Share

Hasrat Sang Raden

Wijaya menatap satu persatu para prajurit yang sedang melakukan latihan kanuragan hari ini. 

Dia sendiri sudah berlatih sejak usia dini, dimana semua pangeran memang diwajibkan menguasai ilmu bela diri. 

"Raden." Salah seorang pelatih prajurit menyapanya. 

Lelaki itu membalas dengan menganggukkan kepala, dan masih memantau latihan itu hingga satu jam ke depan.

Melihat para parajurit tampak bersemangat, Wijaya menjadi tertarik dan ingin berlatih juga. Sejak pergi merantau untuk belajar, dia lama vakum dari bela diri. 

"Ayo, Raden. Ikut latihan," ajak prajurit yang lain. 

Lelaki itu langsung membuka baju, membiarkan kulitnya yang cokelat terpapar sinar matahari. Otot-otot tubuhnya begitu liat, sekalipun usianya masih muda. 

Wijaya memang tak setampan saudaranya yang lain. Bentuk wajahnya standar, namun rahangnya begitu kokoh. Namun pembawaan yang tenang dan dewasa membuatnya menarik dengan cara yang berbeda.

Peluhnya bercucuran ketika mengikuti gerakan demi gerakan. Tubuhnya terasa sedikit kaku karena lama tidak dilatih.

"Siapa yang mau adu tanding?" tanya si pelatih ketika latihan sudah selesai.

Mereka duduk membentuk lingkaran sementara yang akan bertarung berdiri di tengah-tengah. 

Dua orang prajurit memulai aksinya. Mereka saling beradu kekuatan. Memperaktekkan ilmu yang selama ini dipelajari untuk pertahanan diri.

Semua yang menyaksikan bersorak riuh memberikan semangat, termasuk Wijaya. Dia memang membumi, bergaul dengan siapa saja tanpa melihat kasta. Berbeda dengan saudaranya yang lain, lebih meningratkan diri. 

"Raden mau mencoba?" tanya si pelatih saat melihatnya begitu antusias. 

Wijaya bahkan bertepuk tangan ketikan salah satu dari parjurit memenangkan pertarungan. 

"Siapa yang alan menjadi lawanku?" Dia bertanya.

"Kamandanu," jawab si pelatih.

"Mengapa harus dia?" tanya Wijaya heran. 

"Karena lawan yang sebanding untuk Raden hanya Kamandanu," jawab di pelatih. 

"Baiklah. Dimana dia?" Mata Wijaya menatap sekeliling dan orang yang dimaksud sama sekali tak nampak. 

"Di belakang, sedang melihat kuda. Hamba akan mengutus seorang prajurit untuk memanggil," jelas si pelatih lagi.

"Kenapa dia tidak ikut latihan bersama yang lain?" Wijaya kembali bertanya. Setahunya, sebagai kepala prajurit, Kamandanu diwajibkan untuk membantu latihan setiap hari.

"Dia sedang dimintai tolong oleh Daksa untuk melihat kuda-kuda yang bermasalah. Beberapa ada yang mengamuk di malam hari," jelas si pelatih.

Dahi Wijaya berkerut. Daksa? Bukankah itu ayah dari Sekar. 

"Baiklah, aku akan menunggu sambil melihat yang lain bertarung," kata Wijaya tenang.

Satu jam berlalu, muncullah Kamandanu dari balik gerbang. Dia langsung menuju tanah lapangan tempat latihan. 

"Raden." Lelaki itu duduk di samping sang pangeran dan menyapanya dengan penuh penghormatan. 

"Apa kau siap bertarung denganku?" tanya Wijaya tanpa basa-basi. 

Kamandanu pastilah sudah tahu alasan mengapa dia dipanggil datang.

"Hamba siap beradu tanding dengan Raden," jawabnya mantap. 

"Kalau begitu, jangan ragu-ragu. Keluarkan semua kemampuanmu. Jangan merasa sungkan atas statusku," kata Wijaya. 

Kemudian dia langsung berdiri di tengah, disambut dengan suara riuh dan sorakan dari parjurit yang lain.

Sementara itu, Kamandanu sedang besiap-siap. Lelaki itu melepas semua atribut yang ada ditubuhnya, menyisakan sebuah celana panjang yang diikat kuat pada simpul depan.

Lalu aba-aba diberikan. Pertarungan dimulai. Dua lelaki gagah dan tangguh itu saling beradu kekuatan. 

Sesuai dengan perintah, Kamandanu mengeluarkan semua kemampuannya. Tentu saja dia lebih menonjol karena diasah setiap hari. 

Wijaya nampak kewalahan menahan serangan. Di bagian akhir, sang pangeran itu terjatuh dan terbanting di tanah. Namun, dia tetap bersikap jantan dengan mengakui kekalahan. 

Mereka berdua bersalaman sebagai tanda saling mengormati satu dengan yang lain. 

