### Chapter 2: Pilihan Berat dan Langkah Baru
Kiara berdiri di ambang pintu kamar ibunya, sebuah ruangan kecil yang tampak semakin suram dengan setiap hari yang berlalu. Ibunya, Rina, duduk di tepi ranjang, wajahnya tampak lelah dan penuh beban. Kiara merasakan jantungnya berdegup kencang saat dia mengumpulkan keberanian untuk menyampaikan berita yang sulit ini. "Ma," Kiara memulai dengan suara lembut. "Aku harus berbicara denganmu tentang sesuatu yang sangat penting." Rina menoleh. Matanya yang letih menatap putrinya dengan penuh rasa ingin tahu, Kiara hanya bisa menelan saliva dan mengumpulkan segenap kekuatannya untuk berbicara. "Ada apa, Kiara? Kamu terlihat sangat serius." Kiara menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. Ia menggigit bibir hingga akhirnya siap mengutarakan maksud dan tujuannya. "Aku baru saja bertemu dengan seorang penguasa bernama Dalvin Pramoedya. Dia menawarkan sesuatu yang bisa membantu kita keluar dari masalah keuangan yang sangat mendesak ini." Rina mengangkat alisnya. "Apa maksudmu? Tawaran seperti apa, nak?" "Dia mencari seorang istri kedua karena istrinya, Irene, sedang sakit parah dan tidak bisa memberikan keturunan. Cecilia adalah keponakan Dalvin dan membawaku untuk bertemu dengannya. Pria itu menawarkan posisiku sebagai istri keduanya," Kiara menjelaskan, suara gemetar karena emosi yang menggelora. Rina terdiam, tatapannya kosong sejenak, seolah mencoba mencerna kata-kata putrinya. Kemudian, air mata mulai mengalir di kedua pipinya. Saat itu Kiara merasa berdosa karena telah menyakiti ibunya. "Kiara, aku tidak bisa menerima ini. Kamu... kamu akan mengorbankan dirimu hanya untuk menyelamatkan ayahmu?" Kiara merasa hatinya bergetar mendengar suara ibunya yang penuh kesedihan. Sebagai seorang anak, bukankah ia bertanggung jawab atas hidup keluarga? "Ma, aku tahu ini sangat sulit, tetapi ini mungkin satu-satunya cara untuk mendapatkan uang yang kita butuhkan untuk pengobatan ayah. Aku tidak akan menjalani hidup ini dengan pasangan yang tidak jelas dan tanpa kepastian. Ini adalah jalan keluar yang jelas. Ini bukan soal hanya karena Papa, tapi demi kita semua." Rina meremas tangan Kiara dengan kuat. Wanita itu tampak tidak setuju dengan keinginan Kiara. "Kiara, menjadi istri kedua seorang pria yang jauh lebih tua ... Ini bukanlah hidup yang layak untukmu. Aku tidak ingin kamu menderita, apalagi menjadi yang kedua di dalam pernikahan!" Kiara menggenggam tangan ibunya dengan lembut. Kiara sudah menyingkirkan segala ego dan perasaannya demi keluarganya. "Bu, aku akan baik-baik saja. Aku hanya perlu memastikan bahwa kita bisa mendapatkan pengobatan untuk ayah. Setelah itu, aku akan mencari cara lain untuk melanjutkan hidupku." Rina menghela napas panjang, air matanya terus mengalir. Kiara tidak tega, tapi juga ia harus tabah menghadapi segala hal di hadapannya itu. "Kalau ini yang benar-benar kamu pilih, aku tidak bisa melarangmu. Tapi aku sangat takut untuk melihatmu menderita, apapun itu nak, jika kamu bisa mempertanggung jawabkan apa yang kamu pilih, mama akan mendukung." Kiara memeluk ibunya erat, merasakan betapa berat beban yang ditanggung ibunya. Ia sesak, akan tetapi harus bisa bernapas lega demi menenangkan ibunya. "Aku akan melakukannya demi kita semua, Ma. Aku janji akan berusaha sebaik mungkin. Aku