Sekar berlari menuju pondok dengan langkah terseok-seok. Untung saja kembannya tidak tersangkut.
Air matanya mengalir deras. Hatinya sakit, sedih dan kecewa.
"Kamu kenapa, Nduk?" tanya beberapa orang yang berpapasan dengannya.
Namun dia tak menghiaraukan pertanyaan dari mereka. Hingga tiba di pondok, dia mengunci kamar dan menangis sepuasnya. Masih terbayang perlakuan Wijaya tadi saat dia diminta untuk menemani makan.
Lelaki itu mencuri ciuman pertamanya. Tak hanya itu, ketika mencoba menolak, Sekar malah didekap dengan erat. Lelaki itu malah bersikap tidak sopan dengan menyentuh beberapa bagian tubuhnya. Sekar merasa dilecehkan. Tak menyangka bahwa sang raden berbuat begitu.
Wijaya begitu berhasrat dan tak terkendali, hingga kembannya terbuka sebagian. Tangan besar lelaki itu meraih apa yang malam itu sempat menjadi angan indah, saat gadis itu mengalungkan bunga di lehernya, lalu menikmatinya selama beberapa saat.
Untung saja Sekar masih bisa mempertahankan kehormatan diri. Ketika lelaki itu hendak menindihnya, tangannya menampar pipi Wijaya dengan keras.
Beginilah nasib menjadi pelayan. Berbeda dengan seorang putri yang selalu dipuji, disanjung dan dihormati.
"Kar!" Bunyi ketukan pintu terdengar.
Gadis itu menghapus air mata dan segera merapikan rambut.
"Nduk!" Suara panggilan terdengar lagi.
Dia membuka pintu. Tampaklah sang ayah yang sedang menatapnya dengan pandangan heran.
Dalam hati lelaki paruh baya itu bertanya-tanya, apa yang sebenarnya telah terjadi kepada putrinya?
"Kamu kenapa, Nduk? Tadi bapak lihat lari-lari," tanya Daksa khawatir.
Dia belum memberitahu istrinya sama sekali. Ratih pasti masih sibuk di dapur menyiapkan hidangan.
Tanpa menjawab, Sekar memeluk ayahnya dan menumpahkan tangis. Daksa balas memeluk putrinya. Sekar bukan gadis yang cengeng, jika ada yang membuatnya bersedih, itu berarti cukup menyakitkan.
"Sudah. Tenang. Kalau kamu ndak mau cerita juga ndak apa-apa." Daksa mengusap rambut putrinya dengan lembut.
"Pak ..." ucapnya tersedu. "Aku ndak mau lagi jadi pelayan istana," pintanya dengan nada memohon.
Di matanya terpancar rasa takut. Selama dia disana, akan ada kemungkinan Wijaya akan mengulangi perbuatan itu.
"Ya ndak bisa. Keluarga kita sampai kapanpun akan mengabdi sama keraton," jawab Daksa bijak.
Kalau bukan karena kebaikan keluarga raja, mungkin entah bagaimana nasib mereka. Daksa tidak pernah bersekolah sama seperti banyak abdi yang lain. Juga bukan dari keluarga kaya sehingga tak punya modal untuk berdagang.
Keratonlah yang menghidupi mereka. Memberikan tempat tinggal, menanggung semua kebutuhan dan memberikan gaji walau hanya sedikit. Dengan imbalan, keluarganya harus mengabdi hingga akhir hayat.
"Tapi, Pak ..."
"Kamu kenapa, toh? Tiba-tiba bilang begitu. Apa ada yang mengganggu?" tanya Daksa curiga.
Dia tahu, ada banyak yang menyukai putrinya semenjak gadis itu mulai dewasa. Namun, tidak ada yang berani mengganggu. Mereka merasa sungkan, karena dia kusir kesayangan raja.
Daksa memang pandai menaklukan hewan yang satu itu. Liar sekalipun tapi ditangannya kuda-kuda itu akan menjadi patuh dan jinak.
Sekar terdiam. Jika menjawab jujur, nanti malah ayahnya akan berpikir bahwa dia yang telah menggoda Wijaya.
