Giandra dan Raia masih berdiri di sisi pintu ketika beberapa saat kemudian Qey kembali muncul dengan membawa ponsel dan memberikan pada Giandra.“Hpnya aku bawa dulu ya, Qey?””Bawa aja.” Qey mengizinkan.“Thanks, Qey.”Giandra lalu pergi diiringi tatapan Raia yang keheranan lantaran Giandra tidak menuju kamarnya melainkan kembali ke arah lift.”Gian nelfon siapa sih?” tanyanya pada Qey.Qey mengangkat bahu. “Aku juga nggak tahu.”*Giandra mencari tempat yang tenang untuk menelepon. Ia tidak mungkin menelepon Celine di kamar karena ada Max.Satu-satunya yang ia yakini sebagai tempat yang aman untuk menelepon adalah di area lobi.Meskipun sudah larut namun tempat tersebut tidak sepenuhnya sepi. Beberapa orang masih lalu lalang dan ada yang duduk di sana. Namun setidaknya tidak ada dari mereka yang mengenal Giandra.Tanpa membuang waktu Giandra langsung men-dial nomor seluler Celine yang sudah dihafalnya di luar kepala. Panggilan tersebut tersambung tapi tidak dijawab. Ketika waktu kon
Konser malam itu ditutup dengan apik bersama lagu Yellow sebagai tembang penutup. Malam itu band asal London tersebut berhasil memukau penonton dan membuat mereka tidak menyesal merogoh kocek dalam-dalam demi menyaksikan penampilan band favorit mereka yang spektakuler.Giandra dan Raia ikut keluar bersama ribuan penonton lainnya dari stadion. Sialnya Max dan Qey benar-benar menghilang, lenyap bersama lautan manusia.Raia bergelayut manja di lengan Giandra sehingga terpaksa Giandra menggandeng tangannya. Bagi orang-orang yang tidak mengenal mereka mungkin akan menganggap Giandra dan Raia adalah pasangan muda yang sedang berpacaran.“Aduh!” Raia hampir saja terjatuh ketika seseorang menyenggolnya. Untung saja Giandra dengan sigap menyanggah tubuhnya.“Hati-hati, Rai, nggak usah buru-buru.” Giandra mengingatkan.“Aku udah hati-hati tapi dia-nya aja yang nggak ngeliat,” rutuk Raia jengkel.“Sini, pegangan yang kuat.” Giandra merangkul Raia. Rangkulan yang begitu protektif. Jadilah keduany
Alana masih tertegun di tempat dengan tangan menggenggam handphone. Berbagai pertanyaan menggayuti kepalanya. Untuk apa Celine menelepon? Memangnya sedekat apa hubungannya dengan Giandra?Alana membiarkan dering ponsel tetap terdengar hingga akhirnya mati sendiri. Alana pikir panggilan akan berakhir sampai di sana. Ternyata ia salah. Celine belum berhenti menelepon sebelum panggilannya terjawab.“Halo…” Alana menyapa membuka obrolan.Di seberang sana Celine terkejut ketika mendengar suara perempuanlah yang menjawab panggilan darinya, bukan suara Giandra yang sangat ia rindukan.“Halo, maaf bisa bicara dengan Giandra?” tanyanya hati-hati seraya menerka-nerka siapa sosok wanita yang saat ini sedang bicara dengannya.“Ini siapa?” Alana pura-pura bertanya untuk menguji Celine.“Ini Celine, temennya Giandra. Maaf, saya sedang bicara dengan siapa ya?””Ini Tante Alana, apa kabar, Lin?”“Eh Tante ya, maaf, Tante, saya nggak tahu kalau ini Tante soalnya suara Tante masih kayak seumuran saya.
“Sudah masuk delapan belas minggu ya, Bu. Panjangnya empat belas senti, beratnya sekitar seratus sembilan puluh gram. Perkembangannya bagus dan normal menurut semestinya.”Segaris senyum terulas di bibir Celine ketika mendengar keterangan dokter. Saat itu Celine sedang berada di atas ranjang periksa di dalam ruang dokter kandungan. “Gimana, Bu, apa Ibu sudah merasakan gerakannya?” tanya dokter lagi.“Sudah, Dok, sedikit,” jawab Celine sembari mengusap perut. Belakangan Celine memang sudah merasakan gerakan halus dari janin yang sedang tumbuh di rahimnya terutama saat malam hari dan ia tidak ada kegiatan.“Nanti kalau usianya sudah semakin besar gerakannya juga akan semakin kencang.” Dokter menambahkan keterangannya. “Ibu nggak mau tahu apa jenis kelaminnya?”“Sudah kelihatan memangnya, Dok?“Sudah, Bu. Oh iya, suaminya mana? Ibu sendiri?”Pertanyaan itu membuat senyum Celine memudar.Tanpa terasa sudah satu minggu ini Celine tidak bertemu dengan Giandra meskipun mereka masih berkomu
“Gian, ayolah, aku nggak bakal bisa tidur kalo nggak ditemenin sama kamu.” Celine terus merengek agar Giandra memenuhi keinginannya.“Ya ampun, Lin, tapi biasanya kamu kan juga tidur sendiri. Ngertiin aku dong. Aku baru aju mau konsentrasi nulis skipsi, kalo kayak gini fokusku kan jadi kebagi. Katanya kamu support aku. Tapi kalau kamu kayak gini itu namanya bukan suppot, Lin.”“Oh, jadi aku ngeganggu kamu? Jadi aku bikin kamu nggak konsentrasi?” Entah kenapa kata-kata Giandra membuat Celine merasa tersinggung.“Bukannya gitu, Lin, tapi kamu tahu sendiri kan skripsiku udah lama terbengkalai? Sekalinya aku udah semangat ada aja gangguannya.”“Apa, Gi? Jadi kamu menganggap aku bener-bener ngeganggu? Sejak kapan, Gi, kamu anggap aku sebagai pengganggu?”Giandra mengusap muka. Menyadari jika sudah salah bicara ia pun segera mencari padanan kata yang tepat untuk meralat ucapannya tadi.“Bukan begitu maksudku, tapi aku lagi bener-bener serius mau ngerjainnya. Kalau pun kamu katakan ini bisa
Sejak kejadian penemuan lipstick di sakunya, Giandra merasa Celine jauh lebih protektif. Celine lebih sering mengabsen dan menanyakan Giandra sedang ada di mana, melakukan apa dan sedang bersama siapa.Kadang meskipun Giandra sudah menjelaskan berkali-kali Celine tetap kurang percaya. Bukan kurang percaya, tapi lebih tepatnya merasa waswas.Celine tidak tahu apa ini bawaan hamilnya atau bagaimana. Celine merasa jauh lebih nyaman ketika vokalis band suaminya adalah Tanya yang dulu ketimbang Raia.***Ini entah untuk ke berapa kalinya notifikasi ponsel Giandra berdenting. Yang hampir semuanya dari Celine. Entah mengapa akhir-akhir ini istrinya itu jadi lebih perhatian.Celine: Gi, jangan lupa makan siang. Jangan sampai telat makan. Ntar maag kamu bisa kumat.Giandra tertawa di dalam hati. Meskipun sudah menikah tapi hingga saat ini Celine masih belum mengetahui hal tersebut. Biar saja jadi rahasia hidupnya kalau yang dulu hanyalah modus untuk mendekati Celine.Giandra lantas membalas pe