan langsung berbalik pergi.

Giselle mengepalkan kedua tangannya. Melirik Noah yang hanya diam saja menatap pertengkaran mereka. Ia menghela nafas kemudian berjalan keluar Mansions. Menyugar rambutnya dengan kasar, hanya menatap jendela samping saat mobil mulai dijalankan.

“Kau kaget melihat pertengkaranku dengan Jordan?” tanya Giselle pelan.

Noah nampak melirik kaca spion di depannya. Ia mengangguk samar.

Giselle tertawa sinis. “Semua orang di Mansions biasa membicarakanku ataupu mengolokku di belakang. Jika kau ingin menertawakanku, silahkan. Tapi jangan di depanku—lebih baik di belakangku agar aku tidak melihatnya dan merasa sakit hati.”

Noah hanya diam. Giselle menatapnya sedikit heran. Pengawalnya yang dulu lebih antusias mengajaknya berbicara. Mengorek apapun informasi darinya lalu dibocorkan pada kekasihnya yang merupakan pembantu di Mansion. Dan pada akhirnya Giselle memang selalu menjadi topik berbicangan di manapun ia berada—sekalipun di rumah.

“Kau bisa mendengarku?”

Noah mengangguk.

“Kau tidak bisu ‘kan?”

“Tidak, Nona.” Akhirnya suara berat Noah menjawab pertanyaannya.

“Ngomong-ngomong sebelum kau menjadi Bodyguardku kau juga menjadi bodyguard di tempat lain?” tanya Giselle.

Noah mengangguk. “Seperti itu.”

Mengangguk, puas karena Noah telah menjawab pertanyaannya meski tidak menjawabnya panjang lebar. Tidak terasa—mobil telah berhenti di salah satu gedung sebuah perusahaan. Ia segera turun dan diikuti Noah di belakangnya.

Orang-orang yang berada di lobi perusahaan menatapnya takjub. Ia tidak memperdulikan itu—ia bergegas masuk lift sebelum tertutup. Ia kalah cepat—lift tertutup. Namun sebuah tangan mencegahnya. Giselle menoleh siapa pemilik tangan itu. Tangan Noah berada di antara lift itu terjepit sebentar kemudian terbuka.

“Aku bisa menunggu,” ucap Giselle saat memasuki Lift yang hanya berisi beberapa orang saja.

Noah tidak menjawab. Hanya menatap lurus ke depan.

Jika dilihat-lihat Noah tampan dengan kulit kuning langsat—namun sebuah tompel di pipi membuatnya terlihat kampungan. Ada ide yang terlintas, bagaimana menghilangkan saja dengan cara operasi plastik di Korea. Sekalian membuat Noah semakin tampan. Ah ide gila yang hanya sekelebat muncul di pikiran Giselle.

Tak lama sudah sampai di lantai 5 di mana ia akan melakukan pemotretan. Giselle langsung masuk, berbicara sebentar dengan Manajer perusahaan. Setelah itu masuk ke ruang Wardrobe untuk berganti. Korean look, Giselle dimake up ala Korean style. Meski usianya menginjak 30 tahun—namun wajahnya masih seperti usia belasan. Selain cantik Giselle memiliki sisi cute yang tidak bisa dilihat orang hanya sekilas.

Sembari melakukan beberapa pose, mata cantik Giselle melirik seorang pria yang baru saja masuk ke dalam ruangan yang sama dengannya. Pria yang membuatnya muak dan rindu secara bersamaan. Meski ada rasa terkejut melihat pria itu ada dihadapannya lagi, namun tetap tidak boleh—hubungan mereka terlarang. Ia harus tetap menahan diri.

Cekrek cekrek cekrek cekrek

Usai melakukan pemotretan ia langsung pergi ruang Wardrobe. Mengusap make up yang menempel di wajahnya. Jari lentiknya perlahan melepaskan bulu mata palsu yang memberatkan. Usai membersihkan wajahnya—Giselle dibantu staff menurukan resleting gaunnya.

“Aku ingin bicara.” Seorang pria yang masuk ke dalam ruangan tanpa ijin. Kedatangannya membuat semua orang yang berada di ruang Wardrobe merasa kebingungan. Ingin mengusir tidak bisa karena pria itu adalah orang penting yang bekerja sama dengan perusahaan mereka.

Giselle melipat kedua tangannya. Mengangguk pelan memberi aba-aba jika dirinya tidak masalah. “Tinggalkan aku sendiri.”

Semua orang telah keluar, tinggal Giselle bersama pria itu. Perlahan pria itu mendekat namun seiring langkahnya yang maju—justru membuat Giselle semakin mundur hingga terbentur dengan tembok.

“Kenapa kamu menghindar hm?” tanyanya. Suaranya masih sama. Berat dan…..errrrrrh seksi. Pria matang berusia 37 tahun itu mengusap pipi Giselle dengan lembut.

“Hentikan—kau tidak bisa seperti ini.” Tidak ingin tangan lancang pria itu bertindak jauh. Ia mengambil tangan pria itu dari pipinya.

Tidak gentar. Pria itu semakin melancarkan aksinya. Menunduk—meniup pelan leher Giselle dengan sensual sembari berbisik. “Aku merindukanmu, My Giselle.”

“Kau Gila!” Mendorong dada bidang pria itu. Giselle tidak habis pikir pria itu masih saja berusaha mengejarnya. Tidak ada yang tahu mengenai hubungannya—termasuk Jordan.

Pria itu mengangguk. “Ya aku gila. Aku memang gila karenamu. Aku mencintaimu, Giselle!” berusaha menggenggam tangan Giselle. Ingin meyakinkan wanita di depannya jika cintanya memang sungguh-sungguh.

“Aku tidak bisa—kau kakak iparku, Erlandd. Hubungan ini tidak akan berhasil. Kau sudah bersama dengan Xaviera dan aku bersama adikmu—Jordan. Apa yang kau harapkan? Sekeras apapun mencoba bertahan hubunganku denganmu tidak akan berhasil.”

“Aku tidak peduli—aku menikahinya karena terpaksa. Kau juga menikah dengan Jordan dengan paksa. Kau lupa? Kau berjanji kita akan tetap bersama apapun yang terjadi.”

Giselle menggeleng. Ya dia dulu memang masih berhubungan diam-diam bersama Erland—kakak Jordan. “Itu dulu—sampai anak Pertamamu lahir dan membuatku kecewa. Kau mengingkari janjimu sendiri untuk tidak dekat apalagi menyentuh Xaviera. Kau mengingkarinya sendiri—Erland.”

Mendekap tubuh Giselle. Mencium aroma tubuh wanita kesayangannya. Demi apapun Erland sangat menyayangi Giselle. Meski sudah menikah dan mempunyai Xaviera di sisinya, ia tetap membutuhkan kehadiran Giselle.

“I love you, Giselle. Always.” Perlahan Erland mendekat. Menyatukan bibirnya dengan bibir Giselle. Menyesapnya yang penuh candu. Tangannya tidak tinggal diam—mengusap pinggang Giselle pelan. Menyusuri punggung terbuka Giselle akibat resleting gaun yang telah turun.

“Berhenti Erland.” Di tengah cumbuan yang diberikan Erland padanya—Giselle berusaha menolak.

Namun bagaimanapun ia juga rindu dengan pria itu. Meski Erland berstatus suami orang—tetapi selalu mengutamakan kepentingan Giselle. Bahkan dulu Erland rela pulang lebih awal dari dinas di luar negeri hanya untuk menemani Giselle yang saat itu sakit dan dirawat di rumah sakit.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status