Betapa terkejutnya Dexter mengetahui Gendis tiba-tiba jatuh ke lantai. Beruntung kepala perempuan itu menimpa punggung kaki Dexter sehingga tidak mengalami benturan yang berarti.
Dexter menyugar rambutnya. Selama beberapa saat bingung harus melakukan apa. Apalagi dalam keadaan Gendis yang tidak berbusana. Dexter jongkok, memindahkan kepala Gendis dari punggung kakinya ke lantai dengan hati-hati. Dexter meneguk ludah. Ini adalah untuk pertama kalinya ia melihat bagian tubuh Gendis dari depan. Dada perempuan itu membusung. Tubuhnya langsing tapi padat pada tempat-tempat yang tepat. Kulitnya yang eksotis memberi aura seksi yang begitu nyata. Jika Gendis sedikit berdandan maka Dexter yakin jika Gendis tidak akan kalah dari Catherine. "Come on, Dex, berhenti memujinya. Lakukan sesuatu.' Lelaki itu mengingatkan dirinya. Dexter mengambil napas sambil memandang ke sekeliling seakan meminta bantuan. Tapi tentu tidak akan ada yang bisa membantunya karena mereka hanya berdua di sana. Dexter mengambil pakaian dalam Gendis kemudian dengan gemetar mengenakannya ke perempuan itu. Mulai dari celana dalam, bra dan pakaian tidur yang dipakai Gendis tadi. Seumur-umur baru kali ini Dexter melakukannya. Bahkan dengan Catherine ia tidak pernah seperti ini. Dexter baru sadar kalau badan Gendis panas. Suhu tubuh perempuan itu di atas normal. Apa dia sakit? Setelah Gendis berpakaian lengkap Dexter mengangkatnya lalu membaringkan ke tempat tidur. Dexter ikut duduk di sisi tempat tidur. Dipandanginya Gendis begitu lama sambil memikirkan apa yang harus dilakukan berikutnya. Tangannya lalu naik meraba dahi perempuan itu. Dexter masih merasakan hawa yang tadi. Panas. Kenapa tidak sejak awal ia menyadari kalau Gendis tidak baik-baik saja? Dan kenapa juga Gendis tidak bicara jujur padanya jika memang sedang tidak enak badan? "Gendis, bangun!" Dexter menggoyang-goyangkan tangan Gendis tapi istri keduanya itu tidak merespon. "Gendis, buka mata kamu, ayo bangun!" Dexter tidak hanya menggoyang-goyangkan tangan Gendis tapi juga mengguncang tubuhnya. Sama seperti sebelumnya tidak ada reaksi apa pun yang ditunjukkan gadis itu. 'Shit, dia pingsan!' Dexter mengumpat sendiri di dalam hati. Tidak bisa begini, pikir Dexter. Lelaki itu bangkit dari tempat tidur. Dibukanya laci meja dan menemukan minyak kayu putih di sana. Dexter mengambilnya. Pria itu kembali ke tempat tidur lalu membuka tutup minyak kayu putih dan mendekatkannya ke hidung Gendis dengan tujuan merangsang penciuman perempuan itu agar segera membuka mata. Tidak berhasil. Gendis masih lelap. Wajahnya pucat, bibirnya kering, menunjukkan betapa lemahnya keadaan perempuan itu. Dexter meninggalkan kamar Gendis lalu masuk ke kamarnya. Ia menemukan Catherine sedang main ponsel. "Dex?" panggil Catherine penuh tanda tanya. Sama seperti kemarin Dexter hanya sebentar. Bahkan hari ini Dexter jauh lebih cepat menyudahinya. "Gendis pingsan," lapor Dexter. "Pingsan?" Catherine mengulangi dengan dahi berkerut dalam. "Aku sudah coba membangunkannya tapi tetap nggak bangun," ujar Dexter cemas. "Tenang, Dex, jangan berlebihan, mungkin dia hanya ketiduran," balas Catherine melihat raut khawatir di wajah suaminya. "Ketiduran? Dia pingsan, bukan ketiduran!" Dexter berucap penuh