janji tidak akan menderita." Setelah perbincangan emosional tersebut, Kiara merasa lebih mantap dengan keputusannya. Keesokan harinya, saat dia berada di rumah dengan perasaan campur aduk, seorang ajudan Dalvin datang menjemputnya. Pria berpakaian rapi itu memperkenalkan diri dan memberitahunya bahwa Dalvin telah menyiapkan segalanya untuk memulai kehidupan barunya. "Apa yang terjadi?" tanya Kiara dengan nada penasaran dan cemas. "Ada hadiah dari Dalvin untukmu, Kiara. Dia ingin memastikan bahwa kamu dan keluarga mendapatkan bantuan yang kamu butuhkan. Ini adalah uang sebesar 200 juta rupiah yang akan digunakan untuk pengobatan ayahmu," jawab ajudan dengan nada hormat. Kiara merasa terharu mendengar kebaikan Dalvin. Dengan uang tersebut, dia segera menuju rumah sakit untuk memulai pengobatan ayahnya. Melihat ayahnya mendapatkan perawatan yang layak membuat hatinya terasa sedikit lega, meski dia tahu bahwa tantangan di depannya masih besar. Setelah mengurus segala hal di rumah sakit, Kiara kembali ke kediamannya untuk menyiapkan diri untuk langkah selanjutnya. Saat hari yang dijanjikan tiba, seorang mobil mewah menjemputnya di depan rumah. Mobil itu, dengan sopir dan beberapa ajudan, membawa Kiara menuju kediaman Dalvin. Perjalanan itu terasa panjang dan menegangkan, dengan jalan-jalan yang semakin mewah dan tertata rapi. Akhirnya, mobil berhenti di depan sebuah villa megah yang tidak pernah terbayangkan oleh Kiara. Kediaman itu tampak seperti sebuah istana, dengan taman yang luas dan bangunan yang elegan. Saat Kiara melangkah keluar dari mobil, dia merasa tertegun melihat keindahan dan kemewahan sekitar. Para ajudan membawa barang-barangnya dan mengantarnya ke dalam rumah. Di dalam villa, Kiara disambut dengan hangat oleh Dalvin dan para pelayan yang siap membantunya. Villa tersebut memiliki desain yang sangat mewah, dengan perabotan yang mahal dan dekorasi yang indah. Kiara merasa seolah-olah memasuki dunia yang sama sekali berbeda dari kehidupannya yang biasa. Dalvin menyambutnya dengan senyuman dan tatapan yang penuh perhatian. Entah mengapa, perasaan Kiara sedikit lega saat pria itu muncul di hadapannya. "Selamat datang di rumahku, Kiara. Aku harap kamu merasa nyaman di sini." Kiara tersenyum kecil, mencoba menenangkan diri di tengah-tengah suasana yang sangat berbeda. "Terima kasih, tuan Dalvin. Ini semua sangat baru bagi saya." Dalvin memandangnya dengan tatapan lembut. Pria itu tampaknya memang tertarik pada Kiara sejak pertama kali. "Aku mengerti bahwa ini adalah perubahan besar dalam hidupmu. Tapi aku yakin kamu akan merasa lebih baik seiring waktu. Ini adalah langkah baru untukmu, dan aku berjanji akan membuat proses ini semulus mungkin. Walau bagi orang-orang kau memilih jalan yang salah, tapi aku akan meyakinkanmu bila semua ini akan membawamu dalam kebahagiaan. Aku berjanji tidak akan menyakitimu." terang Dalvin. "Aku menghormati ini semua, tuan Dalvin. Aku serahkan hidupku padamu mulai saat ini, aku akan mendukungmu sesuai permintaan, tapi tolong bantu kehidupanku... aku benar-benar-" Dalvin menepuk pundak Kiara. Menenangkan Kiara yang mulai menangis menahan perasaan yang campur aduk. Dalvin memang mengayomi, dan ia sama sekali tidak keberatan menenangkan Kiara. "Kiara, di dalam kehidupan ini memang penuh misteri. Kita seringkali