"Jawab jujur. Bapak akan mendengarkan. Jika ada yang berani menganggu kamu, maka dia akan berhadapan denganku."
Tangan lelaki itu terkepal. Di dadanya tersulut emosi. Jika sampai apa yang dipikirkan benar adanya, maka dia akan membunuh orang itu.
"Ada yang melecehkanku, Pak." Akhirnya kata-kata itu terucap dari bibirnya.
"Siapa?"
"Tapi bapak janji ndak akan memarahiku," ucapnya dengan bibir gemetaran.
"Tapi kamu ndak menggoda duluan, kan?" tanya Daksa.
"Ndak pernah, Pak. Aku ndak pernah menggoda laki-laki sekalipun aku suka," ucapnya.
Dahi Daksa mengernyit mendengar ucapan putrinya. Selama ini ternyata Sekar sudah menyukai laki-laki, dan mereka sebagai orang tua tidak tahu. Tapi siapa?
"Ra-den," katanya terbata.
Mata Daksa terbelalak. Dia sudah menduga jawaban putrinya adalah nama itu.
"Raden siapa?" Dia bertanya dengan tak sabar.
Sekar menatap wajah ayahnya dengan perasaan ragu.
"Katakan! Raden yang mana?" Nada suaranya meninggi.
Ada tiga orang pangeran di keraton ini. Dua sudah menikah dan memiliki selir. Hanya Wijaya yang belum memiliki pendamping.
Dua kakaknya tinggal di bangunan lain tapi masih dalam wilayah keraton ini. Setahu Daksa, pangeran kedua yang senang bermain dengan wanita sekalipun memiliki selir lebih banyak dari yang lain.
Jangan sampai, pangeran kedua malah diam-diam mengincar putrinya. Daksa tidak akan terima.
"Pak ..."
"Jawab!"
"Wijaya," jawab Sekar cepat.
Mata Daksa kembali terbelalak, tak menyangka dengan apa yang dikatakan putrinya.
"Jangan berbohong kamu!" katanya setengah membentak.
Rasanya tidak mungkin jika Raden Wijaya yang melakukannya. Sejak dulu, dia sangat mengenal kepribadian putra raja yang satu itu.
Sejak kecil, Daksa dan Ratih sering mengawasi mereka bermain. Jadi mana mungkin, dia melakukan itu kepada Sekar? Apa diam-diam lelaki itu mencintai putrinya?
"Aku ndak bohong, Pak."
Sekar menceritakan semuanya dari awal. Saat dia diminta ibu mengantar makanan ke pendopo depan untuk prajurit yang sedang latihan bela diri.
Lalu Wijaya memanggil dan mengajak ke suatu tempat di ujung keraton yang agak sepi. Dan terjadilah peristiwa itu.
"Jadi kamu sudah rusak?" tanya Daksa.
Dia tak terima jika putrinya dilecehkan, sekalipun oleh keluarga kerajaan. Mereka memang kaum rendahan, namun masih punya harga diri.
"Ndak, Pak. Tapi dia sudah memegang sebagian tubuhku," jawabnya di antara sedu sedan.
Daksa menarik napas panjang. Dalam hati mengucap syukur bahwa putrinya masih suci. Namun, sekarang dia harus menjaga Sekar dengan ketat.
"Kamu sementara bantu ibu di dapur. Nanti aku akan bicara dengan Raden," kata Daksa.
"Jangan, Pak. Nanti kita bisa kena," cegahnya.
Tadi saja Wijaya nampak marah ketika dia menamparnya. Jika sampai ayahnya berbicara yang tidak-tidak, bisa saja keluarga mereka diusir dari sini.
"Nduk. Kita ini memang cuma abdi biasa. Rendahan. Tapi bapak ndak mau kamu diperlakukan seperti itu," katanya sambil mengusap punggung putrinya.
"Sebaiknya Bapak minta Kamandanu untuk melindungiku."
Kata-kata Sekar tadi semakin membuat Daksa heran.
