Usai mendengar kabar Adam bersedia menikah dengan Elena, dan tentunya sesuai kesepakatan. Maka Elena juga Lily menyiapkan segala keperluan untuk pernikahan.
Mulai dari dekorasi sederhana, memesan gaun pernikahan, menyebar undangan dan masih banyak lagi.
Selama itu, anak mereka Lily titipkan lebih dulu kepada orang tua Lily.
Lily tidak memberitahu apa yang tengah ia perbuat sampai tidak punya waktu mengurus anaknya. Orang tua Lily pun tidak banyak bertanya-tanya meski dalam hati terkumpul seribu pertanyaan.
Memasuki hari kedua setelah Adam setuju. Lily sengaja mempertemukan Adam juga Elena di sebuah tempat makan, yang tidak jauh dari kantor Elena berdiri.
Sekarang, keduanya tengah duduk berhadap-hadapan. Dan lima menit sudah berlalu. Keduanya belum juga membuka mulut, mengobrol.
Tak berselang lama. Seorang pelayan restoran datang membawa hidangan pesanan Elena bermodalkan baki keramik.
"Silahkan dinikmati," ujar pelayan dibarengi senyum teramah.
"Terima kasih," balas Elena, mengantar si pelayan melenggang pergi. Membiarkan mereka hanya berdua, tiada yang lain.
Adam melirik sekilas cangkir minuman, yang Elena sodorkan ke arahnya. Adam paham apa isi cangkir tersebut.
"Aku tau, kau masih suka kopi ini," kata Elena tetap tersenyum kendati ekspresi Adam layak disebut pemakaman.
Biar Elena tidak menjalani kehidupan sehari-hari dengan Adam, tetapi ia tau betul apa saja yang disukai dan tidak disukai Adam.
Hal itu ia dapat semasa SMA dulu. Dimana Elena berusaha mendekati Adam, dan mencari tau segala sesuatu yang berkaitan dengan Adam.
"Setiap kau datang ke kantin, kau selalu memesan minuman yang sejenis seperti rasa ini. Jika tidak ada, kau akan menggantikannya dengan air bening. Begitu, bukan?"
Elena mencoba mengajak Adam berbincang. Berharap Adam mau membuka mulut meski sebatas jawaban 'iya'.
"Hem, ketika kelas Pramuka mengadakan kemah juga kau pasti membawa stok kopi dengan rasa serupa. Acap kali kau meminumnya, kau sangat menikmati," lanjut Elena, menunjukan betapa taunya ia tentang Adam semasa SMA dahulu.
Adam belum juga merespon. Pria itu tetap merunduk. Seakan-akan sibuk menghitung banyaknya marmer, yang melapisi lantai.
Tidak tau harus memulai perbincangan apa lagi. Elena memilih diam. Ia menikmati kudapan, yang mengepulkan asap di hadapannya.
Selagi hangat, ingin segera ia ringkus.
Tatkala Elena menikmati hidangannya. Perlahan Adam mengangkat wajah. Ditatapnya sekilas wajah Elena. Adam menelan ludah.
"Kau masih sama," ucap Adam tiba-tiba.
Spontan, Elena berhenti mengunyah. Sendok dan garpu masih ia pegang. Bola matanya lurus menatap Adam.
"Kau masih cantik seperti dahulu, dan perasaan ku padamu pun masih sama."
Elena menunduk terkekeh kecil. Ia paham maksud perkataan Adam. "Tapi demi mereka, kau mau melakukannya, bukan?"
Helaan nafas keluar dari mulut Adam. Terdengar berat seperti membuang beban bertindih-tindih.
"Maaf, mungkin hubungan kita nantinya hanya sebatas hitam diatas putih."
"Tidak masalah. Asal kau menjadi milikku. Aku yakin, suatu hari kau akan berpaling padaku, Dam."
Ucapan Elena terlalu percaya diri. Adam menyeringai pongah.
"Sekali lagi ingin ku katakan. Senyum mu juga masih sama. Selalu memiliki candu," tambah Elena.
Adam tak peduli. Ia menyeruput sedikit kopi espresso kesukaannya sembari melihat ke arah lain, yang jelas menghindari tatapan Elena secara langsung.