dihadapkan pada situasi-situasi yang tidak kita inginkan. Pernikahan bukan sesuatu yang buruk untuk menyelamatkan kehancuran, aku berjanji akan menyelamatkanmu dari segala penderitaan yang kau alami." tutur Dalvin sambil mengusapi punggung Kiara. "Apa kau mau hidup bersamaku meskipun bukan yang pertama bagiku?" Kiara mengangguk, merasa lebih yakin bahwa dia telah membuat keputusan yang tepat meskipun menghadapi banyak ketidakpastian. Ia benar-benar takut menyakiti wanita yang menjadi istri pertama Dalvin. "Ya, tuan. Aku harap kau tidak akan membuatku kecewa." ujar Kiara lirih. Dalvin menganggukkan kepalanya. Sejenak keduanya bertatapan dan Kiara mulai mengulas senyum lega. Ia yakin Dalvin tidak akan membuatnya menderita. Sambil menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya, dia tahu bahwa perjalanan yang akan dilaluinya akan penuh dengan tantangan, tetapi dia siap menghadapi semua itu demi keluarga dan masa depannya.Ruangan rumah sakit penuh dengan kesibukan. Dokter dan perawat berseliweran, membawa berbagai peralatan menuju ruang operasi. Di tengah suasana panik itu, Dimas berdiri di lorong dengan wajah tegang. Sementara itu, Dalvin berdiri tidak jauh darinya, rahangnya mengeras dan matanya tak pernah lepas dari Dimas.Dalvin bisa melihat cinta di mata Dimas. Tatapan mata yang belum pernah Dalvin lihat sepanjang hidupnya bersama Dimas. Karena itulah batin Dalvin berteriak, ia tidak mau melihat Dimas seperti itu.Dokter keluar dari ruang persalinan dengan langkah cepat, menghampiri mereka berdua. "Kami akan segera melakukan operasi caesar. Detak jantung bayi melemah, dan kami harus bertindak cepat," jelas dokter dengan nada serius."Dokter, tolong selamatkan mereka," ujar Dalvin tanpa ragu.Dimas mengangguk tegas. "Lakukan apa pun yang diperlukan. Jangan biarkan istriku atau bayinya terluka."Tatapan Dalvin berpindah ke Dimas, penuh kemarahan. Kata-kata dokter seolah tak terdengar, tenggelam ole
Di ruang kerjanya yang megah, Dalvin duduk termenung. Di hadapannya, segelas kopi yang sejak tadi tak tersentuh mulai mendingin. Sebuah laporan tebal tergeletak di atas meja, tak menarik perhatian Dalvin sama sekali. Pikirannya dipenuhi oleh satu nama—Kiara.Seorang pria berjas hitam berdiri di hadapannya, wajahnya tegas tapi penuh keraguan. Beliau adalah ajudan sekaligus Sekretaris yang kini menggantikan Dimas. Dalvin memutar bola mata, menatap pria itu saksama."Tuan Dalvin, laporan terakhir dari tim kami. Nona Kiara sudah dibawa ke rumah sakit di Amsterdam. Dari informasi yang kami dapat, kemungkinan besar beliau akan melahirkan dalam waktu dekat."Dalvin mengangkat wajahnya, tatapannya tajam. "Amsterdam? Jadi mereka benar-benar pergi sejauh itu..." gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri."Benar, Tuan. Tim kami memastikan Dimas masih mendampingi Nona Kiara. Mereka terlihat cukup hati-hati, tapi kami berhasil mengawasi pergerakan mereka," pria itu melanjutkan.Dalvin menghela napas