Gadis itu berjalan menuju lemari dan mengambil sebuah surat yang diterimanya malam itu sehabis menari dari si juru rias, lalu menyerahkan kepada ayahnya.
Daksa membacanya dengan seksama. Isinya adalah ungkapan hati seorang lelaki kepada putrinya, dan niat untuk meminang.
Dia menatap ke arah langit-langit pondok saat melihat nama yang tertera sebagai pengirim.
Kamandanu, si kepala prajurit.
Pantas saja, tadi saat meminta bantuannya untuk menjinakkan seekor kuda di istal tadi, Kamandanu sempat menanyakan perihal kabar putrinya.
Daksa sendiri heran, mengapa kuda yang biasanya jinak malah mengamuk sepanjang malam. Ketika Kamandanu datang, dalam sekejap menjadi diam dan menurut. Mungkin ini memang rencana Tuhan untuk mempertemukannya dengan lelaki itu.
"Apa selama ini kalian diam-diam berhubungan?"
"Ndak, Pak. Tapi kami saling menyukai," jawab Sekar dengan yakin.
"Aku akan bicara dengan ibumu," kata Daksa.
"Tolong, Pak. Aku ndak mau jadi selir di keraton. Banyak yang bilang aku sedang diincar," katanya.
Daksa mengangguk. Entah apa yang akan diputuskan, itu semua tergantung pembicaraannya dengan Ratih nanti.
Arya menatap Kamandanu dengan tajam sembari berkacak pinggang. Lelaki itu sudah siap jika sewaktu-waktu sang Panglima akan melancarkan serangan."Apa kabarmu, Panglima Muda?" sapa Kamandanu."Baik-baik saja, Panglima. Kau sendiri bagaimana?""Aku sudah tak sabar ingin berlatih ilmu kanugaran denganmu," tantang Kamandanu.Arya tergelak lalu menyanggupi. Bukankah dulu dia pernah berkata akan belajar ilmu bela diri dari Kamandanu jika mereka bertemu lagi. Dan kini keduanya saling berhadapan satu dengan yang lain."Siapa sangka kita akan bertemu lagi setelah sekian lama," ucap Arya tak percaya. Jika bukan karena perburuan hari itu, maka mungkin dia akan lupa pada ucapan sendiri."Kau benar. Aku bahkan tak menyangka jika akan bertemu dengan kalian. Sepertinya kami memang ditakdirkan untuk selalu berhubungan dengan keraton, walaupun sudah menghindar ja
Derap kaki kuda yang berlari menembus jalanan menarik perhatian warga sekitar. Apalagi Semua penunggangnya berwajah tampan dan memakai baju khas keraton. Berita ceepat tersebar bahwa para penguni keraton akan melakukan perburuan."Apa Kanjeng Gusti yakin akan berburu di daerah sini?" tanya Arya, sang Panglima."Tentu saja. Aku sudah lama tidak berburu. Mengurus pemerintahan sangatlah memusingkan," jawab Abimana."Turuti saja permintaannya, Panglima. KIta hanya perlu mendampingi, " ucap WIjaya tenang."Bukan begitu, Raden. Daerah sini belum pernah kita lewati. Hamba khawatir terjadi sesuatu," jelas Arya."Kalau begitu kerahkan sihirmu untuk melihat situasi," titah Abimana.Arya menyetujui usul itu dan turun dati kuda untuk memulai ritualnya. Lelaki itu memiliki mata batin sehingga dapat melihat makhluk halus yang dapat membahayakan. Setelah memejamkan mata beberapa saat akhirnya lelaki itu tersadar dan merasa lega."H