**
Hari demi hari berjalan cepat. Tak terasa satu bulan sudah terlewatkan.
Dan akhirnya hari, yang Elena juga Lily tunggu tiba sudah. Dimana hari itu Lily menjadi tatapan tajam oleh kedua orang tua kandungnya lantaran berani menyembunyikan rahasia besar, dan baru memberitahu satu hari sebelum acara.
Mulanya mereka tidak setuju karena mungkin suatu hari akan berakibat fatal untuk Lily, akan tetapi Lily tak mau mendengarkan. Tujuan Lily sudah didepan mata. Mustahil baginya untuk mundur.
Selain orang tua Lily. Masih ada beberapa pihak yang kurang setuju. Salah satunya kakak kandung Elena.
Dari kali pertama Elena menceritakan niat hatinya. Kakak kandung Elena paling menentang. Elena sampai dikatai bodoh, dan wanita rendahan tapi Elena tak peduli. Hatinya terlanjur mencintai Adam. Sampai detik ini Elena masih melajang dikarenakan ia tak bisa menghilangkan Adam dari jiwanya.
Oleh sebab itu, Elena memilih jalan ini. Anggap saja perkara ini adalah jalan terbaik.
Bukan hanya para keluarga saja yang menentang melainkan teman-teman Elena dan Lily. Untungnya mereka tidak diberitahu alasan dibalik Lily menyetujui pernikahan tersebut. Atau jika mereka tau, nama baik Elena akan ternoda.
**
Acara demi acara berjalan lancar. Sah sudah, Elena menjadi istri kedua Adam sekaligus menjadi madu Lily.
Selepas pernikahan. Mereka bertiga menandatangani kontrak perjanjian sesuai permintaan semula.
Sebagai tambahan, Adam harus tetap tinggal bersama Lily yang artinya Elena pun akan bergabung.
Mulai hari itu, kehidupan Lily, Adam beserta anaknya berubah 360 derajat. Mereka tidak lagi tinggal di rumah kontrakan, yang nyaris disebut kolam ikan manakala hujan tiba.
Mereka diboyong ke rumah utama Elena, yang sekarang sudah menjadi milik Lily.
"Wah, rumahnya besar sekali, Mah," degup anak Lily dan Adam bernama Vino.
"Iya, dong, sayang. Sekarang ini adalah rumah kita. Kita tidak akan tinggal lagi di rumah kumuh itu," balas Lily tak berhenti tersenyum lebar.
Ya, wanita itu terus tersenyum sumringah sedari selesainya pernikahan Adam dan Elena sampai detik ini. Bisa dikata gigi Lily hampir kering.
"Vino, ayo mamah tunjukan kamar untuk kamu," ajak Elena, tetapi Vino menolak.
Bocah seusia dirinya mana mau diajak sembarang orang. Apalagi mereka belum kenal lama.
"Vino, kau ikut mama Elena dulu," minta Lily. Dan respon Vino tak berubah.
Bocah laki-laki itu malahan sembunyi di balik ketiak ibunya. Ia takut melihat wajah Elena.
"Maklum, yah, namanya juga anak kecil," ucap Lily diselingi tawa renyah.
"Iya. Aku tau."
Beruntung, Elena tipikal wanita penyabar. Ia tidak memaksakan diri untuk segera dekat dengan Vino meskipun ia sangat ingin dekat bocah tersebut.
Selain mereka bertiga. Ada juga Adam, yang tengah duduk di sofa seraya memijat kening.
Jujur, kepala Adam berasa dihantam ribuan palu oleh orang satu kecamatan. Ia benar-benar pusing.
Hal itu dilihat oleh Lily dan Elena. Dengan santai Lily memerintah. "Elena, tolong kau urusi Mas Adam. Aku ingin menghitung ini." Lily menenteng sebuah koper berisi uang perusahaan Elena, yang telah ia serahkan.
"Li, aku ingin wedang jahe," minta Adam.
Lily hanya menoleh. "Oh, minta dibuatkan Elena. Aku sibuk," jawabnya berlalu menaiki anak tangga menuju kamar.
"Li!"
Lily tak menggubris. Ia sudah tak sabar menghitung berapa uang dalam koper tersebut.
