Share

Hasrat Sang Raden

Penulis: Queeny
last update Terakhir Diperbarui: 2021-06-04 21:24:47

Wijaya menatap satu persatu para prajurit yang sedang melakukan latihan kanuragan hari ini. 

Dia sendiri sudah berlatih sejak usia dini, dimana semua pangeran memang diwajibkan menguasai ilmu bela diri. 

"Raden." Salah seorang pelatih prajurit menyapanya. 

Lelaki itu membalas dengan menganggukkan kepala, dan masih memantau latihan itu hingga satu jam ke depan.

Melihat para parajurit tampak bersemangat, Wijaya menjadi tertarik dan ingin berlatih juga. Sejak pergi merantau untuk belajar, dia lama vakum dari bela diri. 

"Ayo, Raden. Ikut latihan," ajak prajurit yang lain. 

Lelaki itu langsung membuka baju, membiarkan kulitnya yang cokelat terpapar sinar matahari. Otot-otot tubuhnya begitu liat, sekalipun usianya masih muda. 

Wijaya memang tak setampan saudaranya yang lain. Bentuk wajahnya standar, namun rahangnya begitu kokoh. Namun pembawaan yang tenang dan dewasa membuatnya menarik dengan cara yang berbeda.

Peluhnya bercucuran ketika mengikuti gerakan demi gerakan. Tubuhnya terasa sedikit kaku karena lama tidak dilatih.

"Siapa yang mau adu tanding?" tanya si pelatih ketika latihan sudah selesai.

Mereka duduk membentuk lingkaran sementara yang akan bertarung berdiri di tengah-tengah. 

Dua orang prajurit memulai aksinya. Mereka saling beradu kekuatan. Memperaktekkan ilmu yang selama ini dipelajari untuk pertahanan diri.

Semua yang menyaksikan bersorak riuh memberikan semangat, termasuk Wijaya. Dia memang membumi, bergaul dengan siapa saja tanpa melihat kasta. Berbeda dengan saudaranya yang lain, lebih meningratkan diri. 

"Raden mau mencoba?" tanya si pelatih saat melihatnya begitu antusias. 

Wijaya bahkan bertepuk tangan ketikan salah satu dari parjurit memenangkan pertarungan. 

"Siapa yang alan menjadi lawanku?" Dia bertanya.

"Kamandanu," jawab si pelatih.

"Mengapa harus dia?" tanya Wijaya heran. 

"Karena lawan yang sebanding untuk Raden hanya Kamandanu," jawab di pelatih. 

"Baiklah. Dimana dia?" Mata Wijaya menatap sekeliling dan orang yang dimaksud sama sekali tak nampak. 

"Di belakang, sedang melihat kuda. Hamba akan mengutus seorang prajurit untuk memanggil," jelas si pelatih lagi.

"Kenapa dia tidak ikut latihan bersama yang lain?" Wijaya kembali bertanya. Setahunya, sebagai kepala prajurit, Kamandanu diwajibkan untuk membantu latihan setiap hari.

"Dia sedang dimintai tolong oleh Daksa untuk melihat kuda-kuda yang bermasalah. Beberapa ada yang mengamuk di malam hari," jelas si pelatih.

Dahi Wijaya berkerut. Daksa? Bukankah itu ayah dari Sekar. 

"Baiklah, aku akan menunggu sambil melihat yang lain bertarung," kata Wijaya tenang.

Satu jam berlalu, muncullah Kamandanu dari balik gerbang. Dia langsung menuju tanah lapangan tempat latihan. 

"Raden." Lelaki itu duduk di samping sang pangeran dan menyapanya dengan penuh penghormatan. 

"Apa kau siap bertarung denganku?" tanya Wijaya tanpa basa-basi. 

Kamandanu pastilah sudah tahu alasan mengapa dia dipanggil datang.

"Hamba siap beradu tanding dengan Raden," jawabnya mantap. 

"Kalau begitu, jangan ragu-ragu. Keluarkan semua kemampuanmu. Jangan merasa sungkan atas statusku," kata Wijaya. 

Kemudian dia langsung berdiri di tengah, disambut dengan suara riuh dan sorakan dari parjurit yang lain.

