Keluar dari kamar Gendis, Dexter berdiri lama di depan pintu sambil mengatur napasnya yang masih terengah. Lelaki itu memejamkan matanya, merasai residu sensasi yang masih tersisa.
For God's sake, Gendis memang seenak itu. 'Oh, jadi begini rasanya bercinta dengan perawan,' dirinya membatin. Dulu saat pertama menikah dengan Catherine, Dexter mendapati perempuan itu sudah kehilangan kesuciannya. Catherine mengatakan dia pernah jatuh dari sepeda yang membuat selaput daranya rusak sebelum waktunya. Dan Dexter memercayainya. Setelah irama napasnya teratur Dexter membuka mata. Dirapikannya baju dan celana yang kusut. Dexter tidak ingin menyakiti perasaan Catherine. Yang ada dalam pikiran Dexter adalah, dengan melihat pakaiannya yang kusut maka Catherine bisa membayangkan adegan percintaannya dengan Gendis. Menarik langkah perlahan, Dexter menuju kamarnya. Ia berhenti sejenak di depan pintu, mengatur agar raut wajahnya terlihat wajar. Setelahnya lelaki itu masuk ke kamar. Di dalam kamar Catherine sedang duduk di depan meja rias sambil memakai cream malam. Catherine terkejut melihat presensi Dexter melalui kaca, lalu dengan segera membalikkan badan. "Dex?!" tegurnya penuh tanda tanya. "Ya," jawab Dexter lemah, penuh perasaan bersalah karena merasa sudah mengkhianati istrinya. "Kenapa di sini?" Catherine keheranan. "Maksudmu?" "Kenapa cuma sebentar?" "Tugasku sudah selesai." "Secepat itu?" "Jadi mau selama apa?" Dexter balas bertanya. "Ya maksudku—" Catherine menjeda perkataannya sesaat, mencari kata-kata yang tepat. "Maksudku, berapa kali kamu melaku—" "Serius kita mau membahas hal ini?" balas Dexter tidak suka. Ia tidak mengerti pada istrinya sendiri. Semestinya dengan Dexter menikahi Gendis dan berhubungan intim dengannya sudah sangat menyakiti Catherine. Tapi perempuan itu malah berniat untuk membahas berapa sesi percintaannya dengan Gendis. "Oke, oke. Kenapa kamu nggak tidur di sana?" "Sudah kubilang kan kalau tugasku sudah selesai? Dan aku nggak berkewajiban tidur di kamar itu." "Tapi kamu harus sering-sering melakukannya, Dex, agar dia cepat hamil. Waktu aku bawa dia periksa ke rumah sakit, dokter bilang dia berada dalam masa subur. Dan hal ini adalah hal yang baik untuk kita. Semakin sering kamu melakukannya semakin cepat dia hamil dan melahirkan. Semakin cepat juga kamu menceraikannya." "Sudahlah, aku lelah," jawab Dexter malas, lalu mengganti pakaiannya dengan piyama tidur dan naik ke ranjang. Hari ini benar-benar luar biasa bagi Dexter. Bukan hanya fisiknya yang lelah tapi batin dan pikirannya. Catherine ikut naik ke tempat tidur dan berbaring di sebelah Dexter. Mereka saling bertatapan. Catherine membelai pipi Dexter. Sedangkan Dexter, setiap melihat wajah Catherine semakin membuatnya didera perasaan bersalah. "Cat ...," panggilnya pelan. "Aku minta maaf. Nggak seharusnya kita melakukan ini. Aku udah nyakitin kamu." Catherine membingkai senyum di bibirnya. Menunjukkan wajah seolah ia tulus dengan semua ini. "It's okay, Dex. I'm fine. Kalau memang hanya ini satu-satunya cara untuk kita, kenapa tidak? Kita udah usaha ke mana-mana, gonta-ganti dokter berulang kali sampai menjalani program bayi tabung yang berujung dengan kegagalan. Jadi ya sudahlah. Bagiku yang penting kamu tetap mencintaiku." "Always and forever," jawab Dexter cepat. Mengutip kata Catherine, apa yang