"Sini mas aku pijat," kata Elena hendak memegang kepala Adam. Namun, dengan gesit Adam tepis.
"Tidak perlu." Pria itu sedikit menjauh dari posisi Elena duduk. "Kau ke kamar saja!"
"Ah, aku buatin wedang jahe, yah?"
"Tidak perlu. Aku akan buat sendiri," tolak Adam, bergegas bangun tapi jatuh terduduk lagi.
"Mas!" Elena terlihat panik. Nada suaranya memekik. Seharusnya Lily mendengar, dan ia datang menghampiri tapi tidak.
Di ujung anak tangga sana. Lily menoleh sekilas kemudian lanjut berjalan tanpa ada rasa simpati secuil pun.
"Sebentar, aku buatkan."
Bulan keempat setelah mereka meninggalkan rumah Lily. Cuaca cerah saat Adam dan Elena berdiri di depan rumah kontrakan baru mereka—rumah tipe 36 dengan pagar besi sederhana dan cat tembok warna krem. Tidak luas, tapi bersih dan rapi, terletak di sebuah komplek perumahan sederhana di pinggir kota, cukup tenang, cukup ramah untuk anak-anak. Adam membuka pagar sambil tersenyum kecil. “Resmi jadi warga RT 05, Bu Elena,” katanya sambil menoleh ke istrinya. Elena tertawa, menggandeng tangan Vino yang sedang membawa boneka dinosaurus kesayangannya. “Ayo, Nak. Rumah baru kita.” Begitu masuk, Vino langsung berlari ke ruangan tengah yang belum berisi banyak barang. Hanya ada satu sofa kecil dan tikar gulung. “Bisa main bola di sini!” teriaknya riang. Elena menatap Adam. “Nggak nyangka, ya. Empat bulan lalu kita cuma punya satu kasur tipis dan dua koper.” Adam memeluk bahunya. “Dan sekarang kita punya ruang untuk tumbuh.” Malam itu mereka makan malam seadanya—nasi goreng buatan El
Langit belum sepenuhnya biru ketika Adam mengayuh motornya menuju kedai kopi kecil yang ia miliki sejak beberapa waktu lalu, tepatnya atas bantuan Elena.Di dalam kedai, dua barista muda sedang sibuk mengelap meja dan mempersiapkan mesin espresso.Adam masuk, disambut aroma kuat biji kopi yang baru digiling.“Pagi, Mas Adam,” sapa salah satu karyawannya, Rio, ramah.Adam mengangguk, menggulung lengan kemejanya. “Mulai hari ini aku ikut turun tangan. Bukan cuma jadi bos yang duduk lihat angka.”Rio terkejut sejenak. “Serius, Mas?”Adam tersenyum. “Serius. Ajari aku bikin cappuccino yang bener. Aku harus bisa, Rio.”Dan pagi itu, Adam berdiri di belakang bar. Tangannya sempat kaku saat menuang susu ke dalam espresso, tapi ia tak menyerah. Berkali-kali gagal, tapi dia terus mencoba. Busa terlalu tebal, rasanya pahit, latte art-nya berantakan—tapi Adam tetap tersenyum.Setiap pelanggan yang datang pagi itu dibuat heran melihat sang pemilik turun langsung melayani. Ada yang memotret diam-d
Vino sudah pulang. Di atas tempat tidur kecilnya, bocah itu masih lemah tapi tersenyum bahagia karena bisa kembali ke rumah. Di sisi tempat tidur, Elena mengganti selimutnya pelan-pelan, memastikan tidak ada angin masuk dari jendela. Adam menyalakan diffuser di sudut ruangan, memeriksa suhu ruangan agar tidak terlalu dingin.“Aku senang bisa tidur di rumah lagi,” gumam Vino dengan mata setengah terpejam.Elena tersenyum, mengecup dahinya. “Tidurlah, sayang. Besok kita bangun pagi, lihat burung dari jendela bareng-bareng, ya?”Adam mendekat, menyentuh kepala putranya lembut. “Ayah di sini, Nak.”Tak lama kemudian, suara langkah terdengar di luar kamar.“Adam, Elena. Ke ruang keluarga. Sekarang,” suara Lily terdengar tajam, tidak bisa ditawar.Adam dan Elena saling pandang tanpa sepatah kata pun.“Ayah keluar dulu, yah, kamu tidur dengan nyenyak,” kata Adam, menunduk dan mengecup kening Vino yang mulai ngantuk karena beberapa waktu lalu minum obat. Dan tak berselang lama usai Vino terti
