Putaran sembilan puluh derajat itu sanggup membuat bir kaleng dalam genggaman Saquyna terlepas. Wanita itu mendelik begitu bibirnya disapu bersih oleh bibir Gusti. Tidak rakus, juga tidak pelan. Seimbang. Membuat Saquyna mulai membandingkan kelihaian Sunan dan Gusti.
Jujur, ciuman Gusti lebih membuatnya terbang ketimbang ciuman suaminya sendiri. Atau mungkin efek hubungan diam-diam yang akan mereka jalani nanti? "Aaa," pekik Saquyna ketika Gusti menggigit bibirnya. Gusti melepaskan ciumannya dan tertawa keras. "Itu hukuman karena kamu nggak mau buka mulut. Padahal tanggung banget." Muka Saquyna memerah. Bagaimana bisa dia semudah itu menerima ciuman Gusti? Mereka baru bertemu untuk membahas perselingkuhan mereka tapi dia sudah diserang. Gusti memungut bir kaleng yang terjatuh tadi, lalu mengambil minuman rasa lain di dalam kulkas untuk diberikan pada Saquyna. "Jangan memaksakan diri. Saya tahu kamu nggak bisa minum bir." Gusti menarik Saquyna untuk kembali duduk. Kali ini Gusti sengaja menjauh. Takut terjadi sesuatu yang tidak dia inginkan. "Jadi, saya punya tiga syarat untuk hubungan kita ini," kata Gusti sambil membuka penutup minuman kaleng Saquyna lalu memberikannya kembali. "Apa?" "Pertama, saya ingin adegan ranjang setiap satu minggu sekali dan kalau boleh, jangan beradegan ranjang dengan suamimu terlalu sering. Kedua, saya ingin kamu selalu terlibat dalam segala hal dalam hidup saya jika memungkinkan. Ketiga, saya akan membiayai semua kebutuhan kamu, suami kamu, orangtua kamu dan mertua kamu. Jadi, jangan berniat untuk bunuh diri lagi hanya karena uang." "Kenapa harus ada syarat pertama?" tanya Saquyna malu. "Karena saya laki-laki. Saya nggak menampik jika saya tertarik dengan tubuh kamu apalagi bibir. Makanya saya langsung terobos saja tadi. Maafkan saya." Saquyna malah semakin malu karena Gusti terlalu terang-terangan. "Lalu alasan untuk syarat kedua?" "Karena saya laki-laki. Di balik laki-laki sukses, ada wanita di belakangnya." "Istri kamu?" Raut wajah Gusti berubah drastis ketika mendengar pertanyaan Saquyna. "Sedang tidak mau diganggu." Saquyna bingung dengan kalimat itu. Maksudnya apa? "Maaf kalau saya agak lancang." "Nggak apa-apa. Kita harus terbuka untuk memulai hubungan ini. Kamu pasti penasaran dengan alasan ketiga bukan?" tanya Gusti balik. Saquyna mengangguk. "Alasan orang bunuh diri hanya ada dua. Satu, masalah keuangan dan yang kedua, rumah tangga. Kemarin kamu kelihatan linglung dengan tatapan mata kosong. Sorry to say sebelumnya aku kenal dengan teman yang terlilit banyak hutang dan tatapannya persis kamu. Jadi saya simpulkan kamu atau keluarga kamu punya masalah keuangan. Soal keuangan memang nggak cuma soal hutang tapi kalau sampai mengakhiri hidup pasti masalahnya lebih riskan dan menyangkut orang lain," jelas Gusti. Tepat sekali. Saquyna mulai terpikat oleh kepintaran Gusti. Tidak banyak orang yang bisa mendeskripsikan sejelas itu. Apa benar tatapan mata Saquyna tampak kosong saat itu? "Mau tanya apa lagi?" tanya Gusti penuh percaya diri. "Jujur saya bingung. Saya bisa sampai ke rumah ini saja rasanya seperti mimpi. Apalagi sampai memiliki niat untuk selingkuh. Kenyataannya saya memang terlilit banyak hutang. Jangan salah paham dulu karena bukan saya yang berhutang tapi suami saya. Saya ... tidak tahu harus bicara dengan siapa lagi soal ini. Keluarga saya juga menyalahkan saya karena saya