dilakukan Dexter dengan Gendis hanyalah seks semata. Tidak akan mengubah apa-apa di antara mereka. Dexter mencoba meyakininya karena ia adalah tipe pria yang setia. Dexter memejamkan mata setelah melabuhkan ciuman lembut di dahi Catherine. Dengan mudah lelaki itu terlelap karena amat sangat lelah. Sedangkan Catherine belum mampu memejamkan mata sepicing pun. Yang ada di pikirannya adalah bagaimana caranya agar Gendis cepat hamil lalu melahirkan. Ia berharap operasi jantung mertuanya gagal setelah mewasiatkan seluruh harta untuk Dexter. Lalu setelahnya ia akan menendang Josh dan Rosa—yang merupakan istri Josh, dari Sapphire Group. Membayangkan semua itu Catherine tidak bisa untuk tidak tersenyum. *** Perempuan mungil di balik selimut itu terbangun. Sendi-sendi yang linu adalah hal pertama yang dirasakannya. Pegal di bagian paha serta pinggul yang tidak nyaman adalah hal berikutnya yang ia sadari. Ia baru akan bergerak ketika merasakan bagian kewanitaannya begitu perih. Belum lagi kepalanya yang terasa berat. Sengatan nyeri perlahan menjalar ke setiap spot di tubuhnya. Di detik yang sama ia merasa badannya panas. 'Jam berapa ini?' pikirnya setelah berhasil membuka kedua matanya. Seketika terkesiap saat melihat jarum jam di dinding. Pukul enam lewat lima belas pagi. Jam segini biasanya ia sedang sibuk berkutat di dapur. Tapi kenapa dirinya masih tergolek di ranjang? Gendis, perempuan itu, mengerang ketika berhasil memulihkan ingatannya. Dirinya berdiri tanpa busana. Lalu majikan laki-lakinya berdiri di belakangnya, memepetnya ke dinding. Bagian kewanitaannya ditusuk dari belakang, memberi sensasi mengiris yang membuatnya menangis. Kemudian lelaki yang kini menjadi suaminya itu pergi begitu saja meninggalkannya. Selesai dengan penggalan memori tentang semalam, Gendis berusaha bangun dari tempat tidur. Erangan kecil meluncur dari bibirnya. Sengatan nyeri itu terus menjalar, membuat kepalanya juga pusing. 'Ibu Catherine bisa marah kalau aku belum melakukan apa pun pada jam segini.' Baru saja pikiran itu melintas di kepalanya, pintu kamarnya diketuk diiringi oleh suara sang nyonya. "Gendis!!!" Gendis terkesiap oleh tingkat oktaf dalam nada suara Catherine. "Gendis! Bangun! Sudah jam berapa ini?!" Suara itu semakin tinggi, memberi kesan pemiliknya sedang marah. "Iy-iya, Bu, saya sudah bangun." Gendis sedikit tergagap. Perempuan berkulit eksotis itu memaksakan diri bangkit dari tempat tidur lalu melangkah sambil meringis untuk membuka pintu. Ia hampir saja terjatuh karena kehilangan keseimbangan badan. Daun pintu terbuka setelah Gendis memutar kunci, memperlihatkan wajah masam Catherine yang menerobos masuk ke dalam kamar. "Jadi sekarang kamu sudah bisa malas-malasan?" cecar Catherine langsung. "Kamu pikir kamu siapa? Nyonya rumah ini? Jangan karena Dexter menikahi kamu akan membuat status kamu juga meningkat. Kamu tetap pembantu kami selamanya!" "Maaf, Bu, bukan begitu. Tapi seluruh tubuh saya sakit. Kepala saya berat dan pusing. Badan saya panas. Untuk berjalan juga susah, Bu." Gendis mencoba menjelaskan keadaannya pada Catherine dan berharap nyonyanya itu bisa mengerti. Bukannya memahami keadaan Gendis, Catherine malah semakin marah. "Baru satu hari menjadi istri suami saya kamu sudah ngelunjak. Jangan berlebihan. Jangan bersikap seperti pengantin baru. Saya ingatkan sekali