penekanan. Aneh. Bagaimana mungkin orang yang bercinta dengan posisi berdiri bisa ketiduran. "Ayo kita lihat sama-sama kalau kamu nggak percaya." Catherine menghela napas lalu menyingkirkan handphone dari tangannya. Dengan malas-malasan perempuan itu keluar dari kamar. Ketika keduanya memasuki kamar Gendis, mereka menemukan Gendis berbaring di tempat tidurnya sama seperti saat Dexter tinggalkan tadi. Catherine mengumpat di dalam hati. Ia yakin sepenuhnya kalau Gendis hanya berpura-pura pingsan untuk menarik perhatian Dexter. Agar seluruh atensi Dexter hanya untuknya. 'Dasar perempuan ular. Baru dua hari menikah tapi kamu sudah mau menguasai suamiku.' "Cat, coba kamu pegang, badannya panas," suruh Dexter. Catherine melakukan apa yang disuruh suaminya dengan meraba pipi Gendis. Ya, suhu tubuh Gendis memang tidak normal. Tapi hal ini bukanlah sesuatu yang harus dikhawatirkan. "Gendis, ayo bangun. Kamu minum obat dulu." Catherine mengguncang-guncang tubuh Gendis sama seperti yang dilakukan Dexter tadi, tapi dengan gerakan yang lebih keras. "Dia pingsan, Cat, bukan tidur. Tadi aku udah coba membangunkan dia seperti kamu tapi percuma." Catherine melihat minyak kayu putih di nakas. Perempuan itu mengambilnya, membuka tutupnya lalu bermaksud memasukkan cairan itu ke dalam hidung Gendis. "Cat! Jangan!" Dengan cepat Dexter merebut minyak kayu putih dari tangan istrinya. "Kenapa nggak boleh? Aku kan cuma mau membangunkan dia," ujar Catherine sewot. "Bukan begitu caranya membangunkan orang pingsan. Tapi mendekatkan botol itu agar dia bisa menghirup aromanya. Kalau kamu tuangin isinya ke hidung Gendis bisa bahaya!" ucap Dexter penuh peringatan. Catherine berdecak kecil tapi mungkin Dexter tidak mendengarnya. Catherine tidak suka sikap Dexter yang peduli pada Gendis. "Cat, coba telepon dokter Kendrick. Minta dia ke sini." Dexter menyebut nama dokter keluarganya. "Aku dengar dokter Kendrick lagi plesiran ke luar negeri," jawab Catherine. "Kalau begitu sekarang kita bawa Gendis ke rumah sakit," putus Dexter kemudian. "Apa?" Catherine kaget. "Kenapa harus ke rumah sakit? Lagian udah jam berapa sih ini?" Sepasang mata besar Catherine mencari keberadaan jam di dinding. "Tuh lihat, udah lewat jam sebelas." "Please, Cat, jangan bego. Ada yang namanya IGD dan dokter jaga di rumah sakit." Catherine kesal dibilang bego. Dan Dexter, pria itu juga tanpa sengaja mengucapkannya akibat khawatir oleh keadaan Gendis. "Gimana mungkin kita bawa dia ke rumah sakit kalau dia lagi pingsan gini. Dia mana bisa jalan." "Itu bukan masalah besar, Cat. Aku yang akan mengangkat dia. Kenapa kamu jadi kayak orang kehilangan akal begini?" heran Dexter. Catherine tidak menjawab. Perempuan itu mengikat rambutnya untuk mengalihkan perhatian. Dexter keluar dari kamar Gendis lalu menyiapkan mobil. Sehari sebelum Dexter menikahi Gendis supir di rumah itu sudah diberhentikan demi menutupi kehamilan Gendis nantinya. Jadilah sekarang ke mana-mana Dexter menyetir sendiri. Sementara itu di kamar Gendis, Catherine mencak-mencak sendiri. Perempuan itu menampar-nampar pipi Gendis kuat-kuat. "Bangun kamu, babu. Jangan playing drama kamu! Kamu pikir kamu bisa mengambil kedudukanku?!" murkanya. Ini baru hari kedua tapi Gendis sudah