memilih menikah dengan suami saya. Lalu keluarga suami saya sering meminta uang. Saya benar-benar butuh pijakan," jelas Saquyna dengan mata kebingungan. Lagi-lagi dia mengatakan dirinya bodoh karena bercerita pada pria asing yang sudah menciumnya sembarangan. "Maaf," lirih Saquyna. "Saya tahu. Jangan sungkan! Anggap saja saya suami kedua kamu jadi kamu bebas berkeluh kesah," ucap Gusti dengan nada bercanda. Suasana di rumah itu terasa lebih menakutkan ketika Saquyna menceritakan kisah hidupnya. Mendengar tiga kata kunci itu, Saquyna mendongak, "Saya mencintai suami saya." "Saya juga mencintai istri saya. Lalu apa bedanya?" "Alasan kamu berselingkuh?" tanya Saquyna penasaran. Gusti mengangkat bahunya, "Saya butuh kehangatan di atas ranjang. Itu saja." "Kamu bisa cari wanita di club malam. Banyak yang mau sama kamu kalau kamu bisa membayar mereka." "Benar. Tapi saya tidak suka berbagi dengan banyak orang. Saya hanya ingin satu wanita yang benar-benar mau menjadi selingkuhan saya dan hanya menjadi teman tidur saya," ucap Gusti santai. "Siapa bilang hanya menjadi teman tidur kamu kalau kenyataannya saya masih bersuami," cela Saquyna. "Itulah namanya perselingkuhan. Ada sensasi menegangkan dimana hubungan ini suatu saat bisa diketahui oleh pasangan masing-masing. Pada saat itu terjadi, mungkin saya akan melepaskan kamu dan kembali pada istri sah saya. Hubungan ini hanya sebatas bersenang-senang. Kamu mencoba mencari kesenangan di tengah permasalahan hutang suami kamu dan saya mendapatkan kehangatan yang tidak kunjung saya dapatkan. Simpel kan?" Ya. Gusti benar. Saquyna tidak perlu pusing masalah nanti karena sekarang dia bisa mendapatkan apa yang dia mau. "Ini," ucap Gusti ketika dia mengangsurkan kartu berwarna hitam miliknya. "Gunakanlah! Kata sandinya adalah tanggal pertemuan pertama kita di jembatan. Kamu jangan sungkan karena saya ingin membahagiakan kamu lebih dari yang kamu pikirkan." Membahagiakan? Hati Saquyna sedikit terusik mendengarnya. Dia pernah mendengar kata itu tapi pada akhirnya dia dikecewakan. °°° "Dari mana saja kamu? Aku cari di toko tapi katanya kamu nggak masuk," tegur Sunan begitu melihat Saquyna berjalan gontai ke ruang tamu. "Ke rumah teman," jawab Saquyna singkat. Dia memilih mengambil minuman di dapur ketimbang bicara dengan suaminya. Di perjalanan tadi, dia ingin menjajal mengambil uang dari kartu hitam yang dia terima. Sayangnya dia hanya berhenti di depan pintu penarikan online untuk beberapa saat dan berbalik tanpa melakukan apa-apa. Merasa tidak pantas mendapatkan uang semudah itu malah membimbangkan hati Saquyna. Ya Tuhan. "Teman yang mana?" cerca Sunan. Dia mengekori langkah Saquyna. "Kamu hanya punya teman Mayang. Itupun Mayang ada di toko. Lalu siapa yang kamu temui?" Telapak tangan Saquyna yang hendak mengambil gelas terhenti. Tarikan napasnya terasa kaku. "Memangnya aku nggak boleh punya teman selain Mayang. Aku begini juga untuk mencari uang, Mas. Aku perlu membayar hutang online kamu yang menumpuk atau kalau nggak rumah ini akan disita. Aku malu kalau sampai tetangga tahu gara-gara hutang, kita nggak punya tempat tinggal." Mendengar alasan Saquyna, Sunan tidak lagi mengusik wanitanya. Dia justru mengambil gelas dan mengisinya dengan air dingin. "Minumlah! Maafkan suamimu ini ya, Sayang. Aku mana tahu kamu berusaha keras untuk membayar hutang kita. Aku janji, hari ini aku akan