Kata-kata Kaisar Lin Yi barusan menggema di benak semua pejabat. Namun, tak seorang pun berani menjadi yang pertama. Mereka saling lempar pandang dari balik kepala yang menunduk, wajah mereka pucat, keringat dingin menetes di pelipis. Detik terasa panjang. Hingga akhirnya, seorang pejabat tua dari barisan kiri, dengan jubah kebesaran hitam panjangnya, menghela napas berat. Dia perlahan merendahkan tubuh, lalu bersujud dalam-dalam, suara seruannya terdengar mantap walau gemetar. “Hamba memberi hormat pada Ratu Chun!” suara itu menggema di aula besar, membuat atmosfer yang kaku sedikit retak. Seolah mendapat isyarat, pejabat lain pun segera menyusul. Satu per satu mereka menjatuhkan diri bersujud, suara-suara hormat mulai bersahutan, saling tindih, hingga bergemuruh. “Kami memberi hormat pada Ratu Chun!” “Kami memberi hormat pada Ratu Chun!” Gaung itu menebas hening, memenuhi seisi ruangan, hingga hanya tersisa tiga orang pejabat yang tetap tegak. Mereka berdiri kaku, wajah men
Ketegangan belum usai, tiga pelayan berpakaian putih gading masuk dengan langkah pelan tapi teratur. Bayangan mereka memanjang di lantai ubin yang berkilau, membuat seisi aula spontan melempar pandangan ke arah mereka. Terutama pada apa yang mereka bawa.Pelayan pertama membawa baki hitam berlapis emas. Di atasnya terletak sepasang tusuk rambut Phoenix berkilau, emas murni yang diukir halus hingga seakan-akan bulu burung itu bisa bergerak. Batu permata merah darah menghiasi matanya, seolah api yang tak pernah padam.Pelayan kedua membawa gulungan sutra putih dengan segel naga merah menyala yang melambangkan kekuasaan tertinggi Kaisar.Pelayan ketiga membawa baki betisi jubah, berwarna merah marun menyala dengan sulaman burung hong berekor sembilan. Benang emasnya bersinar setiap kali terkena cahaya lampu minyak, seolah sayap-sayap burung itu hendak terbang ke angkasa. Setiap helai jahitan adalah karya seni, setiap lengkungan ekor burung hong membawa lambang keberlangsungan dinasti.Me
Langkah berat sepatu besi bergema di koridor panjang paviliun Naga Emas. Sore yang perlahan meredup membuat bayangan tiang-tiang istana memanjang di lantai batu. Jenderal Shang Que memimpin patroli kecil bersama beberapa pengawal, wajahnya tetap dingin, sorot matanya tajam menyapu sekeliling, memastikan tidak ada gerakan mencurigakan. Dari arah berlawanan, Chu Qiao muncul. Begitu menyadari siapa yang datang, napasnya langsung tercekat. Dia menunduk cepat, bahunya menegang, jemarinya bergetar halus di sisi tubuh. Lidahnya refleks membasahi bibir yang kering, tapi kelembapan itu hilang secepat dia berusaha menahannya. Shang Que tidak berhenti. Tidak ada tanda dia berniat mengurangi langkahnya, seakan Chu Qiao hanyalah bagian dari pemandangan istana yang tak perlu diperhatikan. Tubuhnya tetap melangkah lurus, tegap, tanpa goyah sedikit pun. Hanya bola matanya yang bergerak. Sekilas. Entah itu sebuah lirikan yang disengaja atau hanya gerakan refleks seorang jenderal yang terbiasa meng
Di bawah naungan pohon plum, sebuah meja rendah dipasang, di atasnya terletak kecapi panjang dengan permukaan mengilap. Chun Mei duduk anggun, jemarinya menari luwes di atas senar, menghasilkan melodi jernih yang mengalun, lembut tapi penuh perasaan. Wajahnya tenang, mata menunduk dengan senyum samar, seolah hanya musik yang ada di dunia ini. Di sampingnya, Chu Qiao berdiri tegak, sedikit condong ke belakang dengan lengan terlipat. Ekspresinya datar, pandangan matanya kosong, seolah nada-nada yang mengalun tak benar-benar masuk ke telinganya. Ada garis tegas pada wajahnya, dingin, seakan pikirannya jauh melayang entah ke mana, bukan pada musik, bukan pula pada Chun Mei. Chun Mei melirik sekilas dari bawah matanya, tanpa menghentikan petikan senar. Jemarinya yang lentik bergerak semakin lembut, seakan mencoba menyelipkan rasa hangat ke dalam melodi. Namun, Chu Qiao tetap tak bergeming, tatapannya lurus tanpa emosi. Hanya suara kecapi yang memenuhi udara, berpadu dengan kicau buru
Di markas rahasia Zhuge Liang. Dari balik pintu rahasia di dalam goa, yang selalu dijaga ketat, tanah luas terbentang di tempat terbuka. Tidak ada kerumunan penduduk, tidak ada aktivitas kehidupan manusia pada umumnya. Di tempat itulah, Zhuge Liang menampung banyak pasukan, yang dilatih, ditempa menjadi sosok prajurit tangguh, yang dia sendiri percaya dapat melawan tiga musuh sekaligus. Di sana, suara teriakan pasukan berlatih menggema, menggetarkan udara siang yang panas. Derap langkah kaki yang serempak, hentakan tombak yang membelah angin, semua terdengar penuh disiplin. Aroma keringat bercampur dengan bau tanah dan debu yang berterbangan setiap kali barisan bergerak. Tak jauh dari tempat para prajurit itu dilatih, sekelompok prajurit lain tengah membawa pasokan makanan. Karung-karung beras dipanggul dengan hati-hati, ditutupi kain lusuh agar menyerupai barang dagangan biasa. Gerakan mereka penuh kewaspadaan, sedikit pun tidak boleh menimbulkan kecurigaan jika ada mata asin
Kaisar bergeming. Seakan-akan suara selir agung tak lebih dari desir angin yang lewat, tidak mampu menembus dinding batin yang kini sepenuhnya terfokus pada wanita di sisinya. Jemari besar Kaisar tetap mengunci tangan mungil Chun Mei, bahkan dia meremasnya lebih erat, seolah hendak mengukuhkan bahwa hanya perempuan ini yang berhak menerima seluruh perhatiannya. Tatapannya tak bergeser sedikit pun; tetap menelusuri wajah pucat Chun Mei, seakan mencari kekuatan dari napas lemah wanita tersebut. Selir agung yang berdiri di tengah ruangan menanti jawaban. Jantungnya berdegup keras, telinganya bergetar oleh senyap yang menusuk. Namun, semakin lama dia menunggu, semakin jelas pula bahwa keberadaannya tak dihiraukan. Bibirnya bergetar, ingin mengulang perkataan tadi, tetapi pandangan dingin Kaisar yang sekilas beralih padanya, hanya sekilas, membuat kata-kata itu membeku di kerongkongan. Sorot mata itu tajam, tak perlu suara untuk menyampaikan; jangan berani mengusik. Keheningan menggan