lagi. Kami hanya meminjam rahim kamu. Kalaupun Dexter menikahi kamu, bukan untuk membuat kamu menjadi istrinya. Tapi agar hubungan itu menjadi halal. Paham?!" "Paham, Bu. Saya juga tidak bermaksud bersikap seperti pengantin baru dan berniat menyamai posisi Ibu. Tapi untuk hari ini tolong izinkan saya beristirahat sebentar, Bu. Saya akan lembur sebagai gantinya," pinta Gendis dengan muka yang benar-benar memelas. Bukan dusta. Gendis tidak sanggup melakukan pekerjaan rumah tangga. Ia hanya ingin beristirahat sejenak sampai kondisinya pulih. "Kamu pikir pegawai kantoran pakai lembur segala macam? Sadar, Gendis, kamu hanya pembantu." "Kalau begitu potong gaji saya saja, Bu, asal saya bisa istirahat hari ini." Sepasang mata besar perempuan berambut coklat itu membeliak. Pembantunya membuatnya semakin marah. "Gaji mana lagi yang harus saya potong? Sedangkan bulan ini kamu nggak nerima gaji! Malahan gaji kamu itu sudah minus. Sekarang keluar lalu lakukan pekerjaan kamu seperti biasa!" titah perempuan itu tidak ingin dibantah. Ia mengibas rambutnya lalu keluar dari kamar Gendis dengan bantingan di pintu. ***"Mama, nun, Ma ..." Tangan kecil yang menggapai-gapai serta suara cadel yang memanggilnya memaksa Gendis membuka kedua matanya. Perempuan itu terjaga dari tidurnya dan mendapati putra kecil kesayanganya sedang berada di tengah-tengah di antara dirinya dan Dexter. Menyadari dirinya terbangun bersamaa Dexter di sisinya membuat seulas senyum tipis terukir manis di bibir Gendis.Sudah sejak dua belas bulan yang lalu situasi ini terjadi. Lebih tepatnya sejak dirinya menikah dengan Dexter."Pagi, Sayang, anak Mama udah bangun?""Dah, Ma.""Sini cium Mama dulu."Bobby menghambur menciumi pipi Gendis dengan penuh semangat yang membuat Gendis tertawa. Biasanya Gendis akan meletakkan Bobby di atas perutnya. Hanya saja hal itu tidak bisa lagi dilakukannya karena perutnya yang tinggi menyamai dada. Saat ini Gendis sedang mengandung. Tidak butuh waktu lama bagi Dexter membuatnya berbadan dua. Beberapa bulan pasca menikah Gendis dinyatakan positif hamil. Dan hal itu membuat seluruh keluarga berbaha
Gendis menegakkan duduknya. Seluruh indera perempuan itu terjaga waspada menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.Perlahan kelopak mata Dexter terbuka. Pertama-tama yang dirasakannya adalah penglihatannya yang terasa kabur. Namun lama kelamaan semua yang berada di ruang pandangnya mulai terlihat dengan jelas, termasuk presensi Gendis dan juga Bobby."Ndis ...," panggil lelaki itu lirih dengan keadaannya yang masih lemah."Dex, ini aku. Kamu sudah sadar?"Dexter tak seketika menjawab. Pria itu berupaya mengumpulkan serpihan ingatan. Namun semakin kuat ia mengingat, kepalanya terasa bertambah sakit. Bukan. Dexter tidak mengalami amnesia. Buktinya ia ingat siapa Gendis dan siapa Bobby. "Apa yang terjadi, Ndis?" tanyanya masih selesu tadi."Bu Catherine menusuk kamu dengan pisau. Lukamu sangat dalam dan harus dioperasi. Sejak pertama kejadian itu kamu nggak sadarkan diri. Ini adalah hari ketiga kamu di rumah sakit."Dexter termangu mendengar cerita Gendis. Lamat-lamat ingatannya akan