melayani kamu dengan baik. Kamu mau dimasakin apa?" Mata berbinar Sunan justru membuat Saquyna geram. Dia mual. Dia benar-benar tidak suka dengan sikap menjilat suaminya. "Nggak perlu repot-repot, Mas. Aku bisa masak sendiri," tolak Saquyna. Sunan tidak habis akal. Semakin Saquyna menolak, semakin Sunan menempel padanya. Melihat tubuh seksi istrinya, dia malah ingin mendapatkan jatahnya. Dipeluknya istrinya erat, diciuminya bagian leher istrinya sampai memerah. Lalu dia berbisik, "Aku sudah siapkan jamu, Sayang. Malam ini kita bisa sampai pagi. Kamu pasti kangen kan karena sudah lima hari kita nggak tidur bersama?" Muak! Saquyna justru mendorong suaminya menjauh. "Kamu pikir aku istri gampangan? Sudah nggak mau menafkahi tapi malah minta jatah sampai pagi. Kamu kira aku robot, Mas?" °°°"Stop? Kamu yakin?" tanya Gusti dengan sorot mata bingung. Bukannya mereka baru memulai? "Saya perlu berpikir lagi apakah yang kita lakukan ini benar. Soal uang yang saya pinjam, saya akan ganti pelan-pelan. Tapi untuk hubungan ini, saya ingin memikirkannya dengan serius," ucap Saquyna pelan. Dia merasa sudah menipu dan memanfaatkan Gusti. Ketika Saquyna mendadak diterkam oleh pria itu, pemikirannya malah tertuju pada Sunan. Suaminya memang sering membuat masalah tapi suaminya sangat setia padanya. Gusti melepaskan pandangannya pada Saquyna dengan tidak rela. Dia mengangguk samar kemudian, "Baiklah."°°°Penolakan Saquyna pada Gusti tidak membawa dampak apa-apa. Wanita itu tetap hidup dan bernapas sembari melakukan kegiatan sehari-hari. Sunan seperti biasa, hanya tidur di rumah lalu bermain bersama teman-temannya jika sudah lelah. Saquyna mencoba untuk menerima kekurangan suaminya. Dia tidak ingin bertengkar atau membuat suasana rumah menjadi lebih tidak kondusif. Dia juga belajar
"Hei, mentang-mentang kamu yang cari uang kamu bisa menghinaku? Dosa kamu menolak ajakan suami!" sentak Sunan marah. Emosinya memuncak, harga dirinya terluka."Lihat dulu siapa suaminya! Kalau mau aku mengiyakan ajakan kamu dengan senang hati, cari dulu uang untuk melunasi hutang kamu! Setelah kamu mendapatkan uangnya, mau sampai besok aku bersedia. Sudahlah, Mas. Aku lelah. Aku mau tidur. Kalau mau berantem, besok saja!" Saquyna membanting gelasnya lalu meninggalkan suaminya. Sunan tidak bisa berkutik! Dia bertahan demi uang yang Saquyna janjikan. "Kalau aku kaya, aku nggak bakal menikahimu!"Di balik pintu kamar, Saquyna menangis dalam diam. Telapak tangannya menggenggam kartu hitam Gusti. Tiba-tiba saja dia ingin melampiaskan emosinya pada Gusti. Apa pria itu ada di rumah? Tapi Saquyna baru saja dari rumah pria itu. Apa yang akan dipikirkan oleh Gusti kalau tahu dia tiba-tiba datang? 'Saquyna, Saquyna. Bisa nggak kamu mengesampingkan emosimu dan diam di rumah? Harga dirimu di ata
Putaran sembilan puluh derajat itu sanggup membuat bir kaleng dalam genggaman Saquyna terlepas. Wanita itu mendelik begitu bibirnya disapu bersih oleh bibir Gusti. Tidak rakus, juga tidak pelan. Seimbang. Membuat Saquyna mulai membandingkan kelihaian Sunan dan Gusti. Jujur, ciuman Gusti lebih membuatnya terbang ketimbang ciuman suaminya sendiri. Atau mungkin efek hubungan diam-diam yang akan mereka jalani nanti? "Aaa," pekik Saquyna ketika Gusti menggigit bibirnya. Gusti melepaskan ciumannya dan tertawa keras. "Itu hukuman karena kamu nggak mau buka mulut. Padahal tanggung banget."Muka Saquyna memerah. Bagaimana bisa dia semudah itu menerima ciuman Gusti? Mereka baru bertemu untuk membahas perselingkuhan mereka tapi dia sudah diserang. Gusti memungut bir kaleng yang terjatuh tadi, lalu mengambil minuman rasa lain di dalam kulkas untuk diberikan pada Saquyna. "Jangan memaksakan diri. Saya tahu kamu nggak bisa minum bir."Gusti menarik Saquyna untuk kembali duduk. Kali ini Gusti se