Sementara itu, Kamandanu sedang besiap-siap. Lelaki itu melepas semua atribut yang ada ditubuhnya, menyisakan sebuah celana panjang yang diikat kuat pada simpul depan.

Lalu aba-aba diberikan. Pertarungan dimulai. Dua lelaki gagah dan tangguh itu saling beradu kekuatan. 

Sesuai dengan perintah, Kamandanu mengeluarkan semua kemampuannya. Tentu saja dia lebih menonjol karena diasah setiap hari. 

Wijaya nampak kewalahan menahan serangan. Di bagian akhir, sang pangeran itu terjatuh dan terbanting di tanah. Namun, dia tetap bersikap jantan dengan mengakui kekalahan. 

Mereka berdua bersalaman sebagai tanda saling mengormati satu dengan yang lain. 

Setelah semua latihan selesai, mereka kembali ke pendopo dan beristirahat. Dimana berbagai sajian sudah tersedia untuk mengembalikan tenaga. 

Sementara para prajurit sedang menikmati hidangan, di dapur para juru masak sibuk mengatur menu apa yang akan menjadi santapan tambahan bagi para prajurit yang berlatih. 

Mereka tak menyangka jika salah satu pangeran ikut serta dalam latihan itu sehingga menu yang disajikan haruslah berbeda. 

"Kar, antar ini ke pendopo," pinta Ratih, ibunya. Wanita itu tahu bahwa Wijaya sedang ikut bertanding bersama para prajurit. 

Dalam hati wanita paruh baya itu berdoa, semoga putrinya ini diangkat menjadi salah satu selir istana. Dia tak ingin nasib Sekar sama sepertinya yang hanya bejodoh dengan kusir kereta, sekalipun suaminya baik.

Sekar sangat cantik karena sejak kecil dirawat dan diajari tata krama sekalipun mereka terlahir dari kasta rendah.

"Apa aku juga yang harus mengantar makanan ini, Buk?"

"Iya. Karena Raden Wijaya dan Kamandanu sedang bertanding. Jadi, kamu yang harus kesana membawakan makanan untuk mereka," jelas Ratih. 

Mendengar nama sang pujaan hati disebut, mata gadis itu berbinar. Tentu saja dia mau kalau begitu. Bisa bertemu dengan Kamandanu merupakan suatu harapan baginya selama ini.

"Kemarikan nampannya. Aku akan mengantar sekarang juga," katanya dengan bersemangat.

Ratih menggelengkan kepala. Dia mengira putrinya senang bertemu dengan Wijaya. Padahal Sekar menyukai si kepala parjurit. 

"Jangan ganjen di depan Raden. Tetap jaga sopan santun. Ingat itu!" Pesan Ratih sebelum putrinya meninggalkan dapur, yang dijawab Sekar dengan anggukan kepala. 

Gadis itu dan beberapa pelayan yang lain kemudian berjalan beriringan menuju pendopo dan meletakkan nampan berisi aneka makanan di meja panjang.

"Kar."

Dia menoleh, tersenyum saat tahu siapa yang memanggilnya. 

"Raden," jawabnya sambil menunduk. 

"Ikut aku dan bawa makanan itu." Wijaya memberikan perintah dan menujuk sebuah nampan berisikan makanan kesukaannya.

"Tapi, Raden ..." Dia nampak ragu-ragu. Sejak tadi matanya mencari Kamandanu tapi tak terlihat.

"Kamu nyari siapa, Kar?" tanya sang pangeran heran. Dia pikir, sahabat masa kecilnya itu sengaja datang membawakan makanan untuknya.

Sekar bukan pelayan dapur. Dia ditempatkan di bagian lain, yaitu mencuci dan membersihkan ruangan. Karena itulah sewaktu Wijaya datang, dia dan yang lain sibuk merangkai bunga untuk mepercantik dekorasi. 

"Eh, ndak. Itu ..." Raut wajahnya berubah kecewa, apalagi terdengar bisik-bisik dari yang lain bahwa Kamandanu kembali ke istal kuda untuk membantu disana. 