Gendis keluar dari ruang rawat Dexter. Ia bermaksud pergi dari rumah sakit itu. Ia tidak mau terlibat dengan apa pun yang berhubungan dengan Dexter lagi. Hubungannya dengan Dexter sudah lama berakhir. Bagi Gendis lebih baik mereka menjalani hidup sendiri-sendiri seperti saat ini."Gendis!" Suara Martha menahan langkahnya, membuat Gendis menoleh ke belakang. Ia langsung menemukan Martha yang berjalan mendekat ke arahnya."Kamu mau ke mana?" tanya perempuan itu."Saya mau pulang, Bu.""Pulang?" Martha mengerutkan dahi. "Kamu nggak mau menunggu sampai Dexter sadar?""Maaf, Bu, saya nggak bisa," jawab Gendis memberi penolakan."Tapi Dexter butuh kamu. Kehadiran kamu sangat berarti buat dia."Gendis menahan senyum getir agar tidak terlihat. Jadi ceritanya sekarang dirinya sudah dianggap?"Oh iya, Rosa sudah cerita semua sama saya. Saya salut dan kagum sama kamu, Gendis. Kamu perempuan hebat dan luar biasa.""Terima kasih, Bu," jawab Gendis sekenanya. "Maaf, saya harus pulang. Ada hal lain
Acara Junior Chef dengan cepat melejit dan terkenal di kalangan pemirsa Citra Televisi. Bukan hanya karena pesertanya anak-anak yang lucu dengan segala tingkah mereka yang beragam, namun juga karena adanya Gendis, juri yang cantik, masih muda dan energik. Otomatis Gendis menjadi idola baru bagi pemirsa Citra Televisi. Perlahan tapi pasti nama Gendis merambat naik dan mulai dikenal orang-orang. Beberapa orang yang mengenalnya ada yang meminta tanda tangan atau foto bersama saat bertemu dengan Gendis di luar, membuat Gendis merasa takjub pada pencapaiannya saat ini.Gendis baru saja keluar dari bangunan Citra Televisi ketika lagi-lagi ia bertemu dengan Rosa."Bu Rosa ..."Tiada senyum di bibir Rosa ketika Gendis menyapanya. Perempuan itu terlihat tegang yang membuat Gendis ikut kaku."Gendis, ikut dengan saya sekarang," kata Rosa tanpa basa-basi atau salam pembuka."Ke mana, Bu?""Ke rumah sakit.""Ke rumah sakit?" Gendi
"Ma-mami ... Sejak kapan Mami di sini?" tanya Rosa gelagapan."Memangnya kenapa? Kalian takut Mami mendengar semuanya?""Mami jangan salah paham dulu!" ujar Catherine ketakutan sambil berusaha memegang tangan mertuanya itu namun dengan cepat Martha menepisnya."Tadi Mami dengar katanya kamu mau membunuh Rosa. Itu betul?""Itu nggak benar, Mi. Itu hanya bercanda," sangkal Catherine dengan raut ketakutan. Semua image baik yang dibangunnya selama bertahun-tahun runtuh dalam sekejap."Ngeri sekali bercandamu, Cat. Bercandanya saja main bunuh-bunuhan, gimana aslinya?" Martha menggeleng-gelengkan kepala tidak habis pikir pada kelakuan menantunya."Itulah salahnya Mami. Selalu saja suka menguping pembicaraan orang. Apa salahnya Mami tanya aku baik-baik?" Martha menatap Catherine lebih lekat mendengar perkataan Catherine yang terkesan sedang melawannya."Jadi kamu melawan Mami? Berani kamu sekarang?""Dari dulu aku memang berani, Mi. Aku nggak pernah takut pada siapa pun. Bahkan kalau aku ma
"Bagaimana cara agar perut terlihat besar seperti orang hamil?"Rosa mengetikkan sepotong kalimat tersebut di search engine ponsel pintarnya.Di detik selanjutnya mulut perempuan itu ternganga ketika melihat jawaban yang keluar."Perut bisa terlihat besar dengan memakai perut silikon palsu."Tidak hanya itu saja, di mesin pencari tersebut juga tersedia link yang menghubungkan ke berbagai market place yang menjual perut palsu tersebut.Rosa menelusurinya sati demi satu. Terbukti jika perut-perut silikon tersebut sering digunakan orang-orang untuk berpura-pura hamil dan lebih seringnya digunakan dalam film atau sinetron-sinetron.'Apa mungkin Catherine menggunakan perut seperti ini untuk mengelabui orang-orang?' Rosa tidak henti bertanya di dalam hatinya. Rosa bertekad untuk membuka kebusukan Catherine. Namun bagaimana cara membuktikannya? Apalagi perempuan itu begitu licik.Belum putus asa, Rosa kembali mengunjungi toko-toko yang menjual perut palsu tersebut. Ia membaca satu demi satu