"Raden, hati-hati! Nanti Raden terjatuh."Kamandanu tergopoh-gopoh mengejar anak laki-laki yang sejak tadi berlari mengelilingi lapangan. Hari ini dia yang mengajak bermain karena istrinya sedang mencuci di kali. Napasnya terengah-engah karena usia yang sudah tidak muda."Kejar aku, Paman! Katanya kau dulu seorang panglima perang. Mengapa kau begitu lemah," canda anak itu sembari menjulurkan lidah.Kamandanu menjadi geram. Lalu dengan kaki yang pincang, lelaki itu ikut berlari. Dia menagkap pinggang anak itu dan bergulingan di rumput. Tawa terdengar dari keduanya, lalu mereka bercanda hingga senja tiba."Ayo, kita pulang. Ibumu pasti mencari," ajak Kamandanu."Aku tidak mau pulang, Paman. Nanti ibu memarahiku karena tidak mau makan nasi," rajuk anak itu."Raden memang harus makan nasi supaya cepat tinggi," bujuk Kamandanu."Memangnya kenapa kalau aku menjadi tinggi?"Anak itu menatap Kamandanu dengan lekat. Dia mema
Sekar menatap burung-burung yang sedang berkicau di dahan pohon. Pikirannya melayang entah ke mana. Sementara pipinya basah dengan air mata yang sejak tadi menetes. Wanita itu membalik badan dan menatap kamar yang sejak satu minggu ini tak boleh dimasuki siapapun, kecuali orang-orang tertentu. Dan dia termasuk salah satunya.Ada Wijaya di sana, dengan kondisi luka bakar pada wajah dan beberapa bagian tubuh yang melepuh karena insiden malam itu. Dia sendiri terkena di bagian tangan dan dada, tetapi tidak parah sehingga tak memerlukan perawatan khusus. Sekar tak boleh merawat suaminya, hanya Prameswari yang diberikan amanat. Hal itu ditetapkan setelah banyak pertimbangan. Salah satunya adalah saat lelaki itu sakit dulu.Selain itu, Wijaya terkena musibah saat bermalam bersama dengan Sekar. Jadi wanita itu dianggap sebagai pembawa sial. Apalagi pelakunya adalah Kamandanu yang hendak membalas dendam. Maka semakin lengkaplah tudingan yang dialamatkan kepadamya.
Kamandanu menarik tangan Handaru dan membekap mulutnya. Lalu, menyeret anak itu agar menjauh dari keramaian untuk mencari persembunyian. Lelaki itu melepaskan cekalan dan terengah-engah begitu mereka berada di tempat yang aman."Kau membuatku takut, Panglima!"Handaru memegang dadanya yang terasa sesak. Lelaki itu duduk di tanah dengan kedua lutut ditekuk sembari memyadarkan kepala di salah satu bagian barak. Tangannya memijat kepala yang terasa berdenyut."Aku terpaksa melakukan ini agar kau mengerti. Sejak tadi aku memberikan kode tetapi kau tak paham," sungut Kamandanu."Mereka sedang mengajakku berbicara. Aku tak mungkin pergi," jawab Handaru.Mereka saling terdiam untuk beberapa saat, lalu menatap bintang-bintang yang bertaburan di langit. Malam ini barak mengadakan pesta setelah dua bulan para prajurit baru menjalani pelatihan intensif. Minggu depan adalah hari pengukuhan dimana Handaru akan resmi diangkat menjad
Kamandanu menatap secarik kain yang dia temukan di hutan. Simbol yang tergambar di sana membuatnya lemas. Itu adalah lambang salah satu perguruan silat yang cukup terkenal dari kota sebelah.Apa yang Adiguna duga sedikit demi sedikit mulai terbukti. Lalu, apakah Raden Wijaya pelakunya, itu belum bisa dipastikan. Butuh petunjuk yang kuat untuk menjatuhkan tuduhan.Adiguna melipat tangan di depan dada dan menatap Wijaya dengan lekat. Entah apa maksud kedatangan adiknya itu, dia masih belum bisa menerka. Sejak tadi mereka hanya berbasa-basi menanyakan kabar dan juga membahas pemerintahan. Padahal dia tahu, bukan itu tujuan utamanya."Kakang, aku baru saja mendapatkan hadiah sebuah pedang baru."Adiguna menatap adiknya dengan curiga. Sejak kecil mereka memang tumbuh dan bermain bersama. Namun ketika beranjak dewasa, ada kepentingan dan ambisi yang ditanamkan oleh para ibu sehingga hubgungan itu menjadi renggang. Wijaya yang awalnya tak terla