"Saya?"
"Kenapa? Saya lihat kamu ingin mencobanya saat mengajukan pertanyaan tadi. Benar kan?" Saquyna tak menampik. Dia ingin mencoba melakukan sesuatu yang lebih menantang agar isi kepalanya tidak melulu soal hutang suaminya dan permasalahan rumah tangganya. "Saya perlu berpikir," ucap Saquyna lirih. Gusti memberikan kartu namanya pada Saquyna. "Hubungi saya jika kamu sudah membuat keputusan." Saquyna hanya mengangguk. "Turunkan saya di perempatan saja." °°° "Sa, uang bulanan ibu dan bapak belum kamu transfer ya? Makanya ibu ke sini karena token listrik mau habis. Bisa-bisa nanti malam ibu nggak bisa tidur kalau lampu tiba-tiba padam," ucap wanita paruh baya yang sudah duduk manis di ruang tamunya, Ainun, ibu mertua Saquyna yang sifatnya melebihi orangtuanya sendiri. Saquyna menghela napas panjang. "Apa aku dan mas Sunan sudah nggak punya privasi, Bu? Kenapa nggak bilang dulu kalau mau ke sini?" "Kalau bilang untuk apa? Kamu juga nggak di rumah. Sunan juga paling lagi main di luar. Ngapain sih kamu berlagak minta privasi? Biasanya juga ibu tinggal masuk saja karena punya kunci rumah ini," tegur Ainun dengan santainya. "Uangnya belum ada, Bu. Nanti kalau gajian, aku transfer ke nomor rekening ibu. Untuk saat ini, aku belikan token listrik yang lima puluh ribu dulu ya." Saquyna sudah merogoh tasnya untuk mengambil dompet tapi komentar pedas dari mertuanya membuatnya terhenti. "Gimana sih? Ibu jauh-jauh ke sini loh. Masa nggak bawa uang? Perjanjiannya kan ibu dan bapak masih dapat jatah dari Sunan meskipun dia sudah menikah." "Kalau begitu, minta sama mas Sunan, Bu. Aku sedang kesulitan keuangan. Sebenarnya aku nggak mau cerita ini sama ibu. Mas Sunan terlalu banyak berhutang sampai aku kewalahan membayarnya. Mas Sunan juga belum mendapatkan pekerjaan yang layak, jadi sampai detik ini aku masih jadi tulang punggung keluarga," jelas Saquyna. Ainun mendadak murka. Dia tidak terima kalau anaknya dijelek-jelekkan. "Asal kamu tahu, Saquyna. Sebelum menikah sama kamu, Sunan nggak pernah punya hutang. Sama ibu aja dia nggak pernah minta uang apalagi sampai hutang. Meskipun pekerjaannya hanya pekerja proyek tapi dia bisa menabung. Kalau dia punya hutang setelah menikah, itu berarti hutang-hutang itu untuk keluarganya. Biaya menikahi kamu nggak sedikit loh. Belum mas kawin, belum semuanya. Kamu harusnya bantu. Jangan malah menyudutkan Sunan. Kamu kan tahu kalau Sunan sangat cinta sama kamu makanya segala cara dia lakukan demi mendapatkan kamu. Makanya jadi wanita jangan suka meminta mas kawin atau pesta mewah pada laki-laki. Jatuhnya laki-laki harus ekstra cari uang. Heran deh ibu sama kamu. Kenapa kamu nggak bisa ikhlas membantu suamimu yang kesulitan? Kalau kamu ikhlas, rejeki kamu akan dilancarkan oleh Tuhan." Salah lagi bukan? Saquyna membatin sengit. Lagi-lagi dia yang jadi korban atas semua hutang-hutang suaminya. Bagaimana lagi dia bisa bertahan? Lagi-lagi semua kesalahan dilimpahkan padanya. Ya Tuhan... "Jika memang menikahiku adalah sebuah kesalahan, lebih baik minta mas Sunan untuk menceraikanku, Bu. Aku sudah lelah dengan semua ini. Aku bisa gila," ucap Saquyna frustasi. "Nggak bisa! Dalam kamus ibu, tidak ada yang namanya cerai. Kamu harus bisa bertahan dalam rumah tangga ini. Belajar lagi jadi istri yang bisa diandalkan jangan cuma ingin enaknya saja. Paham kamu?" sengit Ainun. Wajahnya