Sudah sejak lama Rosa menaruh curiga pada Catherine. Gerak-gerik perempuan itu terlihat begitu mencurigakan. Terlepas dari persaingan mereka untuk menjadi pewaris harta sang mertua, secara pribadi Rosa tidak menyukai Catherine. Kecurigaan Rosa semakin menjadi ketika tahu wajah Bobby tidak mirip dengan Dexter apalagi Catherine. Malah dari hari ke hari anak itu semakin menunjukkan kesamaan fisik dengan Gendis. Hanya saja Rosa tidak punya bukti yang kuat selain perselingkuhan Dexter dan Gendis."Mami, lihat! Kakak itu jago banget masaknya. Kuenya bagus, Mi. Pasti enak," seru Kelly yang sejak tadi menikmati tayangan di televisi.Renungan Rosa terhenti. Dialihkannya tatapan ke arah televisi. Di sana sedang ditayangkan acara Junior Chef. Ajang kompetisi memasak anak-anak berumur sepuluh sampai tiga belas tahun."Kelly mau ikut acara itu juga, Mi.""Tapi Kelly masih kecil, Sayang. Umur kamu belum cukup. Nanti ya kalau udah sebesar kakak itu.""Masih lama ya, Mi?" Kelly tampak kecewa."Dua at
"Selamat datang kembali di Indonesia, Ndis." Perempuan muda berambut sepunggung itu menggumam pelan ketika kakinya menapak di bumi seturunnya ia dari pesawat. Dengan tekadnya yang bulat Gendis memutuskan kembali ke Indonesia walau Laura menghalangi dengan bujukan menggoda.Selepas dari bandara Gendis menuju sebuah hotel untuk istirahat karena ia tidak punya tempat berteduh.Sambil membaringkan tubuhnya, ingatan masa lalu menyapa benak Gendis. Dulu saat dirinya diusir Catherine ia tidak punya tempat tinggal sama sekali bahkan ia pernah menjadi pemulung yang tidur di antara gunungan sampah.Lihatlah sekarang, Gendis bisa memilih ingin tidur di mana pun yang ia suka. Gendis sangat mensyukuri kehidupannya saat ini yang serba berkecukupan. Uang apresiasi sebagai best student sangat cukup untuk kehidupannya sendiri selama beberapa tahun ke depan.Setelah bangun tidur siang Gendis menghubungi Maya untuk memberi kabar bahwa ia sudah kembali berada di Indonesia.Cukup lama menunggu barulah May
Summer telah lama berlalu. Disusul oleh Autumn dan winter yang super dingin. Lalu saat ini Paris sedang berada di musim semi. Musim yang menyenangkan bagi para penduduknya.Pada musim semi orang-orang semakin banyak berkeliaran di jalan, menikmati suasana kota yang menyenangkan. Tak terkecuali dengan Gendis.Hari itu Gendis sedang duduk di taman berdua dengan Laura. Mereka baru saja pulang makan. France onion soup yang lezat membuat mereka kekenyangan."Apa rencanamu berikutnya, Ndis?" tanya Laura.Tanpa terasa sudah sembilan bulan Gendis di Paris. Minggu depan adalah jadwal kepulangannya ke Indonesia."Yang pasti melanjutkan hidup sih." "Kamu tidak punya rencana untuk membuka toko kue atau usaha kuliner lain?"Gendis menggaruk hidungnya. Uang saku yang diberi pihak Modeta tidak pernah ia pakai. Biaya tempat tinggal dan makan juga sudah ditanggung oleh pihak Modeta. Paling Gendis hanya belanja sedikit-sedikit sehingga uang sakunya masih banyak bersisa. Namun untuk membuka usaha, Gen