"Cepat bawa nampannya dan ikut aku sekarang." 

Gadis itu menurut dan mengekori Wijaya berjalan menuju keluar. Lelaki itu sengaja ingin berduaan. Sudah cukup lama dia menahan rindu. Apalagi sejak akil baligh di usia 15 tahun, dia dilarang oleh ibunya berdekatan dengan para gadis termasuk Sekar. 

"Letakkan disini," katanya memerintah. 

Sekar menurut dan meletakkan nampan. Mereka kini berada di sebuah pondok kecil di ujung keraton. Agak sepi karena memang jarang didatangi.

"Kenapa duduknya jauh-jauhan? Bukannya dulu kamu suka sekali menempel kepadaku?" tanya Wijaya.

"Engg ... itu ndak sopan, Raden," jawabnya. 

"Kar." Wijaya menggeser tubuhnya hingga mereka berdekatan. "Aku kangen sama kamu," bisiknya.

Wajah gadis itu berubah. Dia menunduk dan memilih diam, tak menyangka jika Wijaya akan berkata seperti ini.

"Aku ndak ngerti Raden bicara apa," katanya cepat, berusaha menjauh tapi lengannya malah digenggam erat.

Wijaya terbahak mendengar itu. "Kita sudah sama-sama dewasa. Kamu pasti tahu apa maksudku." 

Jemari Wijaya kini meremas tangan halus itu.

Sekar gemetaran dan mencoba melepaskan diri.

Melihat itu Wijaya menjadi tersinggung. Lalu tangannya meraih dagu lancip itu dan menatapnya lekat.

Sekar berusaha mengelak, namun terlambat. Bibirnya sudah terlanjur disentuh oleh Wijaya dengan lembut. 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Selir Sang Pangeran   Hidup Baru

    Arya menatap Kamandanu dengan tajam sembari berkacak pinggang. Lelaki itu sudah siap jika sewaktu-waktu sang Panglima akan melancarkan serangan."Apa kabarmu, Panglima Muda?" sapa Kamandanu."Baik-baik saja, Panglima. Kau sendiri bagaimana?""Aku sudah tak sabar ingin berlatih ilmu kanugaran denganmu," tantang Kamandanu.Arya tergelak lalu menyanggupi. Bukankah dulu dia pernah berkata akan belajar ilmu bela diri dari Kamandanu jika mereka bertemu lagi. Dan kini keduanya saling berhadapan satu dengan yang lain."Siapa sangka kita akan bertemu lagi setelah sekian lama," ucap Arya tak percaya. Jika bukan karena perburuan hari itu, maka mungkin dia akan lupa pada ucapan sendiri."Kau benar. Aku bahkan tak menyangka jika akan bertemu dengan kalian. Sepertinya kami memang ditakdirkan untuk selalu berhubungan dengan keraton, walaupun sudah menghindar ja

  • Selir Sang Pangeran   Pertemuan

    Derap kaki kuda yang berlari menembus jalanan menarik perhatian warga sekitar. Apalagi Semua penunggangnya berwajah tampan dan memakai baju khas keraton. Berita ceepat tersebar bahwa para penguni keraton akan melakukan perburuan."Apa Kanjeng Gusti yakin akan berburu di daerah sini?" tanya Arya, sang Panglima."Tentu saja. Aku sudah lama tidak berburu. Mengurus pemerintahan sangatlah memusingkan," jawab Abimana."Turuti saja permintaannya, Panglima. KIta hanya perlu mendampingi, " ucap WIjaya tenang."Bukan begitu, Raden. Daerah sini belum pernah kita lewati. Hamba khawatir terjadi sesuatu," jelas Arya."Kalau begitu kerahkan sihirmu untuk melihat situasi," titah Abimana.Arya menyetujui usul itu dan turun dati kuda untuk memulai ritualnya. Lelaki itu memiliki mata batin sehingga dapat melihat makhluk halus yang dapat membahayakan. Setelah memejamkan mata beberapa saat akhirnya lelaki itu tersadar dan merasa lega."H