Kiara terkulai lemah di atas ranjang hotel, matanya setengah terpejam karena kelelahan. Sejak beberapa hari terakhir, ia merasa gelisah dengan kontraksi-kontraksi palsu yang datang silih berganti. Setiap kali rasa sakit itu datang, tubuhnya menggigil dan perutnya terasa kencang. Meski begitu, ia tahu itu bukan tanda bahwa persalinan akan segera terjadi, tapi tetap saja, rasa tidak nyaman itu cukup membuatnya kelelahan."Aduh... Dimas..." Kiara mengeluh, memegangi perutnya yang semakin membesar.Kiara merasa sesak, dan kali ini rasa sakit itu seakan lebih kuat dari sebelumnya.Dimas yang berada di sampingnya, segera duduk di tepi ranjang dan menggenggam tangan Kiara dengan lembut. Sejak hari-hari terakhir di Amsterdam, ia tak bisa lagi menahan kekhawatiran melihat Kiara yang semakin menderita. Apalagi kalimat Dalvin, semua itu akan menjadi sebuah ancaman bagi Dimas dan Kiara ke depannya."Ada apa, sayang? Apakah rasa sakit itu semakin menjadi?" Dimas bertanya khawatir, matanya memandan
Dalvin duduk di ruang kerjanya yang luas, dikelilingi oleh tumpukan berkas dan file penting yang menanti untuk ditandatangani. Namun, hari itu pikirannya teralihkan oleh laporan yang baru saja ia terima. Di meja kerjanya, ponsel bergetar, menandakan panggilan masuk. Dalvin mengangkat telepon dengan wajah serius."Tuan Dalvin, saya punya kabar penting," suara suruhan Dalvin terdengar dari ujung telepon. "Kami telah melacak keberadaan Kiara dan Dimas. Mereka berada di Amsterdam."Dalvin terdiam sejenak, terkejut mendengar berita itu. Jantungnya berdebar kencang, dan seketika rasa cemas menyelubunginya. Amsterdam? Kiara dan Dimas? Tak pernah terlintas di pikirannya bahwa mereka akan pergi sejauh itu."Amsterdam?" Dalvin bertanya, berusaha tetap tenang meski hatinya berkecamuk. "Apa mereka melakukan perjalanan bersama? Ah ya tentu saja, maksudku apa mereka tinggal bersama?""Ya, Tuan," jawab suruhannya dengan nada hati-hati. "Mereka pergi bersama, dan yang lebih mengejutkan, mereka sudah
Kiara duduk di sofa ruang keluarga dengan tangan memegangi perutnya yang semakin membesar. Wajahnya pucat, dan keringat dingin membasahi dahinya. Ia sering mengeluh mulas belakangan ini, dan rasa itu kian hari semakin intens. Dimas yang duduk di sampingnya tampak gelisah, mengawasi Kiara dengan tatapan cemas.“Kiara, kita harus pergi ke dokter sekarang,” desak Dimas, suaranya tegas namun penuh perhatian. "Ini dekat dengan HPL bukan?"“Tapi aku takut, Dimas,” jawab Kiara lirih. “Aku dengar prosedur pemeriksaan untuk pembukaan itu menyakitkan. Aku tidak tahu seperti apa, tapi katanya akan sakit.”Dimas menggenggam tangan Kiara dengan lembut. “Aku ada di sini. Apa pun yang terjadi, aku akan menemanimu. Ini demi kesehatanmu dan bayi yang kamu kandung. Jika nanti sakit, kamu boleh meremas tanganku dengan keras."Kiara menatap mata Dimas yang penuh keyakinan. Akhirnya, ia mengangguk meski hatinya masih dipenuhi kecemasan. Dengan sigap, Dimas membantu Kiara berdiri dan mengenakan mantel. Mer
Pagi itu, Dimas sedang sibuk di dapur. Ia mengaduk adonan pancake dengan cekatan sambil sesekali melirik ke arah Kiara yang duduk di sofa ruang tamu. Wanita itu tampak sibuk membaca buku tentang persiapan melahirkan, sesekali mengusap perutnya yang semakin besar. Dokter mengatakan bila menunggu dua minggu kedepan untuk melahirkan.“Kiara,” panggil Dimas dari dapur. “Kamu mau tambahan cokelat atau sirup maple di pancake-nya? Atau mau ditambahi ciuman dari aku?” imbuhnya.Kiara menoleh dan tersenyum kecil. Ia gemas pada Dimas yang sudah mulai gombal terhadapnya.“Sirup maple saja. Aku sedang mengurangi yang manis-manis. Kata Dokter berat badanku cepat naik, aku harus menjaganya supaya tidak sulit melahirkan."Dimas mengangguk, menuangkan adonan ke penggorengan. Suara desis adonan bertemu dengan wajan panas memenuhi ruangan, menciptakan aroma manis yang membuat suasana pagi terasa hangat.Namun, di tengah kehangatan itu, ponsel Dimas yang tergeletak di meja makan bergetar. Nama yang tert