"Saya?""Kenapa? Saya lihat kamu ingin mencobanya saat mengajukan pertanyaan tadi. Benar kan?"Saquyna tak menampik. Dia ingin mencoba melakukan sesuatu yang lebih menantang agar isi kepalanya tidak melulu soal hutang suaminya dan permasalahan rumah tangganya. "Saya perlu berpikir," ucap Saquyna lirih. Gusti memberikan kartu namanya pada Saquyna. "Hubungi saya jika kamu sudah membuat keputusan."Saquyna hanya mengangguk. "Turunkan saya di perempatan saja."°°°"Sa, uang bulanan ibu dan bapak belum kamu transfer ya? Makanya ibu ke sini karena token listrik mau habis. Bisa-bisa nanti malam ibu nggak bisa tidur kalau lampu tiba-tiba padam," ucap wanita paruh baya yang sudah duduk manis di ruang tamunya, Ainun, ibu mertua Saquyna yang sifatnya melebihi orangtuanya sendiri. Saquyna menghela napas panjang. "Apa aku dan mas Sunan sudah nggak punya privasi, Bu? Kenapa nggak bilang dulu kalau mau ke sini?""Kalau bilang untuk apa? Kamu juga nggak di rumah. Sunan juga paling lagi main di lua
"Kalau mau bunuh diri, jangan merepotkan orang!"Suara bariton yang menusuk gendang telinga Saquyna terdengar nyaring. Wanita itu seketika membuka matanya. Tatapannya tertuju pada pria berpakaian santai lengkap dengan topi putih dengan logo sebuah merk. "Siapa yang merepotkan? Saya bunuh diri nggak minta ditolong kan? Lagian kenapa anda repot-repot menarik saya?" sentak Saquyna yang kemudian menjauh dari pelukan ringan pria itu. Pria itu menghembuskan napas kasar. "Saya juga nggak mau repot dan nggak perlu repot. Tapi karena mbak ada di depan mata saya, mau nggak mau saya menolong. Dikiranya saya yang mencelakai mbak kalau ketahuan diam."Apa-apaan ini? Kenapa Saquyna harus sial sekali lagi? Bukannya dia melompat untuk melepaskan semua kesialan itu? Ya Tuhan, haruskah Saquyna berterimakasih atau malah mengumpat? "Maaf," balas Saquyna pelan. Dia menunduk sedih kemudian berbalik. Dia harus kemana? Kembali ke toko jelas bukan pilihan terbaik. Kalau kembali ke rumah pun nasibnya tidak
[Brengsek! Bayar hutang kamu yang sudah menunggak dua bulan atau aku tagih ke rumah kamu!]Untuk ke sekian kalinya Saquyna menerima pesan singkat dari seseorang yang tidak dia kenal. Sebelum pesan itu mampir ke ponselnya, lebih dulu puluhan panggilan masuk membuatnya frustasi. Wanita itu sedang sibuk dengan nota-nota pembelian dari customer yang harus dia rekap setiap harinya ketika ponselnya terus menerus berdering. Awalnya dia pikir pesan itu hanya pesan spam yang mencoba untuk menerornya. Tapi kenyataannya, pesan itu pesan sialan yang harusnya ditujukan untuk suaminya. Pernikahan mereka baru seumur jagung. Tiga bulan adalah waktu yang singkat untuk saling membahagiakan pasangan masing-masing. Tiga bulan yang penuh keromantisan dan trik ranjang yang sanggup memuaskan pasangan. Tiga bulan yang harusnya belum mengungkapkan jati diri sebenarnya dari pasangan. Tapi? Kenyataannya baru satu minggu menikah, Saquyna sudah melihat dengan mata kepalanya sendiri seberapa besar hutang suam