bertingkah. Catherine hendak menampar pipi Gendis sekali lagi ketika Dexter masuk ke kamar. Perempuan itu terkejut lalu dengan cepat menurunkan tangannya. "Mobil udah aku siapin. Ayo kita berangkat," ajak Dexter. Catherine merasa ragu harus ikut atau tinggal di rumah. Kenapa juga ia harus ikut ke rumah sakit? Lebih baik ia tidur di rumah. Namun, ketika ingat bisa saja saat nanti Gendis sadar lalu bermesraan dengan Dexter, Catherine memutuskan untuk ikut. Catherine tidak akan rela Dexter bercumbu dengan Gendis. Ia hanya mau Dexter memasukkan benihnya saja ke rahim perempuan itu. ***"Mama, nun, Ma ..." Tangan kecil yang menggapai-gapai serta suara cadel yang memanggilnya memaksa Gendis membuka kedua matanya. Perempuan itu terjaga dari tidurnya dan mendapati putra kecil kesayanganya sedang berada di tengah-tengah di antara dirinya dan Dexter. Menyadari dirinya terbangun bersamaa Dexter di sisinya membuat seulas senyum tipis terukir manis di bibir Gendis.Sudah sejak dua belas bulan yang lalu situasi ini terjadi. Lebih tepatnya sejak dirinya menikah dengan Dexter."Pagi, Sayang, anak Mama udah bangun?""Dah, Ma.""Sini cium Mama dulu."Bobby menghambur menciumi pipi Gendis dengan penuh semangat yang membuat Gendis tertawa. Biasanya Gendis akan meletakkan Bobby di atas perutnya. Hanya saja hal itu tidak bisa lagi dilakukannya karena perutnya yang tinggi menyamai dada. Saat ini Gendis sedang mengandung. Tidak butuh waktu lama bagi Dexter membuatnya berbadan dua. Beberapa bulan pasca menikah Gendis dinyatakan positif hamil. Dan hal itu membuat seluruh keluarga berbaha
Gendis menegakkan duduknya. Seluruh indera perempuan itu terjaga waspada menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.Perlahan kelopak mata Dexter terbuka. Pertama-tama yang dirasakannya adalah penglihatannya yang terasa kabur. Namun lama kelamaan semua yang berada di ruang pandangnya mulai terlihat dengan jelas, termasuk presensi Gendis dan juga Bobby."Ndis ...," panggil lelaki itu lirih dengan keadaannya yang masih lemah."Dex, ini aku. Kamu sudah sadar?"Dexter tak seketika menjawab. Pria itu berupaya mengumpulkan serpihan ingatan. Namun semakin kuat ia mengingat, kepalanya terasa bertambah sakit. Bukan. Dexter tidak mengalami amnesia. Buktinya ia ingat siapa Gendis dan siapa Bobby. "Apa yang terjadi, Ndis?" tanyanya masih selesu tadi."Bu Catherine menusuk kamu dengan pisau. Lukamu sangat dalam dan harus dioperasi. Sejak pertama kejadian itu kamu nggak sadarkan diri. Ini adalah hari ketiga kamu di rumah sakit."Dexter termangu mendengar cerita Gendis. Lamat-lamat ingatannya akan
Gendis keluar dari ruang rawat Dexter. Ia bermaksud pergi dari rumah sakit itu. Ia tidak mau terlibat dengan apa pun yang berhubungan dengan Dexter lagi. Hubungannya dengan Dexter sudah lama berakhir. Bagi Gendis lebih baik mereka menjalani hidup sendiri-sendiri seperti saat ini."Gendis!" Suara Martha menahan langkahnya, membuat Gendis menoleh ke belakang. Ia langsung menemukan Martha yang berjalan mendekat ke arahnya."Kamu mau ke mana?" tanya perempuan itu."Saya mau pulang, Bu.""Pulang?" Martha mengerutkan dahi. "Kamu nggak mau menunggu sampai Dexter sadar?""Maaf, Bu, saya nggak bisa," jawab Gendis memberi penolakan."Tapi Dexter butuh kamu. Kehadiran kamu sangat berarti buat dia."Gendis menahan senyum getir agar tidak terlihat. Jadi ceritanya sekarang dirinya sudah dianggap?"Oh iya, Rosa sudah cerita semua sama saya. Saya salut dan kagum sama kamu, Gendis. Kamu perempuan hebat dan luar biasa.""Terima kasih, Bu," jawab Gendis sekenanya. "Maaf, saya harus pulang. Ada hal lain