menyiratkan kegelisahan karena permintaan Saquyna. Dia lalu meminta uang untuk membeli token listrik sebelum akhirnya pergi. Saquyna melempar tasnya ke atas sofa dan berteriak histeris. "Aku bisa gila, Ya Tuhan. Aku bisa gila!" °°° [Saya ingin bertemu] Saquyna meremas jarinya yang gemetar. Sudah berapa kali dia mengetik pesan tersebut tapi tidak satupun yang terkirim. Namun, entah menit ke berapa dia menyerah juga. Wanita itu memutuskan untuk menerima ajakan Gusti karena kepalanya benar-benar terasa mau pecah. Dia ingin melampiaskannya pada orang lain. Mau perselingkuhan atau perselisihan dia sama sekali tak peduli. [Saya jemput?] [Tidak. Tentukan saja dimana tempatnya] [Perumahan Elite Senja Indah nomor 9] [Oke] Perumahan? Sudah pasti Gusti kaya, pikir Saquyna. Bisakah aku meminta uang padanya? Perlahan dia mulai bangkit untuk mempersiapkan dirinya. °°° Saquyna melihat nomor yang tertera di dinding pagar. Nomor sembilan. Dia tidak salah tempat. Satpam perumahan juga tahu kalau dia adalah tamu dari rumah nomor sembilan, makanya dia bisa masuk tanpa ada halangan. Berulang kali wanita itu menghela napas gugup. Benarkah dia harus masuk? Ataukah dia memutarbalik lagi niatnya? Ceklek! Belum lagi dia selesai dengan perdebatan batinnya, seseorang membuka pintu. Siapa lagi kalau bukan Gusti. Pria itu hanya memakai t-shirt ketat dan celana pendek yang memperlihatkan kaki-kaki jenjangnya. Gusti membuka pagar besi di depannya. Tanpa menyapa Saquyna, dia meminta wanita itu untuk masuk. Saquyna ragu untuk melangkah. Apakah dia sanggup menjalani dua peran sekaligus? "Mau minum apa?" tanya Gusti sembari duduk di salah satu sofa ruang tamu. Rumah itu sangat minimalis. Perabotannya hanya seadanya dan tidak terlalu banyak pernak-pernik. Sesuai desain perumahan pada umumnya tapi lebih estetik dan berbeda dari yang lain. Warnanya juga lebih menyala ketimbang rumah-rumah yang lain. Apa Gusti menyukai warna yang terang? "Saya mau ambil sendiri," ucap Saquyna yang buru-buru bangkit ke dapur. Ruangan berwarna coklat itu terlihat jelas dari ruang tamu. Saquyna memilih mengambil minuman sendiri karena jantungnya sudah sangat mengganggu. Dia bahkan tidak yakin apakah jantungnya masih berfungsi dengan benar. Wanita itu berhenti di depan meja bar, menarik napas sebentar untuk menenangkan diri. Lalu, dia beralih ke kulkas. Ada banyak minuman di sana. Apa semua ini boleh dia minum? Saquyna menoleh ke arah ruang tamu. Dia terlonjak karena Gusti tiba-tiba saja ada di sampingnya. Pria itu dengan tenang menunduk untuk mengambil bir kaleng di dalam kulkas. Ketika dia mulai menarik diri, dengan sengaja kepalanya berhenti di depan wajah Saquyna tepat di depan bibir wanita itu. Sepersekian detik dia menoleh, menatap bibir mungil itu dengan teliti. Keduanya mematung sesaat. Saquyna tahu dia harus mundur untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan tapi kenyataannya tubuhnya justru diam. "Minum apa saja boleh," ucap Gusti. Napasnya mulai menggelitik wajah Saquyna. "Oh, eh, iya. Terimakasih," balas Saquyna lirih. Dia menghindari tatapan Gusti dengan beralih ke samping. Dia mengambil minuman kaleng yang sama seperti Gusti, lalu berbalik. Tapi ... Gusti menarik pinggangnya dengan satu lengan, kemudian berbisik, "Bisa minum bir?" Saquyna menunduk untuk melihat minuman kaleng dalam genggamannya, kemudian mengeluh