Pagi itu di Paviliun Naga Emas, uap hangat masih mengepul dari tungku perunggu, bercampur aroma kayu gaharu.Kaisar baru saja selesai mandi, rambutnya masih basah sebagian, jatuh menutupi bahu, dan hanya mengenakan jubah dalam tipis warna putih. Kasim Feng berdiri di sisi pintu, memegang lipatan pakaian dinas Kaisar yang berwarna hitam emas, siap untuk dikenakan. Namun, sebelum satu langkah pun mendekatkan pakaian itu ke tubuh Kaisar, pintu ganda kamarnya terbuka keras.“Lin Yi!”Suara serak tapi tajam itu menusuk udara pagi, diikuti langkah cepat seorang wanita tua yang tetap terlihat berwibawa meski keriput telah mengukir wajahnya.Dialah nenek permaisuri, bagai badai yang menerobos, mengabaikan salam dan larangan kasim Feng yang panik mencoba menahannya.“Yang Mulia! Sudah lima tahun ini kamu seperti ini!” serunya dengan mata menyipit tajam.Kaisar yang tengah meraih ikat pinggang hanya bisa menghela napas panjang. “Nenek—”“Diam!” potongnya cepat, mengangkat tongkat giok yang sela
Di Paviliun Selir Agung.Cahaya sore menembus tirai tipis, membiaskan kilau emas pada hiasan rambut giok yang menghiasi kepala selir agung. Dia duduk anggun di kursi tunggal berlapis sutra ungu tua, sandaran punggungnya tinggi, memantulkan bayangan tubuhnya yang ramping tapi berwibawa.Secangkir teh melati beruap di meja kecil di sampingnya belum juga tersentuh. Bukan itu yang menarik perhatiannya. Di jemari lentiknya, dia memutar-mutar sebuah botol kaca kecil berleher ramping, berisi cairan bening kehijauan. Botol itu berkilau ketika terkena cahaya, seolah menyimpan rahasia yang tak boleh disentuh sembarang orang.Botol itulah wewangian peninggalan selir Zhao.Wewangian yang konon memikat siapa saja yang menciumnya. Mengikat hati, membutakan pikiran. Namun, selir Zhao mengatakan, pesonanya menyimpan racun yang tak bisa dideteksi tabib mana pun.Selir agung tersenyum samar, bibirnya menyentuh permukaan cangkir tanpa menyesapnya. Matanya yang teduh dan licin memandangi botol itu sejena
Di Pondok Jingxu. Udara sore di luar kota Kekaisaran berbau tanah lembab, bercampur samar aroma obat-obatan. Angin menelusup dari celah jendela bambu, membawa suara daun bambu beradu pelan. Selir Mu Fei duduk di hadapan meja panjang yang di atasnya berderet botol-botol kecil berisi ramuan herbal. Di belakangnya, seorang tabib berusia separuh baya baru saja membereskan kotak obat, membungkuk hormat sebelum pamit. "Ramuan ini akan mempercepat pemulihan, tapi bekasnya tetap butuh waktu," ucap tabib itu, suaranya hati-hati, seolah sedang berjalan di atas tali tipis. "Jangan terlalu banyak melihat cermin, Nyonya Mu Fei. Semakin Anda gelisah, semakin lambat kulit beregenerasi." Mu Fei tidak menjawab, hanya meliriknya lewat pantulan cermin perunggu di meja. Tabib itu mengerti isyaratnya, segera menunduk dan keluar. Kini hanya ada dia dan bayangan dirinya. Perlahan, Mu Fei mengangkat cermin perunggu itu. Pantulan wajahnya kini sudah jauh berbeda dari saat pertama kali dia dikiri
Di Paviliun Qingxin.Chun Mei duduk di bantalan empuk, dengan meja rendah berisi tumpukan buku di hadapannya. Dia mengenakan jubah tipis berwarna lembayung pucat, rambutnya lagi lagi hanya disanggul sederhana menggunakan hiasan bunga giok di sisi kanan kepala. Wajahnya tenang, bibirnya tersenyum samar, dan di tangannya ada sebuah buku yang belum dibuka.Pelayan pribadi wanita itu, Liu Ning, mendekat dengan langkah hati-hati.“Nyonya Chun,” bisiknya, “rombongan Permaisuri Yuwen sudah di gerbang luar.”Alis Chun Mei sedikit terangkat. “Rombongan Permaisuri Yuwen?”Tidak banyak informasi, yang Chun Mei tahu tentang Permaisuri Yuwen, kecuali tentang status wanita itu yang begitu agung, tapi tak pernah mendapatkan sedikit pun posisi di hati Kaisar.Lima tahun mereka menikah, Permaisuri Yuwen lebih layak disebut patung daripada seorang istri.Lalu, sekarang. Tidak ada angin, tidak ada hujan, wanita pemilik gelar tertinggi itu tiba-tiba saja datang ke sini.Ke Paviliun Qingxin, milik seorang
Di Paviliun Selir Agung.Udara di dalam ruangan remang itu beraroma rempah dan bunga kering, bercampur samar dengan asap dupa yang mengepul dari tungku perunggu di sudut. Hening. Hanya suara isakan yang sesekali pecah, merobek ketenangan yang dibuat-buat.Selir Zhao bersujud di depan kursi tinggi berlapis kain brokat biru tua. Tubuhnya gemetar, gaunnya sudah kotor karena debu di lantai. Rambutnya tak lagi rapi, beberapa helaian terurai liar, menempel di wajah yang basah oleh air mata.“Aku sudah menuruti perintahmu,” suaranya parau, “aku buatkan wewangian yang Selir Agung inginkan.”Matanya memohon. Tangannya menyentuh lantai, merangkak lebih dekat. “Kamu bilang akan melindungiku. Kamu bilang aku tidak akan terusir, tetapi sekarang, aku bahkan dipulangkan seperti sampah.”Di atas kursi, Selir Agung duduk dengan kepala sedikit bersandar. Matanya terpejam. Jelas bukan karena tidur. Parasnya tenang, bahkan terlalu tenang untuk seorang wanita yang baru saja ditagih janji. Jari-jarinya yan
Di Paviliun Qingxin. Beberapa hari ini, Chun Mei benar-benar merasa damai. Kaisar tidak mengganggunya, Selir Li Muwan dipulangkan bahkan gelar Selir utamanya dicabut, Selir Mu Fei masih dalam tahap 'pemulihan' dan untuk selir Zhao, tak ada tanda pergerakan apapun, karena Chun Mei tahu wanita ini masih terjebak kekhawatiran, karena ulah sendiri. Sementara bekingan mereka, sejauh ini juga tak ada tanda-tanda bahaya. Mereka seperti sedang diam di kandang. Tidak tahu telah menyusun rencana lain, atau masih ancang-ancang guna menghindari kegagalan. Chun Mei tidak peduli. Siang ini terasa panas. Dia menikmati potongan-potongan buah sambil bersandar di bawah pohon aprikot. Liu Ning dibiarkan bebas. Gadis muda itu entah pergi ke mana, tapi biasanya pulang-pulang membawa informasi. Lalu, di tengah masa-masa tenang wanita itu .... Byur! Seketika tubuhnya tersentak. Cairan dingin yang bau amis menyiram wajah dan pakaiannya. Potongan buah terlepas dari tangannya. Dia berdiri terperanjat,