Kiara terbangun di pagi itu dengan rasa sakit yang semakin mengganggu di dadanya. Beberapa kali ia terbangun dan meraba dadanya yang terasa sangat penuh dan membengkak. Setiap gerakan terasa begitu nyeri, dan meskipun ia mencoba untuk tidur, rasa sakit itu tak kunjung mereda."Ahh..." Kiara mengeluh pelan, meremas bantal yang ada di sampingnya. Ia tak bisa menahan rasa tidak nyaman itu lebih lama. Tak ada yang bisa membantunya kecuali Dimas, yang tidur dengan tenang di sebelahnya.Dimas yang terbangun mendengar suara desahan Kiara segera menoleh. "Kiara? Kamu kenapa?" tanyanya, suaranya penuh kekhawatiran. Matanya masih setengah terpejam, namun ia bisa melihat ekspresi kesakitan di wajah Kiara.Kiara menatap Dimas dengan tatapan penuh harap. "Dimas, dadaku... Sakit sekali," kata Kiara dengan nada lemah. "Aku merasa seperti hampir meledak, ini lebih sakit dari kemarin saat kamu memompanya. Keringatku juga dingin."Dimas menggaruk tengkuknya, sedikit bingung. Ia tidak tahu bagaimana har
Cecilia melangkah keluar dari bandara dengan perasaan campur aduk. Di tangannya, ia menggenggam tiket pesawat yang baru saja ia gunakan untuk kembali ke Indonesia. Hatinya penuh dengan kecemasan dan tekad. Ia tahu, apa yang akan ia lakukan hari ini akan mengubah banyak hal, terutama bagi keluarga Kiara.Keluarga Kiara harus tahu bila putrinya hidup. Hanya itu yang ada di benak Cecilia.Perjalanan ke rumah keluarga Kiara terasa lebih panjang dari biasanya. Ia memandangi jalanan yang penuh kenangan, mengingat bagaimana dulu ia dan Kiara sering melewati jalan ini bersama. Kini, Kiara berada ribuan kilometer jauhnya, berjuang untuk hidup dan bayinya, sementara orangtuanya di sini tidak tahu apa-apa.Ketika mobil berhenti di depan rumah besar dengan taman rapi, Cecilia menarik napas dalam-dalam. Ia turun dari mobil dan melangkah ke pintu depan. Tangannya gemetar saat mengetuk pintu, seolah ia membawa beban yang terlalu berat untuk disampaikan. Semua salahnya, ia yang telah membawa Kiara da
Di sebuah ruangan besar dengan pencahayaan redup, Irene duduk di kursi roda mewahnya. Wajahnya dingin, tanpa ekspresi, namun matanya menyiratkan kebencian yang dalam. Wanita itu belum puas dengan apa yang terjadi di hidupnya. Ia ingin siapapun yang ia benci, hancur lebur tak bersisa.Di hadapannya berdiri lima orang pria berpenampilan garang, berpakaian serba hitam, dengan wajah tanpa belas kasihan.Irene memutar cangkir teh di tangannya, aroma melati memenuhi udara. Ia menatap mereka satu per satu sebelum akhirnya berbicara dengan suara rendah namun penuh wibawa.“Kalian tahu kenapa kalian ada di sini?” tanya Irene, suaranya nyaris seperti bisikan namun cukup untuk membuat semua pria itu tegang.Salah satu dari mereka, seorang pria bertubuh besar dengan bekas luka di wajahnya, maju selangkah. “Kami akan mendengar perintah Anda, Nyonya. Kami siap menjalankan apa pun yang Anda inginkan.” ujar pria itu dengan tatapan tajam.Irene tersenyum tipis, namun senyumnya dingin seperti es. Wani