pelan. Bodohnya. "Bisa!" Bohong! Saquyna sama sekali belum pernah mencoba bir. Minuman kemasan yang dia minum hanya sebatas kopi susu atau minuman rasa. "Yakin?" "Hm." "Baiklah." Saquyna mengira Gusti akan melepaskan pelukan lengannya tapi pria itu justru menyorongkan kepalanya hingga menyentuh rambut tergerai Saquyna. Saquyna menyadari jika Gusti sedang mengendus aroma shamponya. "Suka lemon?" "Lumayan." "Sama," jawab Gusti sambil tersenyum. "Untuk perselingkuhan ini, apa yang kamu harapkan dari saya? Finansial? Perhatian? Atau masalah ranjang? Untuk ketiganya saya bisa memenuhinya. Tidak masalah. Tentukan saja kapan waktunya. Tapi ... untuk sekarang saya hanya ingin mencari kesempatan dalam kesempitan ini." Hah? °°°"Stop? Kamu yakin?" tanya Gusti dengan sorot mata bingung. Bukannya mereka baru memulai? "Saya perlu berpikir lagi apakah yang kita lakukan ini benar. Soal uang yang saya pinjam, saya akan ganti pelan-pelan. Tapi untuk hubungan ini, saya ingin memikirkannya dengan serius," ucap Saquyna pelan. Dia merasa sudah menipu dan memanfaatkan Gusti. Ketika Saquyna mendadak diterkam oleh pria itu, pemikirannya malah tertuju pada Sunan. Suaminya memang sering membuat masalah tapi suaminya sangat setia padanya. Gusti melepaskan pandangannya pada Saquyna dengan tidak rela. Dia mengangguk samar kemudian, "Baiklah."°°°Penolakan Saquyna pada Gusti tidak membawa dampak apa-apa. Wanita itu tetap hidup dan bernapas sembari melakukan kegiatan sehari-hari. Sunan seperti biasa, hanya tidur di rumah lalu bermain bersama teman-temannya jika sudah lelah. Saquyna mencoba untuk menerima kekurangan suaminya. Dia tidak ingin bertengkar atau membuat suasana rumah menjadi lebih tidak kondusif. Dia juga belajar
"Hei, mentang-mentang kamu yang cari uang kamu bisa menghinaku? Dosa kamu menolak ajakan suami!" sentak Sunan marah. Emosinya memuncak, harga dirinya terluka."Lihat dulu siapa suaminya! Kalau mau aku mengiyakan ajakan kamu dengan senang hati, cari dulu uang untuk melunasi hutang kamu! Setelah kamu mendapatkan uangnya, mau sampai besok aku bersedia. Sudahlah, Mas. Aku lelah. Aku mau tidur. Kalau mau berantem, besok saja!" Saquyna membanting gelasnya lalu meninggalkan suaminya. Sunan tidak bisa berkutik! Dia bertahan demi uang yang Saquyna janjikan. "Kalau aku kaya, aku nggak bakal menikahimu!"Di balik pintu kamar, Saquyna menangis dalam diam. Telapak tangannya menggenggam kartu hitam Gusti. Tiba-tiba saja dia ingin melampiaskan emosinya pada Gusti. Apa pria itu ada di rumah? Tapi Saquyna baru saja dari rumah pria itu. Apa yang akan dipikirkan oleh Gusti kalau tahu dia tiba-tiba datang? 'Saquyna, Saquyna. Bisa nggak kamu mengesampingkan emosimu dan diam di rumah? Harga dirimu di ata
Putaran sembilan puluh derajat itu sanggup membuat bir kaleng dalam genggaman Saquyna terlepas. Wanita itu mendelik begitu bibirnya disapu bersih oleh bibir Gusti. Tidak rakus, juga tidak pelan. Seimbang. Membuat Saquyna mulai membandingkan kelihaian Sunan dan Gusti. Jujur, ciuman Gusti lebih membuatnya terbang ketimbang ciuman suaminya sendiri. Atau mungkin efek hubungan diam-diam yang akan mereka jalani nanti? "Aaa," pekik Saquyna ketika Gusti menggigit bibirnya. Gusti melepaskan ciumannya dan tertawa keras. "Itu hukuman karena kamu nggak mau buka mulut. Padahal tanggung banget."Muka Saquyna memerah. Bagaimana bisa dia semudah itu menerima ciuman Gusti? Mereka baru bertemu untuk membahas perselingkuhan mereka tapi dia sudah diserang. Gusti memungut bir kaleng yang terjatuh tadi, lalu mengambil minuman rasa lain di dalam kulkas untuk diberikan pada Saquyna. "Jangan memaksakan diri. Saya tahu kamu nggak bisa minum bir."Gusti menarik Saquyna untuk kembali duduk. Kali ini Gusti se