  • Selir Sang Pangeran   Wira

    "Raden, hati-hati! Nanti Raden terjatuh."Kamandanu tergopoh-gopoh mengejar anak laki-laki yang sejak tadi berlari mengelilingi lapangan. Hari ini dia yang mengajak bermain karena istrinya sedang mencuci di kali. Napasnya terengah-engah karena usia yang sudah tidak muda."Kejar aku, Paman! Katanya kau dulu seorang panglima perang. Mengapa kau begitu lemah," canda anak itu sembari menjulurkan lidah.Kamandanu menjadi geram. Lalu dengan kaki yang pincang, lelaki itu ikut berlari. Dia menagkap pinggang anak itu dan bergulingan di rumput. Tawa terdengar dari keduanya, lalu mereka bercanda hingga senja tiba."Ayo, kita pulang. Ibumu pasti mencari," ajak Kamandanu."Aku tidak mau pulang, Paman. Nanti ibu memarahiku karena tidak mau makan nasi," rajuk anak itu."Raden memang harus makan nasi supaya cepat tinggi," bujuk Kamandanu."Memangnya kenapa kalau aku menjadi tinggi?"Anak itu menatap Kamandanu dengan lekat. Dia mema

  • Selir Sang Pangeran   Pewaris

    Sekar menatap burung-burung yang sedang berkicau di dahan pohon. Pikirannya melayang entah ke mana. Sementara pipinya basah dengan air mata yang sejak tadi menetes. Wanita itu membalik badan dan menatap kamar yang sejak satu minggu ini tak boleh dimasuki siapapun, kecuali orang-orang tertentu. Dan dia termasuk salah satunya.Ada Wijaya di sana, dengan kondisi luka bakar pada wajah dan beberapa bagian tubuh yang melepuh karena insiden malam itu. Dia sendiri terkena di bagian tangan dan dada, tetapi tidak parah sehingga tak memerlukan perawatan khusus. Sekar tak boleh merawat suaminya, hanya Prameswari yang diberikan amanat. Hal itu ditetapkan setelah banyak pertimbangan. Salah satunya adalah saat lelaki itu sakit dulu.Selain itu, Wijaya terkena musibah saat bermalam bersama dengan Sekar. Jadi wanita itu dianggap sebagai pembawa sial. Apalagi pelakunya adalah Kamandanu yang hendak membalas dendam. Maka semakin lengkaplah tudingan yang dialamatkan kepadamya.

  • Selir Sang Pangeran   Penyerangan

    Kamandanu menarik tangan Handaru dan membekap mulutnya. Lalu, menyeret anak itu agar menjauh dari keramaian untuk mencari persembunyian. Lelaki itu melepaskan cekalan dan terengah-engah begitu mereka berada di tempat yang aman."Kau membuatku takut, Panglima!"Handaru memegang dadanya yang terasa sesak. Lelaki itu duduk di tanah dengan kedua lutut ditekuk sembari memyadarkan kepala di salah satu bagian barak. Tangannya memijat kepala yang terasa berdenyut."Aku terpaksa melakukan ini agar kau mengerti. Sejak tadi aku memberikan kode tetapi kau tak paham," sungut Kamandanu."Mereka sedang mengajakku berbicara. Aku tak mungkin pergi," jawab Handaru.Mereka saling terdiam untuk beberapa saat, lalu menatap bintang-bintang yang bertaburan di langit. Malam ini barak mengadakan pesta setelah dua bulan para prajurit baru menjalani pelatihan intensif. Minggu depan adalah hari pengukuhan dimana Handaru akan resmi diangkat menjad

  • Selir Sang Pangeran   Kecewa

    Kamandanu menatap secarik kain yang dia temukan di hutan. Simbol yang tergambar di sana membuatnya lemas. Itu adalah lambang salah satu perguruan silat yang cukup terkenal dari kota sebelah.Apa yang Adiguna duga sedikit demi sedikit mulai terbukti. Lalu, apakah Raden Wijaya pelakunya, itu belum bisa dipastikan. Butuh petunjuk yang kuat untuk menjatuhkan tuduhan.Adiguna melipat tangan di depan dada dan menatap Wijaya dengan lekat. Entah apa maksud kedatangan adiknya itu, dia masih belum bisa menerka. Sejak tadi mereka hanya berbasa-basi menanyakan kabar dan juga membahas pemerintahan. Padahal dia tahu, bukan itu tujuan utamanya."Kakang, aku baru saja mendapatkan hadiah sebuah pedang baru."Adiguna menatap adiknya dengan curiga. Sejak kecil mereka memang tumbuh dan bermain bersama. Namun ketika beranjak dewasa, ada kepentingan dan ambisi yang ditanamkan oleh para ibu sehingga hubgungan itu menjadi renggang. Wijaya yang awalnya tak terla