Acara Junior Chef dengan cepat melejit dan terkenal di kalangan pemirsa Citra Televisi. Bukan hanya karena pesertanya anak-anak yang lucu dengan segala tingkah mereka yang beragam, namun juga karena adanya Gendis, juri yang cantik, masih muda dan energik. Otomatis Gendis menjadi idola baru bagi pemirsa Citra Televisi. Perlahan tapi pasti nama Gendis merambat naik dan mulai dikenal orang-orang. Beberapa orang yang mengenalnya ada yang meminta tanda tangan atau foto bersama saat bertemu dengan Gendis di luar, membuat Gendis merasa takjub pada pencapaiannya saat ini.Gendis baru saja keluar dari bangunan Citra Televisi ketika lagi-lagi ia bertemu dengan Rosa."Bu Rosa ..."Tiada senyum di bibir Rosa ketika Gendis menyapanya. Perempuan itu terlihat tegang yang membuat Gendis ikut kaku."Gendis, ikut dengan saya sekarang," kata Rosa tanpa basa-basi atau salam pembuka."Ke mana, Bu?""Ke rumah sakit.""Ke rumah sakit?" Gendi
"Ma-mami ... Sejak kapan Mami di sini?" tanya Rosa gelagapan."Memangnya kenapa? Kalian takut Mami mendengar semuanya?""Mami jangan salah paham dulu!" ujar Catherine ketakutan sambil berusaha memegang tangan mertuanya itu namun dengan cepat Martha menepisnya."Tadi Mami dengar katanya kamu mau membunuh Rosa. Itu betul?""Itu nggak benar, Mi. Itu hanya bercanda," sangkal Catherine dengan raut ketakutan. Semua image baik yang dibangunnya selama bertahun-tahun runtuh dalam sekejap."Ngeri sekali bercandamu, Cat. Bercandanya saja main bunuh-bunuhan, gimana aslinya?" Martha menggeleng-gelengkan kepala tidak habis pikir pada kelakuan menantunya."Itulah salahnya Mami. Selalu saja suka menguping pembicaraan orang. Apa salahnya Mami tanya aku baik-baik?" Martha menatap Catherine lebih lekat mendengar perkataan Catherine yang terkesan sedang melawannya."Jadi kamu melawan Mami? Berani kamu sekarang?""Dari dulu aku memang berani, Mi. Aku nggak pernah takut pada siapa pun. Bahkan kalau aku ma
"Bagaimana cara agar perut terlihat besar seperti orang hamil?"Rosa mengetikkan sepotong kalimat tersebut di search engine ponsel pintarnya.Di detik selanjutnya mulut perempuan itu ternganga ketika melihat jawaban yang keluar."Perut bisa terlihat besar dengan memakai perut silikon palsu."Tidak hanya itu saja, di mesin pencari tersebut juga tersedia link yang menghubungkan ke berbagai market place yang menjual perut palsu tersebut.Rosa menelusurinya sati demi satu. Terbukti jika perut-perut silikon tersebut sering digunakan orang-orang untuk berpura-pura hamil dan lebih seringnya digunakan dalam film atau sinetron-sinetron.'Apa mungkin Catherine menggunakan perut seperti ini untuk mengelabui orang-orang?' Rosa tidak henti bertanya di dalam hatinya. Rosa bertekad untuk membuka kebusukan Catherine. Namun bagaimana cara membuktikannya? Apalagi perempuan itu begitu licik.Belum putus asa, Rosa kembali mengunjungi toko-toko yang menjual perut palsu tersebut. Ia membaca satu demi satu