"Saya?""Kenapa? Saya lihat kamu ingin mencobanya saat mengajukan pertanyaan tadi. Benar kan?"Saquyna tak menampik. Dia ingin mencoba melakukan sesuatu yang lebih menantang agar isi kepalanya tidak melulu soal hutang suaminya dan permasalahan rumah tangganya. "Saya perlu berpikir," ucap Saquyna lirih. Gusti memberikan kartu namanya pada Saquyna. "Hubungi saya jika kamu sudah membuat keputusan."Saquyna hanya mengangguk. "Turunkan saya di perempatan saja."°°°"Sa, uang bulanan ibu dan bapak belum kamu transfer ya? Makanya ibu ke sini karena token listrik mau habis. Bisa-bisa nanti malam ibu nggak bisa tidur kalau lampu tiba-tiba padam," ucap wanita paruh baya yang sudah duduk manis di ruang tamunya, Ainun, ibu mertua Saquyna yang sifatnya melebihi orangtuanya sendiri. Saquyna menghela napas panjang. "Apa aku dan mas Sunan sudah nggak punya privasi, Bu? Kenapa nggak bilang dulu kalau mau ke sini?""Kalau bilang untuk apa? Kamu juga nggak di rumah. Sunan juga paling lagi main di lua
"Kalau mau bunuh diri, jangan merepotkan orang!"Suara bariton yang menusuk gendang telinga Saquyna terdengar nyaring. Wanita itu seketika membuka matanya. Tatapannya tertuju pada pria berpakaian santai lengkap dengan topi putih dengan logo sebuah merk. "Siapa yang merepotkan? Saya bunuh diri nggak minta ditolong kan? Lagian kenapa anda repot-repot menarik saya?" sentak Saquyna yang kemudian menjauh dari pelukan ringan pria itu. Pria itu menghembuskan napas kasar. "Saya juga nggak mau repot dan nggak perlu repot. Tapi karena mbak ada di depan mata saya, mau nggak mau saya menolong. Dikiranya saya yang mencelakai mbak kalau ketahuan diam."Apa-apaan ini? Kenapa Saquyna harus sial sekali lagi? Bukannya dia melompat untuk melepaskan semua kesialan itu? Ya Tuhan, haruskah Saquyna berterimakasih atau malah mengumpat? "Maaf," balas Saquyna pelan. Dia menunduk sedih kemudian berbalik. Dia harus kemana? Kembali ke toko jelas bukan pilihan terbaik. Kalau kembali ke rumah pun nasibnya tidak
[Brengsek! Bayar hutang kamu yang sudah menunggak dua bulan atau aku tagih ke rumah kamu!]Untuk ke sekian kalinya Saquyna menerima pesan singkat dari seseorang yang tidak dia kenal. Sebelum pesan itu mampir ke ponselnya, lebih dulu puluhan panggilan masuk membuatnya frustasi. Wanita itu sedang sibuk dengan nota-nota pembelian dari customer yang harus dia rekap setiap harinya ketika ponselnya terus menerus berdering. Awalnya dia pikir pesan itu hanya pesan spam yang mencoba untuk menerornya. Tapi kenyataannya, pesan itu pesan sialan yang harusnya ditujukan untuk suaminya. Pernikahan mereka baru seumur jagung. Tiga bulan adalah waktu yang singkat untuk saling membahagiakan pasangan masing-masing. Tiga bulan yang penuh keromantisan dan trik ranjang yang sanggup memuaskan pasangan. Tiga bulan yang harusnya belum mengungkapkan jati diri sebenarnya dari pasangan. Tapi? Kenyataannya baru satu minggu menikah, Saquyna sudah melihat dengan mata kepalanya sendiri seberapa besar hutang suam