  • Selir Sang Pangeran   Bukti Baru

    Kamandu memegang dadanya yang berdebar kencang. Saat Daksa mengatakan bahwa Sekar tiba-tiba datang berkunjung, hatinya diluapi oleh kebahagiaan. Lelaki itu hendak berbalik ke arah pondok ketika mendengar beberapa langkah kaki mendekat.Kamandanu mengurungkan niat dan mengintip dari balik sumur. Tampak beberapa pengawal sedang memeriksa seisi pondok dan sekitarnya. Untunglah jarak sumur cukup jauh dari pondok dan terhalang pohon besar. Sehingga tubuhnya tak kelihatan."Apa kau merasa ada yang aneh?" tanya salah satu pengawal."Ya, tapi aku tak tahu itu apa. Rasanya ada orang lain di rumah ini selain Daksa dan istrinya," jawab pengawal kepercayaan Wijaya. Lelaki itu sengaja diutus untuk menemani Sekar karena sang raden mengkhawatirkan keselamatan istrinya."Apakah itu penyusup yang mengikuti Ndoro Ajeng?""Bisa jadi. Karena itulah kita harus waspada."Beberapa pengawal itu saling berbincang sembari menyisir beberapa tempat. Ketika mereka

  • Selir Sang Pangeran   Pulang

    Selama tiga hari Kamandanu dirawat di rumah Daksa, selama itu pula Sekar tak mengetahui apa pun. Wijaya memang mengizinkan selirnya bertemu dengan keluarga, tetapi belum memenuhi janjinya. Hingga wanita itu merasa gelisah, tetapi tak berani menyusup karena takut ketahuan.Sekar hanyalah selir biasa, yang tak mengerti permasalahan keraton. Sehingga dia tak tahu jika nyawa mereka bisa terancam sewaktu-waktu. Wijaya memang membatasi wanita itu agar tak mencampuri urusannya. Hal yang sama dia lakukan kepada Prameswari. Hanya ratu yang berhak bersuara mengenai pemerintahan. Juga istri sah Adiguna karena kakaknya adalah pewaris utama.Tugas selir hanyalah memikat raja dan pangeran, lalu menyenangkan mereka. Jika mendapatkan keturunan laki-laki maka itu adalah anugerah. Sayangnya, dari ratu dan beberapa selir yang dimiliki raja yang sekarang, beliau hanya diberikan tiga pewaris lelaki. Bahkan, istri dan selir dari para putranya juga melahirkan anak perempuan.Wij

  • Selir Sang Pangeran   Pertolongan

    "Sepertinya benda itu sangat berarti untukmu, Kisanak."Kamandanu terkejut dan segera menyembunyikan selongsong itu balik pakaiannya. Lelaki itu menoleh dan mendapati Daksa sedang menatapnya dengan tajam."Paman Daksa," ucap Kamandanu memberi hormat."Sepertinya aku mengenal benda itu," sindirnya.Beberapa hari ini Daksa mengamati Kamandanu secara interns. Kecurigaannya semakin bertambah setelah memergoki lelaki itu sering melamun. Hari ini keyakinannya semakin kuat saat melihat selongsong pedang milik panglima."Ini diberikan Raden Adiguna kepadaku," jawab Kamandanu sembari tersenyum. Sejak kembali bekerja di keraton, dia sudah terbiasa mengendalikan sikap agar tak gugup."Tapi kenapa diberikan kepadamu? Kau orang baru," selidik Daksa."Entahlah, Paman. Aku tak pernah bertanya apa alasannya," jawab Kamandanu.

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status