Setelah semua latihan selesai, mereka kembali ke pendopo dan beristirahat. Dimana berbagai sajian sudah tersedia untuk mengembalikan tenaga. 

Sementara para prajurit sedang menikmati hidangan, di dapur para juru masak sibuk mengatur menu apa yang akan menjadi santapan tambahan bagi para prajurit yang berlatih. 

Mereka tak menyangka jika salah satu pangeran ikut serta dalam latihan itu sehingga menu yang disajikan haruslah berbeda. 

"Kar, antar ini ke pendopo," pinta Ratih, ibunya. Wanita itu tahu bahwa Wijaya sedang ikut bertanding bersama para prajurit. 

Dalam hati wanita paruh baya itu berdoa, semoga putrinya ini diangkat menjadi salah satu selir istana. Dia tak ingin nasib Sekar sama sepertinya yang hanya bejodoh dengan kusir kereta, sekalipun suaminya baik.

Sekar sangat cantik karena sejak kecil dirawat dan diajari tata krama sekalipun mereka terlahir dari kasta rendah.

"Apa aku juga yang harus mengantar makanan ini, Buk?"

"Iya. Karena Raden Wijaya dan Kamandanu sedang bertanding. Jadi, kamu yang harus kesana membawakan makanan untuk mereka," jelas Ratih. 

Mendengar nama sang pujaan hati disebut, mata gadis itu berbinar. Tentu saja dia mau kalau begitu. Bisa bertemu dengan Kamandanu merupakan suatu harapan baginya selama ini.

"Kemarikan nampannya. Aku akan mengantar sekarang juga," katanya dengan bersemangat.

Ratih menggelengkan kepala. Dia mengira putrinya senang bertemu dengan Wijaya. Padahal Sekar menyukai si kepala parjurit. 

"Jangan ganjen di depan Raden. Tetap jaga sopan santun. Ingat itu!" Pesan Ratih sebelum putrinya meninggalkan dapur, yang dijawab Sekar dengan anggukan kepala. 

Gadis itu dan beberapa pelayan yang lain kemudian berjalan beriringan menuju pendopo dan meletakkan nampan berisi aneka makanan di meja panjang.

"Kar."

Dia menoleh, tersenyum saat tahu siapa yang memanggilnya. 

"Raden," jawabnya sambil menunduk. 

"Ikut aku dan bawa makanan itu." Wijaya memberikan perintah dan menujuk sebuah nampan berisikan makanan kesukaannya.

"Tapi, Raden ..." Dia nampak ragu-ragu. Sejak tadi matanya mencari Kamandanu tapi tak terlihat.

"Kamu nyari siapa, Kar?" tanya sang pangeran heran. Dia pikir, sahabat masa kecilnya itu sengaja datang membawakan makanan untuknya.

Sekar bukan pelayan dapur. Dia ditempatkan di bagian lain, yaitu mencuci dan membersihkan ruangan. Karena itulah sewaktu Wijaya datang, dia dan yang lain sibuk merangkai bunga untuk mepercantik dekorasi. 

"Eh, ndak. Itu ..." Raut wajahnya berubah kecewa, apalagi terdengar bisik-bisik dari yang lain bahwa Kamandanu kembali ke istal kuda untuk membantu disana. 

"Cepat bawa nampannya dan ikut aku sekarang." 

Gadis itu menurut dan mengekori Wijaya berjalan menuju keluar. Lelaki itu sengaja ingin berduaan. Sudah cukup lama dia menahan rindu. Apalagi sejak akil baligh di usia 15 tahun, dia dilarang oleh ibunya berdekatan dengan para gadis termasuk Sekar. 

"Letakkan disini," katanya memerintah. 

Sekar menurut dan meletakkan nampan. Mereka kini berada di sebuah pondok kecil di ujung keraton. Agak sepi karena memang jarang didatangi.

"Kenapa duduknya jauh-jauhan? Bukannya dulu kamu suka sekali menempel kepadaku?" tanya Wijaya.

"Engg ... itu ndak sopan, Raden," jawabnya. 

"Kar." Wijaya menggeser tubuhnya hingga mereka berdekatan. "Aku kangen sama kamu," bisiknya.

Wajah gadis itu berubah. Dia menunduk dan memilih diam, tak menyangka jika Wijaya akan berkata seperti ini.

"Aku ndak ngerti Raden bicara apa," katanya cepat, berusaha menjauh tapi lengannya malah digenggam erat.

Wijaya terbahak mendengar itu. "Kita sudah sama-sama dewasa. Kamu pasti tahu apa maksudku." 

Jemari Wijaya kini meremas tangan halus itu.

Sekar gemetaran dan mencoba melepaskan diri.

Melihat itu Wijaya menjadi tersinggung. Lalu tangannya meraih dagu lancip itu dan menatapnya lekat.

Sekar berusaha mengelak, namun terlambat. Bibirnya sudah terlanjur disentuh oleh Wijaya dengan lembut. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status