Langit mulai meredup, senja menggantung di balik kaca jendela ruang rawat. Cahaya keemasan menerpa wajah kecil Vino yang tengah tertidur, pelan-pelan, napasnya tenang. Di sisi tempat tidur, Elena duduk sambil membacakan buku cerita dinosaurus yang tadi siang ia bawa.Sesekali ia berhenti, mengelus dahi Vino lembut.“Tidurlah, nak. Tante jaga kamu.”Adam berdiri di ambang pintu. Pandangannya jatuh ke wajah Vino, lalu ke Elena. Sekilas, dunia di ruangan itu terasa damai. Tapi tidak di dalam dirinya.“El,” panggilnya pelan.Elena menoleh. “Hmm?”“Aku keluar sebentar. Mau bicara sama Lily.”Elena mengangguk. Tak perlu banyak kata. Ia tahu, inilah saatnya.Di area parkir rumah sakit.Suara mesin kendaraan dan langkah-langkah tergesa terdengar di kejauhan. Di bawah pohon besar di sudut parkir, Adam duduk dengan pikiran kacau tapi kemantapan sepenuhnya menyelimuti dada. Tak lama, Lily datang. Tumit sepatunya beradu dengan lantai beton, kaku, tergesa, dingin.“Ada apa?” tanyanya tajam, "aku b
Rumah Sakit – Pagi HariRuangan masih diselimuti cahaya temaram saat Adam membuka tirai jendela perlahan. Di atas ranjang, Vino mulai menggeliat. Napasnya lebih teratur. Warnanya tak sepucat semalam.Adam duduk di sisi tempat tidur, tangan besarnya menggenggam tangan kecil Vino dengan erat.Lily belum datang, dia sebelumnya mengirim pesan.“Aku harus ke kantor pagi ini. Ada hal yang harus diselesaikan. Aku ke rumah sakit siang nanti.”Adam hanya membaca, lalu mengunci layar ponselnya. Tidak ada balasan. Tidak perlu. Hatinya sudah cukup penuh oleh banyak hal yang lebih penting dari penjelasan seadanya.Ia mengusap rambut Vino, pelan, dan menunduk dekat ke telinga anak itu.“Papa di sini, Vin. Kamu nggak sendiri.”Dan seolah mendengar, mata Vino perlahan terbuka. Masih lemah, tapi ia tersenyum tipis.“Papa,” gumamnya.Adam menahan napas sejenak sebelum menjawab, “Iya, sayang. Papa di sini.”Beberapa saat berselang.Langkah ringan terdengar di lorong. Aroma makanan hangat bercampur wangi
Elena terdiam beberapa saat setelah Adam mengucapkan kata-kata itu."El, dibandingkan denganku, kamu lebih cocok bersama pria itu."Ia tidak langsung menjawab. Hanya menatap Adam dengan sorot yang sulit ditebak—antara tersentuh dan terluka.Namun, dalam hatinya... ada sesuatu yang hangat. Cemburu. Akhirnya Adam merasakannya juga. Akhirnya, lelaki itu menyadari keberadaannya... dan takut kehilangannya.Itu cukup. Untuk malam ini, itu cukup.Mereka duduk kembali. Dua cangkir di atas meja, satu berisi teh hangat yang hampir habis, satu lagi kopi hitam yang mulai mendingin.Tak ada perbincangan. Hanya diam. Tapi bukan diam yang hampa. Ada ribuan kata tak terucap yang beterbangan di udara, membentuk ruang hening yang... anehnya nyaman.Setelah beberapa saat, Elena melirik jam tangannya dan berdiri."Aku pulang dulu," katanya singkat.Adam mengangguk, ikut berdiri."Aku juga harus kembali ke rumah sakit."Mereka berjalan keluar bersamaan, lalu berpisah di trotoar, tanpa ucapan panjang, tanp